Showing posts with label nostalgia. Show all posts
Showing posts with label nostalgia. Show all posts

Sunday, May 24, 2020

MENANGIS DALAM HUJAN, MENANGIS DALAM ASAP

Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen FF-UNPAR, Bandung.




Suatu saat saya menemukan sebuah tulisan singkat, entah di mana, entah kapan. Kalau tidak salah berasal dari Charlie Chaplin. Tulisan singkat itu demikian: “Aku suka menangis di tengah hujan, karena orang tidak tahu bahwa aku menangis.” Tetes-tetes air hujan membasahi rambut, kepala dan muka, sehingga tetes-tetes air mata tidak tampak. Kalau ia tampak, maka ia tampak sebagai tetes-tetes hujan. Hujan menyembunyikan sebuah tangis dalam hati. Tangis menjadi tidak tampak karena tetes-tetes air hujan itu menyamarkan tetes-tetes air mata. Ah mungkinkah tetes-tetes air hujan itu adalah tetes-tetes air mata langit yang berduka? Entahlah. Mungkin saja. Tetapi tetes-tetes air hujan itu, membawa kabar sukacita bagi bumi, bagi segala tetumbuhan yang ada di punggung bumi. Apabila hujan turun pertama kali sesudah musim kering yang panjang, akan terasa seperti alam menyongsong datangnya hujan dengan penuh sukacita. Alam seperti bersukacita, seperti berpesta pora menyambut kedatangan tetes-tetes air surga itu. Segala sesuatu yang ada di punggung bumi mulai hidup kembali berkat air hujan yang turun itu.

Beberapa minggu lalu, datang kabar gembira bagi dua keponakan saya. Mereka diterima masuk ke Seminari Pius XII Kisol. Keduanya, kata orang tua mereka sangat ingin belajar di seminari Kisol. Mereka berjuang untuk itu. Mereka belajar dengan keras. Puji Tuhan mereka berhasil mendapatkan tiket untuk masuk di sana. Kabar gembira itu segera tersebar di wag keluarga. Lalu muncullah beragam komentar menarik tentang hal itu. Salah satu komentar ialah pemberitahuan agar kedua orang tua dari kedua ponakan itu harus bersiap-siap untuk menangis dan merasa sedih karena akan ditinggalkan mereka berdua. Mereka akan tinggal jauh di asrama seminari.

Saya beritahukan bahwa mereka tidak boleh menangis. Mereka harus kuat dan tabah. Paling tidak mereka tidak boleh menangis di depan anak-anak itu saat mereka pergi. Kedua orang tua harus kuat dan tabah. Saat menulis hal itu saya teringat dua hal. Pertama, saya teringat akan saat ketika anakku Yoan dan Agung, tinggal di Asrama. Yoan, tahun 2011, diterima di Sedes Sapientiae, Bedono. Kami pindah ke Yogya. Sebelum ke asrama, Yoan tinggal bersama kami di Kontrakan di Nglempong Lor. Ketika tiba saatnya dia masuk asrama, maka dari Yogya kami mengantarnya ke Bedono. Lalu dengan berat hati kami harus tinggalkan dia di asrama. Saat itu belum terlalu berat rasanya. Barulah terasa berat saat kami sudah tiba kembali di sore hari di Kontrakan. Tiba-tiba kami sadar bahwa kamar yang biasanya ditempati Yoan, sekarang kosong. Biasanya kami menantikan dia keluar dari kamar itu. Sekarang pintu kamar itu tidak ada lagi yang membukanya. Sunyi sekali. Saat itulah saya merasakan kesedihan yang luar biasa. Bahkan saya sempat menulis artikel tentang empty-nest-syndrome, sindrom sarang-kosong. Itu adalah sindrom induk burung yang tiba-tiba merasa kesepian karena anak-anaknya yang selama ini ia jaga di sarangnya sekarang sudah pergi. Maka tinggallah induk burung dalam sunyi, dan karena itu pun ia berbunyi sepanjang hari, seakan-akan meratapi sunyi dan mencari-cari tiada henti tetapi mereka tidak akan pernah kembali lagi, ke sini, di sini. Saat Agung pergi tinggal di asrama van Lin di Muntilan. Saat itu terasa paling berat bagi saya dan Atin. Karena dengan itu kami akan tinggal berdua saja di kontrakan. Yoan belum tamat SMA. Sekarang Agung harus masuk asrama. Kami mengantar Agung ke asrama di Muntilan. Saat mengikuti rangkaian acara di sana, saya sudah merasa sangat sedih melihat Agung yang mulai berusaha bersosialisasi dengan teman-teman barunya, sementara kami berdua hanya menonton dari jauh. Saat pamit, saya berusaha sekuat tenaga agar tidak sampai menangis. Puji Tuhan, saya berhasil menahan diri untuk tidak menangis. Sebab kalau saya menangis, maka saya sangat yakin Atin juga pasti menangis, dan kalau Atin menangis, pasti Agung juga menangis. Setelah rangkaian acara selesai, saya dan Atin pun kembali ke Yogya. Di malam hari, ketika kami akan makan malam, sunyi sekali rasanya. Tidak ada lagi ritual memanggil Agung untuk makan malam bersama. Hanya berdua. Saat itulah saya menangis di meja makan. Kami berdua menangis berdua. Sedih rasanya. Kami tinggal berdua. Kedua anak di asrama. Begitu rupanya hidup.

