Showing posts with label renungan hari ini. Show all posts
Showing posts with label renungan hari ini. Show all posts

Sunday, July 17, 2011

EMPTY-NEST SYNDROME

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Hari ini, 6 Juli 2011, anak kami, Yoan, mulai menjalani hidup baru sebagai anak asrama di Sedes Sapientiae, Bedono. Tanggal ini sudah lama kami tunggu kedatangannya, bahkan beberapa hari terakhir kami juga melakukan perhitungan mundur (count down), suatu hal yang juga dilakukan oleh anak kami di status facebooknya. Akhirnya tanggal itu tiba juga. Tadi pagi kami ke Bedono. Semua berjalan lancar. Jarak Yogya-Bedono bisa ditempuh tidak lebih dari satu setengah jam. Setelah semua acara berlalu (pendaftaran ulang, ceking barang, serah terima, pamitan), akhirnya jam 15.00 sore kami bertiga (saya, isteri, dan Agung) harus meninggalkan asrama. Sedih juga rasanya.

Tiba-tiba pada saat itu saya teringat akan pengalaman saya sendiri kira-kira 36 tahun silam, ketika saya untuk pertama kalinya masuk asrama SMP Seminari Pius XII, Kisol setelah baru saja menamatkan Sekolah Dasar di Ketang. Saya masih ingat bahwa saat itu saya sedih sekali.

Sekarang anak putri kami sendiri, yang pergi meninggalkan kami dan mulai menempuh cara hidup baru sebagai anak asrama. Tadi ketika akan berpisah, ia kelihatan kuat, tegar, tabah dan mencoba tertawa. Saya tidak bisa menduga apa yang ada dalam hatinya saat itu. Mungkin ia sedih, mungkin ia menangis, mungkin ia juga kesepian. Ketika pulang, isteri saya menyatakan perasaannya: ia sedih, ia merasa sangat kehilangan. Aku coba menghibur dia: Kita tidak boleh menangis agar anak kita jangan menjadi sedih lewat telepati, hubungan batin antara anak dan orang tua. Ketika sampai di rumah, kami sempat nonton bersama film Korea kesukaan Yoan; sedih juga rasanya.

Isteri saya dan saya secara langsung dan nyata mengalami apa yang oleh para ahli ilmu jiwa disebut sindom sarang kosong, atau empty-net syndrom. Ini adalah istilah dunia psikologi yang diangkat dari dunia nyata, dunia induk burung. Konon induk burung ketika untuk pertama kalinya melihat sarangnya kosong karena anak-anaknya sudah terbang dan pergi menjauh, induk itu akan tampak seperti sejenak kebingungan, berkaok-kaok bisa sampai sehari penuh, menciap-ciap seperti meratapi kesepiannya. Ia meloncat ke sana ke mari di dahan di sekitar sarang kosong itu seakan-akan mencari dengan sia-sia sisa-sisa kenangan yang mungkin masih melengket di sana. Tetapi semuanya tidak berguna. Anak-anaknya yang selama ini ada dalam sarangnya, dan berada di bawah kepak sayap-sayapnya yang hangat sebagai induk, kini sudah terbang dan pergi. Mencari dirinya sendiri, menjadi dirinya sendiri, membangun dunia dan masa depan mereka sendiri.

Ya, hari ini, kami mengalami sindrom itu: anak kami yang selama sekian lama seperti ada dalam tangan dan pelukan kami, kini sudah pergi rada jauh dari kami, hidup dan tinggal dalam situasi berjarak. Dia yang kemarin-kemarin masih ada di sisi kami, kini sudah berada jauh dari kami. Ya, kami harus tegar dan kuat. Seperti induk burung itu, kami juga akan mulai terbiasa dengan keadaan itu, lalu kembali ke rutinitas kami; tetapi tetap ada cinta dan kasih sayang untuk Yoan. Agung juga mengatakan dan mengungkapkan rasa sepi dan kehilangannya.Ia sepi dan sedih. Ya, kami harus arungi semua ini demi pematangan dan pendewasan kami semua.

Benar kata para guru pendamping di sana, bahwa yang menjalani MOS itu tidak hanya siswa, melainkan juga orang tua. Orang tua harus juga berusaha membiasakan diri dengan perubahan besar ini dalam hidup mereka. Harus bisa menerima apa yang pernah dikatakan Kahlil Gibran bahwa Anakmu bukan milikmu,melainkan milik sang Hidup yang cinta pada dirinya sendiri. Ia memang datang melalui engkau, tetapi bukan dari kamu. Karena itu, berilah kepadanya pakaian untuk badannnya, bukan untuk pikirannya, sebab mereka adalah penghuni masa depan, yang tidak dapat kamu datangi, sekalipun hanya dalam impian.

Yah begitulah hidup manusia. Ada ambang batas yang tidak dapat dilewati, di mana setiap orang harus berhenti. Mengakhiri perjalanannya. Harus rela memberi kesempatan kepada angkatan yang baru di masa yang akan datang.

Yogya, 06 Juli 2011
Ditulis kembali dan diperbaiki tanggal 11 Juli 2011.

Saturday, August 14, 2010

PREFASI SP MARIA DIANGKAT KE SURGA

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Lay Theologian dan Peneliti CCRS dan GESER INSTITUTE
Center for Cultural and Religious Studies, FF-UNPAR Bandung



Tanggal 15 Agustus juga merupakan salah satu tanggal yang sangat istimewa dalam lingkaran tahun liturgis gereja Katolik, karena pada tanggal itu ada Hari Raya SP Maria Diangkat ke surga dengan jiwa dan badan. Pesta ini didasarkan pada sebuah ketetapan dogmatis gereja pada abad keduapuluh ini, sesudah perang dunia II terjadi dan mencabik-cabik Eropa khususnya dan dunia pada umumnya. Dogma itu sendiri dilandaskan pada satu keyakinan tradisional gereja yang sudah sangat tua usianya. Bahkan dalam konteks Gereja Yunani Ortodoks, keyakinan ini sudah lama menjadi keyakinan iman dogmatis yang sangat lama dihayati dengan penuh iman dan pengharapan. Kita tidak akan bisa menemukan dasar keyakinan ini secara biblis sebab keyakinan itu muncul dalam sejarah dan tradisi gereja yang juga kita yakini diilhami dan dituntun (dibimbing) oleh Roh Kudus sendiri.

Prefasi pada hari ini juga sangat indah dan mendalam. Seperti biasa ia dimulai dengan menyapa Bapa, Allah yang mahakuasa dan kekal. Jelas itu adalah sebuah ungkapan keyakinan iman yang seperti terkandung dalam Credo kita yang kita ucapkan setiap hari Minggu dan hari raya lainnya. Atas dasar keyakinan itu kita pun menyatakan atau mengungkapkan pengakuan kita akan kesadaran bahwa kita selalu dan di mana-mana memuji dan memuliakan Allah Bapa. Hal itu kita lakukan dengan pengantaraan Yesus Kristus Tuhan kita. Memang doa pujian dan permohonan kita kepada Bapa selalu bercorak Kristologis.

Selanjutnya diberikan dan diuraikan alasan bagi pujian itu. Tentu di samping pujian itu adalah kewajiban fundamental dan eksistensial, pada hari ini ada sebuah alasan khusus, yaitu karena SP Maria Bunda Allah diangkat ke surga dengan jiwa dan badan. Begitulah ketetapan dalam rumusan dogmanya. Peristiwa pengangkatan itu mempunyai dua tujuan penting. Pertama, pengangkatan itu dimaksudkan untuk menjadi awal atau permulaan dan pola dari Gereja dalam kesempurnaannya. Memang Maria adalah typos gereja (sebuah istilah klasik dari teologi Mariologi para Bapa Gereja) dalam hal iman dan kesempurnaan hidup yang sepenuhnya terarah kepada Allah semata-mata dengan mengikuti model iman Maria sendiri: Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu. Ecce serva Dei, fiat mihi secundum verbum tuum.

Kedua, pengangkatan itu juga menjadi satu tanda pengharapan dan penghiburan bagi umat Allah dalam perjalanan ziarah mereka menuju ke surga. Gereja, dalam dan melalui Prefasi ini, memperlihatkan dan menegaskan keyakinan imannya bahwa Allah tidak sudi kehancuran karena maut menyentuh tubuhnya (Maria), karena tubuh itu adalah tubuh yang sangat mulia, karena tubuh itu sudah mengandung dan melahirkan sang Penebus, PuteraMu, Tuhan dan Penguasa segala sesuatu yang hidup. Dan hal itu terjadi di dalam kemuliaan peristiwa inkarnasi, sabda menjelma menjadi daging, sabda menjelma menjadi manusia, verbum caro factum est, dan membangun kemahnya di antara kita. Tradisi gereja yang kudus meyakini bahwa Maria tidak mati. Itu sebabnya dalam Kitab Suci tidak ada kisah tentang peristiwa wafat Santa Perawan Maria. Juga dalam tradisi suci selanjutnya, tidak ada kisah seperti itu. Jadi, keyakinan devosional marial itu sudah sangat tua usianya; boleh jadi sudah setua teks-teks Kitab Suci Perjanjian Baru itu sendiri. Jejak keyakinan itu antara lain dapat kita lihat jejaknya secara samar-samar dalam injil-injil, terutama dalam injil Lukas.

Keyakinan itu akhirnya mampu mendatangkan sukacita hidup yang besar bagi kita yang menghayatinya sekarang dan di sini; kita pun dalam sukacita kita, memadahkan kidung pujian kita untuk memuji dan memuliakan Allah, bersama dengan paduan suara para malaekat di surga. Dan kita pun bernyanyi dengan mengikuti seruan para malaekat di surga dalam liturgi abadi: Kudus, kudus, kuduslah Tuhan, Allah segala kuasa, Surga dan bumi penuh kemuliaanMu, terpujilah Engkau di surga, terberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Terpujilah Engkau di surga. Sesudah itu kita hanyut dalam sujud peristiwa konsekrasi.



Bandung, 06 Agustus 2010 (pagi hari).
Diketik sambil dikembangkan dan diperluas, 06 Agustus 2010 (malam hari)
Fransiskus Borgias M.
Peneliti GESER INSTITUTE FF-UNPAR BANDUNG.

Sunday, August 1, 2010

PUISI-PUISI JULI 2010

AWAN-AWAN
(Fransiskus Borgias M)


awan-awan itu berarak
tapi kulihat terpantul di lubuk kali
kawan-kawan itu tampak bersorak
tapi kujlihat seperti ada yang mati
mungkin dari hati yang masih pagi
lalu enggan pergi karena ada pelangi
menyiratkan tabu bidadari
berjemur setelah mandi.

Lembang, 22 Juli 2010

BAYANG-BAYANG
(Fransiskus Borgias M)


bayang-bayang itu antara
ada dan tiada
tapi ia membawa berita kepada kita
entah apa, mungkin tentang kefanaan
tentang panta rei kai uden menei
lalu kita yang di sini pun menggigil
dalam sunyi, dalam sepi. Sendiri.

Lembang, 22 Juli 2010

KENANGAN
(Fransiskus Borgias M)


kenangan akan dikau
seperti menempel pada dinding-dinding ingatan
selalu hadir sekarang dan di sini
seperti sedang menyapa dan memanggil
benarkah itu dirimu?
atau hanya diri semu yang tercipta
pada dinding-dinding kalbu yang galau rindu
hanya Tuhan yang tahu kejujuran kita,
bahasa kalbu kita, kau dan aku
biarlah. Bukankah Tuhan itu kolam kasih abadi
Deus est caritas.
ubi caritas et amor, ibi Deus est.

aku pun merasakan damai tetirah
bagi hati yang terengah-engah damba

Lembang, 22 Juli 2010
SIS BM. CCRS UNPAR BANDUNG.

Sunday, July 18, 2010

TETESAN AIR DALAM SUNYI

OLEH: FRANSISKUS BORGIAS M.
LAY THEOLOGIAN DAN PENELITI GESER INSTITUTE DAN CCRS FF-UNPAR BANDUNG.
CENTER FOR CULTURAL AND RELIGIOUS STUDIES




Tetesan air dalam sunyi
jatuh hanya sesekali.
Peristiwanya menegaskan paradoks sunyi
yang hanya bisa terasa karena peristiwa jatuh ini.
Seakan kekentalan sunyi terpecah
teurai dan terburai tetapi untuk kemudian
kembali menjadi sunyi.
Bunyi itu menjadi sangat indah mempesona
justru karena ia hadir sebagai peristiwa kontras.
Ia juga tiada boleh berlebih
sebab kalau berlebih sunyi pun
menjadi tidak lagi sunyi
melainkan menjadi ramai oleh bunyi-bunyi
yang entah mengapa seakan-akan menyimpan
sebuah kenangan abadi entah di mana, entah kapan.
Ia hanya terasa sebagai BAHWA,
sedangkan BAGAIMANA-nya tetap terselubung
dalam sebuah sebuah selimut misteri.
Menyadari BAHWA ia ada sudah merupakan satu
peristiwa makna itu sendiri.


