Oleh
Fransiskus Borgias M
Tahun 1993, Parliament of World Religions (PWR) mendeklarasikan Global Ethics, yang didokumentasikan Hans Kueng dan Karl-Jo-seph Kuschel (Continuum, NY: 1993). Dua tahun sebelumnya H.Kueng menulis buku Projekt Weltethos (Inggris: Global Res-ponsibility; 1991). Judul kecilnya, In Search of a New World Ethic, memperlihatkan benang merah dengan deklarasi PWR itu. Benang merah lain ialah penekanan pada etika tanggung-jawab (planetarion responsibility). Benang merah ini muncul kembali dalam A Global Ethics for Global Politics and Economics (1997). Etika tanggung-jawab itu bermuara dalam Universal Declaration of Human Duty.
Teolog Tuebingen, H.Kueng, menekankan bahwa, seperti halnya hak, tanggung jawab adalah sesuatu yang asasi pada manusia: “Sejak awal mula manusia memiliki tanggung-jawab.” Aku bertanggung-jawab maka aku ada. Tanggung-jawab itu sedemikian asasinya, sehingga ia tidak dapat dikembalikan pada dan dijelaskan hanya berdasarkan hak belaka, karena “Tidak semua tanggung-jawab berasal dari hak.” Tanggung-jawab itu erat terkait dengan kesadaran moral. Penekanan yang berlebih-lebihan pada hak bisa bermuara pada khaos.
Tahun 1948, PBB menerbitkan Universal Declaration of Human Rights. Secara historis, deklarasi ini merupakan kontinuitas logis dari upaya pencarian akan etika global. Teks deklarasi ini adalah sebuah teks programatik-visioner. Ini merupakan bagian dari perkembangan kesadaran manusia menuju koeksistensi yang damai dan lebih baik. Perlu waktu lama untuk “menyadari” bahwa kewajiban asasi merupakan padanan intrinsik dari hak asasi. Perlu waktu cukup lama untuk menggapai pemahaman yang lebih baik antara Hak dan Kewajiban.
Tiba-tiba dunia terhentak oleh berbagai aksi teroris, mulai dari tragedi WTC New York sampai ke Tragedi Bali, JW.Marriott, Kuningan, tragedi Poso dan Ambon. Ancaman terorisme menghantui kita semua. Maka memburu teroris menjadi agenda utama negara-negara seperti Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, walaupun para lawan mereka juga mencap Amerika Serikat sebagai teroris nomor satu di dunia. Saat ini perang juga sedang membayangi kita. AS menginvasi Irak. Krisis nuklir terjadi dalam hubungan dengan Iran dan Korea Utara. Belum lagi konflik rasial-etnis-dan religius yang terjadi di Afrika, India, juga Indonesia, Thailand, dan di tempat-tempat lain.
Supremasi Etika
Apa relevansi semua wacana etika dan agama ini bagi kondisi tragis manusia, sekarang dan di sini? Ide utama di balik wacana ini adalah paham dasar bahwa “Etika adalah kesatuan tertinggi dari semua agama.” Apa yang penting adalah etika dengan pertanyaan pokoknya ialah “apa yang telah anda lakukan terhadap sesama?” (ortopraksis), dan bukan “apa keyakinan religius, ideologis, atau politis anda? (ortodoksis). Agama tanpa etika adalah hampa makna. Karena itu, dialog agama-agama harus dilakukan pada tataran etika dan ortopraksis (dialog karya, dialog hidup, menurut istilah Konsili Vatikan II). Dengan kata lain, dialog agama-agama harus berlandaskan pada landasan etika, pada keterlibatan sosio-etis dan pada ortopraksis. Landasan etis itu tentu saja tidak pertama-tama dicari pada tataran ortodoksis (dialog tematis, dialog teoretis) walau hal ini tidak seluruhnya diabaikan begitu saja.
Ada begitu banyak konflik di dunia ini yang penyebabnya ialah agama, atau setidaknya agama yang diperpolitisasi. Bahkan dapat dikatakan bahwa setiap konflik selalu merupakan dan mencakup konflik religius. Maka etika diharapkan dapat menjadi obat mujarab bagi tragedi kemanusiaan. Dari sinilah muncul ide etika global. Agama yang menaruh prioritas pada kepedulian etis akan bisa menjadi agama masa depan. Dan kepedulian etis tidak lain berarti cinta-kasih dan perhatian. Maka “agama masa depan adalah agama cinta,” tulis Umberto Eco.
