Sunday, May 29, 2011

ALAM SEBAGAI SAUDARA

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Surat gembala Prapaskah Administrator keuskupan Bandung tahun 2008 menyinggung kepedulian kita akan lingkungan hidup. Ada beberapa hal yang menarik di situ.

Pertama, beliau mengajak kita menaruh perhatian dan kepedulian yang besar kepada masalah lingkungan hidup. Mungkin selama ini belum terlalu besar, maka sekarang lebih besar lagi. Mungkin selama ini, hanya gerakan sempalan kelompok berminat, maka sekarang mau menjadi gerakan keuskupan. Dalam hal ini, keuskupan mau menjadi keuskupan hijau, green bishopric, seperti green bible, green church, green party, green thinking, bahkan green God (kata Yan Sunyata OSC dalam buku: Terobosan Baru Berteologi: Lamalera, 2009). Kalau ini benar maka arah keuskupan sudah tepat, karena kita ada dalam dunia ini, kita adalah gereja yang berziarah di dunia, gereja yang berjuang, gereja pejuang, di tengah bumi yang makin panas, dan iklimnya berubah dan tampak tidak bersahabat dengan kita (mengutip Ebiet G.Ade, dalam balada “Perjalanan I”-nya yang terkenal itu).

Kalau kita sadar bahwa kita berada dalam dunia ini, maka kita harus memikirkan dengan serius dunia ini tempat kita hidup, sebab walau kita tidak berasal dari dunia ini (Injil Yohanes), tetapi kita ada dalam dunia. Kesejahteraan hidup kita harus diupayakan dalam konteks keutuhan relasi dengan dunia. Mungkin ini saatnya kita harus menerima keyakinan teologis yang dicanangkan E.Schillebeeckx: “di luar dunia tidak ada keselamatan,” extra mundum nulla salus. Jika kita mau mengupayakan keselamatan, kita mengupayakannya dalam dunia ini, sebab kita tidak punya pesawat jet yang membawa kita secepat kilat dari bumi ini ke planet lain untuk diselamatkan dari bumi yang hancur dan rusak ini. Keselamatan kita harus diupayakan dalam dan bersama bumi. Inilah tanggung-jawab semua umat beragama, termasuk orang Kristiani, sebab dalam bumi yang satu dan hanya satu ini ada banyak agama, maka banyak agama itu harus menaruh kepedulian etis pada bumi yang satu dan sama itu. Seperti kata Paul F.Knitter, One Earth Many Religions. Dalam rangka itu kita membutuhkan apa yang disebut etika dunia, Welt-ethos (Hans Kung). Sebab hidup dalam dunia ini juga perlu etika. Tanpa etika semuanya hancur. Etikanya ialah etika perhatian, etika yang memberi hati, memberi per-hati-an.

Kedua, teks itu juga beberapa kali menyebut alam sebagai saudara. Mungkin ada umat yang terkejut: Bagaimana mungkin alam ini saudara saya? Bagaimana mungkin cacing saudara saya? Bagaimana mungkin gunung saudara saya? Bagaimana mungkin air saudara saya? Pernyataan bahwa alam adalah saudara kita, perlu penjelasan lebih lanjut. Sebab tidak gampang menerima bahwa manusia bersaudara dengan alam di sekitarnya. Percik-percik ke arah transendensi yang ada dalam diri manusia seakan sulit didamaikan dengan ikatan gravitasi imanensi dalam alam semesta dan segala makhluk. Mungkin ada yang spontan berkata, pernyataan itu tidak mengandung kebenaran, atau kalau mengandung kebenaran maka itu hanya sebuah romantisisme naturalis yang sudah lama kelewat usang dan kadaluwarsa.