SIS BM, GESER INSTITUTE FF-UNPAR BANDUNG
Pratista, Cisarua Lembang, 19 Juni 2010
Colloquium Liturgicum IKLSI dan FF-UNPAR BANDUNG.

Friday, July 9, 2010

PANGANDARAAN

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Lay Theologian dan Peneliti GESER INSTITUTE dan CCRS FF-UNPAR BANDUNG
Center for Cultural and Religious Studies



Sejak kemarin (05 Juli), kami dari Fakultas Filsafat UNPAR Bandung, mengadakan rekreasi bersama sebagai Fakultas ke pantai Pangandaraan. Kemarin sore kami sudah menikmati laut dan deburan ombak di tepi pantai. Amat indah, dan amat menyenangkan. Pagi hari ini sekali lagi beberapa orang dari antara kami kembali menikmati laut dan deburan ombak itu. Saya coba menikmati ombak itu dengan tidur tertelentang di atas papan pelampung sewaan. Ternyata sangat nikmat dan menyenangkan. Saya coba mengatur nafas saya sambil mengucapkan berdoa sepuluh kali salam Maria. Ternyata semakin menyenangkan, maka saya teruskan lagi sampai beberapa puluh kali. Latihan olah pernafasan di permukaan laut, di tepi pantai yang indah dan cerah dan ramai.

Setelah satu setengah jam, saya istirahat di pasir pantai. Sambil beristirahat saya coba mengorek-ngorek pasir di pantai itu dengan ujung jemari kaki kananku. Tiba-tiba aku mempelajari dua pelajaran penting dan berharga dari alam dan laut serta pantai.

Pelajaran penting pertama dan paling penting ialah kesetiaan debur ombak di tepi pantai; debur ombak itu sangat rutin, tetapi yang menarik perhatian saya ialah bahwa rutinitas yang teramat abadi itu justru di satu pihak melakukan rutinitas itu sendiri dan di lain pihak sekaligus menembus dan mengatasi rutinitas itu. Dan sekali lagi, hal itu telah berlangsung secara abadi. Dengan itu mereka menjadi rutinitas yang sekaligus mematahkan tirani runititas itu sendiri. Terdengar sangat paradoksal. Tetapi memang demikianlah adanya dan faktanya. Ada banyak paradox dalam kehidupan ini. Memang. Dan paradox ombak yang serba rutin sekaligus menembus belenggu runitas itu adalah salah satunya yang tiba-tiba saya sadari sekali lagi sekarang dan di sini.

Pelajaran kedua, yang juga tidak kalah penting maknya, saya dapatkan ketika ujung-ujung jari kakiku mengorek-ngorek butir-butir pasir di pantai itu. Saya begitu menikmatinya. Entahlah mengapa dan bagaimana. Semakin lama, kedua kakiku pun semakin dalam mengorek dan terbentuklah kolam kecil dan kedua kakiku berendam di dalamnya. Kakiku terendam di dalam kolam kecil yang bening itu. Karena air itu, maka semakin mudah pula kakiku mengorek pasir dan mengangkat pasir yang terkorek itu ke atas, ke tepian lobang yang terbentuk oleh kakiku. Aku memandangnya. Saya mengkontemplasinya.

Entah mengapa dan entah bagaimana, tiba-tiba saja muncul pikiran dalam hatiku bahwa mungkin saja ada makhluk h idup yang kasat mata di dalam pasir-pasir itu. Setelah beberapa saat lamanya, akhirnya saya pun menyadari bahwa itu bukan lagi sekadar sebuah kemungkinan, melainkan sebuah kenyataan dan kepastian: ya, di sana pasti ada makhluk hidup. Lalu saya pun membayangkan bahwa korekan kakiku pasti menimbulkan badai tsunami bagi makhluk-makhluk itu. Tiba-tiba saya sadar bahwa apa yang merupakan kesenangan bagi saya, bisa saja merupakan sebuah bencana badai tsunami bagi pihak yang lain di sekitar saya.

Lalu kaki pun berhenti mengorek. Mungkin makhluk-makhluk itu sekarang sudah merasa sekadar rasa lega. Tidak ada lagi benda “raksasa” yang mengorek dan menggaruk rumah kediaman mereka yang mungkin nyaman di dalam pasir itu. Tetapi yang jelas tidak ada protes, tidak ada kutuk, tidak ada caci maki. Atau mungkin ada, tetapi setidaknya saya tidak melihat dan menyadarinya. Ya, mungkin ini sebuah pelajaran yang sangat penting dan berharga bagi saya, dan bagi umat manusia pada umumnya dalam menghadapi dan menyikapi bencana. Yaitu: mengarunginya dan menghayatinya sebagai bagian utuh dari drama kehidupan ini.

Mungkin saja semua peristiwa itu terjadi demi pematangan diriku. Mungkin juga semua itu terjadi demi pemurnian hati, pikiran, dan motivasi hidupku. Aku harus bisa dan mau menerima begitu saja. Sikap ini terasa seperti berbau fatalistic. Tetapi alam mengajarkan irama seperti itu kepada saya. Maka pikir saya, manusia juga harus hidup seperti alam itu. Yakni bisa dan mau menerima semuanya apa adanya. Tidak melulu terjebak dalam kesempitan dan keangkuhan visi antroposentrik yang serba egoistic dan cenderung terbukti bersifat destruktif.

Pangandaran, 06 Juli 2010
Diketik kembali seraya diperluas, 10 Juli 2010 di Bandung.

Tuesday, June 22, 2010

IKONOGRAFI DAN KITAB SUCI

OLEH: FRANSISKUS BORGIAS M.
LAY THEOLOGIAN dan PENELITI CCRS
CENTER FOR CULTURAL AND RELIGIOUS STUDIES
FAKULTAS FILSAFAT UNPAR BANDUNG



Dalam postingan terdahulu saya sudah menulis tentang Ikonostasis. Tetapi saya mau menambahkan sesuatu pada artikel tersebut. Yaitu bahwa harus segera disadari bahwa skema gambar-gambar ikonografik tidak pernah boleh lepas apalagi dilepaskan dengan sengaja dari konteks dan latar belakang Kitab Suci. Bagaimana pun juga proses pengerjaan dan pembuatan itu harus terkait dan tergantung pada Kitab Suci dan Tradisi awal gereja. Itulah yang dilakukan oleh para seniman Abad Pertengahan dan Renesans ketika mereka membuat gambar-gambar ikon. Justru pengkaitan dan ketergantungan itu bisa meningkatkan dan memperdalam pemahaman kita akan injil yang asli. Begitulah misalnya fresco-fresco kristologis dari Fra Angelico, yang memenuhi biara kaum Dominikan Observantes St.Markus di Florence, yaitu lukisan sang Penebus yang tergantung pada salib, yang tinggi, tegak berdiri di atas tanah yang tandus (dan gersang) dengan latar belakang bentangan langit tak bertepi (tanpa batas), telah memberi satu konteks universal oleh tokoh-tokoh yang ditempatkan dalam posisi bentuk setengah lingkaran yang membingkainya: ada sembilan nabi, seorang kafir yang bertobat (yaitu mungkin sosok Dionisius Aeropagita), dan seorang Sybil, yang tulisan-tulisannya, dituliskan pada potongan-potongan kertas papirus yang dipakai seperti kipas, yang mengacu pada korban berdarah yang akan datang yang akan memulihkan kebebasan dan kedamaian bagi seluruh ciptaan. (V.Alce, Homilies of Fra.Angelico, terjemahan Inggris, Bologna, n.d., p.33-34).

Atau sebuah contoh yang lain: dekorasi Michelangelo di Kapel Sistine, yakni kesembilan lukisan yang sangat bersejarah itu, yang didasarkan pada kisah-kisah yang diangkat dari kitab Kejadian, yang merentang satu rentang jarak yang maha besar antara kreatifitas ilahi (pada ujung altar) dan kemerosotan manusia (dalam peristiwa mabuk beratnya Nuh yang tampak mengerikan, di dekat pintu). Tetapi itu semua sebenarnya tidak lain dimaksudkan untuk dilihat dalam satu tatanan (tata urut) yang terbalik, yaitu sebagai satu progresi (gerak maju) dari perhambaan badan menuju kepada pembebasan dan pengangkatan atau peninggian jiwa - suatu penafsiran atas Kitab Suci dalam terang sorotan dari persoalan-persoalan filsafat Neoplatonik. (N.Wadeley, Michelangelo, London, 1965, p.17).

Jadi, dari dan berdasarkan kedua contoh di atas tadi, tampak jelas dan kentara bahwa hiasan gambar-gambar itu diangkat dan diilhami oleh Kitab Suci itu sendiri. Dan pemilihan tematiknya tidak lagi asal-asalan, melainkan dilatar belakangi oleh suatu sistem pemikiran teologi tertentu. Dalam artian itu, gambar suci tidak lagi hanya sekadar berfungsi estetik, dekoratif belaka, melainkan berfungsi secara lebih dalam dan menukik, yaitu berfungsi didaktik dan etik. Dalam fungsi yang terakhir ini, ikon atau gambar kudus di gereja selalu berguna sebagai biblia pauperum. Tetapi tidak hanya sebatas itu saja pada akhirnya, sebab gambar-gambar itu juga berfungsi sebagai pendidikan kaum beriman pada umumnya, tidak hanya terbatas pada orang miskin saja. Maka gambar itu juga adalah blibia fideliorum.


Pratista Cimahi, Bandung, 18 Juni 2010
Dalam kesempatan Colloquium Liturgicum ILSKI, 2010
Sis B, CCRS, Fakultas Filsafat UNPAR Bandung.
Diketik kembali sambil diperluas tgl, 23 Juni 2010

IKONOSTASIS

OLEH: FRANSISKUS BORGIAS M.
LAY THEOLOGIAN dan PENELITI CCRS
CENTER FOR CULTURAL AND RELIGIOUS STUDIES
FAKULTAS FILSAFAT UNPAR BANDUNG.


Ikonostasis adalah partisi yang diletakkan di pintu masuk Gereja, khususnya Gereja Timur Ortodoks (baik Yunani maupun Rusia, Ukraina). Sering sekali diterjemahkan menjadi layar kayu, wooden screen dalam bahasa Inggris. Tetapi partisi layar kayu (wooden screen) itu tidak kosong, melainkan dilukis dengan ikon-ikon atau gambar-gambar kudus. Jadi, sebuah ikonostasis penuh dengan ikon. Kalau di pintu masuk gereja-gereja Katolik ada air suci yang ditaruh dalam sebuah wadah kecil, maka di pintu masuk gereja-gereja Timur Ortodoks ada ikonostasis.

Oleh karena ditaruh di muka pintu, atau sesudah lewat ambang masuk pintu, maka ikonostasis itu serentak berfungsi membagi atau memisahkan ruang dalam dari ruang dalam, memisahkan yang di dalam dari yang di luar, yang fanum dari yang pro-fanum, dunia yang ilahi dari dunia yang manusiawi; tetapi posisi ikonostasis seperti itu juga serentak mempersatukan atau menyatukan hal itu semuanya. Ia menjadi semacam engsel penghubung antara kedua alam atau lingkungan tersebut. Itulah fungsi ganda sebuah ikonostasis. Dalam konteks seperti itu,lalu pintu pun menjadi sebuah realitas paradoksal: dibuka, terbuka, membuka, tetapi sekaligus juga pada saat yang sama ditutup, dibatasi, tertutup.

Seperti sudah dikatakan, ikonostasis itu diletakkan tegak di pintu masuk gereja; jadi, ia berdiri di garis batas antara yang ilahi dan yang manusia; posisi seperti itu menyingkapkan kepada kaum beriman yang masukke dalam gereja jalan menuju ke pendamaian mereka. Itu terjadi lewat ikon-ikon yang ada dan ditampilkan di sana. Ya, itulah sebabnya sebuah ikonostasis itu penuh dengan ikon-ikon. Kiranya itu juga sebabnya ia diberi nama ikonstasis. Tetapi ada cara tertentu untuk menata ikon-ikon yang ditampilkan di sana. Ikon-ikon itu tidak asal digambar berjejal-jejal saja, melainkan ada cara penataannya, bahkan ada teologi penataannya. Biasanya dalam versi atau bentuknya yang klasik (misalnya, sangat biasa pada gereja-gereja Rusia pada abad ke-16), ikonostasis itu mempunyai empat tingkatan, atau dibagi menjadi empat tingkat. Saya akan coba membahas keempat tingkat itu satu per satu di bawah ini.

