Monday, November 30, 2009

HANDUK VERONIKA

Oleh: Fransiskus Borgias M.(EFBE@fransisbm)


Dalam Tempo, 17 Januari 2005, Goenawan Muhamad, menulis sebuah catatan pinggir yang sangat menarik, yang berjudul “Balsam.” Dikisahkan di sana bahwa ada seorang perempuan anggota partai terlarang, yang tertangkap dan sedang disiksa para tentara. Ia disiksa di tengah malam, dan dibiarkan badannya setengah telanjang dalam angin dan kedinginan malam. Tentu saja sangat dingin. Sementara ia diikat di tiang sula. Tidak berdaya melindungi badannya sendiri sekadar memberi kehangatan. Di tengah kegelapan malam menjelang dinihari, ada seorang bapa tua, pegawai negeri sipil. Ia datang pada malam hari menjelang dinihari karena tergerak oleh iba dan belas kasih (welas asih) kepada perempuan yang disula itu. Ia membawa balsam. Lalu ia mengoles tubuh perempuan itu sambil minta maaf. Itulah cuplikan singkat dari buku karangan Carmel Budiardjo, yang berjudul Bertahan Hidup di Gulag Indonesia.

Ketika membaca catatan pinggir Mas Gun ini, spontan saya teringat akan dua tokoh yang mirip seperti bapa tua itu di masa silam, di tempat lain, di gulag yang lain. Tokoh pertama, Veronika. Tokoh kedua, Maximillianus Maria Kolbe. Dahulu kala, di suatu tempat, ada seorang hukuman. Ia disiksa, lalu diarak dengan kayu palang siksaannya ke luar kota untuk disalibkan di sebuah puncak bukit. Di tengah jalan ada perempuan yang menaruh iba. Ia datang membawa handuk, sekadar untuk melap keringat orang itu. Perempuan itu berani menerobos barisan serdadu yang mengawal perjalanan si terhukum itu ke bukit penyaliban. Ia memperlihatkan rasa iba dan belas kasih dan solidaritas. Sederhana sekali, tetapi penuh tantangan. Butuh keberanian untuk melakukannya. Tetapi bagi si terhukum hal itu sudah lebih dari cukup. Ia merasa tidak sendirian dalam deritanya. Ada solidaritas. Solidaritas itu membawa kekuatan dan kehangatan. Sebagai balas jasa, gambar wajahnya muncul di handuk itu. Lalu diidentifikasi sebagai verus eikon, gambar yang benar. Lalu sebutan itu menjadi nama pribadi, Veronika. Itu yang pertama.

Ada seorang pria. Ditawan Nazi hanya karena ia Yahudi. Nazi kejam. Mereka gila. Dalam kegilaannya mereka menggilir tawanan untuk dihukum mati. Lalu tibalah giliran pria separuh baya. Ia punya isteri, punya anak. Jadi, ia masih punya tanggungan hidup. Maka Kolbe tampil untuk mengganti tempat dia. Kolbe mati, pria itu selamat, melampaui Perang Dunia II.

Kekuatan apa yang ada dalam diri mereka? Kiranya itulah kekuatan cinta yang terwujud dalam solidaritas. Ilham dasarnya ialah injil: tiada kasih yang lebih besar dari pada kasih seseorang yang rela menyabung nyawanya demi sesamanya. Itu sudah terjadi pada Yesus, pada Veronika, pada Maria Kolbe, pada Bapa tua yang mengoles Balsam pada tubuh Sri Ambar di penjara pagi buta. Kasih dan solidaritas dalam derita itu pasti mendatangkan penyembuhan, kekuatan, dan penghiburan.

Atas dasar garis refleksi inilah, Yohanes Paulus II, jauh di kemudian hari menulis sebuah surat apostolik berjudul Salvafici Doloris, tentang duka dan kepedihan yang mendatangkan efek penyembuhan dan penyelamatan. Hati manusia selalu mampu melakukan hal seperti itu. Dalam teologi Perjanjian Lama, ini disebut dimensi vicaris dari penderitaan. Ada orang yang rela menderita demi orang lain dan hal itu mendatangkan shalom. Itulah yang terjadi pada Hamba Yahweh, Ebed Adonai, dalam Yesaya itu.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...