Tetapi tidak demikian adanya. Paham bahwa alam adalah saudara sesungguhnya merupakan salah satu warisan agung dari agama-agama asli, agama alam yang ada di sekitar kita, dan mungkin masih mewarnai penghayatan religiositas Kristiani kita, apalagi kalau religiositas kristiani itu ikut diwarnai dalam perkembangannya oleh insight agama-agama kosmik. Ketika menjadi dosen tamu pada STFT Fajar Timur di Abepura, Papua akhir 2007, saya membaca beberapa manuskrip tentang visi kosmik orang Papua khususnya Pegunungan Tengah. Bagi mereka gunung adalah “ibu” yang sekarang rusak karena pertambangan Freeport yang bernama Tembagapura, tetapi sesungguhnya Emaspura. Mungkin tersimpan dalam kosa kata Indonesia yang menyebut bumi, ibu pertiwi. Ya, bumi adalah rahim ibu, ibu rachim, yang melahirkan dan menghidupkan, mengasuh kita. Ketika teman saya di SD dulu ditimpa kelaparan, orang sekampungnya pergi ke hutan mencari makanan dalam mensa communis-cosmic, tetapi mereka melakukan itu dalam ritual ratapan permohonan maaf karena bakal menyakiti pepohonan di hutan (khususnya enau yang diambil sagunya, pucuknya, buahnya untuk makanan); kehadiran mereka di hutan dianggap mengganggu, maka mereka harus kulo-nuwun terlebih dahulu. Sopan santun seperti ini adalah warisan agung dan luhur dari agama-agama kosmis. Agama asli di sekitar kita mengajarkan ada relasi persaudaraan yang sangat erat antara kita manusia dan alam di sekitar kita. Kita harus menghormati hal itu.

Selain warisan agama asli, ini juga adalah warisan dari tokoh agung Fransiskus dari Asisi. Ia terkenal dengan puisi kosmiknya yang agung itu, yang dikenal dengan sebutan Gita Sang Surya; juga disebut Kidung Saudara Matahari, The Canticle of Brother Sun, Canticum Solis. Sesungguhnya intuisi kosmis Fransiskus juga tidak seluruhnya baru, sebab ia berada dalam sebuah tradisi religius yang sangat besar, yaitu Kristiani yang di sana-sini mungkin dipengaruhi tradisi mistik kosmik Celtik yang masuk ke Eropa daratan lewat daratan Perancis dan sampai ke gerakan naturalisme abad pertengahan yang amat kental dalam diri Fransiskus Asisi, bahkan ia menjadi salah satu pilar utamanya. Dalam tradisi agung Kristinani, kita mempunyai warisan agung Perjanjian Lama, yaitu kitab Mazmur dan Lagu tiga bersaudara yang terkenal itu. Dari Mazmur kita kenal Mazmur 8 yang memuja keagungan alam dan lewat alam orang sampai mengagumi Pencipta: Betapa mulia namaMu di seluruh bumi, agung mengatasi langit. Gita Sang Surya Fransiskus mirip dengan lagu tiga bersaudara dalam tanur api itu. Tetapi dalam GSS ada sebuah loncatan eksistensial. Semua unsur kosmis yang disebut dan diajak tiga bersaudara itu tanpa embel-embel, oleh Fransiskus diberi embel-embel sebutan saudara dan saudari. Terpujilah Engkau Tuhanku karena saudara Matahari. Inilah loncatan eksistensial dalam penghayatan Fransiskus tadi. Ia memandang alam dan isinya sebagai saudara; sebagai saudara sangat layak diajak memuji Allah bersama-sama dalam sebuah paduan suara semesta.

Orang yang akrab dengan tradisi Kristiani ala spiritualitas Celtic juga sangat merasakan dimensi kosmis ini dalam penghayatannya. Jadi, kalau surat gembala itu menyebut alam sebagai saudara, itu bukanlah sebuah ajaran baru atau apalagi sesat, melainkan beliau memperkenalkan sebuah intuisi purba religiositas dan spiritualitas Kristiani kita yang sangat tinggi. Apalagi kalau kita akrab dengan tradisi dan spiritulitas Fransiskan yang seluruhnya berjiwa kosmis itu, tetapi sekaligus melampaui kosmis untuk bermuara pada pangkuan agung sang pencipta kosmos, yaitu Allah sendiri.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...