Tanggal 08 April 2008 silam ada acara malam keluarga mahasiswa FF-UNPAR Bandung yang diadakan di pemandian air panas (natural spring hot-water) Sariater, Subang. Salah satu acara yang menarik perhatian saya adalah atraksi para mahasiswa. Dalam salah satu untaian atraksi yang rada spontan (dan karena itu terkesan rada kacau) itu, salah seorang mahasiswa berteriak-teriak seperti sedang kesurupan roh jahat. Semula, apa yang ia teriakan itu tidak begitu jelas bagi saya, tetapi yang jelas teriakan itu seakan-akan menjadi refrein dasar penampilannya di atas panggung, dan ia menjadi sentrum teman-temannya yang lain. Setelah beberapa kali memperhatikan dengan cermat, ternyata kalimat yang ia teriakan itu ialah: “God is dead,” atau “Gott ist tot,” atau “Gott tot ist.” Dan kita semua tahu bahwa itulah Credo dari Nietschze yang sangat terkenal itu. Allah sudah mati. Tuhan sudah mati. Biasanya kalau manusia sudah mati maka ia bisa menjadi hantu, menjadi gentayangan.
Kita semua sudah tahu bahwa deklarasi atau credo Nietschze itu dimaksudkan demi upaya mewujudkan kebebasan dan pembebasan manusia secara moral; dan kebebasan itu tidak lain merupakan syarat datangnya sang manusia super, Uebermensch. Tanpa kondisi kebebasan seperti itu, maka akan sulit muncul manusia super di peradaban Barat. Menurut pemikiran Nietschze, manusia barat adalah manusia yang dibelenggu oleh moralitas budak warisan agama Yudeo-Kristen. Dan salah satu unsur pokok dalam moralitas budak itu adalah kepercayaan akan adanya Allah. Kepercayaan itulah yang dianggap membelenggu kesadaran manusia akan kebebasan. Atau Allah ada dan manusia tidak bebas, atau manusia bebas, maka Allah itu tidak ada. Demikian tesis J.P.Sartre, seakan-akan menggemakan kembali credo Nietszche itu. Maka menurut Nietszche Allah harus dibunuh dulu agar moralitas budak itu bisa melemah dan meluntur, lalu dari sana bisa tercipta kondisi yang kondusif bagi terciptanya manusia-super. Kalau Allah tidak dibunuh, maka akan sulit muncul manusia super itu.
Tetapi, apakah Allah itu memang sudah mati? Itulah pertanyaan kritis yang bisa diajukan oleh orang yang percaya atau orang yang beriman. Apakah “God is dead” itu benar-benar sebagai syarat mutlak untuk keagungan manusia? Saya pikir justeru ateisme itu adalah jurang yang menjerumuskan manusia kepada jurang nihilisme (demikian kata Walter Kasper dalam bukunya The God of Jesus Christ), jurang kehampaan yang teramat mengerikan dan menakutkan. Sebab adanya Allah dan pengalaman akan Allah menurut saya, mengikuti Edward Schillebeeckx (dalam bukunya Christ), merupakan horizon paling jauh dan paling luas dan sekaligus juga paling tinggi bagi realisasi kesadaran dan transendensi diri manusia. Tanpa iman akan Allah, maka tiada perspektif masa depan, tiada perspektif transendensi, perspektif yang melampaui tata kodrati manusia. Dan betapa sangat sumpeknya hidup dalam sejarah dan waktu ini tanpa perspektif masa depan, tanpa perspektif transendensi seperti itu.