Hal kedua yang saya ingat ialah dulu di masa kecilku. Tahun 1973 kakak sulung kami, Kaka Sin menamatkan sekolah dasar. Karena itu ia harus pindah ke Ruteng untuk masuk pendidikan Sekolah Kepandaian dan Ketrampilan Putri (SKKP, setingkat SMP). Yang mengantar kak Sin ke Ruteng adalah Bapa. Pagi itu, mereka berangkat pagi-pagi. Saya masih ingat mama mengantar sampai di punggung bukit di dekat wae teku. Sedangkan saya, mengikuti mereka sampai ke wae Lelang dekat Tango. Sesudah itu saya pulang. Dari jauh saya masih melihat mama menunggu mereka sampai hilang dari tatapan mata di balik kampung Tango itu. Saya pun balik lagi mencoba mengejar mereka. Tetapi tidak bisa karena rupanya mereka sudah cepat-cepat pulang. Saya merasakan benar sunyi itu di rumah kami. Kakak sulung saya sudah meninggalkan kami. Dia ke Ruteng. Siang hari, rasa sunyi itu belum begitu terasa. Mungkin karena masih terang siang hari. Masih terdengar banyak bunyi keramaian siang hari. Jadi sunyi tidak terasa begitu mencengkam.
Rasa sunyi itu baru terasa saat sore hari datang. Sinar mentari siang, sudah diganti oleh matahari yang memerah dan mulai meredup di sore hari. Mula-mula dimulai dengan leso holes, mata hari sudah mulai condong ke barat. Lalu tiba giliran wa leso, yaitu matahari sudah mulai turun. Dan akhirnya leso temba golo, artinya matahari di punggung bukit-bukit sebelah barat menjelang ia jatuh di balik bukit. Terdengar bunyi kokok ayam di sore hari bersiap-siap naik bertengger di pohon untuk tidur. Saat itulah mamaku mulai sibuk memasak makan malam. Ia duduk di sapo, mulai sempong api. Biasanya ia dibantu kakak Sin tetapi sekarang kak Sin sudah pergi. Sunyi sekali rasanya dapur kami karena kak Sin tidak ada lagi di situ. Sapo juga sepi rasanya. Tepat di saat itulah saya melihat mama menangis. Air matanya jatuh di pipi. Saya memberanikan diri bertanya: “Mama menangis?” dengan cepat ia coba tersenyum dan menjawab: “Aeh toe ye. Toe ita le hau nus api hoo ko?” begitu katanya sambil mencoba tersenyum dan menggosok matanya.

Memang kalau mata kita keasapan, air mata pasti akan keluar. Tetapi saya tahu betul, mama menangis. Air matanya mengalir di pipi, bukan karena asap api dari sapo, tetapi karena ia kehilangan. Tiba-tiba ada sebuah rasa sunyi yang mencengkam di tempat yang biasanya ramai karena kehadiran sang putri. Sekarang tempat yang satu dan sama tiba-tiba menjadi sunyi karena dia sudah pergi jauh. Benar kata Charlie Chaplin: saya suka menangis dalam hujan karena dengan itu orang tidak tahu saya menangis. Ya, saya senang melihat mamaku menangis. Tetapi ia menyembunyikannya dengan pemaaf yaitu asap api yang menyerang mata. Saya suka menangis di tengah asap api karena dengan itu orang tidak tahu saya menangis. Tetapi mataku tidak bisa ditipu mama: aku tahu mama menangis dalam asap, bersama asap. Pasti pedih dan perih, seperti pedih dan perih asap yang menyebabkan air mata itu keluar, tetapi air mata itu keluar untuk mengungkapkan Bahasa hati yang sunyi, Bahasa hati yang sepi.

Saturday, May 23, 2020

ATG - TORSO CG DI LBI SAHARJO

Oleh: Dr. Fransiskus Borgias.
Dosen dan Peneliti FF-UNPAR, Bandung.

Saya tidak tahu, entah sejak kapan LBI pindah dari Kramat Raya 134 ke Saharjo. Yang jelas ialah bahwa tatkala saya terpilih sebagai wakil ketua LBI dalam PERNAS di Malang untuk periode 2004-2008, LBI sudah ada di Jalan Saharjo itu. Karena itu, rapat pimpinan sering kami adakan di gedung itu. Maka saya pun mulai semakin akrab dengan keadaan di sekitar Gedung itu. Ada satu hal yang selalu menarik bagi saya di gedung itu. Di lantai tiga, di mana ada perpustakaan dan ruang kerja staf naskah LBI, ada patung torso pater CG. Entah sejak kapan patung torso itu ada di situ. Yang jelas, tatkala kita mau masuk ke Lantai tiga, kita akan disambut oleh patung Torso itu. Saya juta tidak tahu siapa seniman yang telah menghasilkannya. Yang jelas patung itu sangat hidup. Mirip Pater CG sendiri. Luar biasa.

