Sudah satu bulan silam saya berhasil merampungkan sebuah terjemahan untuk penerbit Mizan, Bandung. Buku itu adalah hasil karya dari pengarang terkenal, Karen Armstrong. Judulnya The Bible, A Biography. Saya sangat bersyukur karena dipercaya Mizan untuk menerjemahkan karya dari pengarang besar itu. Saya belajar dan menimba sangat banyak hal dari proses menerjemahkan buku ini.
Salah satu poin penting yang saya ingat dengan sangat baik dalam buku itu ialah sebuah pernyataan Armstrong bahwa Eropa masuk ke dalam abad kegelapan sejak abad kelima sampai ke abad keduabelas. Dalam hal itu Armstrong tidak mengatakan sesuatu yang baru sama sekali. Sebab itu adalah sebuah keyakinan dan pandangan umum di kalangan para ahli sejarah gereja dan sejarah pemikiran Barat, walau sebenarnya tidak sungguh gelap juga, sebab selama kurun itu ada juga warisan agung dalam sejarah peradaban Eropa (terutama sejauh terendapkan dalam biara-biara yang ternyata berhasil menjadi mercusuar peradaban melewati malam kegelapan peradaban itu).
Setelah melewati abad-abad kegelapan itu, Eropa kemudian muncul dengan bentuk praksis dan penghayatan agama Kristen yang kini berada di tangan para pangeran dan satria. Dan menurut Armstrong, mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai nafsu sangat besar untuk berperang dan berperang. Dan kebetulan pada saat itu Tanah Suci Palestina sedang dikuasai Islam lewat suatu ekspansi militer, mulai dari tanah Arab sampai seluruh kawasan Laut Tengah. “Mare Nostrum” Imperium Romanum, kini sudah menjadi “Mare Nostrum” Imperium Arabicum. Fakta konflik kawasan itulah yang menjadi medan pelampisan nafsu perang para pangeran Eropa dengan legitimasi dan justifikasi agama.
Terus terang saja, jalan pikiran Armstrong seperti ini serta merta mengingatkan saya akan seorang Filsuf bernama Erik From, terutama sekali dengan bukunya yang berjudul To Have dan To Be (beberapa tahun silam buku sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia). Menurut From, sesungguhnya ada dua spiritualitas besar yang mempengaruhi dan menguasai dunia Barat. Dan keduanya saling bersaing satu sama lain untuk merebut daya pengaruh dalam hati sanubari orang-orang Eropa. Spiritualitas yang satu ialah spiritualitas Dionisian dengan idealisme perang, penaklukan, penguasaan, perampokan, perampasan, aneksasi, “the will to power”, atau “der Wille zur Macht,” meminjam kosa kata filsuf Jerman, F.Nietschze.
Dan spiritualitas yang lain ialah spiritualitas salib dengan idealisme yang justeru terbalik dari idealisme dionisian di atas tadi. Idealisme spiritualitas salib ialah mengalah, berkorban, melayani, mengabdi, merendah, “the will to love,” dan “the will to serve.” Spiritualitas yang terdahulu (dionisian) mengambil modelnya dari warisan agama Yunani kuno. Spiritualitas yang kedua mengambil modelnya dari warisan kuno Israel, yaitu dari Perjanjian Lama, dengan model seperti Abraham, Musa, para Nabi, dan diteruskan dalam Perjanjian Baru, dalam tokoh agung seperti Yesus Kristus.
Tetapi di luar tradisi itu juga ada spiritualitas seperti ini. Misalnya terdapat dalam Islam dengan tokoh Muhammadnya, juga terdapat dalam Buddhisme dengan tokoh Sidharta Gautamanya. Juga ada dalam Hinduisme, dengan tokohnya dalam dunia modern ialah orang seperti Mahatma Gandhi. Yang terdahulu menjadi model way of life untuk To Have. Yang kemudian menjadi model way of life untuk To Be. Yang satu mengunggulkan model manusia unggul yang dicita-citakan Nietschze itu, Uebermensch. Yang lain mengidealkan sosok Hamba Yahwe yang Menderita dari Yesaya 53 itu.
Menurut From, jalan To Be itu sangat kental dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dengan tokoh-tokoh besar seperti Abraham, Musa, Nabi-nabi, Yesus Kristus. Kemudian dalam tradisi Kristiani, model itu mengenal dalam tokoh seperti Fransiskus dari Asisi. Sedangkan jalan To Have sangat kental dalam Kitab Suci “Yunani,” dalam cita-cita “the promothean-self,” dengan nafsu eksplorasi, menguasai, “divide et impera,” menginjak-injak, dan menindas.
