Friday, July 9, 2010

PANGANDARAAN

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Lay Theologian dan Peneliti GESER INSTITUTE dan CCRS FF-UNPAR BANDUNG
Center for Cultural and Religious Studies



Sejak kemarin (05 Juli), kami dari Fakultas Filsafat UNPAR Bandung, mengadakan rekreasi bersama sebagai Fakultas ke pantai Pangandaraan. Kemarin sore kami sudah menikmati laut dan deburan ombak di tepi pantai. Amat indah, dan amat menyenangkan. Pagi hari ini sekali lagi beberapa orang dari antara kami kembali menikmati laut dan deburan ombak itu. Saya coba menikmati ombak itu dengan tidur tertelentang di atas papan pelampung sewaan. Ternyata sangat nikmat dan menyenangkan. Saya coba mengatur nafas saya sambil mengucapkan berdoa sepuluh kali salam Maria. Ternyata semakin menyenangkan, maka saya teruskan lagi sampai beberapa puluh kali. Latihan olah pernafasan di permukaan laut, di tepi pantai yang indah dan cerah dan ramai.

Setelah satu setengah jam, saya istirahat di pasir pantai. Sambil beristirahat saya coba mengorek-ngorek pasir di pantai itu dengan ujung jemari kaki kananku. Tiba-tiba aku mempelajari dua pelajaran penting dan berharga dari alam dan laut serta pantai.

Pelajaran penting pertama dan paling penting ialah kesetiaan debur ombak di tepi pantai; debur ombak itu sangat rutin, tetapi yang menarik perhatian saya ialah bahwa rutinitas yang teramat abadi itu justru di satu pihak melakukan rutinitas itu sendiri dan di lain pihak sekaligus menembus dan mengatasi rutinitas itu. Dan sekali lagi, hal itu telah berlangsung secara abadi. Dengan itu mereka menjadi rutinitas yang sekaligus mematahkan tirani runititas itu sendiri. Terdengar sangat paradoksal. Tetapi memang demikianlah adanya dan faktanya. Ada banyak paradox dalam kehidupan ini. Memang. Dan paradox ombak yang serba rutin sekaligus menembus belenggu runitas itu adalah salah satunya yang tiba-tiba saya sadari sekali lagi sekarang dan di sini.

Pelajaran kedua, yang juga tidak kalah penting maknya, saya dapatkan ketika ujung-ujung jari kakiku mengorek-ngorek butir-butir pasir di pantai itu. Saya begitu menikmatinya. Entahlah mengapa dan bagaimana. Semakin lama, kedua kakiku pun semakin dalam mengorek dan terbentuklah kolam kecil dan kedua kakiku berendam di dalamnya. Kakiku terendam di dalam kolam kecil yang bening itu. Karena air itu, maka semakin mudah pula kakiku mengorek pasir dan mengangkat pasir yang terkorek itu ke atas, ke tepian lobang yang terbentuk oleh kakiku. Aku memandangnya. Saya mengkontemplasinya.

Entah mengapa dan entah bagaimana, tiba-tiba saja muncul pikiran dalam hatiku bahwa mungkin saja ada makhluk h idup yang kasat mata di dalam pasir-pasir itu. Setelah beberapa saat lamanya, akhirnya saya pun menyadari bahwa itu bukan lagi sekadar sebuah kemungkinan, melainkan sebuah kenyataan dan kepastian: ya, di sana pasti ada makhluk hidup. Lalu saya pun membayangkan bahwa korekan kakiku pasti menimbulkan badai tsunami bagi makhluk-makhluk itu. Tiba-tiba saya sadar bahwa apa yang merupakan kesenangan bagi saya, bisa saja merupakan sebuah bencana badai tsunami bagi pihak yang lain di sekitar saya.

Lalu kaki pun berhenti mengorek. Mungkin makhluk-makhluk itu sekarang sudah merasa sekadar rasa lega. Tidak ada lagi benda “raksasa” yang mengorek dan menggaruk rumah kediaman mereka yang mungkin nyaman di dalam pasir itu. Tetapi yang jelas tidak ada protes, tidak ada kutuk, tidak ada caci maki. Atau mungkin ada, tetapi setidaknya saya tidak melihat dan menyadarinya. Ya, mungkin ini sebuah pelajaran yang sangat penting dan berharga bagi saya, dan bagi umat manusia pada umumnya dalam menghadapi dan menyikapi bencana. Yaitu: mengarunginya dan menghayatinya sebagai bagian utuh dari drama kehidupan ini.

Mungkin saja semua peristiwa itu terjadi demi pematangan diriku. Mungkin juga semua itu terjadi demi pemurnian hati, pikiran, dan motivasi hidupku. Aku harus bisa dan mau menerima begitu saja. Sikap ini terasa seperti berbau fatalistic. Tetapi alam mengajarkan irama seperti itu kepada saya. Maka pikir saya, manusia juga harus hidup seperti alam itu. Yakni bisa dan mau menerima semuanya apa adanya. Tidak melulu terjebak dalam kesempitan dan keangkuhan visi antroposentrik yang serba egoistic dan cenderung terbukti bersifat destruktif.

Pangandaran, 06 Juli 2010
Diketik kembali seraya diperluas, 10 Juli 2010 di Bandung.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...