Tetapi apakah hal itu benar? Tidak selalu. Pada dasarnya, etika menaruh kepedulian pada persoalan mengenai apa yang baik, kebaikan, bonitas, the idea of the good. Persoalannya ialah ide bonitas itu selalu aplikatif dan intensional: artinya, sesuatu itu “baik bagi…atau baik untuk….” Ide kebaikan mempunyai perspektifnya sendiri. Ide itu selalu perspektifal juga, sebagaimana pemahaman posmodernis akan kebenaran. Masalah pokok etika terletak dalam intensionalitas etika itu sendiri, terletak dalam sifat aplikatif dari ide kebaikan itu. “Apa yang baik bagi A” tidak otomatis “baik bagi B.”
Anjing-anjing di Nijmegen
Dari deklarasi ini terasa juga suatu ide lain yang kuat yaitu memandang agama sebagai etika semata. Dikatakan bahwa etika adalah inti pokok agama. Inilah filsafat dasar yang diperjuangkan H.Kueng dan Karl-Joseph Kuschel, dll, ketika mereka mempromosikan wacana global ethics yang terkenal itu dengan tekanan kuat pada global responsibility. Kalau pandangan ini diterima umum maka agama pun “direduksi” menjadi sekadar humanisme belaka. Bahkan agama hanyalah humanisme yang “dikombinasikan” dengan kesadaran transendental.
Tetapi, hal ini hampir tidak mungkin karena umat manusia selalu membutuhkan dan terarah pada identitas. Identitas itu bisa berupa etnisitas, agama, idelogi, dll. Kecenderungan dasar kepada identitas-lah yang mengkondisikan manusia untuk selalu berada dalam keadaan “membutuhkan” agama, selalu terarah kepada agama. Agama selalu dibutuhkan manusia sebagai identitasnya atau sebagai spiritualitasnya. Akhirnya, teks ini pun diterbitkan oleh orang Barat yang sudah mapan. Harap jangan dilupakan, masih ada kelompok manusia lain di dunia ini yang selalu berjuang mati-matian untuk dapat hidup. Kelompok kedua ini mencakup duapertiga penduduk dunia.
Tentu teks yang dideklarasikan itu adalah sebuah teks yang sangat baik. Tetapi, apa yang dibutuhkan bukan sekadar deklarasi, melainkan globalisasi solidaritas, meminjam istilah Paus Yohanes Paulus II (dalam ensiklik Solicitudo Rei Sosialis). Apa kongkretnya? Dalam salah satu seminar tentang agama dan globalisasi saya menantang profesor saya tentang solidaritas ini dengan menyinggung cara hidup orang Belanda khususnya di Nijmegen. Di sana anjing-anjing diberi “fasilitas” hidup yang sangat baik (mungkin karena sudah tinggi kesadaran akan hak asasi binatangnya). Tetapi jangan lupa ada banyak manusia di kawasan selatan yang hidup di bawah standar kelayakan-ekonomis. Kemakmuran dan kesenangan anjing-anjing di Nijmegen adalah ongkos yang sesungguhnya dapat dipakai untuk meningkatkan hidup manusia di dunia ke-3.
Dalam konteks kesadaran seperti ini, saya lebih suka berbicara tentang globalisasi solidaritas ketimbang tentang etika global walaupun globalisasi solidaritas itu pasti harus dilandaskan pada etika juga. Tetapi ini perkara prioritas. Bagi saya, globalisasi solidaritas adalah jauh lebih primer dibandingkan dengan wacana etika global; sebab yang terakhir ini berada di level ortodoksa, sedangkan yang terdahulu berada pada level ortopraksis, pada tindakan yang tepat, benar, dan segera untuk menangani krisis global yang menimpa anak manusia di planet ini.
Penulis adalah peneliti CCRS (Center for Cultural and Religious Studies) FF-UNPAR. Dosen teologi; pemerhati masalah agama dan etika-sosial. (Dimuat di Sinar Harapan 21 Oktober 2008).
No comments:
Post a Comment