Friday, December 18, 2009

MENDALAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 58

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)


Mazmur ini hanya 12 ayat. Judulnya: Terhadap pembesar lalim. Karena itu saya sebut mazmur ini mazmur politik karena mempersoalkan sikap politik penguasa. Mazmur ini dapat dibagi tiga. Bgn I: ayt 2-6. Bgn II: ay 7-10. Bgn III: ay 11-12.

Bgn I melukiskan sikap politik penguasa. Ay 2 dimulai dengan dua pertanyaan retoris mengenai putusan penguasa? Apakah itu putusan adil? Apakah penguasa menghakimi dengan jujur? Keadilan dan kejujuran penguasa dipersoalkan di sini sebab dua hal itu sering dilanggar penguasa, dan yang menderita ialah rakyat kecil, yang tidak berdaya. Ternyata pertanyaan retoris-politis itu dijawab bahwa yang diharapkan tidak sesuai kenyataan. Ay 3 menyebut dua agen perbuatan manusia: niat dan tangan. Niat adalah perkara hati dan budi. Pada level niat pun penguasa merancang kejahatan. Tangan adalah pelaksana pemikiran, apa yang diniatkan hati. Pada level ini penguasa melakukan kekerasan. Hati merancang kejahatan, tangan tinggal melakukan niat itu. Lebih tragis lagi apa yang dikatakan ay 4: perilaku menyimpang orang fasik terbentuk sejak lahir, dan pendusta tersesat sejak kandungan. Jadi, betapa dalamnya akar kejahatan. Penguasa seperti ini berbahaya dan diibaratkan racun ular berbisa. Biasanya penguasa lalim tidak mau mendengarkan suara alternatif yang mendorong perbaikan dan perubahan. Hal itu diibaratkan telinga ular tedung yang tuli, yang tidak bisa dan tidak mau mendengarkan suara dari luar, biarpun suara luar itu pandai, profetis, visioner. Penguasa seperti ini hanya menimbulkan sengsara, ketidak-adilan, dan tegar-tengkuk, sulit diperbaiki, sulit diubah. Lalu bagaimana?

Pemazmur tampak seperti putus-asa. Mungkin ia melakukan banyak perbaikan, kritik tetapi ia menghadapi tembok kaku dan telinga tuli, yang tidak mendengar sama sekali. Maka dalam Bgn II, pemazmur masuk ke dalam doa. Setelah ia merasa tidak berdaya menghadapi dan mengoreksi penguasa lalim ia berdoa agar Allah yang kini bertindak. Dalam ay 7 ia mengemukakan metafor gigi. Gigi adalah alat menggigit dan di sini gigi adalah alat penindasan. Pemazmur meminta Allah agar sudi menghancurkan alat penindasan itu di sumber kekerasan dan nafsu yang di sini dilambangkan mulut terutama mulut singa muda yang masih mempunyai banyak waktu untuk melakukan kejahatan dan kekerasan dengan gigi dan mulutnya. Dalam ay 8-9 ia berharap agar penguasa lalim dan kejam itu lenyap dari muka bumi. Sirna seperti air menguap, layu seperti rumput di pinggir jalan, mati seperti siput mencair kepanasan, bahkan mengalami keguguran sebelum lahir. Ay 10 agak sulit ditafsirkan. Tetapi itu juga merupakan sumpah serapah agar penguasa lalim tidak menikmati kenyamanan dan kenikmatan hidup yang antara lain disimbolkan dengan makan enak yang diperoleh dengan proses memasak tertentu.

Bgn III, mencoba mengungkapkan rasa lega pemazmur setelah melihat dan merasakan perbuatan Tuhan yang menegakkan kebenaran, kejujuran dan keadilan di bumi ini. Kalau Tuhan bertindak seperti diharapkan pemazmur maka ia bersukacita mengalami tindakan itu. Orang fasik akan mati dan di atas kematian itu orang benar akan hidup. Kalau itu terjadi, ia yakin bahwa orang benar pasti mempunyai pahala. Kalau itu terjadi, kepercayaan orang akan Allah bisa dipulihkan kembali, sebab dengan itu mereka percaya bahwa masih ada Allah yang menegakkan keadilan, kebenaran, dan kejujuran di bumi ini. Itu sebabnya kekejaman, kelaliman, penindasan penguasa lalim berdampak ateisme praktis, yaitu orang hidup dan berbuat seakan Allah tidak ada. Sebab apakah Allah ada atau tidak, Ia tidak peduli. Kalau Ia peduli seperti diharapkan pemazmur, maka hal itu mendatangkan dan menyuburkan iman. Itulah pesan pokok mazmur politik ini.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...