Kehadiran patung torso itu di situ pasti menandakan sesuatu. Ada satu hubungan historis yang sangat erat dan kuat antara LBI dan CG. Memang LBI sebelum menjadi seperti sekarang ini, yaitu salah satu lembaga khusus di bawah KWI, merupakan sebuah lembaga yang dimulai oleh para Saudara-Saudara Dina Fransiskan Cicurug. Pada saat itu, LBI itu dikenal dengan sebutan LBI-SSD Cicurug.

Pada tahun 1971, Lembaga itu dibawa masuk ke dalam struktur KWI, menjadi salah satu lembaga di sana. Hal itu memang mau menandakan bahwa terkait dengan Sabda Allah, para uskup (baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama, collegialitas) harus bertanggung-jawab atas kerasulan Kitab Suci itu. Dan itulah sebabnya ada seorang uskup delegatus Kitab Suci dari KWI untuk LBI.

Nah, lewat torso tersebut kenangan akan jasa dan kehadiran Pater CG tetap akan dilestarikan, diabadikan di LBI. Jasa beliau tidak akan dilupakan begitu saja. Itulah juga sebabnya ada keinginan yang sangat kuat dalam tubuh LBI, untuk tetap mempertahankan ada dan kehadiran para saudara-saudara dina dalam kepengurusan LBI. Semoga keinginan yang ideal itu, bisa terwujud.

Semoga juga para SSD pun selalu memberikan salah satu atau salah dua anggotanya yang secara khusus belajar Kitab Suci agar tongkat estafet itu dapat berjalan dengan mulus dan lancar. Sudah lama sekali saya tidak ke LBI Saharjo. Padahal saya kangen sekali melihat torso pater CG itu.

Terkadang ada cerita di LBI, bahwa patung torso itu ada penghuninya, ada panunggunya. Diceritakan bahwa kadang-kadang ia "turun" untuk pergi melihat-lihat dan meninjau koleksi di ruang museum maupun di ruang koleksi buku-buku. Tentu saja itu adalah hobi yang memang sudah ada pada pater CG sejak ia masih hidup. Ia sering mengunjungi perpustakaan dan melihat-lihat buku2 itu.


Wednesday, May 20, 2020

ATG: BUKU-BUKU DARI CICURUG 01

Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen dan Peneliti pada FF-UNPAR, Bandung.



Kita semua tahu bahwa rumah pendidikan bagi para Saudara-saudara Dina Fransiskan pernah ada di Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat. Dalam perkembangan sejarah, rumah itu ditutup lalu rumah pendidikan dipindahkan ke Yogyakarta. Sehingga orang lalu berbicara tentang masa-masa Cicurug dan masa-masa Yogyakarta. Pada tahun 1984, untuk pertama kalinya novisiat OFM dipindahkan dari Yogyakarta ke Depok sehingga orang sekarang juga berbicara tentang kurun Depok. Semuanya berkembang dan mengalir begitu saja. Tetapi kali ini saya mau menulis sedikit tentang rumah studi awal di Cicurug itu.

Para Saudara Dina Cicurug pada tahun 50-an dan 60-an, di bawah koordinasi pater Cletus Groenen (selanjutnya disingkat CG), sangat produktif di bidang ilmiah dan literasi teologi, biblika, hidup rohani, spiritualitas (baik umum maupun khusus Fransiskan). Apa buktinya sehingga saya berani omong seperti ini? Buktinya sangat banyak. Tetapi yang relevan saya sebut di sini ialah kegiatan mereka menerbitkan banyak buku yang terkait dengan Kitab Suci dan teologi (biblika). Hal itu sudah terjadi jauh sebelum LBI SSD diadopsi oleh atau diintegrasikan ke dalam KWI (MAWI) tahun 1971. Di sini saya memberi beberapa catatan tentang buku-buku yang menjadi tonggak gerakan literasi teologi tersebut.

Buku pertama yang perlu saya sebut dan harus berikan komentar ialah buku yang berjudul “Kuliah Tertulis tentang Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru.” Ini adalah sebuah telaah Kristologi Perjanjian Baru dengan menelusuri pelbagai gelar-gelar Kristus yang muncul (dipakai) di dalam Kisab Suci Perjanjian Baru itu sendiri. Buku ini diterbitkan tahun 70an pada penerbit Nusa Indah, Ende Flores. Sebenarnya, buku ini adalah buku kedua. Dan buku pertama adalah buku tentang Gereja. Tetapi cukup lama saya baru bisa menemukan buku kedua ini. Sedangkan buku yang pertama sudah saya baca beberapa bagiannya (bab) pada waktu postulant dulu. Pada saat itu saya terutama memusatkan perhatian pada bagian appendix dari buku itu. Memang bagian appendix dari buku itu pada dasarnya merupakan semacam catatan pengantar untuk studi kitab suci baik perjanjian lama maupun perjanjian baru.