Oleh karena itu, Allah adalah perspektif masa depan hidup manusia yang bisa memaknai sejarah kekinian. Oleh karena itu juga, saya cenderung mau berkata, dari pada berbicara tentang “God is dead,” mari kita mulai sekali lagi dan lagi melihat Allah, melihat jejak-jejak Allah (vestigia Dei) dalam kosmos ini agar kita pun akhirnya mampu berkata dan berseru dalam iman dan kepercayaan, “That is God,” sebagaimana yang sudah pernah terjadi dalam diri Fransiskus dari Asisi itu, yang melihat jejak Allah dalam semua makhluk ciptaan, yang pada gilirannya menyebabkan dia bisa merasa bersaudara dengan semua makhluk ciptaan, yang patut diajak bersama-sama memuji dan memuliakan Allah sang Pencipta yang maha agung. Itulah yang terjadi dan dipentaskan Fransiskus dengan sangat indah dan lantang dalam Kidung Saudara Mataharinya itu.
Terus terang saja, ketika membicarakan tentang hal ini saya serta merta teringat akan kisah dalam injil (Matius, Markus, Yohanes). Secara garis besar, dikisahkan bahwa pada suatu malam para murid Yesus pergi mendahului Yesus ke seberang danau memakai perahu. Sedang Yesus akan menyusul (entah pakai apa?), karena Ia mau berdoa dulu (setelah hari itu lewatkan dengan berkotbah dan pengajaran).
Biasanya, saya, dengan mengikuti tradisi penafsiran yang dianut dan dikembangkan oleh para Bapa Gereja, membaca teks ini secara alegoris: Laut adalah medan hidup. Perahu atau bahtera adalah gereja (seperti bahtera Nuh dulu). Mendayung atau mengayuh adalah lambang dari perjuangan hidup. Kegelapan malam adalah tantangan hidup.
Sementara murid-murid mendayung perahu mereka di tengah laut malam kelam, tiba-tiba di kejauhan mereka melihat sesosok orang tetapi orang itu berjalan di atas air laut. Serta merta mereka ketakutan dan berteriak: Itu hantu (Mat.14:26). Tentu saja itu adalah suatu pengalaman yang amat mengerikan, menakutkan. Hidup goncang di tengah laut, gara-gara melihat hantu. Maka mereka pun berteriak-teriak ketakutan.
Kemudian muncul sabda afirmasi dan konfirmasi: Jangan takut, ini Aku. Sabda afirmasi ini menyebabkan para murid perlahan-lahan beralih dari hantu ke Tuhan, dari “itu hantu” ke “itu Tuhan” (walau ungkapan ini sebenarnya berasal dari Yohanes 21:7). Sengaja saya tempatkan kedua ungkapan itu berjejer di sini sebab saya mau menampilkan sebuah permainan kata. Dan ini adalah sebuah permainan kata-kata yang sangat indah dan sangat menarik, dan sekaligus sangat bermakna juga. Peralihan dari “itu hantu” (Mat.14:26) ke “itu Tuhan” (Yoh.21:7) mendorong Petrus untuk segera datang mendekati Tuhan, dengan berjalan di atas air. Tetapi ia melakukan hal itu setelah meminta ijin terlebih dahulu kepada Yesus. Dan permohonan itu ia ajukan sebagai “pencobaan” dan syarat: Kalau itu betul-betul diriMu, maka suruhlah aku juga datang kepadaMu dengan berjalan di atas air. Jadi, permohonan ini bukan sebuah loncatan iman dan kepercayaan.
Oleh karena itu, setelah mulai berjalan beberapa langkah di atas air itu, Tuhan pun menguji dia dengan tantangan baru dalam laut kehidupan: angin yang menggoncangkan dan juga bisa menenggelamkan. Tiupan angin itu menyebabkan Petrus mulai bimbang. Dan pada saat itu, ketika ia sudah dicekam ketakutan ia kehilangan kepercayaan, ia pun mulai tenggelam. Tetapi berkat pertolongan Tuhan, akhirnya Petrus selamat, ia tidak jadi tenggelam. Baru sesudah itu ia loncat dan kemudian pasrah ke dalam pengakuan iman: “Itu Tuhan.” Maka semua murid yang menyaksikan hal itu lalu meloncat dan bermuara pada pengakuan iman yang serba jelas dan sangat lantang: “Sesungguhnya Engkau Anak Allah” (Mat.14:22-23).
Bandung, 10 April 2008.
No comments:
Post a Comment