Tingkat paling atas, tingkat pertama, yaitu bagian paling atas dari ikonostasis itu, menggambarkan dan menampilkan para Bapa Bangsa dan para nabi. Kedua, langsung di bawah tingkat pertama di atas tadi, ada gambar-gambar pesta suci keagamaan, yaitu saat-saat utama di dalam aksi atau tindakan Penyelenggaraan Ilahi dalam hidup dari sang Sabda yang Menjelma (dan dari ibunda-Nya, santa Perawan Maria); dan itulah yang menjadi pusat sejarah, dan bahkan menjadi faktor yang menguduskan sejarah. Dengan itu, sejarah yang serba sekular, mendapat nilai transenden dan nilainya yang suci.

Kemudian, pada tingkat yang ketiga di bawahnya, ada yang disebut dalam bahasa Yunani deesis (dalam bahasa Slavonik, tchin), yang menggambarkan atau menampilkan kepenuhan Perjanjian Baru: pelukisan kita sebagai umat yang sedang berdiri untuk berdoa di hadapan sang Penyelamat dan sang Bunda Allah juga berdoa dari posisi ssebelah kanan, dan Yohanes Pembaptis, sang bentara agung, berdoa dari sebelah kiri, dan seluruh rombongan para kudus dan para malaekat tampak berarak datang mendekat, seakan-akan sedang ikut menyeret orang yang memandangnya dengan gerakan ritmik mereka untuk juga ikut bergerak masuk ke dalam doa. Jadi, menonton ikon sudah dengan sendirinya menggerakkan kita untuk berdoa, menuntun perilaku kita.

Akhirnya, pada tingkatan yang paling bawah ada pelbagai macam ikon-ikon yang diangkat dari tema-tema setempat dan kepentingan-kepentingan (jemaat) setempat). Ia bersaksi tentang sejarah rahmat yang aktif berkarya dalam diri tokoh tertentu dan tempat-tempat tertentu. Pada titik pusat horizontal dari layar kayu itu (yang jelas berbeda dari titik pusat vertikalnya) ditempatkanlah pintu-pintu agung, yang melambangkan pintu gerbang masuk ke dalam kerajaan. Dan kerajaan itu sendiri dilambangkan dengan ruang sakral gereja.

Jadi, dengan memandang dan melewati ikonostasis, orang disugestikan sedang masuk ke dalam kerajaan Allah. Maka dengan sendirinya muncullah secara otomatis (tentu saja sikap itu yang diharapkan) sikap dan perilaku yang lain sama sekali, tentu saja yang cocok dan sejalan dengan perilaku dalam tempat suci yang sepantasnya dan selayaknya.


BANDUNG, 18 JUNI 2010
SIS B, CCRS-FAKULTAS FILSAFAT UNPAR BANDUNG
HASIL REFLEKSI COLLOQUIUM LITURGICUM DI PRATISTA
Diketik kembali dengan pembaharuan, 22 Juni 2010

Wednesday, May 12, 2010

PREFASI KENAIKAN 1 & II

OLEH: FRANSISKUS BORGIAS M.
DOSEN TEOLOGI DAN PENELITI CCRS
(Center for Cultural and Religious Studies)
FAKULTAS FILSAFAT UNPAR BANDUNG




Buku Tata Perayaan Ekaristi kita, menyediakan bagi kita dua Prefasi Kenaikan: Prefasi Kenaikan I dan Prefasi Kenaikan II (demikian penyebutan keduanya di sana). Ketika saya coba bandingkan dengan apa yang tersedia dalam Tata Perayaan Ekaristi versi bahasa Inggris, ternyata di sana pun ada dua juga. Dan isinya juga sama karena memang berasal dari teks sumber yang sama dalam bahasa Latin (teks resmi dalam Missale Romanum). Dalam tulisan singkat dan sederhana ini, saya akan mengulas secara singkat isi dari kedua Prefasi Kenaikan itu. Saya mulai dengan prefasi yang pertama.

Di sini dalam Prefasi Kenaikan yang pertama ini, dibentangkan beberapa gelar dan misteri Kristologis. Pertama-tama disebut di sini bahwa Ia adalah sang raja mulia. Jadi, dalam prefasi pertama ini kita merayakan dan sekaligus juga mewartakan martabat Kristus sebagai sang raja mulia. Kedua, dalam status dan martabat itu Ia juga adalah sang Pemenang atas dosa dan maut, karena Ia telah bangkit (di-bangkit-kan) dari alam maut. Hidup tidak lagi tunduk pada kematian. Itulah yang menjadi warta pokok di sini. Dengan kata lain, kematian tidak dapat menguasai dan menghancurkan kehidupan. Hidup bergerak ke atas, gerak transenden, yaitu gerak kembali kepada sang empunya dan asal-muasal kehidupan itu yakni Allah sendiri. Dan sekarang gerak transendensi Kristologis itu semakin tegas dan jelas, karena Ia telah naik ke surga. Naiknya Tuhan Yesus ke surga itu disambut dengan semarak mulia oleh para malaekat di surga. Itulah hal ketiga yang disinggung dalam Prefasi ini. Harus dikatakan dengan terus terang bahwa hal ini tidak kita temukan dalam injil-injil. Ini adalah sebuah imajinasi religius kita (gereja), yang coba membayangkan bagaimana Tuhan Yesus disambut oleh para malaekat di surga. Sebuah lagu Pesta Kenaikan tradisional yang saya hafal dari masa kecil, yang mencoba menyimpan hasil imajinasi saleh-religius itu, berbunyi sbb: “Yesus melayang mulia, naik ke rumah BapaNya. Malaekat datang bertemu, bernyanyi lagu yang merdu. Hosanna, Hosanna, berbunyi di surga, hai bukalah pintu iringi rajamu. Hormatilah Yesus, sembahlah padaNya, yang raja malaekat dilantik BapaNya.”

Sesudah itu, keempat, dibentangkan beberapa gelar Kristologis lagi seperti Pengantara tunggal antara Allah dan manusia. Gelar ini juga mempunyai dasarnya dalam Kitab Suci: Yesus menjadi pengantara Tunggal antara Allah dan manusia (bdk.1Tim.2:5; 1Yoh.2:1). Kelima, juga disebut satu lagi peran kosmis eskatologis Yesus Kristus: Ia adalah Hakim atas dunia, dan Tuhan segala kuasa. Hal ini mengingatkan kita akan kedatangan Sang Anak Manusia di atas awan-awan untuk mengadili dunia ini (Bdk.Mat.25:31-46). Selanjutnya prefasi itu diarahkan kepada Bapa.

Namun perjalanan pulang atau perjalanan naikNya Tuhan Yesus itu tidak serentak berarti kita bakal ditinggalkan sendirian di bumi ini sebagai yatim piatu. Sama sekali tidak demkian. Ia tidak meninggalkan kita manusia yang lemah di dunia ini. Kenaikan itu justru untuk memperkuat dan menghidupkan harapan kita. Apa harapan itu? Kita berharap agar Ia, sebagai kepala dan pokok pangkal Gereja, merintis jalan ke surga bagi kita. Ia naik ke surga untk menyediakan tempat kediaman bagi kita. Itu wajar saja, karena Ia sebagai kepala tidak mungkin meninggalkan kita anggota-anggotaNya merana di dunia ini. Oleh karena itu, Ia pasti akan mengutus Roh Kebenaran. Di sini saya tiba-tiba teringat akan madah Vigilia Pantekosta yang berbunyi sbb: O Raja Mulia, Tuhan yang mahakuasa, jangan biarkan kami, tertinggal bagaikan yatim piatu, tetapi sudilah kiranya, mengutus kepada kami, kebenaran yang dijanjikan Bapa, Alleluia. Ini sebuah terjemahan dari lagu dalam bahasa Latin dalam Liber Usualis: O Rex Gloria, Domine virtutum, qui triumphator hodie, super omnes caelos ascendisti, ne derelinquas nos orphanos: sed mitte promissum Patris in nos, Spiritum veritatis, Alleluya.

Prefasi Kenaikan yang II sangat singkat. Tetapi juga mengandung isi dan kebenaran iman yang padat dan indah. Menarik sekali bahwa prefasi ini, sesudah pengantar yang umum, dimulai dengan pelukisan tentang peristiwa kebangkitan dari alam maut. Lalu sesudah itu Ia menampakkan diri kepada para murid. Akhirnya Ia diangkat ke surga, dengan disaksikan oleh para murid. Jelas sekali bahwa untaian peristiwa seperti ini sangat dipengaruhi oleh Injil Lukas dan Kisah Para Rasul (bdk.Luk24; Kis.1:6-11; Mrk.16:9-20). Tetapi sama seperti dalam Prefasi yang pertama di atas tadi, tujuan Tuhan Yesus naik ke surga bukanlah untuk pemisahan total dari kita, dan meninggalkan kita di dunia ini merana dan berkeluh kesah dalam lembah tangisan ini, melainkan Ia pergi (naik) untuk “mencurahkan kepada kita daya kehidupanNya yang ilahi.” Itu jelas memantulkan apa yang pernah dikatakan Tuhan Yesus sendiri dalam Injil Yohanes ketika Ia menjanjikan Roh Kudus, Roh Penghibur itu (bdk.Yoh.14). Di sana antara lain dikatakan bahwa Roh itu akan membawa hidup dan kebenaran bagi mereka. Itulah yang disinggung di sini dalam Prefasi yang kedua ini. Dan itulah misteri peristiwa pencurahan Roh Kudus, yang sekarang kita nantikan dengan penuh harapan pada Hari Raya Pentakosta nanti yang sebentar lagi akan kita masuki dan kita rayakan. Ya, kita yakin dan percaya bahwa Tuhan Yesus pergi untuk mengutus Roh Kudus kepada kita.


Bandung, 07 Mei 2009
Diketik sambil dikembangkan lagi, 09 Mei 2009

Thursday, May 6, 2010

ORIGINAL BLESSING VS ORIGINAL SIN

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi FF-UNPAR Bandung
Peneliti CCRS (Center for Cultural and Religious Studies) pada FF-UNPAR



Pada tahun 1984 terbitlah sebuah buku di Amerika sana, dengan judul yang sangat indah dan menarik, sekaligus juga sangat menantang atau lebih tepat provokatif: Original Blessing. Saya katakan menarik, karena memang judul itu secara objektif sangat menarik. Menarik juga karena judul itu serta merta mengingatkan kita akan konsep atau gagasan Original Sin atau Dosa Asal yang mahaterkenal itu dalam sejarah Gereja dan sejarah Teologi, khususnya teologi Keselamatan (Soteriologi). Kalau dilihat dengan cara seperti ini langsung dan dalam konteks seperti itu, terasa dan kelihatan bahwa judul itu memang sangat provokatif. Buku itu ditulis oleh seorang teolog Dominikan yang bernama Matthew Fox. Ketika itu, ia masih seorang Imam. Saya tidak tahu lagi, apakah ia masih dalam status seperti itu setelah kemudian ia dilarang mengajar. Tetapi justru karena buku itulah ia kemudian diawasi dan dilarang untuk mengajar teologi. Bahkan beberapa buku hasil karyanya juga dilarang oleh Vatikan.

Tetapi pertanyaan kritis yang muncul ialah: mengapa ia dilarang? Itu tidak lain karena dalam buku itu ia mengajukan sebuah tesis teologis berikut ini, dan tesis itu bersifat sangat mendasar: bahwa pada awalnya hidup segala makhluk di dunia (termasuk manusia di dalamnya) dimulai dengan fakta original blessing belaka. Bahkan hidup itu sendiri adalah sebuah karunia, sebuah berkat, sebuah rahmat, blessing. Hidup dilandasi oleh kasih karunia dan rahmat dari Allah, Tuhan sang pencipta dan pengasal kehidupan itu. Kalau selama ini gereja Katolik selalu berbicara tentang original sin, bahkan terasa seperti menjadi obsesif juga dengan hal itu, maka Fox mencoba mengingatkan dan membangunkan kita dari sebuah tidur dan mimpi teologis yang teramat panjang: yaitu bahwa sebelum ada Original Sin sudah ada terlebih dahulu Original Blessing. Boleh dikatakan bahwa Original Blessing itu menjadi struktur dasar seluruh ciptaan, seluruh eksistensi manusia juga. Dalam bukunya itu, Fox dengan gigih membela dan mempertahankan kebenaran tesis teologisnya ini.