Pada waktu saya belajar filsafat dan teologi di Jakarta dan di Yogyakarta, saya membaca buku kedua itu secara lengkap. Pada saat ini saya mempunyai versi copyan dari Kolsani, Yogyakarta. Saya masih terus membacanya lagi sekarang ini. Pada tahun 1987 awal saya pernah membaca dan mendalami buku itu untuk kepentingan kuliah Kristologi Alkitabiah yang diampu oleh pater CG di Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta. Sayang sekali hal itu tidak berlangsung lama, karena pater CG mengalami kecelakaan dan kakinya patah dalam peristiwa kecelakaan motor tersebut. Karena itu, maka kuliah yang tadinya diasuh oleh pater CG lalu diampu oleh Pater Tom Jacobs yang tentu memiliki pendekatan yang berbeda dari pater CG. Pada awal tahun 1980an terbit buku yang lebih ringan dari romo Darma, dengan judul Gelar-gelar Yesus dalam Perjanjian Baru. Tetapi bagi saya buku pater CG tetap sangat mendalam, dan tidak tergantikan sama sekali. Buku pater CG tidak terkalahkan dalam hal kedalaman dan keluasan daya eksplorasinya. Benar-benar mengagumkan.

Di atas saya mengatakan bahwa buku yang saya bahas ini adalah buku kedua. Lama sekali saya mencari buku pertama dalam serial tersebut. Akhirnya, saya menemukan buku itu dalam koleksi buku-buku tua kami di perpustakaan FF-UNPAR Bandung. Hal itu sangat mengherankan. Maka tanpa berpikir panjang lagi, segera saya meminta pegawai perpustakaan untuk membuatkan sebuah copyan yang bagus bagi saya. Judulnya ialah “Kuliah Tertulis tentang Gereja dalam Perjanjian Baru.” Jadi buku yang pertama ini adalah semacam eklesiologi Perjanjian Baru, sedangkan buku yang kedua adalah semacam kristologi Perjanjian Baru. Sekali lagi, itulah buku pertama yang sudah lama sekali saya cari. Penemuan itu sendiri baru terjadi pada tahun 2016. Padahal saya sudah mengajar di FF-UNPAR sejak awal tahun 1993. Kalau dipikir-pikir, buku-buku itu masih ada di sana sejak awal, sejak tahun 1993, tetapi barulah pada tahun 2016 saya bisa menemukannya, bisa menyadari kehadiran mereka di sana.

Saya sendiri juga merasakan sesuatu yang aneh dengan hal itu. Kenapa baru sekarang saya menemukannya? Padahal selama ini saya setiap hari ke perpustakaan dan juga sudah pernah mencarinya. Oleh karena itu, terkadang diam-diam saya berpikir bahwa mungkin saja ini adalah semacam peristiwa perwahyuan, yang memang harus datang dan terjadi secara tiba-tiba tanpa harus direncanakan oleh kita manusia. Kalau itu memang sebuah perwahyuan, lalu perwahyuan tentang apa? Ya, mungkin saja perwahyuan tentang kenyataan dan kerinduan dari warisan tua itu agar mereka tidak dibuang, agar mereka tidak dilupakan. Ketika saya sampai kepada pemikiran seperti itu, maka saya pun membuat copyan yang bagus dari buku-buku tersebut agar masih pantas dipajang di rak buku di kantor saya dan saya tidak usah harus malu-malu memamerkannya kepada para mahasiswa dan mahasiswi saya.

Oh ya, ada satu hal yang menarik juga yang terjadi di fakultas kami yaitu ada dua kongregasi para suster fransiskanes dari Sumatera yang mengirim para suster muda mereka untuk belajar filsafat dan teologi di tempat kami. Semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi akan ada para suster fransiskanes Kalimantan Barat yang mengirim suster-suster muda mereka untuk belajar di tempat kami di Bandung. Mereka bersemangat mendengar sesuatu tentang Fransiskus dan fransiskan. Dengan senang hati dan bangga saya bercerita tentang jejak-jejak sejarah yang mengagumkan ini dari para saudara tua di kota kecil di Sukabumi, persisnya di Cicurug. Saya memaknai peristiwa perjumpaan itu sebagai penyingkapan, Offenbahrung, wow, keren sekali. Pokoknya ada sebuah rahasia yang seperti tersingkap begitu saja di depan mata saya dan saya tidak bisa dan tidak boleh mendiamkannya.

Oh ya, sampai saat ini saya masih terus menerus membaca dan mendalami buku ini. Saya terus menerus mendalaminya. Pater CG memang sangat luar biasa. Pengetahuannya dalam bidang Kitab Suci dan teologi sangatlah luas dan mendalam. Saya belajar sangat banyak dari pater CG tentang kedalaman itu, juga tentang keberanian untuk melakukan eksplorasi ke dalam bidang teologi biblika. Saya harus mengatakan bahwa kedua buku yang sudah saya singgung tadi adalah termasuk dalam kategori buku yang sangat inspiratif bagi saya, kiranya juga bagi para pembaca lain. Sayang sekali bahwa buku-buku itu sudah tidak diterbitkan lagi. Walaupun buku-buku itu sudah tidak diterbitkan lagi, tetapi buku-buku lama itu menurut saya masih saja tetap menebar ilham dan daya tarik yang sangat luar biasa bagi para pembacanya, para penggali dan para pencari yang penuh minat dan tekun ingin memperkaya diri.

Monday, May 18, 2020

ATG - CONSUMMATUM EST

Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung.




