Almarhum Paus Yohanes Paulus II terkenal dengan sangat banyak pemikirannya tentang cinta dan hidup perkawinan. Dalam rangka itu ia telah menghasilkan buku-buku seperti Love and Responsibility, tentang cinta dan tanggung-jawab (tentang cinta dalam hidup perkawinan). Buku ini dilatar-belakangi oleh bukunya yang lain yang terkenal di bidang filsafat fenomenologi yaitu The Acting Person. Buku yang terakhir ini lebih jauh dilatar-belakangi oleh filsafat personalisme yang sangat hidup di kalangan para pemikir Katolik tahun 60-70 seperti Jacques Maritain, Emmanuel Mounier, G.K.Chesterton, dan Karol Woijtila itu sendiri, dll. Sekali lagi, harus diakui bahwa memang filsafat personalisme itu amat besar pengaruhnya atas diri Paus Yohanes Paulus II. Buku-buku beliau sebagian besar keluar dari refleksi filosofis dan teologisnya dan juga dari keterlibatan pastoralnya. Salah satunya ialah buku Love and Responsibility di atas tadi.
Buku-buku ini mempunyai pengaruh yang besar dan kuat pada dokumen Gaudium et Spes dari Konsili Vatikan II, khususnya yang menyangkut hidup perkawinan dan hidup keluarga. Ketika sudah menjadi Paulus, ia mengembangkan pemikiran teologis tentang perkawinan dalam Teologi Tubuh-nya yang terkenal dan populer itu (The Theology of the Body). Saya sendiri mendalami teologi itu dan saya berikan sebagai bahan kuliah Moral Seks dan Perkawinan pada program Magister Ilmu Teologi pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Konon semua pemikiran dia tentang teologi perkawinan dan cinta kemudian mengendap dalam dua ensikliknya yaitu Laborem Excercens dan Familiaris Consortio. Dalam kedua ensiklik inilah ia menyiratkan pandangannya bahwa Better Marriage, Holier Culture. Apa yang ia maksudkan dengan semboyan ini?
Sesungguhnya apa yang ia maksudkan adalah sesuatu hal yang sangat sederhana saja. Yaitu bahwa kalau hidup perkawinan dan keluarga menjadi semakin lebih baik (better marriage), maka dari sana atau di atas itu akan muncul sebuah kebudayaan yang lebih baik dan bahkan lebih suci juga (better and holier culture). Biarpun pernyataan atau semboyan ini sangat sederhana, sesungguhnya ada banyak hal yang tersirat dalam ungkapan yang indah ini.
Pertama, ketika merenungkan tentang semboyan ini saya langsung terpikir akan keluarga sebagai sel masyarakat, atau sebagai gereja kecil, sebagai ecclesia minuscula (istilah dari Santo Agustinus), atau ecclesia micra (istilah dari Yohanes Chrysostomus). Kedua, saya juga terpikir akan keluarga sebagai seminarium atau tempat persemaian untuk mendidik anak-anak dalam banyak segi kehidupan iman. Ketiga, saya juga serentak terpikir akan keluarga sebagai benteng moralitas dan sekaligus juga benteng religiositas, hidup kerohanian (spiritualitas). Keempat, saya juga serentak terpikir mengenai revolusi monogami yang dicanangkan Yesus walau pun secara tidak langsung. Menurut hemat saya inilah salah satu revolusi yang diperjuangkan oleh jemaat gereja purba. Perkawinan itu monogam, unitas, tidak terceraikan (Bdk.Mat.19:.......Kej.1:........).