Untuk membuktikan visi dan keyakinannya itu, Fox mengajak kita membuka Kitab Suci. Tidak dapat disangkal oleh siapapun juga bahwa wacana tentang Original Sin itu baru muncul dalam Bab 3 Kitab Kejadian. Sedangkan wacana tentang Original Blessing itu sudah muncul dan ada sejak awal (Bab 1 Kitab Kejadian). Dalam Kejadian 1 itu dikisahkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan baik adanya dan juga dengan amat baik (superlatif). Itulah rahmat asali itu: yaitu fakta dan kondisi keterciptaan segala makhluk ciptaan dalam keadaan baik dan amat baik. Dan itu pun berdasarkan evaluasi dari Allah sendiri: Allah melihat bahwa semuanya baik adanya, dan tentang manusia dikatakan bahwa Allah melihat bahwa semuanya sungguh amat baik. Tetapi rahmat asali (original blessing) itu sudah rusak akibat dosa manusia, manusia yang jatuh ke dalam dosa. Itulah inti pokok kisah dalam Kejadian 3. Peristiwa itulah yang sering disebut Dosa Asal, peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa, The Fall. Tetapi fakta perusakan dan kejatuhan itu sama sekali tidak pernah membatalkan untaian dan struktur ontologis eksistensi ciptaan, yaitu bahwa ciptaan mempunyai struktur dasar Original Blessing. Justru karena pendapatnya inilah ia dihukum dan dilarang.

Mengapa sampai terjadi demikian? Tentu saja hanya Vatikan yang tahu jawabnya secara pasti. Tetapi saya mencoba membuat hipotesis jawaban berikut ini. Mungkin karena dibelakang teologi Original Sin ini ada nama besar sekaliber Agustinus. Agustinus ini, kita tahu, adalah orang yang mengembangkan teologi Original Sin sampai mencakup teologi penebusan dan inkarnasi. Tetapi harus segera disadari pula bahwa inkarnasi tetap akan terjadi walau tidak ada dosa. Sebab inkarnasi tidak lain adalah merupakan efek dari pancaran cinta kasih Allah, daripada sebagai akibat dosa belaka. Maka setiap ajaran yang tampaknya seperti mau menggerogoti dan membayang-bayangi teologi Original Sin ini, akan sedapat mungkin disingkirkan. Tidak hanya teologinya yang disingkirkan, melainkan juga teolog atau orangnya. Ajaran Agustinus ini mengenai Dosa Asal, sudah masuk dan mengendap juga dalam ajaran Konsili Trente sehubungan dengan pembenaran atau justifikasi itu (sebuah tema yang menjadi pokok kontroversi besar antara Protestantisme dan Katolik). Jadi, yang dihadapi teologi Original Blessing tidak lagi hanya sekadar seorang teolog besar, melainkan juga sebuah ajaran resmi Konsili mengenai penyelamatan dan pembenaran itu sendiri.

Bandung, 30 Januari 2010
Ditulis sambil dikembangkan lagi pada 07 Mei 2010

Sunday, December 27, 2009

RINGKASAN: PESAN PAUS UNTUK HARI PERDAMAIAN DUNIA

RINGKASAN: OLEH FRANSISKUS BORGIAS M.
PENELITI CCRS (Center for Cultural and Religious Studies) FF-UNPAR BANDUNG.

"Jika Anda Mau Mengusahakan Perdamaian, Lindungilah Ciptaan"

1. Jika Mau Mengusahakan Perdamaian, Lindungilah Ciptaan. Hormat dan pelestarian ciptaan amat penting bagi hidup bersama. Kebiadaban manusia terhadap sesamanya memunculkan pelbagai ancaman terhadap perdamaian dan perkembangan manusia yang otentik dan utuh. Tetapi yang tidak kurang merisaukan ialah ancaman yang muncul dari pengabaian akan bumi dan alam ciptaan lain yang diberikan Allah.

2. Lingkungan adalah karunia Allah kepada semua orang, dan cara kita memakainya harus mempertimbangkan tanggung-jawab bersama akan semua manusia, khususnya kaum miskin dan generasi yang akan datang. Dengan melihat ciptaan sebagai karunia Allah kita terbantu memahami panggilan dan martabat kita sebagai manusia.

4. Gereja mau menarik perhatian terhadap relasi antara Pencipta, manusia dan ciptaan. Tahun 1990 Yohanes Paulus II berbicara tentang “krisis ekologis” yang memerlukan “solidaritas baru.” Seruan itu terasa mendesak dewasa ini karena krisis yang semakin meningkat. Kita tidak dapat berdiam diri lagi.

5. Krisis ekologis tidak dapat dipandang terlepas dari soal-soal lain. Hal ini terkait dengan gagasan perkembangan itu sendiri dan pemahaman kita akan manusia dalam relasinya dengan sesama dan ciptaan. Kita harus tinjau ulang model pembangunan kita. Kesehatan ekologis planet menuntut hal ini. Hal ini dituntut oleh krisis kultural dan moral manusia yang gejalanya tampak di seluruh dunia. Krisis ini juga adalah krisis moral.

6. Dunia ini berasal dari Allah. Keselarasan antara Pencipta, manusia dan ciptaan, rusak oleh dosa Adam dan Hawa. Akibatnya, pekerjaan “melaksanakan kuasa” atas bumi, “dengan mengolah dan merawatnya” juga rusak.

7. Alam adalah milik umat manusia secara keseluruhan. Eksplotasi lingkungan saat ini mengancam suplai sumber daya alam tidak hanya bagi generasi sekarang, melainkan terutama bagi generasi yang akan datang.

Kemerosotan alam terkait dengan rendahnya kebijakan resmi jangka-panjang, dengan upaya peraihan kepentingan ekonomik jangka pendek, yang mengancam ciptaan. Untuk memerangi gejala ini, aktifitas ekonomik harus mempertimbangkan fakta bahwa setiap keputusan ekonomik punya konsekwensi moral. Untuk melindungi sumber daya alam, kita perlu mempertimbangkan solidaritas terhadap orang yang hidup di wilayah yang lebih miskin di bumi ini dan terhadap generasi yang akan datang.

8. Solidaritas antar-generasi amat perlu. Generasi yang akan datang tidak boleh dibebani dengan akibat cara hidup kita.

Perlu citarasa baru solidaritas antar-generasi, khususnya dalam relasi Negara berkembang dan maju. Perlu diakui bahwa penyebab krisis ekologis sekarang adalah gaya hidup Negara industri. Tetapi Negara berkembang, khususnya Negara baru, tidak bebas dari tanggung-jawab sehubungan dengan ciptaan; itu adalah kewajiban semua.

9. Masalah yang harus dihadapi komunitas internasional adalah sumber daya energi dan pengembangan strategi berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan energi generasi kini dan yang akan datang. Berarti masyarakat maju harus siap hidup sederhana, dan berusaha mengurangi pemakaian energi dan memperbaiki efisiensi.

Perlu didorong penelitian dan pemanfaatan energi ramah lingkungan. Krisis ekologis memberi peluang historis untuk mengembangkan rencana aksi bersama untuk mengarahkan model pembangunan global ke arah rasa hormat akan ciptaan dan perkembangan manusia seutuhnya. Perlu model pembangunan yang dilandaskan pada posisi sentral pribadi manusia, pada promosi kesejahteraan, pada tanggung-jawab, pada kesadaran akan perlunya mengubah gaya hidup, dan pada kearifan, menyangkut apa yang perlu dilakukan saat ini sehubungan dengan apa yang mungkin terjadi esok.

10. Penanganan menyeluruh dan berkelanjutan atas lingkungan dan sumber daya planet ini menuntut bahwa kecerdasan manusia harus diarahkan pada penelitian teknologis dan ilmiah dan penerapan praktisnya.

Perlu ada dorongan meneliti cara efektif mengeksploitasi potensi energi surya. Perlu juga diberi perhatian terhadap masalah air dan sistem siklus air global, yang sangat penting bagi hidup di bumi ini dan yang stabilitasnya terancam perubahan iklim.

Strategi pembangunan pedesaan yang terpusat pada petani kecil dan keluarganya harus dikembangkan, juga kebijakan yang tepat bagi penanganan hutan, sampah dan keterkaitan antara upaya memerangi perubahan iklim dan mengatasi kemiskinan.

Masalah ekologis harus ditangani karena ngerinya kemerosotan lingkungan. Juga karena perlu ada solidaritas seluas-dunia yang diilhami cinta kasih, keadilan, dan kesejahteraan bersama. Untuk itu perlu teknologi sebagai tanggapan terhadap perintah Allah untuk mengolah dan menjaga tanah ini yang Ia percayakan kepada manusia.

11. Kemerosotan lingkungan menantang kita untuk memeriksa kembali gaya hidup kita. Pendidikan perdamaian harus segera dimulai dengan putusan yang berdaya jangkau luas pada individu, keluarga, komunitas dan Negara. Kita bertanggung-jawab atas pemeliharaan lingkungan. Tanggung jawab ini tidak mengenal batas.

Kepedulian akan lingkungan menuntut pandangan dunia global. Kita tidak bisa acuh tak acuh terhadap apa yang terjadi di sekitar kita, karena kemerosotan dari salah satu bagian planet ini mempengaruhi kita semua.

12. Kemerosotan alam terkait dengan model kultural yang membentuk hidup bersama manusia. Tugas kita terhadap lingkungan mengalir dari tugas kita terhadap pribadi, yang dipertimbangkan baik secara individual maupun komunal.

Perlu didorong upaya memajukan cita rasa yang lebih besar akan tanggung-jawab ekologis yang bisa menjamin “ekologi manusia” otentik dan mengafirmasi keluhuran martabat manusia yang tidak dapat diganggu-gugat, martabat pribadi dan perutusan unik keluarga, di mana orang dilatih dalam cinta akan sesama dan hormat akan alam.

13. Ada fakta bahwa banyak orang mengalami kedamaian dan ketenangan, pembaruan dan penguatan, ketika berhubungan dengan keindahan dan harmoni alam. Gereja kuatir terhadap gagasan lingkungan yang diilhami egosentrisme dan biosentrisme karena ide-ide seperti itu menyingkirkan perbedaan antara identitas dan nilai pribadi manusia dan makhluk lain. Mereka mengarah ke panteisme baru yang dibumbui neo-paganisme, yang melihat sumber keselamatan manusia dalam alam belaka. Pemutlakan teknologi dan kekuatan manusia, akan menjadi serangan maut tidak hanya terhadap alam, melainkan juga pada martabat manusia itu sendiri.

14. Kalau mau mengupayakan perdamaian, lindungilah ciptaan. Upaya mencari perdamaian akan lebih mudah kalau semua mengakui ada relasi erat antara Allah, manusia dan ciptaan. Melindungi lingkungan dan membangun bumi yang damai merupakan tugas semua orang. Semoga hal ini jelas bagi pemimpin dunia dan bagi orang yang peduli pada masa depan manusia: perlindungan ciptaan dan pembangunan perdamaian erat terkait satu sama lain! Semua diundang untuk melambungkan doa kepada Allah, Bapa segala kerahiman, sehingga semua manusia mau menjadikan seruan ini sebagai moto mereka: Jika mau mengupayakan perdamaian, lindungilah ciptaan.

Vatikan, 8 Desember 2009

Monday, November 30, 2009

HANDUK VERONIKA

Oleh: Fransiskus Borgias M.(EFBE@fransisbm)


Dalam Tempo, 17 Januari 2005, Goenawan Muhamad, menulis sebuah catatan pinggir yang sangat menarik, yang berjudul “Balsam.” Dikisahkan di sana bahwa ada seorang perempuan anggota partai terlarang, yang tertangkap dan sedang disiksa para tentara. Ia disiksa di tengah malam, dan dibiarkan badannya setengah telanjang dalam angin dan kedinginan malam. Tentu saja sangat dingin. Sementara ia diikat di tiang sula. Tidak berdaya melindungi badannya sendiri sekadar memberi kehangatan. Di tengah kegelapan malam menjelang dinihari, ada seorang bapa tua, pegawai negeri sipil. Ia datang pada malam hari menjelang dinihari karena tergerak oleh iba dan belas kasih (welas asih) kepada perempuan yang disula itu. Ia membawa balsam. Lalu ia mengoles tubuh perempuan itu sambil minta maaf. Itulah cuplikan singkat dari buku karangan Carmel Budiardjo, yang berjudul Bertahan Hidup di Gulag Indonesia.