Lonceng makan malam sudah berbunyi. Kami berjalan dengan tenang dan hening ke kamar makan. Kami makan dalam diam. Saya sempat melirik satu persatu companion-ku di meja malam itu. Oh ya, sengaja saya memakai kata companion itu di sini. Karena kata itu berasal dari gabungan dua kata Latin, cum-panis, roti (panis) bersama (cum). Jadi, companion adalah orang yang makan sehidangan dengan aku. Dengan sudut mata kiriku mula-mula aku melirik Pater CG. Ia kelahiran tahun 1921. Jadi saat ini ia sudah berusia 67 tahun lebih. Sudah hampir mendekati usia batasan pemazmur itu: Umur kami tujuhpuluh tahun atau delapan puluh jika kuat. Tetapi karena dia terlalu banyak merokok dan minum kopi, dan mati raga makanannya sangat kuat, maka ia sudah tampak sangat tua dalam usia segitu. Saya perhatikan sungguh-sungguh bahwa “perempuan-perempuan penggiling” (baca: gigi) yang ia miliki sudah tidak lagi banyak menggiling, karena jumlahnya sudah berkurang seperti kata Pengkotbah itu. Aku melihat ia lebih banyak mengunyah dengan gusi daripada dengan gigi. Kiranya gilingan gigi itu sudah tidak lagi selincah dulu. Tetapi ia sangat tenang. Bahkan terlalu tenang. Dan itu rasanya menakutkan. Cepat-cepat aku membuang mataku saat ia sepersekian detik memandang kepadaku seakan-akan sedang menyelidiki sesuatu pada jidatku.

Kemudian aku memandang ketiga temanku. Mulai dari yang paling senior, Dominikus. Lalu Paskalis, dan kemudian Peter. Seperti halnya tadi sore dan juga sudah demikian selama hari-hari ini, ketiganya tampak sangat tenang. Ketenangan itu membuat saya merasa sangat minder. Aku yang kelainan di sini. Ketenangan yang membuat saya merasa aneh sendiri. Tanpa terasa aku menghabiskan cukup banyak makanan. Bahkan kekenyangan juga.

Masih ada satu sesi singkat lagi malam itu. Sesudah itu kami harus istirahat. Santai. Sudah boleh memutus hening, memecah sunyi, memotong silentium strictum itu. Saya sudah tidak begitu menyimak lagi sesi malam itu. Saya lebih banyak mendengar bunyi margasatwa malam dari luar ruang konferensi kami. Bunyi itu sangat banyak. Ramai sekali. Seperti sebuah paduan suara makhluk alam, suara pujian malam. Mungkinkan itu semacam completorium bagi mereka. Mungkin saja. Seperti halnya di pagi hari, mereka juga berbunyi, melantunkan semacam kidung pujian pagi, Laudes. Bukan hanya manusia yang mempunyai intuisi seperti itu. Makhluk hidup yang lain juga demikian. Saya fokus mendengarkan bunyi kodok. Saling bersahutan. Mungkin saling memanggil. Saling memberi kode. Kode kasmaran. Kode cinta. Sangat alami. Tetapi apakah cinta itu hanya sekadar panggilan alami, kodrati? Ataukah itu juga sesuatu yang adikodrati?

Rasanya daya-daya dan panggilan cinta itu adikodrati. Mungkin itu sebabnya Paulus dengan lantang berkata, demikianlah tinggal ketiga hal ini, iman, harap, dan kasih. Dan yang paling besar di antaranya adalah kasih. Iman dan harap itu hanya berlaku dalam dan untuk hidup di dunia ini. Keduanya akan berhenti begitu hidup di dunia ini berhenti. Dan yang akan terus bekerja di dalam ranah keabadian ialah kasih. Hanya kasih yang akan bertahan hingga masuk ke dalam keabadian. Luhur sekali, kasih itu.

Di mana aku bisa merasakannya? Merayakannya? Menikmatinya? Kapan? Dengan siapa? Bagaimana? Semua pikiran itu tercampur baur dalam diri saya. Setelah selesai sesi singkat malam itu, kami lalu rekreasi. Tetapi karena kami sudah bertemu setiap hari, walaupun dalam sunyi dan hening, jadinya rekreasi itu seperti gema lanjutan dari keheningan kami masing-masing. Hanya diselingi dengan bunyi kacang kulit yang dipecahkan dan bunyi glek minuman jahe hangat. Selebihnya sunyi. Kami terlalu lelah untuk melakukan kilas balik apa yang sudah kami bahas selama beberapa hari ini.

Saya merasa harus segera kembali ke kamar. Bukan untuk tidur. Melainkan untuk menulis sesuatu. Di Buku Harianku. Aku pamit kepada teman-teman untuk kembali ke kamar lebih cepat. Begitu sampai di kamar, saya mengambil BH ku dan alat tulis. Aku membuka pada halaman untuk melanjutkan catatan. Tetapi tidak ada sesuatu yang bisa saya mulai catat. Saya hanya mencatat satu kata. Consumatum est. Selesailah sudah. Bahkan ada juga di sudut lain di halaman itu, ada tertulis, non possum. Tetapi belum jelas benar mengapa saya menulis begitu? Belum jelas benar ke mana arah dari tulisan tanganku yang seperti rada spontan itu. Seperti ada yang bukan diriku yang mengendalikan tanganku untuk menulis begitu. Sudahlah. Quod scripsi, scripsi. Tidak usah diubah lagi. Tidak usah dicoret. Tidak usah ditip-ex.