Rupanya, demikian dugaan Armstrong, setelah melewati abad gelap peradaban, Eropa dikuasai oleh nafsu To Have itu, dengan nafsu ekspansinya yang meluap-luap, nafsu agresi, anexasi, bahkan nafsu anihilasi akan yang lain. Cukup aku saja yang boleh berada dan meraja serta berkuasa di dunia ini dan dalam masyarakat. Yang lain itu tiada, atau bila perlu ditiadakan dengan paksa dan dengan kekerasan. Inilah pangkal homisida, genosida. Nafsu itu tidak menghendaki adanya saingan. Tidak menghendaki adanya koeksistensi dalam damai dan dalam harmoni. Ia mengidap penyakit Kain yang tidak menghendaki Habel di sisinya, sehingga ia pun membunuhnya. Tragedi Kain dan Habel adalah tragedi ngeri, sebab homisida pertama dalam kitab suci kita ternyata adalah fratrisida.
Kemudian, pada abad ketigabelas, muncul gerakan rohani dari Fransiskus Asisi yang sangat terkenal itu. Menurut From, Fransiskus Asisi sangat mengidealkan idealisme To Be. Dan hal itu memang benar demikian. Fransiskus mau tampil dalam jalan salib, ia mau menjadi sosok Hamba Tuhan, Ebed Adonai, ia mau menempuh jalan damai, ia mau menghayati koeksistensi dalam cinta kasih dan damai sejahtera dengan sesama. Oleh karena itu, Fransiskus menempuh cara hidup injili dan rasuli (vita evangelica et vita apostolica), yaitu hidup dalam kemiskinan. Oleh karena itu, ia sangat menentang Perang Salib yang sedang gencar-gencarnya dilakukan pada saat itu. Oleh karena itu juga, ia membawa warta damai dan kabar sukacita kepada sultan Malik Al-Kamil di Mesir. Oleh karena itu, ia membentangkan misi damai sebagai dialog kehidupan, dialog rohani, dialog batin. Fransiskus mau membentangkan jalan salib bahkan dengan menjadi salib itu sendiri. Sebab bagi saya peristiwa stigmatisasi itu adalah membawa salib itu ke dalam level penghayatan personal hidupnya.
Tetapi menurut pengamatan dan penilaian saya, gerakan Fransiskus dan Fransiskan yang mau mengoreksi tendensi sejarah itu tidak begitu sukses (untuk tidak sampai dikatakan gagal total). Tetapi kegagalan itu bukan terutama dalam diri Fransiskus Asisinya sendiri. Melainkan terutama pada diri para pengikutnya. Itu tidak lain karena para pengikutnya tidak secara konsisten mengikuti idealisme Fransiskus. Melainkan mereka justeru mulai tersandung dalam idealisme To Be yaitu menjadi miskin dan merendah. Itulah fakta kegagalan Fransiskan. Tetapi walaupun gagal, namun gerakan dan cara hidup Fransiskan itu tetap mempunyai daya pengaruh yang besar, tetap mempunyai daya ilham yang sangat kuat untuk pelbagai macam cara hidup, termasuk ilham untuk keramahan terhadap lingkungan, terhadap alam ciptaan. Karena bagi Fransiskus segala sesuatu adalah saudara.
Bandung, 22 April 2008.
2 comments:
Frans, kapan terbit? Pasti aku beli.
Menurut aku, fransiskan tidak gagal, lho. Kan kenyataannya pengikut Fransiskan begitu luarbiasa. Sampai-sampai ada gerakan Fransiskan ordo ketiga. Kalau tidak salah. Rpmp Weitjen dosen Sejarah Gereja bilang begitu lho Frans, kalau aku tidak salah Termasuk aku pengagum spiritualitas Fransiskan.
Always,
Anton S.
hehehehe pa Anton trima kasih telah memberi komentar... ini sebuah studi sejarah yang mendetail dalam sebuah bingkai perkembangan filsafat dan ideologi yg hidup dan meraja dlm masyarakat... masih diupayakan agar bisa terbit dlm bentuk kumpulan artikel dulu... trima kasih atas perhatian dan penantian...
Post a Comment