Ketika membaca catatan pinggir Mas Gun ini, spontan saya teringat akan dua tokoh yang mirip seperti bapa tua itu di masa silam, di tempat lain, di gulag yang lain. Tokoh pertama, Veronika. Tokoh kedua, Maximillianus Maria Kolbe. Dahulu kala, di suatu tempat, ada seorang hukuman. Ia disiksa, lalu diarak dengan kayu palang siksaannya ke luar kota untuk disalibkan di sebuah puncak bukit. Di tengah jalan ada perempuan yang menaruh iba. Ia datang membawa handuk, sekadar untuk melap keringat orang itu. Perempuan itu berani menerobos barisan serdadu yang mengawal perjalanan si terhukum itu ke bukit penyaliban. Ia memperlihatkan rasa iba dan belas kasih dan solidaritas. Sederhana sekali, tetapi penuh tantangan. Butuh keberanian untuk melakukannya. Tetapi bagi si terhukum hal itu sudah lebih dari cukup. Ia merasa tidak sendirian dalam deritanya. Ada solidaritas. Solidaritas itu membawa kekuatan dan kehangatan. Sebagai balas jasa, gambar wajahnya muncul di handuk itu. Lalu diidentifikasi sebagai verus eikon, gambar yang benar. Lalu sebutan itu menjadi nama pribadi, Veronika. Itu yang pertama.

Ada seorang pria. Ditawan Nazi hanya karena ia Yahudi. Nazi kejam. Mereka gila. Dalam kegilaannya mereka menggilir tawanan untuk dihukum mati. Lalu tibalah giliran pria separuh baya. Ia punya isteri, punya anak. Jadi, ia masih punya tanggungan hidup. Maka Kolbe tampil untuk mengganti tempat dia. Kolbe mati, pria itu selamat, melampaui Perang Dunia II.

Kekuatan apa yang ada dalam diri mereka? Kiranya itulah kekuatan cinta yang terwujud dalam solidaritas. Ilham dasarnya ialah injil: tiada kasih yang lebih besar dari pada kasih seseorang yang rela menyabung nyawanya demi sesamanya. Itu sudah terjadi pada Yesus, pada Veronika, pada Maria Kolbe, pada Bapa tua yang mengoles Balsam pada tubuh Sri Ambar di penjara pagi buta. Kasih dan solidaritas dalam derita itu pasti mendatangkan penyembuhan, kekuatan, dan penghiburan.

Atas dasar garis refleksi inilah, Yohanes Paulus II, jauh di kemudian hari menulis sebuah surat apostolik berjudul Salvafici Doloris, tentang duka dan kepedihan yang mendatangkan efek penyembuhan dan penyelamatan. Hati manusia selalu mampu melakukan hal seperti itu. Dalam teologi Perjanjian Lama, ini disebut dimensi vicaris dari penderitaan. Ada orang yang rela menderita demi orang lain dan hal itu mendatangkan shalom. Itulah yang terjadi pada Hamba Yahweh, Ebed Adonai, dalam Yesaya itu.

Monday, January 12, 2009

CREATIVITY ON BUMPER STICKER

BY: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Bumper sticker is a sticker you stuck on your car or even motorcar. In terms of contents there are a lot of stickers. We can even make a certain category of those stickers based on the contents of those stickers.

There are joking-stickers: for example, “Don’t follow me, I am lost too.”

There are also stickers that show up your social-strata or social background: for example, “We are the big family of Green Berets.” Or another example: “We are the big family of army force.”

There are also religious-stickers: for example: “Islam is my way of Life.” Or “Islam saves you.” And there are also Christian stickers: “Jesus inside” (to imitate the Intel Inside’s style). Or, “Listen, Jesus is calling.”

There are also economic-stickers, which try to show up your economic status, or even explicitly to show up your wealth or precious properties. For example: “My other car is Volvo or Jaguar.” Or just say, “I have still three cars in my garage.” Whether is it true or not, we cannot cross-checked it at all. But that is not the case of this report.

And further there are also stickers that try to give the reader a certain advices or warning. For example: “Do not kiss my ass (meaning, Do not strike my car from behind). It is a warning, but also a joke because he personified the rear area of his car with his own ass or bottom.

There are also ecological stickers: Stop global warming. Or Try to live a life of triple R: Reduce, Reuse, and Recycle.

There are still a lot of categories of stickers with thousands of messages.

But recently I saw a certain degrees of creativity as well. I call it the creativity of dropping the letters from a previously available propaganda or advertisement.

For example: There is a certain social-body in Jakarta to promote and endorse young people (especially) not to take drugs in their life.

Their sticker usually says: Say No to drugs. Or Avoid drugs or you will die. They also usually try to endorse the reader to search in the internet more information on their activity. They said, if you want to know much more information on us and our movement, and our services, please kindly visit us on www.kapanlagi.com.

It is this phrase that I want to comment on. I saw at least two kinds of plesetan based on this phrase. Firstly, they drop letter C of Com, so that we read instead, kapanlagi om? It is a multi-interpretable phrase of course. Secondly, they drop letter K, and leter N of Kapan, and so that we read instead, apa lagi om? It is also multi interpretable phrase.

I can only say for the moment, what creativity! It is creativity, displayed on our public space, which do not a space of neutrality anymore. It is already full of messages. Hopefully those messages should be influenced by the message of for the benefit of human being in general.

Bandung, 12 January, 2009

Computerized and rewritten (also edited) on 12 January 2009.


Sunday, January 11, 2009

MY LIFE IS STAR, STIR, STOR.....

By: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

A few years ago I used to use angkot as a means of transportation to go to my office. Usually I took angkot (public city transportation) from Kebon Kalapa to Cicaheum and I drop off near my office in Taman Lalu Lintas, Ade Irma Suryani Nasution.

Once I was very surprised upon reading on that angkot’s bumper sticker. Actually it is not a bumper sticker, but a short sentence (phrase) written on the fore-glass of the car: “My life is star, stir, stor.” I, therefore, asked the driver: “Why you wrote this phrase on your car’s fore-glass?” And his answer is very interesting:

“Sir, this is the reality of my life. Actually this is the philosophy of my life. Early in the morning I have to “star” (start) the car. Then I drive the car along my route from Kalapa to Cicaheum. That is the meaning of stir. It is a dull routine, of course. And finally in the evening I have to give all the money I got during the whole day to my boss. And this is the meaning of “stor.” Yeah, that is life Sir. You work very hard along day, but you do not get a worthy income from your own working, because the money went to the boss’ wallet. Anyway at least I have job, I have something to do, to kill the time, as the saying goes.

Upon hearing his explanation I remember the philosophy of work once delivered by Karl Marx in his masterpiece Das Kapital. One the keywords in his philosophy are the idea of alienation. The labor or worker in a certain sense experiences the so-called alienation. They are alienated from the product they produce in their work, because the product was taken away by the boss and in exchange they received a sum of money as salary.

Then I think that even by not reading or studying the philosophy of Karl Marx, that angkot’s driver has existentially experienced the bitterness of alienation. In that sense the philosophy of Marx, I think, is not speculative at all, but actually based on the reality of the experience of ordinary people in their daily life. What a nice insight!

Bandung, 10 January 2009

Computerized and rewritten (and edited) on 12 January 2009.

Sunday, November 9, 2008

CATATAN PINGGIR GOENAWAN MOHAMAD

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Minggu yang lalu saya membeli beberapa buah buku bacaan. Salah satu buku yang saya beli adalah buku dari Goenawan Mohamad. Saya langsung melahap buku itu sampai habis. Kemarin aku baru selesai membaca buku itu. Judulnya sangat unik dan menarik: Tuhan dan hal-hal yang tak selesai. Buku ini berisi 99 refleksi singkat dari bapak GM (serentak mengingatkan kita akan 99 nama-nama Allah dalam teologi Islam). Refleksi itu padat, cerdas, jujur, berani, polos apa adanya, dan mungkin terasa spontan juga. Harus diakui sekali lagi, ini sebuah endapan refleksi yang sangat padat. Dan juga bernada puitis, walau tidak dimaksudkan sebagai sebuah kumpulan puisi juga.

Setelah membaca buku ini muncul kembali sebuah niat lama dalam diri saya untuk membeli semua buku kumpulan Catatan Pinggir beliau. Selama ini saya sudah menikmati semua catatan beliau itu dalam mingguan Tempo. Bahkan sejak di seminari kecil dulu, itulah salah satu rubrik dalam Tempo yang paling banyak saya baca, paling banyak menyita waktu saya untuk saya pikirkan dan renungkan dengan serius dan mendalam. Kadang-kadang saya tidak berhasil sepenuhnya dengan dan dalam upaya memahami rangkaian permenungan itu. Kadang-kadang saya malah menjadi bingung karenanya.

Sekarang aku mau memiliki semua kumpulan itu yang sudah mencapai tujuh kumpulan. Mengapa saya mempunyai keinginan seperti itu? Itulah yang ingin saya sharingkan dalam tulisan singkat dan sederhana ini. Terus terang saja saya mempunyai beberapa tujuan dengan pembelian dan pemilikan buku-buku ini.

Pertama, saya tahu dengan pasti bahwa GM banyak sekali membaca buku dalam pelbagai bahasa karena ia tahu beberapa bahasa besar di dunia ini (Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, dll). Saya sangat yakin bahwa pasti buku-buku yang dibacanya itu dengan satu dan lain cara terendapkan dalam tulisan-tulisanya. Maka membaca GM bagi saya adalah sudah kurang lebih sama dengan ikut menikmati apa yang telah dibaca GM dengan sangat tekun dalam pelbagai buku dan dalam pelbagai bahasa. Aritnya dapat kita ikut bersama membaca bersama orang yang mampu membaca cepat dan dengan tingkat analitis dan daya kritis yang sangat tinggi.

Kedua, saya juga tahu dengan pasti bahwa GM banyak melakukan perjalanan ke pelbagai belahan dunia dan tidak lupa juga mencatat kesan, pesan, dan pengalamannya dalam bentuk tertulis. Dalam hal ini ia adalah seorang pengamat yang sangat baik, cermat dan intens, seorang kontemplatif dalam artian yang sebenarnya dari kata itu. Dengan membaca catatan-catatan pinggir beliau, dengan satu dan lain cara saya mau ikut “melihat” apa yang ia lihat. Saya juga mau tahu pelbagai pendapatnya tentang apa saja yang ia lihat di dunia ini.

Ketiga, saya juga tahu dengan sangat pasti bahwa GM adalah seorang seniman kata-kata, dan dalam hal ini ia adalah seorang yang sangat genius. Ia adalah genius kata-kata, tidak hanya seniman kata-kata. Maka tidaklah mengherankan bahwa di tangan dia kata-kata menjadi sangat bermakna dan berdaya kuasa menggerakkan dan mengilhami, menyingkap, dan mengubah, mentransformir. Gaya bahasanya indah, padat, lugas, dan bagi saya sangat mendalam. Ada dimensi keluasan dan kedalaman tertentu yang tersingkap tatkala saya mencoba membaca beliau. Yang lebih ajaib lagi, tulisan-tulisan dia itu selalu mampu membuka cakrawala pemikiran baru dan yang lebih luas dalam diri saya. Itulah yang menjadi pengalaman saya selama ini yang membuat saya selalu merasa tertarik dengan mas GM ini.

Keempat, seorang orang Katolik saya mau menghargai GM, sebab ia mampu memberi visi dan evaluasi alternatif terhadap banyak segi dari warisan agung teologi Kristiani. Menurut saya, ini adalah sebuah variasi yang snagat baik. Mungkin apa yang ia katakan tidak selalu tepat, tetapi bagi saya hal itu tidak apa-apa; sebab dengan membaca GM saya mempunyai kesempatan untuk mencoba menghargai cara pandang yang lain. Mencoba menerima dan menghargai pemikiran dan penilaian yang lain.

