Sunday, November 9, 2008

CATATAN PINGGIR GOENAWAN MOHAMAD

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Minggu yang lalu saya membeli beberapa buah buku bacaan. Salah satu buku yang saya beli adalah buku dari Goenawan Mohamad. Saya langsung melahap buku itu sampai habis. Kemarin aku baru selesai membaca buku itu. Judulnya sangat unik dan menarik: Tuhan dan hal-hal yang tak selesai. Buku ini berisi 99 refleksi singkat dari bapak GM (serentak mengingatkan kita akan 99 nama-nama Allah dalam teologi Islam). Refleksi itu padat, cerdas, jujur, berani, polos apa adanya, dan mungkin terasa spontan juga. Harus diakui sekali lagi, ini sebuah endapan refleksi yang sangat padat. Dan juga bernada puitis, walau tidak dimaksudkan sebagai sebuah kumpulan puisi juga.

Setelah membaca buku ini muncul kembali sebuah niat lama dalam diri saya untuk membeli semua buku kumpulan Catatan Pinggir beliau. Selama ini saya sudah menikmati semua catatan beliau itu dalam mingguan Tempo. Bahkan sejak di seminari kecil dulu, itulah salah satu rubrik dalam Tempo yang paling banyak saya baca, paling banyak menyita waktu saya untuk saya pikirkan dan renungkan dengan serius dan mendalam. Kadang-kadang saya tidak berhasil sepenuhnya dengan dan dalam upaya memahami rangkaian permenungan itu. Kadang-kadang saya malah menjadi bingung karenanya.

Sekarang aku mau memiliki semua kumpulan itu yang sudah mencapai tujuh kumpulan. Mengapa saya mempunyai keinginan seperti itu? Itulah yang ingin saya sharingkan dalam tulisan singkat dan sederhana ini. Terus terang saja saya mempunyai beberapa tujuan dengan pembelian dan pemilikan buku-buku ini.

Pertama, saya tahu dengan pasti bahwa GM banyak sekali membaca buku dalam pelbagai bahasa karena ia tahu beberapa bahasa besar di dunia ini (Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, dll). Saya sangat yakin bahwa pasti buku-buku yang dibacanya itu dengan satu dan lain cara terendapkan dalam tulisan-tulisanya. Maka membaca GM bagi saya adalah sudah kurang lebih sama dengan ikut menikmati apa yang telah dibaca GM dengan sangat tekun dalam pelbagai buku dan dalam pelbagai bahasa. Aritnya dapat kita ikut bersama membaca bersama orang yang mampu membaca cepat dan dengan tingkat analitis dan daya kritis yang sangat tinggi.

Kedua, saya juga tahu dengan pasti bahwa GM banyak melakukan perjalanan ke pelbagai belahan dunia dan tidak lupa juga mencatat kesan, pesan, dan pengalamannya dalam bentuk tertulis. Dalam hal ini ia adalah seorang pengamat yang sangat baik, cermat dan intens, seorang kontemplatif dalam artian yang sebenarnya dari kata itu. Dengan membaca catatan-catatan pinggir beliau, dengan satu dan lain cara saya mau ikut “melihat” apa yang ia lihat. Saya juga mau tahu pelbagai pendapatnya tentang apa saja yang ia lihat di dunia ini.

Ketiga, saya juga tahu dengan sangat pasti bahwa GM adalah seorang seniman kata-kata, dan dalam hal ini ia adalah seorang yang sangat genius. Ia adalah genius kata-kata, tidak hanya seniman kata-kata. Maka tidaklah mengherankan bahwa di tangan dia kata-kata menjadi sangat bermakna dan berdaya kuasa menggerakkan dan mengilhami, menyingkap, dan mengubah, mentransformir. Gaya bahasanya indah, padat, lugas, dan bagi saya sangat mendalam. Ada dimensi keluasan dan kedalaman tertentu yang tersingkap tatkala saya mencoba membaca beliau. Yang lebih ajaib lagi, tulisan-tulisan dia itu selalu mampu membuka cakrawala pemikiran baru dan yang lebih luas dalam diri saya. Itulah yang menjadi pengalaman saya selama ini yang membuat saya selalu merasa tertarik dengan mas GM ini.

Keempat, seorang orang Katolik saya mau menghargai GM, sebab ia mampu memberi visi dan evaluasi alternatif terhadap banyak segi dari warisan agung teologi Kristiani. Menurut saya, ini adalah sebuah variasi yang snagat baik. Mungkin apa yang ia katakan tidak selalu tepat, tetapi bagi saya hal itu tidak apa-apa; sebab dengan membaca GM saya mempunyai kesempatan untuk mencoba menghargai cara pandang yang lain. Mencoba menerima dan menghargai pemikiran dan penilaian yang lain.

Ada banyak contoh mengenai hal ini. Tetapi saya hanya mau mengangkat contoh berikut ini saja. Dalam buku yang baru saya baca hal berikut ini: ia memberi kesannya juga ketika ia pergi ke Brasil dan melihat patung Kristus Penebus yang berukuran raksasa di sana. Dalam penilaiannya, ia seakan-akan memberi sebuah kesan sebagai berikut, bahwa patung itu seadanya tidak terkesan religius sama sekali, kecuali ukurannya yang raksasa itu. Tetapi dia lupa akan kenyataan bahwa itu adalah Patung Kristus Penebus, Raja semesta Alam. Maka ia harus tinggi dan memerintah dengan tangan terangkat ke atas permukaan bumi. Itulah sebuah bahasa simbolis dari ide teologis tadi. Menarik bahwa sampai saat ini saya belum pernah membaca sekalipun ia memberi catatan tentang Ka’bah itu. Mungkin karena ia belum pernah naik haji, ataukah dia sudah naik haji? Saya tidak tahu. Sayangnya, dalam hal ini kita tidak dapat memberi pendapat alternatif, karena tidak ada seorang pun yang bukan Islam yang boleh menginjakkan kakinya di Mekah, di mesjid al-Haram, di Ka’bah itu. Hal itu saja sudah merupakan sebuah butir penilaian tersendiri: tempat suci diklaim sangat dan serba eksklusif. Padahal aslinya ia bersifat inklusif, serba merangkul, harus bisa memberi hidup dan menghidupkan juga bagi semua orang.

Bandung, 07 November 2008.

Sudah dikembangkan lebih lanjut dari aslinya dalam buku harian saya.


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...