Monday, October 20, 2008

Indonesia sebagai Laboratorium Dialog

Oleh

Fransiskus Borgias M

Dalam salah satu bukunya, One Earth Many Religions, Paul F.Knitter (1995), seorang teolog pluralis dari Amerika, pernah mengajukan sebuah tesis yang amat menarik, yaitu “India sebagai Laboratorium Dialog.” (Knitter, 1995: 157-166). Dari sinilah judul tulisan ini diangkat. Kata laboratorium itu umumnya berkonotasi positif, yaitu tempat penelitian dan eksperimen untuk pengembangan ilmu pengetahuan, transformasi peradaban masa depan, demi kesejahteraan umum manusia. Dalam artian positif itulah Knitter memakai metafor laboratorium ini. Dalam laboratorium itu diadakan banyak percobaan. Tetapi semuanya menuju ke arah yang baik. Tentu ada sisi gelap, sebab banyak limbah terbuang dari sana. Metafor ini baik juga walau tidak dibahas lebih lanjut.
Dalam laboratorium India itu ada beberapa unsur penting. Pertama, upaya ke arah pembangunan dialog liberatif (pembebasan). Dialog antar agama di India, agar benar-benar bermakna, harus mengupayakan pembebasan, bukan pembelengguan manusia; juga bukan penghancuran manusia lewat aksi kekerasan dan brutalitas atas nama Tuhan, yang sayangnya justeru karena itu dinodai kesucian dan keagungannya. Dialog antar agama adalah demi kemanusiaan yang bebas, for the sake of emancipated humanity.
Kedua, serentak disadari bahwa upaya itu tidak mudah sebab hal itu amat kompleks. Jika salah-salah ia tidak bisa dilaksanakan. Mengapa? Sebab sejarah India memperlihatkan fakta bahwa agama sering tampak sebagai “intercommunal weapon than an intercommunal bond.” (Knitter, 1995: 160). Ketiga, menyadari sejarah agama-agama yang banyak ditandai kekerasan, akhirnya disadari juga bahwa di India dialog adalah tahap kedua dan ketiga. Mana tahap pertama? Dengan memperhitungkan tangis korban, tahap pertama ialah upaya yang sadar ke arah penyadaran akan a hermeneutical suspicion of religion. Dialog antar agama harus dilakukan di atas atau sesudah hermeneutika keraguan ini.

Jangan Abaikan SARA

Keempat, adalah berbagai eksperimen pembangunan hidup bersama dengan model ashrams dan basic human communities. Diakui ada tegangan kreatif antara kedua model itu, demikian Knitter. Tetapi tegangan kreatif itu “.....are essential for a life-giving balance and interplay between a dialog of action and a dialogue of contemplation” (Knitter: 165).
Knitter mengambil judul “One Earth Many Religions” karena dia yakin agama-agama mempunyai tanggung jawab global yang amat besar atas “kesejahteraan” atau keutuhan bumi. Diyakini bahwa extra mundum nulla salus, di luar dunia tidak ada keselamatan.
Apa yang berlaku pada tataran global (mondial), berlaku juga pada tataran negara. Dalam satu negara ada banyak agama. Negara ditandai pluralitas aga-ma. Negara harus menjamin, menghormati, melindungi hal itu. Lebih kongkret lagi, dalam satu negara ada banyak manusia beragama. Itulah fakta dan data historis India. Itulah juga data dan fakta sejarah Indonesia. Indonesia lahir dari rahim keragaman SARA, demikian kata orang. Keragaman SARA itulah rahim yang mengandung dan melahirkan Indonesia. Kita tidak dapat menghapus fakta itu. Kita juga tidak dapat menutup mata terhadap fakta sejarah itu.
Karena itu, kita harus dididik agar bisa memiliki kerela-sediaan etik-politik untuk terbuka, berbudi pluralis, tidak ekstrimis-radikalis, dengan tendensi meniadakan yang lain. Ontologi yang mencoba menegaskan ada-ku, dengan meniadakan (negasi) yang lain, adalah ontologi antihuman. Sebuah ontologi filsafati yang cacat.
Kesadaran politik seperti itu harus berdampak secara etis pada perilaku. Pendidikan politik dimaksudkan untuk transformasi kesadaran, ke arah pengetahuan yang baik (ethical knowledge). Pengetahuan yang baik harus berdampak pada perasaan yang baik (feeling) dan berperilaku (conduct) yang baik. Itulah dimensi etis pendidikan politik. Kesadaran politik bahwa Indonesia adalah Negara dengan banyak agama dan banyak orang beragama, harus berdampak secara etis juga pada perilaku warganya.

Agama Cinta Kasih

Maka, dengan mengikuti empat komponen dalam laboratorium India tadi, kita dapat mengatakan empat hal berikut tentang Indonesia. Pertama, dalam kebudayaan ini kita perlu mengembangkan satu dialog pembebasan: bebas dari kesempitan, dari takut dan curiga akan lian, bebas dari nafsu anarki dan anihilasi dan negasi akan yang lain. Kedua, dalam laboratorium Indonesia kita juga perlu belajar dari sejarah hitam agama-agama, agar dengan itu dapat mengurangi (mencegah) risiko pengulangan sejarah kelam, sejarah kebencian di masa yang akan datang. Sebab terkenallah diktum ini: orang yang tidak belajar dari sejarah akan terkutuk untuk mengulangi sejarah itu bahkan secara lebih tragis lagi.
Ketiga, dalam laboratorium Indonesia, lagi-lagi dengan memperhitungkan sejarah hitam agama-agama, kita harus mengembangkan dan menanamkan a hermeneutical suspicion of religion. Ini adalah syarat penting bagi munculnya agama humanistik, agama cinta kasih, kata Charles Kimbal, agar agama tidak membawa bencana, duka, nestapa. Dalam agama humanistik, agama adalah untuk manusia, bukan manusia untuk agama, apalagi kalau agama itu cenderung berhenti pada level formalistic-legalistik, sehingga menjadi sekadar legalisme kaku-beku, rigoris dan bisa membelenggu dan mematikan.
Keempat, mungkin kita perlu mulai memikirkan satu rancangan pembangunan hidup bersama secara intereligius. Misalnya Seminari antar agama, pesantren antar agama, ashram antar agama, terutama dalam rangka proses pembentukan budi pluralis, inklusif, dan yang mampu dengan lapang dada dan jiwa menerima kehadiran lian yang berbeda dari aku. Sebab hanya kemampuan itulah yang dalam jangka panjang, dapat menjadi landasan dan prasyarat pembangunan masa depan kemanusiaan dan kebangsaan yang lebih baik. Kita mulai sekarang ini, sebelum terlambat. Tetapi untuk urusan mahabesar dan mahapenting ini, tidak ada kata terlambat.


Penulis adalah peneliti CCRS (Center for Cultural and Religious Studies) FF-UNPAR Bandung; dosen teologi pada fakultas yang sama.

(dimuat di Sinar Harapan, Jum'at 10 Oktober 2008).


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...