Ada banyak contoh mengenai hal ini. Tetapi saya hanya mau mengangkat contoh berikut ini saja. Dalam buku yang baru saya baca hal berikut ini: ia memberi kesannya juga ketika ia pergi ke Brasil dan melihat patung Kristus Penebus yang berukuran raksasa di sana. Dalam penilaiannya, ia seakan-akan memberi sebuah kesan sebagai berikut, bahwa patung itu seadanya tidak terkesan religius sama sekali, kecuali ukurannya yang raksasa itu. Tetapi dia lupa akan kenyataan bahwa itu adalah Patung Kristus Penebus, Raja semesta Alam. Maka ia harus tinggi dan memerintah dengan tangan terangkat ke atas permukaan bumi. Itulah sebuah bahasa simbolis dari ide teologis tadi. Menarik bahwa sampai saat ini saya belum pernah membaca sekalipun ia memberi catatan tentang Ka’bah itu. Mungkin karena ia belum pernah naik haji, ataukah dia sudah naik haji? Saya tidak tahu. Sayangnya, dalam hal ini kita tidak dapat memberi pendapat alternatif, karena tidak ada seorang pun yang bukan Islam yang boleh menginjakkan kakinya di Mekah, di mesjid al-Haram, di Ka’bah itu. Hal itu saja sudah merupakan sebuah butir penilaian tersendiri: tempat suci diklaim sangat dan serba eksklusif. Padahal aslinya ia bersifat inklusif, serba merangkul, harus bisa memberi hidup dan menghidupkan juga bagi semua orang.

Bandung, 07 November 2008.

Sudah dikembangkan lebih lanjut dari aslinya dalam buku harian saya.


Tuesday, November 4, 2008

RENUNGAN AKHIR TAHUN 2006 KE 2007

Renungan Akhir tahun 2006 dan Menyongsong Tahun Baru 2007

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Sebentar lagi tahun 2006 akan segera berlalu. Lembar-lembar sejarah sudah tertoreh tinta, entah hitam, entah biru, entah hijau, entah kuning, bahkan mungkin tinta merah. Dan waktu berjalan terus. Tanpa dapat kita hentikan. Tidak apa-apa. Mungkin perlu jiwa besar untuk bisa membiarkan ia berlalu, dan tinggal dalam kenangan. Mungkin perlu jiwa besar untuk tidak usah meratapi dan menyesalinya berlama-lama.

Sebentar lagi tahun 2007 datang. Menarik bahwa konon nama bulan Januari diambil dari nama salah seorang dewa Romawi Kuno, yaitu Dewa Janus. Dewa Janus itu digambarkan sebagai Dewa bermuka dua. Satu menghadap ke muka (ke arah seperti kita) dan satunya lagi menghadap ke belakang, ke punggung. Jadi, ia bisa menatap ke depan sekaligus ke belakang. Wajah yang ke depan ialah wajah untuk menerawang ke masa depan, ke cakrawala waktu yang masih mendatangi. Sedangkan wajah yang ke belakang ialah wajah untuk menerawang ke masa silam, ke cakrawala waktu yang sudah berlalu.

Tentu kita tidak usah harus bermuka dua seperti itu untuk dapat melakukan penerawangan baik masa silam maupun ke masa depan. Apalagi kata muka-dua itu berkonotasi negatif,dalam pemakaian sehari-hari, yang artinya, plintat-plintut, tidak ada pendirian, mudah ke sana dan kemari. Tidak punya sikap jelas.

Penerawangan ke masa silam berarti kaleidoskop, yaitu melihat secara kilas balik apa yang sudah terjadi dalam hidup kita baik secara personal, maupun sosial dan komunal. Sejauh mana rapor kita sudah baik dalam tahun yang berlalu ini. Sekaligus kita mengevaluasi, sejauh mana saya sudah mengalami kemajuan dari tahun 2005 sebelumnya. Atau jangan-jangan tidak ada kemajuan sama sekali. Alias tinggal di tempat. Alias mandeg. Alias tidak ada perkembangan. Kalau demikian, sayang sekali, sebab sebenarnya kita sudah mati. Mungkin kita kurang mampu me-manage waktu dan kehidupan kita. Mungkin kita kurang mampu me-manage hati (qalbu) dan pikiran kita.

Sedangkan penerawangan ke masa depan berarti rencana, niat-niat, dan target serta tekad bulat ke waktu yang akan datang. Tentu rencana, niat, target, tekad itu dibuat berdasarkan apa yang sudah secara realistik kita lakukan dalam tahun yang akan segera berlalu ini. Tidak usah muluk-muluk. Kalau misalnya dalam tahun 2006, ini saya kurang tekun belajar sebagai mahasiswa, yaitu belajar meraih dan meningkatkan prestasi, maka niat di tahun 2007 ialah, belajar tekun sebagai mahasiswa. Bukannya malah banyak tidur, atau banyak ngobrol, dan bahkan mungkin begadang main kartu, dll. Itu hanya salah satu contoh. Contoh lain bisa diperpanjang lagi. Itulah niat yang nyata dan kongkret. Niat untuk mengubah mutu hidup.

Saya juga mau menimba sedikit dari filsafat waktu orang Mangarai. Dalam bahasa Manggarai, tahun yang sudah berlalu disebut Ntaung olo. Sedangkan tahun yang masih akan datang disebut Ntaung musi. Bagi saya ini sangat menarik. Mengapa? Karena kata olo kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti depan, atau di depan. Sedangkan kata musi kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti, belakang, di belakang. Jadi, ntaung olo kalau diterjemahkan harfiah berarti Tahun depan (tahun yang akan datang). Sedangkan ntaung musi kalau diterjemahkan harfiah berarti Tahun belakang. Tetapi yang dimaksudkan dalam cara berpikir orang Manggarai ialah justru kebalikannya: Ntaung olo berarti tahun yang sudah lewat, tahun yang sudah berlalu. Sedangkan Ntaung musi berarti tahun yang masih akan datang, yang masih akan menyusul dari belakang untuk kemudian berjalan terus ke depan, dan akhirnya berlalu.

Filsafat waktu orang Manggarai ini harus dimengerti dalam konteks perjalanan. Kalau kita sedang dalam perjalanan, orang-orang yang sudah melewati kita, kita katakan, olo d ise bao ga, artinya mereka sudah berjalan di depan mendahului kita. Sedangkan orang yang masih di belakang kita, kita katakan, musi kid ise ye, artinya mereka masih di belakang, dan itu berarti masih akan menyusul, masih akan mendatangi kita di sini dan saat ini.

Apa yang dapat ditarik dari Filsafat waktu ini? Tidak lain ialah bahwa kita saat ini mengarungi perjalanan hidup kita dalam waktu, dalam sejarah, sambil menunggu datangnya waktu yang masih di belakang, dan sekaligus melihat atau menyaksikan waktu itu berjalan lewat ke depan kita, dan ia berjalan menuju ke depan kita.

Tetapi semoga kita tidak menatap waktu yang berjalan lewat itu dengan penuh penyesalan. Melainkan dengan tekad baru yang lebih baik lagi. Sebab menurut kitab Pengkotbah semuanya ada waktunya. Mungkin ada baiknya saya kutip kitab itu untuk menutup renungan ini:

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut apa yang ditanam; ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari; ada waktu untuk membuang batu, awa waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk; ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang; ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, awa waktu untuk berbicara; ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai..... Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya” (Pkht 3:1-11).

Bandung, 27 Desember 2006

Taman Kopo Indah II, Blok D4.No.40 Bandung, 40218.


Sunday, November 2, 2008

RENUNGAN APOKALIPTIK UNTUK ISBI

Dalam Simposium Nasional ISBI, di Cipanas.

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Bacaan : Kis 1 :6-14
“Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka, dan berkata kepada mereka: “Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke surga.”

Itulah sebagian kutipan dari bacaan yang baru saja kita dengar bersama-sama pada kesempatan ibadat kita kali ini. Paling tidak, dalam renungan pribadi saya, ada dua hal yang patut digaris-bawahi dari teks ini. Pertama, dalam perjalanan hidup para murid mengikuti Yesus Kristus, Sang Guru, akhirnya mereka sampai pada tingkat radikal-mistik, yaitu, mereka menyaksikan Tuhan Yesus terangkat dengan semarak-mulia ke surga dan itu berarti Ia masuk ke dalam kemuliaanNya bersama Bapa. Kita juga semua sudah tahu bahwa Yesus terangkat ke surga dalam suatu peristiwa kosmis yang ajaib: terangkat ke atas dari bumi dan kemudian ditutup awan-awan. Wajar saja bahwa pada saat itu para murid seakan-akan terpesona oleh daya keharuan mistik peristiwa kenaikan Yesus sehingga mereka memandang ke atas seperti terhanyut dalam ekstase mistik. Mereka tampak seperti bengong, hanyut dalam keharuan. Tentu saja mereka sudah tahu bahwa Tuhan Yesus sudah naik dan dengan tegas dikatakan juga bahwa “awan-awan sudah menutup-Nya dari pandangan mereka.” Tetapi mereka masih saja tetap menatap ke atas, yaitu ke arah Ia yang terkasih hilang untuk terakhir kalinya. Mungkin karena mereka masih terdorong oleh perasaan haru biru penuh kerinduan dan mungkin juga mereka dilanda oleh kesedihan yang tiada tertanggungkan. Dengan kata lain, mata para murid ditengadahkan ke atas, ke langit, ke awan-awan, ke peristiwa yang bakal mengalir dari masa depan. Mereka memandang ke surga, memandang ke langit, ke angkasa, menatap ke dunia idea (meminjam istilah filsafat Plato).

Dan di tengah situasi keterpesonaan mistik-kosmik seperti itu, dikatakan bahwa tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih di dekat mereka. Saya kira mereka ini adalah para malaekat, suatu simbol kehadiran dari dunia lain (tetapi bukan dunia lain menurut versi tayangan populer televisi swasta kita), suatu kehadiran dari dunia atas, sebuah peristiwa epifani, bahkan peristiwa teofani, penampakan dari atas, penampakan dari yang ilahi itu sendiri. Tetapi saya kira, hal yang terpenting di sini bukanlah peristiwa epifani atau teofaninya itu. Kiranya yang terpenting bagi kita ialah pesan yang disampaikan dalam peristiwa epi-teofani itu. Dan pesannya kiranya sangat jelas, yaitu mereka “mempersoalkan” keterpesonaan mistik-kosmik para murid itu, yang tampak terungkap secara fisik dalam pandangan mereka yang seakan-akan bengong-kosong terarah ke atas, ke awan-awan, ke langit, ke angkasa, ke jentera peristiwa masa depan. Dengan kata lain, mereka mau mengatakan kepada para murid sbb: Mengapa kamu bengong memandang ke atas? Untuk apa? Apa gunanya? Yesus sudah pergi. Tetapi, Ia masih akan kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihatnya Ia pergi pada hari ini. Jadi, dengan kata lain, para murid disarankan untuk jangan sampai terhanyut dalam keterpesonaan mistik-kosmik karena kepergian Yesus itu. Itu tidak perlu sama sekali. Yang terpenting ialah, bersiap-siap menyongsong kedatanganNya kembali. Sekali lagi, yang terpenting ialah, mereka harus bersiap-siap menyongsong kedatanganNya kembali. Itulah yang tersirat dalam hardikan para malaekat itu.

Maka dengan ini kita pun sampai pada segi kedua dari pengalaman ini. Berkat, hardikan para malaekat itu, akhirnya para murid tahu apa yang harus mereka perbuat. Pertama-tama mereka harus berhenti menatap ke langit, melainkan mulai menatap ke bumi. Mereka pertama-tama harus bertobat dari Plato menjadi Aristoteles. Kalau Plato berjalan sambil melihat bintang-bintang, dengan risiko kaki terantuk pada batu (juga bisa terantuk dua kali pada batu yang sama), maka Aristoteles berjalan sambil melihat bebatuan di ujung kakinya, agar tidak tersandung pada batu, sambil sekali-sekali melayangkan pandangannya ke angkasa menikmati langit dan bintang-bintang, karena the turn to realism tidak membutakan Aristoteles dari pengakuan akan adanya the world of idealism. Dan menurut saya, pola itulah yang mau diperlihatkan dan dipentaskan para murid dan jemaat gereja perdana selanjutnya.

Setelah mereka tidak lagi memandang ke atas, yaitu ke langit, maka mereka lalu kembali ke Yerusalem. Ada beberapa hal yang mereka lakukan di sana. Pertama, mereka naik ke ruang atas, yang dalam bahasa Latin disebut coenaculum, dari mana tradisi doa senakel itu berasal. Kedua, mereka semua bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama. Cerita selanjutnya kita semua tahu: bahwa penantian itu akhirnya bermuara pada Peristiwa Pentakosta yang dahsyat itu. Tetapi, peristiwa itu sendiri adalah sebuah titik awal baru dalam menggereja. Bahkan itu adalah sebuah transformasi cara menggereja. Dari menggereja yang menatap ke atas, lalu bergeser ke gereja yang bertekun dalam doa, dan akhirnya ke menggereja yang misioner, membumi (yang memungkinkannya bisa berkembang hingga sampai ke ujung-ujung bumi). Kalau dilihat dari perspektif seperti ini, maka transformasi cara menggereja itu akhir-akhirnya benar-benar bercorak kristosentris. Sebab bagaimana pun juga, tetap berlaku perkataan ini: Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi. Tampak sebuah gerak sentrifugal dari transformasi menggereja, tetapi semuanya masih tetap di dalam Kristus.