Tadi saya pamit dari teman-teman sekitar jam 9 malam. Sekarang jam 11. Saya belum juga mengantuk. Saya duduk membaca buku-buku yang saya bawa dari Yogya. Di tengah malam itu, sayup-sayup dari jauh saya mendengar bunyi petasan yang dimainkan orang-orang kampung menyongsong tahun baru 1989. Orang menghitung mundur. Masih satu jam.

Pada masa satu jam itulah saya memikirkan saya mau apa sekarang. Kegelisahan ini harus segera dihentikan. Kalau mau terus, maka “Hai jiwaku, tenanglah.” Tetapi kalau mau berhenti, maka “Hai jiwaku, beranilah mengambil keputusan.” Sekarang. Maju. Mundur. Maju. Mundur. Maju. Mundur. Berbelok. Maju. Berbelok. Demikian saya ucapkan kata-kata itu mengikuti bunyi detak jarum jam di tengah malam itu. Tidak ada bunyi tokek.
Pada titik inilah saya sadar bahwa pilihan untuk maju tidak mudah juga. Tetapi pilihan untuk mundur juga ternyata tidak mudah. Tetapi harus ada pilihan. Harus ada putusan. Seperti yang kemarin sudah dikatakan, harus berani meloncat. Tidak bisa tinggal di sini. Tidak bisa diam di sini. Harus meloncat sekarang. Desakan itu sangat kencang dalam diri saya.

Sekarang sudah pukul 11:45. Count down orang-orang di mana-mana sudah semakin kencang. Count-down saya sendiri juga semakin kencang. Apa yang terjadi dengan tahun baru ini bagi saya. Karena saya tidak bisa tenang dan tidak bisa tidur, maka saya keluar. Kamar saya ada di ujung. Saya menelusuri gang antar kamar. Semua sudah sunyi. Lampu kamar sudah mati. Saya mampir di kamar makan. Saya mengambil sesuatu untuk minum. Di ujung sana, di dekat pintu keluar, kamar pater CG masih bernyala. Dia belum tidur. Rupanya dia berjaga, menyongsong datangnya tahun baru.
Dengan sisa-sisa kekuatanku akhirnya saya datangi pintu kamarnya. Saya memasang telinga. Dia belum tidur. Pukul 11:58. Tok…tok…tok… “Ya,” jawab dari dalam dengan sengau. “Masuk.” Saya masuk. “Mau apa?” “Mau pulang pater.” “Baik sudah. Tunggu sebentar. Saya cari kertas. Saya tulis surat kepada propinsial. Besok kamu bawa.” Sudah selesai. Saya terkejut juga. Tidak ada upaya sedikit pun dari dia untuk menahan saya. Ataupun menyuruh saya, coba pikir baik-baik. Tidak. Tepat jam 12:00. Saya berhenti.

Thursday, May 14, 2020

ATG – PERGULATAN YANG PANJANG

Oleh: Fransiskus Borgias.
Dosen FF-UNPAR, BANDUNG. Ketua Sekolah Kitab Suci K3S Bandung.




Roh kuat daging lemah. Ataukah daging kuat? Roh lemah? Ataukah roh kuat bersama daging? Memang hubungan antara roh dan daging itu suatu tema yang sangat rumit di dalam refleksi filsafat dan teologi. Apakah daging ini hanya sekadar wahana bagi roh yang bebas? Ataukah ada suatu ikatan yang sangat erat di antara keduanya sehingga keduanya identic? Ataukah sekadar seperti ungkapan dalam filsafat Yunani yang melukiskan badan itu sebagai ruang yang mengungkung jiwa. Soma estin sema. Tubuh adalah penjara. Entahlah. Saya tidak lagi mau pusing dengan refleksi filosofis itu. Yang jelas saat ini saya benar-benar mengalami paradox Paulus, saya tahu apa yang seharusnya saya lakukan dan saya pilih sekarang, tetapi saya seperti tidak mempunyai kemampuan untuk memilih dan memutuskannya sekarang. Tinggallah saya di dalam kegamangan dan kegalauan.


Akhirnya lewat suatu permenungan dan pergulatan batin yang panjang, dan setelah berbicara khusus dengan pater provincial yang datang ke Yogyakarta untuk beberapa agenda, juga mengagendakan pertemuan dengan saya karena dalam surat lamaran, saya mengajukan penundaan kaul kekal sampai setahun lagi, dan lewat suatu pembicaraan yang mendalam dari hati ke hati dengan beliau tentang pelbagai segi pertimbangan tentang hidup dan masa depan, akhirnya saya merasa kuat dan berani untuk maju. Hal itu terjadi awal Desember. Saya diminta untuk menulis ulang surat permohonan: bukan lagi meminta penundaan setahun, melainkan saya menyatakan siap mengucapkan kaul kekal dalam jadwal yang sudah ditetapkan bersama dengan tiga kawan (Dominikus Minggu, Paskalis B.Syukur, Petrus C.Aman). Memang setelah pembicaraan yang sangat intens dari hati ke hati dengan pater Provinsial malam itu, saya merasa dikuatkan dan merasa bersemangat lagi untuk maju. Dan jadilah demikian. Maka fixed, bahwa yang akan maju kaul kekal ada tiga frater dan satu Bruder. Jadwal retret agung di Rumah retret Sukabumi dijadwalkan pada pertengahan Desember.