Kalau perkawinan itu unitas, indisolubilitas, dan monogam, maka perkawinan itu diharapkan akan menjadi sebuah benteng yang kokoh. Dalam hidup perkawinan seperti itu, tidak ada yang akan menjadi korban atau dikorbankan. Isteri tidak menjadi korban atau dikorban. Padahal dalam hidup perkawinan yang longgar, isteri bisa menjadi korban atau dikorbankan. Kalau isteri sudah tua dan keriput dan tidak cantik lagi, maka bisa “diganti” dengan yang lebih baru, lebih segar. Kasihan, perempuan menjadi seperti benda saja. Inilah yang disebut proses reifikasi perempuan, pembendaan martabat manusia. Selanjutnya dalam perkawinan yang kokoh seperti itu, anak-anak juga tidak akan mudah menjadi korban atau dikorbankan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak anak menjadi korban atau dikorbankan karena problem broken home.
Sekadar sebuah ilustrasi. Bayangkan kalau sebuah perkawinan itu poligami: Seorang pria mempunyai lebih dari satu orang isteri. Dalam kebiasaan tertentu bisa memiliki sampai empat orang isteri sekaligus. Kalau ini yang terjadi, maka banyak isteri itu tentu harus hidup semua. Hidup berarti makan, pakaian, papan, dan rekreasi. Sampai saat ini peraturan perusahaan dan negara kita hanya mengadopsi kebiasaan perkawinan monogam, satu isteri, satu suami. Oleh karena itu, sistem penggajian dan tunjangan pun hanya untuk satu orang isteri dan paling banter sampai dua orang anak, itupun sampai batas umur sekian tahun. Menurut hemat saya, budaya korupsi dan konsumerisme dengan sangat gampang bisa muncul di sini. Mengapa? Bayangkan saja jalan pikiran berikut ini. Gaji yang resmi seorang ayah biasanya hanya cukup untuk satu isteri yang sah saja berikut anak-anak yang terlahir dari perkawinan pertama itu. Untuk isteri gelap atau isteri simpanan, negara tidak mau memikul beban itu. Kiranya itu sebuah beban yang terlalu berat juga. Itu berarti nanti ada pajak yang dimakan untuk membiayai orang yang beristeri lebih dari satu, kalau kebetulan orang itu adalah pegawai negeri.
Karena tidak ditunjang dan ditanggung negara maka orang harus mencari tambahan. Upaya mencari pekerjaan dan pendapatan tambahan inilah yang bisa menimbulkan atau memunculkan banyak praktek kotor: misalnya, orang bisa korupsi di kantornya. Atau orang juga bisa mengorbankan kerja yang utama, karena mengurus pekerjaan lain atau pekerjaan tambahan. Jadi dengan demikian etika kerja menjadi korban atau dikorbankan. Mutu kerja juga menjadi korban atau dikorbankan. Kalau ini yang terjadi, maka budaya sosial-kultural menjadi rusak karena hal-hal seperti itu. Kiranya kesimpulannya jelas. Kalau perkawinan kacau-balau, maka kebudayan sosio-kultural juga menjadi rusak, menjadi tidak suci, tidak dapat menjadi jauh lebih baik. Dari satu perkawinan saja bisa lahir beberapa orang anak. Apalagi dari perkawinan dengan lebih dari satu isteri: dari sana akan muncul banyak anak, banyak mulut, banyak perut. Itulah yang menjadi soal. Setiap kali ada orang yang mengatakan (sebagai pembenaran) bahwa banyak anak itu adalah rahmat dari Allah. Jangan terlalu dipikirkan mengenai bagaimana mereka akan makan, minum, berpakaian. Serahkan semuanya pada Allah, sebab rejeki itu ada di tangan Allah. Nah sehubungan dengan ini, saya harus dengan jujur dan tegas mengatakan bahwa aku tidak sepenuhnya percaya bahwa rejeki ada di tangan Allah. Ini sebentuk fatalisme. Dalam konteks seperti itu, Allah tidak akan membenarkan kalau orang harus korupsi demi menghidupi anak-anak yang banyak. Maka sekali lagi, saya kembali lagi ke semboyan awal: Better marriage, holier culture. Mari kita bina hidup dan lembaga perkawinan kita agar bisa menjadi agen perubahan kultural ke arah kultur yang lebih baik dan lebih suci.
(Ditulis di Bandung, 04-10-08).
No comments:
Post a Comment