Dan hari-hari ini kita berkumpul kembali di sini dalam acara rutin dua tahunan kita dalam konteks ISBI. Kita mau buat apa? Tema pertemuan kita ialah tentang apokalikptik. Semua para pembicara yang didaulat untuk berbicara dalam pertemuan ini, akan mengulas tema besar apokaliptik itu. Apa sih arti pentingnya kita menyibukkan diri dengan tema ini? Atau buat apa kita memberi perhatian besar yang khusus terhadap tema ini? Saya kira jawabannya nanti akan kita ketahui dalam rangkaian ceramah-ceramah dan diskusi kita. Tetapi ijinkan saya memberi jawaban saya sendiri. Menurut saya, sebagian besar kesibukan berteologi kita berurusan dengan tahap kembalinya para murid ke Yerusalem dan mulai hidup menggereja sebagai gereja perdana. Pelbagai macam aktifitas dilakukan dalam rangka menggereja di tengah dunia itu. Sekadar bebecara contoh: Dalam teologi pastoral kita berteologi tentang pelayanan kita. Dalam eklesiologi kita berteologi tentang menggereja di tengah dunia dan masyarakat. Teologi politik, teologi pembebasan, dan pelbagai macam teologi-teologi lainnya, kebanyakan kali berurusan dengan tahap setelah kembali ke Yerusalem dari bukit Zaitun itu. Tetapi kita semua tahu, bahwa teologi-teologi itu kita lakukan dalam rangka mempersiapkan diri menyongsong kedatangan kembali Anak Manusia di akhir jaman, dan di atas awan-awan.

Nah pada hari-hari ini, kita secara khusus mau menukikkan perhatian kita pada tahap para rasul sebelum mereka kembali ke Yerusalem. Dengan kata lain, kita mau memusatkan perhatian kita pada tahap keterpesonaan mistik-kosmik karena pengaruh daya pesona peristiwa kenaikan Yesus Kristus. Tetapi saya kira, kita melakukan hal itu bukan untuk berhenti di sana, melainkan untuk mempersiapkan diri dengan lebih baik sebagai gereja, menyongsong kedatangan Kristus kembali. Sekali lagi, kita memusatkan perhatian kita ke tahap itu, bukan untuk mati terpaku di sana. Sebab kalau itu yang terjadi, maka mungkin akan ada epi-teofani lagi, dan akan ada hardikan lagi dari para malaekat yang mungkin akan terdengar lebih keras dari yang dulu telah terjadi atas para murid. Tentu saja kita tidak mau hal itu terjadi. Maka, sesudah pertemuan ini, marilah kita ke Yerusalem, dan menjadi saksi Kristus di Yudea, Samaria, sampai ke ujung bumi. Mari kita menjadi saksi Kristus, mulai dari Cisarua, Jakarta, Sukarno-Hatta, hingga ke Papua dan sampai ke ujung-ujung bumi, sambil jangan lupa bahwa negeri kita yang tercinta ini sedang dilanda hujan badai, banjir, tanah longsor, gempa-bumi dan tsunami. Siapa tahu itu adalah epifani dan teofani bagi kita.


Bandung, 21 Juli 2006

Fransiskus Borgias M.

(Disampaikan di hadapan peserta simposium nasional Ikatan Sarjana Biblika Indonesia, ISBI, di STT Cipanas).

Wednesday, October 22, 2008

KEGAGALAN FRANSISKAN

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Sudah satu bulan silam saya berhasil merampungkan sebuah terjemahan untuk penerbit Mizan, Bandung. Buku itu adalah hasil karya dari pengarang terkenal, Karen Armstrong. Judulnya The Bible, A Biography. Saya sangat bersyukur karena dipercaya Mizan untuk menerjemahkan karya dari pengarang besar itu. Saya belajar dan menimba sangat banyak hal dari proses menerjemahkan buku ini.

Salah satu poin penting yang saya ingat dengan sangat baik dalam buku itu ialah sebuah pernyataan Armstrong bahwa Eropa masuk ke dalam abad kegelapan sejak abad kelima sampai ke abad keduabelas. Dalam hal itu Armstrong tidak mengatakan sesuatu yang baru sama sekali. Sebab itu adalah sebuah keyakinan dan pandangan umum di kalangan para ahli sejarah gereja dan sejarah pemikiran Barat, walau sebenarnya tidak sungguh gelap juga, sebab selama kurun itu ada juga warisan agung dalam sejarah peradaban Eropa (terutama sejauh terendapkan dalam biara-biara yang ternyata berhasil menjadi mercusuar peradaban melewati malam kegelapan peradaban itu).

Setelah melewati abad-abad kegelapan itu, Eropa kemudian muncul dengan bentuk praksis dan penghayatan agama Kristen yang kini berada di tangan para pangeran dan satria. Dan menurut Armstrong, mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai nafsu sangat besar untuk berperang dan berperang. Dan kebetulan pada saat itu Tanah Suci Palestina sedang dikuasai Islam lewat suatu ekspansi militer, mulai dari tanah Arab sampai seluruh kawasan Laut Tengah. “Mare Nostrum” Imperium Romanum, kini sudah menjadi “Mare Nostrum” Imperium Arabicum. Fakta konflik kawasan itulah yang menjadi medan pelampisan nafsu perang para pangeran Eropa dengan legitimasi dan justifikasi agama.

Terus terang saja, jalan pikiran Armstrong seperti ini serta merta mengingatkan saya akan seorang Filsuf bernama Erik From, terutama sekali dengan bukunya yang berjudul To Have dan To Be (beberapa tahun silam buku sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia). Menurut From, sesungguhnya ada dua spiritualitas besar yang mempengaruhi dan menguasai dunia Barat. Dan keduanya saling bersaing satu sama lain untuk merebut daya pengaruh dalam hati sanubari orang-orang Eropa. Spiritualitas yang satu ialah spiritualitas Dionisian dengan idealisme perang, penaklukan, penguasaan, perampokan, perampasan, aneksasi, “the will to power”, atau “der Wille zur Macht,” meminjam kosa kata filsuf Jerman, F.Nietschze.

Dan spiritualitas yang lain ialah spiritualitas salib dengan idealisme yang justeru terbalik dari idealisme dionisian di atas tadi. Idealisme spiritualitas salib ialah mengalah, berkorban, melayani, mengabdi, merendah, “the will to love,” dan “the will to serve.” Spiritualitas yang terdahulu (dionisian) mengambil modelnya dari warisan agama Yunani kuno. Spiritualitas yang kedua mengambil modelnya dari warisan kuno Israel, yaitu dari Perjanjian Lama, dengan model seperti Abraham, Musa, para Nabi, dan diteruskan dalam Perjanjian Baru, dalam tokoh agung seperti Yesus Kristus.

Tetapi di luar tradisi itu juga ada spiritualitas seperti ini. Misalnya terdapat dalam Islam dengan tokoh Muhammadnya, juga terdapat dalam Buddhisme dengan tokoh Sidharta Gautamanya. Juga ada dalam Hinduisme, dengan tokohnya dalam dunia modern ialah orang seperti Mahatma Gandhi. Yang terdahulu menjadi model way of life untuk To Have. Yang kemudian menjadi model way of life untuk To Be. Yang satu mengunggulkan model manusia unggul yang dicita-citakan Nietschze itu, Uebermensch. Yang lain mengidealkan sosok Hamba Yahwe yang Menderita dari Yesaya 53 itu.

Menurut From, jalan To Be itu sangat kental dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dengan tokoh-tokoh besar seperti Abraham, Musa, Nabi-nabi, Yesus Kristus. Kemudian dalam tradisi Kristiani, model itu mengenal dalam tokoh seperti Fransiskus dari Asisi. Sedangkan jalan To Have sangat kental dalam Kitab Suci “Yunani,” dalam cita-cita “the promothean-self,” dengan nafsu eksplorasi, menguasai, “divide et impera,” menginjak-injak, dan menindas.

Rupanya, demikian dugaan Armstrong, setelah melewati abad gelap peradaban, Eropa dikuasai oleh nafsu To Have itu, dengan nafsu ekspansinya yang meluap-luap, nafsu agresi, anexasi, bahkan nafsu anihilasi akan yang lain. Cukup aku saja yang boleh berada dan meraja serta berkuasa di dunia ini dan dalam masyarakat. Yang lain itu tiada, atau bila perlu ditiadakan dengan paksa dan dengan kekerasan. Inilah pangkal homisida, genosida. Nafsu itu tidak menghendaki adanya saingan. Tidak menghendaki adanya koeksistensi dalam damai dan dalam harmoni. Ia mengidap penyakit Kain yang tidak menghendaki Habel di sisinya, sehingga ia pun membunuhnya. Tragedi Kain dan Habel adalah tragedi ngeri, sebab homisida pertama dalam kitab suci kita ternyata adalah fratrisida.

Kemudian, pada abad ketigabelas, muncul gerakan rohani dari Fransiskus Asisi yang sangat terkenal itu. Menurut From, Fransiskus Asisi sangat mengidealkan idealisme To Be. Dan hal itu memang benar demikian. Fransiskus mau tampil dalam jalan salib, ia mau menjadi sosok Hamba Tuhan, Ebed Adonai, ia mau menempuh jalan damai, ia mau menghayati koeksistensi dalam cinta kasih dan damai sejahtera dengan sesama. Oleh karena itu, Fransiskus menempuh cara hidup injili dan rasuli (vita evangelica et vita apostolica), yaitu hidup dalam kemiskinan. Oleh karena itu, ia sangat menentang Perang Salib yang sedang gencar-gencarnya dilakukan pada saat itu. Oleh karena itu juga, ia membawa warta damai dan kabar sukacita kepada sultan Malik Al-Kamil di Mesir. Oleh karena itu, ia membentangkan misi damai sebagai dialog kehidupan, dialog rohani, dialog batin. Fransiskus mau membentangkan jalan salib bahkan dengan menjadi salib itu sendiri. Sebab bagi saya peristiwa stigmatisasi itu adalah membawa salib itu ke dalam level penghayatan personal hidupnya.

Tetapi menurut pengamatan dan penilaian saya, gerakan Fransiskus dan Fransiskan yang mau mengoreksi tendensi sejarah itu tidak begitu sukses (untuk tidak sampai dikatakan gagal total). Tetapi kegagalan itu bukan terutama dalam diri Fransiskus Asisinya sendiri. Melainkan terutama pada diri para pengikutnya. Itu tidak lain karena para pengikutnya tidak secara konsisten mengikuti idealisme Fransiskus. Melainkan mereka justeru mulai tersandung dalam idealisme To Be yaitu menjadi miskin dan merendah. Itulah fakta kegagalan Fransiskan. Tetapi walaupun gagal, namun gerakan dan cara hidup Fransiskan itu tetap mempunyai daya pengaruh yang besar, tetap mempunyai daya ilham yang sangat kuat untuk pelbagai macam cara hidup, termasuk ilham untuk keramahan terhadap lingkungan, terhadap alam ciptaan. Karena bagi Fransiskus segala sesuatu adalah saudara.

Bandung, 22 April 2008.


Monday, October 20, 2008

BETTER MARRIAGE, HOLIER CULTURE

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Almarhum Paus Yohanes Paulus II terkenal dengan sangat banyak pemikirannya tentang cinta dan hidup perkawinan. Dalam rangka itu ia telah menghasilkan buku-buku seperti Love and Responsibility, tentang cinta dan tanggung-jawab (tentang cinta dalam hidup perkawinan). Buku ini dilatar-belakangi oleh bukunya yang lain yang terkenal di bidang filsafat fenomenologi yaitu The Acting Person. Buku yang terakhir ini lebih jauh dilatar-belakangi oleh filsafat personalisme yang sangat hidup di kalangan para pemikir Katolik tahun 60-70 seperti Jacques Maritain, Emmanuel Mounier, G.K.Chesterton, dan Karol Woijtila itu sendiri, dll. Sekali lagi, harus diakui bahwa memang filsafat personalisme itu amat besar pengaruhnya atas diri Paus Yohanes Paulus II. Buku-buku beliau sebagian besar keluar dari refleksi filosofis dan teologisnya dan juga dari keterlibatan pastoralnya. Salah satunya ialah buku Love and Responsibility di atas tadi.