Tetapi tiba-tiba setelah merasa yakin di dalam pembicaraan dengan pater provincial, hanya jarak dalam beberapa hari saja, tiba-tiba saya jatuh sakit. Sebenarnya itu hanya gejala kambuhnya batuk, yang menyebabkan saya demam, menggigil dan lemas. Saya meminta untuk diperiksakan di Panti Rapih. Mungkin karena melihat kondisi yang lemas, demam dan menggigil dokter langsung menyuruh saya dirawat. Waduh. Gawat. Saya tidak bisa ikut ret-ret nich. Pada sore hari itu saya langsung masuk ruang rawat inap dan mendapat infus, karena saya dinilai kekurangan cairan dalam tubuh. Saya ingat saya masuk Panti Rapih sekitar tanggal 7 atau 8 Desember. Setelah dirawat dua hari, saya merasa bahwa saya sudah mulai membaik, saya berdialog dengan suster perawat untuk menanyakan sakit saya. Dia tidak menjawab. “Kalau besok pagi dokter berkunjung, frater tanyakan langsung kepada dia.” Begitu jawab suster itu. Saya tidak memaksa. Ketika besok pagi dokter berkunjung, saya langsung bertanya. “Dokter, saya sakit apa?” Dokter itu memandang saya dan tersenyum. “Hemm…. Sakit apa ya? Frater tidak sakit. Hanya stress berat. Karena itu harus istirahat.” “Hanya begitu dokter?” “Ini stressnya berat. Maka harus istirahat satu dua hari lagi yah. Istirahat. Jangan banyak pikiran. Makan yang cukup.” Dokter pulang. Satu dua hari lagi istirahat artinya, mungkin saya baru bisa keluar tanggal 14 atau 15 Desember. Padahal Retret di Sukabumi dimulai tanggal 14 atau 15. Saya sangat gelisah karenanya.


Untunglah pada jam besuk sore, P.Yan Ladju mengunjungi saya. Saya menampilkan diri bahwa saya sudah sehat. Setidaknya saya sudah tidak demam atau menggigil lagi, walaupun masih sedikit lemas dan pusing. Seperti biasa pater datang dengan bercanda untuk menanyakan keadaan saya. “Ah tampaknya sudah sehat nich.” “Rasanya begitu pater. Tetapi kata dokter saya masih harus istirahat dua atau tiga hari lagi.” “Tidak apa-apa toh. Yang penting bisa pulih.” “Tetapi nanti saya terlambat untuk ret-ret dengan teman-teman.” “Tenang saja. Kamu bisa datang menyusul nanti. Tinggal nanti lapor kepada CG mengapa kamu terlambat.” “Jadi, tidak apa-apa saya datang belakangan pater?” “Tidak apa-apa. Frans kan sakit.” Setelah membahas beberapa hal akhirnya pater pulang.


Malam mulai datang menjelang. Sebagai frater fransiskan saya dirawat di kelas 3. Kami ada beberapa pasien. Kalau tidak salah ada enam orang. Pokoknya ramai rasanya. Tetapi tatkala malam datang, tetap terasa juga sepi yang datang mencengkam. Malam memang selalu memaksa kita untuk masuk ke dalam diri sendiri. Kegelapan malam itu seperti ruang bagi manusia untuk masuk ke dalam diri sendiri. Maka malam itu saya memikirkan banyak hal. Ah sebenarnya mencemaskan banyak hal. Saya mencemaskan teman-temanku yang lamaran kaulnya ditolak. Malam itu saya ingat temanku Yosef H, temanku Ariwibowo, kami satu angkatan. Apa yang mereka rasakan? Apa yang mereka pikirkan? Setelah tujuh tahun lebih bersama (Yosef) dan enam tahun lebih bersama (Ari) apa yang mereka rasakan. Yang jelas, waktu itu saya melihat wajah terkejut dan kecewa di mata mereka. Walaupun tetap berusaha senyum. Senyum harus memikirkan hidup dari titik nol. Atau mungkin juga bahkan dari titik di bawah nol. Saya juga memikirkan adik kelasku yang lamaran kaulnya ditolak. Ada Okto, si hitam periang itu. Malam itu saya benar-benar galau memikirkan mereka. Ah teman-teman kita harus mulai memikirkan masa depan kita masing-masing mulai dari sekarang.


Malam itu saya juga memikirkan retret kami. Retret kami itu akan dipimpin oleh CG sendiri. Dan ret-ret itu akan berlansung selama 1 bulan. Sebenarnya lebih dari sebulan, yaitu 35, karena totalnya ada lima minggu. Jadi, selama lima Minggu kami akan tinggal di rumah ret-ret mengolah hidup batin, hidup rohani kami, bersama pembimbing. Saya belum bisa membayangkan bagaimana rasanya ret-ret selama lima minggu itu. Que sierra sierra, whatever will be will be… lalu saya pun tertidur.


