Sunday, July 17, 2011

EMPTY-NEST SYNDROME

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Hari ini, 6 Juli 2011, anak kami, Yoan, mulai menjalani hidup baru sebagai anak asrama di Sedes Sapientiae, Bedono. Tanggal ini sudah lama kami tunggu kedatangannya, bahkan beberapa hari terakhir kami juga melakukan perhitungan mundur (count down), suatu hal yang juga dilakukan oleh anak kami di status facebooknya. Akhirnya tanggal itu tiba juga. Tadi pagi kami ke Bedono. Semua berjalan lancar. Jarak Yogya-Bedono bisa ditempuh tidak lebih dari satu setengah jam. Setelah semua acara berlalu (pendaftaran ulang, ceking barang, serah terima, pamitan), akhirnya jam 15.00 sore kami bertiga (saya, isteri, dan Agung) harus meninggalkan asrama. Sedih juga rasanya.

Tiba-tiba pada saat itu saya teringat akan pengalaman saya sendiri kira-kira 36 tahun silam, ketika saya untuk pertama kalinya masuk asrama SMP Seminari Pius XII, Kisol setelah baru saja menamatkan Sekolah Dasar di Ketang. Saya masih ingat bahwa saat itu saya sedih sekali.

Sekarang anak putri kami sendiri, yang pergi meninggalkan kami dan mulai menempuh cara hidup baru sebagai anak asrama. Tadi ketika akan berpisah, ia kelihatan kuat, tegar, tabah dan mencoba tertawa. Saya tidak bisa menduga apa yang ada dalam hatinya saat itu. Mungkin ia sedih, mungkin ia menangis, mungkin ia juga kesepian. Ketika pulang, isteri saya menyatakan perasaannya: ia sedih, ia merasa sangat kehilangan. Aku coba menghibur dia: Kita tidak boleh menangis agar anak kita jangan menjadi sedih lewat telepati, hubungan batin antara anak dan orang tua. Ketika sampai di rumah, kami sempat nonton bersama film Korea kesukaan Yoan; sedih juga rasanya.

Isteri saya dan saya secara langsung dan nyata mengalami apa yang oleh para ahli ilmu jiwa disebut sindom sarang kosong, atau empty-net syndrom. Ini adalah istilah dunia psikologi yang diangkat dari dunia nyata, dunia induk burung. Konon induk burung ketika untuk pertama kalinya melihat sarangnya kosong karena anak-anaknya sudah terbang dan pergi menjauh, induk itu akan tampak seperti sejenak kebingungan, berkaok-kaok bisa sampai sehari penuh, menciap-ciap seperti meratapi kesepiannya. Ia meloncat ke sana ke mari di dahan di sekitar sarang kosong itu seakan-akan mencari dengan sia-sia sisa-sisa kenangan yang mungkin masih melengket di sana. Tetapi semuanya tidak berguna. Anak-anaknya yang selama ini ada dalam sarangnya, dan berada di bawah kepak sayap-sayapnya yang hangat sebagai induk, kini sudah terbang dan pergi. Mencari dirinya sendiri, menjadi dirinya sendiri, membangun dunia dan masa depan mereka sendiri.

Ya, hari ini, kami mengalami sindrom itu: anak kami yang selama sekian lama seperti ada dalam tangan dan pelukan kami, kini sudah pergi rada jauh dari kami, hidup dan tinggal dalam situasi berjarak. Dia yang kemarin-kemarin masih ada di sisi kami, kini sudah berada jauh dari kami. Ya, kami harus tegar dan kuat. Seperti induk burung itu, kami juga akan mulai terbiasa dengan keadaan itu, lalu kembali ke rutinitas kami; tetapi tetap ada cinta dan kasih sayang untuk Yoan. Agung juga mengatakan dan mengungkapkan rasa sepi dan kehilangannya.Ia sepi dan sedih. Ya, kami harus arungi semua ini demi pematangan dan pendewasan kami semua.

Benar kata para guru pendamping di sana, bahwa yang menjalani MOS itu tidak hanya siswa, melainkan juga orang tua. Orang tua harus juga berusaha membiasakan diri dengan perubahan besar ini dalam hidup mereka. Harus bisa menerima apa yang pernah dikatakan Kahlil Gibran bahwa Anakmu bukan milikmu,melainkan milik sang Hidup yang cinta pada dirinya sendiri. Ia memang datang melalui engkau, tetapi bukan dari kamu. Karena itu, berilah kepadanya pakaian untuk badannnya, bukan untuk pikirannya, sebab mereka adalah penghuni masa depan, yang tidak dapat kamu datangi, sekalipun hanya dalam impian.

Yah begitulah hidup manusia. Ada ambang batas yang tidak dapat dilewati, di mana setiap orang harus berhenti. Mengakhiri perjalanannya. Harus rela memberi kesempatan kepada angkatan yang baru di masa yang akan datang.

Yogya, 06 Juli 2011
Ditulis kembali dan diperbaiki tanggal 11 Juli 2011.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...