Buku-buku ini mempunyai pengaruh yang besar dan kuat pada dokumen Gaudium et Spes dari Konsili Vatikan II, khususnya yang menyangkut hidup perkawinan dan hidup keluarga. Ketika sudah menjadi Paulus, ia mengembangkan pemikiran teologis tentang perkawinan dalam Teologi Tubuh-nya yang terkenal dan populer itu (The Theology of the Body). Saya sendiri mendalami teologi itu dan saya berikan sebagai bahan kuliah Moral Seks dan Perkawinan pada program Magister Ilmu Teologi pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Konon semua pemikiran dia tentang teologi perkawinan dan cinta kemudian mengendap dalam dua ensikliknya yaitu Laborem Excercens dan Familiaris Consortio. Dalam kedua ensiklik inilah ia menyiratkan pandangannya bahwa Better Marriage, Holier Culture. Apa yang ia maksudkan dengan semboyan ini?

Sesungguhnya apa yang ia maksudkan adalah sesuatu hal yang sangat sederhana saja. Yaitu bahwa kalau hidup perkawinan dan keluarga menjadi semakin lebih baik (better marriage), maka dari sana atau di atas itu akan muncul sebuah kebudayaan yang lebih baik dan bahkan lebih suci juga (better and holier culture). Biarpun pernyataan atau semboyan ini sangat sederhana, sesungguhnya ada banyak hal yang tersirat dalam ungkapan yang indah ini.

Pertama, ketika merenungkan tentang semboyan ini saya langsung terpikir akan keluarga sebagai sel masyarakat, atau sebagai gereja kecil, sebagai ecclesia minuscula (istilah dari Santo Agustinus), atau ecclesia micra (istilah dari Yohanes Chrysostomus). Kedua, saya juga terpikir akan keluarga sebagai seminarium atau tempat persemaian untuk mendidik anak-anak dalam banyak segi kehidupan iman. Ketiga, saya juga serentak terpikir akan keluarga sebagai benteng moralitas dan sekaligus juga benteng religiositas, hidup kerohanian (spiritualitas). Keempat, saya juga serentak terpikir mengenai revolusi monogami yang dicanangkan Yesus walau pun secara tidak langsung. Menurut hemat saya inilah salah satu revolusi yang diperjuangkan oleh jemaat gereja purba. Perkawinan itu monogam, unitas, tidak terceraikan (Bdk.Mat.19:.......Kej.1:........).

Kalau perkawinan itu unitas, indisolubilitas, dan monogam, maka perkawinan itu diharapkan akan menjadi sebuah benteng yang kokoh. Dalam hidup perkawinan seperti itu, tidak ada yang akan menjadi korban atau dikorbankan. Isteri tidak menjadi korban atau dikorban. Padahal dalam hidup perkawinan yang longgar, isteri bisa menjadi korban atau dikorbankan. Kalau isteri sudah tua dan keriput dan tidak cantik lagi, maka bisa “diganti” dengan yang lebih baru, lebih segar. Kasihan, perempuan menjadi seperti benda saja. Inilah yang disebut proses reifikasi perempuan, pembendaan martabat manusia. Selanjutnya dalam perkawinan yang kokoh seperti itu, anak-anak juga tidak akan mudah menjadi korban atau dikorbankan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak anak menjadi korban atau dikorbankan karena problem broken home.

Sekadar sebuah ilustrasi. Bayangkan kalau sebuah perkawinan itu poligami: Seorang pria mempunyai lebih dari satu orang isteri. Dalam kebiasaan tertentu bisa memiliki sampai empat orang isteri sekaligus. Kalau ini yang terjadi, maka banyak isteri itu tentu harus hidup semua. Hidup berarti makan, pakaian, papan, dan rekreasi. Sampai saat ini peraturan perusahaan dan negara kita hanya mengadopsi kebiasaan perkawinan monogam, satu isteri, satu suami. Oleh karena itu, sistem penggajian dan tunjangan pun hanya untuk satu orang isteri dan paling banter sampai dua orang anak, itupun sampai batas umur sekian tahun. Menurut hemat saya, budaya korupsi dan konsumerisme dengan sangat gampang bisa muncul di sini. Mengapa? Bayangkan saja jalan pikiran berikut ini. Gaji yang resmi seorang ayah biasanya hanya cukup untuk satu isteri yang sah saja berikut anak-anak yang terlahir dari perkawinan pertama itu. Untuk isteri gelap atau isteri simpanan, negara tidak mau memikul beban itu. Kiranya itu sebuah beban yang terlalu berat juga. Itu berarti nanti ada pajak yang dimakan untuk membiayai orang yang beristeri lebih dari satu, kalau kebetulan orang itu adalah pegawai negeri.

Karena tidak ditunjang dan ditanggung negara maka orang harus mencari tambahan. Upaya mencari pekerjaan dan pendapatan tambahan inilah yang bisa menimbulkan atau memunculkan banyak praktek kotor: misalnya, orang bisa korupsi di kantornya. Atau orang juga bisa mengorbankan kerja yang utama, karena mengurus pekerjaan lain atau pekerjaan tambahan. Jadi dengan demikian etika kerja menjadi korban atau dikorbankan. Mutu kerja juga menjadi korban atau dikorbankan. Kalau ini yang terjadi, maka budaya sosial-kultural menjadi rusak karena hal-hal seperti itu. Kiranya kesimpulannya jelas. Kalau perkawinan kacau-balau, maka kebudayan sosio-kultural juga menjadi rusak, menjadi tidak suci, tidak dapat menjadi jauh lebih baik. Dari satu perkawinan saja bisa lahir beberapa orang anak. Apalagi dari perkawinan dengan lebih dari satu isteri: dari sana akan muncul banyak anak, banyak mulut, banyak perut. Itulah yang menjadi soal. Setiap kali ada orang yang mengatakan (sebagai pembenaran) bahwa banyak anak itu adalah rahmat dari Allah. Jangan terlalu dipikirkan mengenai bagaimana mereka akan makan, minum, berpakaian. Serahkan semuanya pada Allah, sebab rejeki itu ada di tangan Allah. Nah sehubungan dengan ini, saya harus dengan jujur dan tegas mengatakan bahwa aku tidak sepenuhnya percaya bahwa rejeki ada di tangan Allah. Ini sebentuk fatalisme. Dalam konteks seperti itu, Allah tidak akan membenarkan kalau orang harus korupsi demi menghidupi anak-anak yang banyak. Maka sekali lagi, saya kembali lagi ke semboyan awal: Better marriage, holier culture. Mari kita bina hidup dan lembaga perkawinan kita agar bisa menjadi agen perubahan kultural ke arah kultur yang lebih baik dan lebih suci.

(Ditulis di Bandung, 04-10-08).


Tuesday, October 14, 2008

YESUS MEMBERKATI ANAK-ANAK

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Hari ini saya ikut perayaan ekaristi di gereja Katedral Bandung yang terletak sangat dekat dengan kantor saya. Biasanya saya membawa Kitab Suci Perjanjian Baru untuk dibaca dan direnungkan di sana. Kebetulan saat ini saya sedang menulis buku dengan judul Better Marriage Holier Culture. Salah satu pokok pembicaraan yang saya uraikan di sana ialah tentang revolusi monogami Yesus dan hal perceraian. Kedua hal ini dalam pandangan teologi personalisme Yohanes Paulus II dianggap sebagai pelanggaran terhadap perkawinan sebagai persekutuan pribadi-pribadi, atau communion of persons. Dalam rangka itu saya juga mencoba mencari pendasaran biblis untuk uraian teologi perkawinan tadi. Salah satu teks yang saya angkat ialah Mateus 19, Markus 10 dan yang sejajar dengan itu.

Bahkan kedua teks inilah (terutama sekali teks Mateus) yang dijadikan oleh Yohanes Paulus II dalam teologi tubuhnya sebagai titik berangkat dari refleksi teologisnya mengenai hidup perkawinan dan keluarga. Saya sudah beberapa kali membaca teks ini. Mengenai larangan perceraian, larangan berzinah, pertanyaan orang-orang Farisi mengenai ijin yang diberikan Musa untuk bercerai dan memberi surat cerai. Terhadap itu semuanya, Yesus memberi tanggapan dengan menyinggung kembali apa yang terjadi dan ditetapkan sejak awal mula. Teks yang diangkat Yesus sebagai teks pada awal mula itu ialah kitab Kejadian 1:26-28. Di sana kita baca Allah menciptakan manusia, menurut gambar dan citraNya, dan Ia menciptakan mereka pria dan wanita. Lalu Yesus mengingatkan akan beberapa konsekwensi yaitu bahwa pria akan meninggalkan ibu bapanya dan bersatu dengan isterinya. Dengan demikian mereka bukan lagi dua melainkan satu daging. Lalu diakhiri dengan penegasan bahwa apa yang telah dipersatukan Allah, janganlah diceraikan oleh manusia. Jadi, perkawinan adalah suatu persatuan pria dan wanita yang dikehendaki, direncanakan, dan diteguhkan Allah. Sifat perkawinan yang tidak terceraikan, itu karena Allah yang menetapkan dan menentukannya. Kalau itu hanya sebuah lembaga sosial-manusiawi belaka, maka silahkan saja dibongkar pasang sesuka hati, sebagaimana yang terjadi dalam beberapa kalangan. Tetapi dalam kalangan Katolik hal itu tidak segampang itu.

Nah, hal yang menarik bagi saya ialah bahwa sesudah berbicara tentang larangan bercerai dan larangan berzinah dengan mengacu kepada awal mula, baik injil Mateus maupun Markus sama-sama berbicara tentang tindakan Yesus yang memberkati anak-anak. Ketika pada pagi hari ini saya membaca dan merenungkan hal itu, tiba-tiba muncul dalam benak kalbu saya, apakah urutan seperti itu memang ada artinya? Ataukah urutan itu hanya urutan yang acak dan serba kebetulan saja? Semula saya memang beranggapan demikian, yaitu bahwa urutan itu adalah kebetulan dan acak saja. Tetapi setelah pada pagi hari ini saya membacanya lagi, muncul sebuah pikiran baru, terutama dalam rangka buku teologi perkawinan yang sedang saya tulis.

Ilham yang saya maksudkan bahwa kedua penginjil itu tidak kebetulan mengurutkan kedua peristiwa itu satu sesudah yang lain. Kisah Yesus memberkati anak-anak ditempatkan langsung sesudah Yesus meneguhkan sifat tidak terceraikannya perkawinan. Dalam pembacaan imajiner dan interpretatif saya yang kreatif, saya membayangkan bahwa Yesus memberkati anak-anak karena anak-anak itulah hasil dari sebuah perkawinan. Kalau sebuah perkawinan rusak maka yang pertama-tama menjadi korban ialah anak-anak hasil dari perkawinan itu sendiri. Maka melindungi keutuhan perkawinan dan memberi pendasaran sifat tidak terceraikannya perkawinan itu secara teologis, Yesus sebenarnya ingin melindungi anak-anak. Itulah pesan simbolis yang mau disampaikan. Seakan-akan Yesus mau mengatakan bahwa anak-anak ini akan menjadi korban dan terlantar serta tidak terberkati kalau mereka tidak hidup di dalam hidup perkawinan dan keluarga (rumah tangga) yang harmonis. Jadi, betapa penting artinya keutuhan hidup rumah tangga itu bagi kesejahteraan hidup anak. Baik itu kesejahteraan ekonomis, terutama kesejahteraan rohani, spiritual mereka.

Jadi, kalau Yesus memberkati anak-anak sesudah ia menegaskan sifat tidak terceraikannya perkawinan, maka sesungguhnya Ia mau mengatakan dengan tegas bahwa anak-anak mempunyai hak atas kebahagiaan. Jangan merampas hak anak-anak akan kebahagiaan dengan membuat mereka menjadi terlantar karena rumah tangga orang tua mereka runtuh karena sifat ingat diri mereka yang sangat berlebih-lebihan. Bagaimana pun juga cinta membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan itulah yang bisa memaknai cinta kasih dalam relasi orang tua dan anak, suami dan isteri. Maka dengan tepat orang merumuskan sebuah semboyan yang didasarkan atas pemikiran-pemikiran teologis Yohanes Paulus II tentang perkawinan: Better marriage, holier culture. Kalau perkawinan kita menjadi semakin lebih baik, maka akan tumbuh atau terciptalah sebuah kebudayaan yang lebih suci juga. Sebaliknya, kalau perkawinan menjadi rusak, maka cepat atau lambat akan muncul kebudayaan yang tidak kudus, yang kotor, yang kosong. Betapa hidup tidak dapat dilandaskan pada sebuah kebudayaan yang hampa makna.


PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...