Beberapa hari kemudian, saya sudah dibelikan tiket bis malam oleh Br.Mulyanto, ekonom di Papringan. Beberapa hari lalu saya sudah keluar dari rumah sakit. Setelah istirahat satu dua hari di biara, saya memutuskan untuk ke Sukabumi. Saya berangkat tanggal 20 sore. Tiba di sana 21 pagi. Begitu tiba, saya langsung melapor ke CG di kamarnya. “Akhirnya kamu datang juga?” “Iya pater.” “Tetapi kami sudah berproses satu minggu di sini. Siapa yang menyuruh kamu ke sini?” “Pater Yan.” “Ya sudah. Kamu ikut saja dengan teman-teman di sana.” Pater CG tampak serius sekali. Serem melihatnya. Mungkin dia marah. Kecewa. Karena saya terlambat datang. Entahlah. Saya harus segera mulai mengejar ketertinggalan satu minggu. Ketiga kawan menyambut dengan hangat dan senyum. Tetapi semua dalam diam.

Wednesday, May 13, 2020

ATG -- DAYA ITU PALING KUAT (BGN II)

Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen Fakultas Filsafat UNPAR Bandung.




Ya, saya tekankan sebuah kesadaran dalam diri saya bahwa dalam kaul kemiskinan, saya sudah berjuang untuk belajar hidup sederhana, einfach Leben wie Franziscus, hidup sederhana seperti Fransiskus. Ada yang mengusulkan terjemahan yang lebih tragis: Hidup Urakan Seperti Fransiskus. Ah tidak. Urakan itu berlebihan. Kata Ugahari jauh lebih baik untuk dipakai sebagai terjemahan einfach. Einfach Leben, Hidup ugahari. Toh kata itu dipakai dalam salah satu madah Completorium.

Tidak ada kemewahan di tubuh saya. Celana saya sederhana. Baju sederhana. Ada satu jubah. Sepatu? Hemmm…. Rasanya hampir tidak pernah memiliki sepatu, apalagi sepatu mahal. Saya hanya punya kasut, sepatu sandal, khas sepatu biarawan, sepatu frater. Itu pun usianya sudah tua, karena sudah beberapa kali ditambal. Hanya itu. Rasanya kedudukan kasut itu sudah pas dan akrab di kaki saya. Sayang kalau dibuang. Aku juga tidak punya tas kuliah mahal. Tas sederhana. Paling sering saya menyulap kaus kutangku untuk kujadikan tas kain kuliah. Nyentrik.

Kamar saya juga sederhana. Hanya tikar dan papan alas tidur. Tidak ada kemewahan. Barangku hanya beberapa buku yang saya beli dari uang saku. Jadi, saya sudah berusaha hidup miskin dengan tidak memiliki apa-apa. Tidak ada kamera, tidak ada tape recorder, radio kecil pun tidak. Hiburan satu-satunya hanya membaca, menulis buku harian, menulis puisi, dan bernyanyi baik tanpa gitar maupun dengan gitar. Oh ya, di tangan saya tidak ada jam tangan. Juga tidak ada cincin. Karena ada yang memakai cincin emas. Ya aku benar-benar apa adanya. Di kamarku tidak ada gambar mewah dengan pigura indah. Hanya ada orat-oret tanganku pada sebuah kain putih lusuh. Saya gambar sosok Ebed Adonai, Hamba Yahwe yang Menderita (Yes 53:1-13), sosok yang selalu menawan. Kemewahan saya hanya rokok. Bersaing dengan pater CG. Ya saya sudah berusaha belajar kemiskinan di “sekolah” membiara ini.

Lalu kaul kemurnian? Apakah saya sudah berusaha hidup murni? Apa itu hidup murni? Apa itu kemurnian? Saya berusaha keras untuk itu. Memang kemurnian itu bukan terutama soal hubungan pria dan wanita dengan konotasi tendensius. Kemurnian itu adalah perkara hati dan pikiran. Saya teringat akan nasihat dalam pelajaran hidup rohani dan hidup doa di novisiat dulu. Salah satu bab yang paling melekat dalam ingatan saya ternyata, bukan definisi doa dan hidup rohani, melainkan tentang pelanturan. Saat berdoa dan meditasi, pikiran tidak bisa dipusatkan pada objek meditasi, tidak bisa diarahkan kepada Tuhan, melainkan melantur ke mana-mana, sampai ke sudut-sudut dunia yang tidak seorang pun tahu. Itulah pelanturan. Dalam pelanturan itu ada banyak yang menarik dan menggoda. Pelanturan selalu dalam kebersamaan. Kedua buku pegangan itu disusun P.CG dan P.Alex. Tetapi yang mengajarkan kami bahan-bahan itu ialah, P.Alex. “Karena aksi pelanturan, maka bisa terjadi, bahwa badan orang ada di Kapel, tetapi hatinya ada di Malioboro, ataupun di Bioskop dan itupun tidak sendirian. Ada temannya.” Begitu kata P.Alex memberi penjelasan tentang Pelanturan itu dengan contoh kongkret. Memang daya khayal manusia luar biasa. Bisa ke mana-mana, walaupun secara jasmani ia ada di sini. Tiada batas apa pun bagi imajinasi manusia. Tidak ada batas apa pun bagi daya fantasi manusia. Fantasi itu bisa berbahaya karena membayangkan apa saja. Kita tidak bisa menghapus fantasi itu. Fuer die Fantasie es gibt keine Seife. Kata orang Jerman. Pelanturan bisa disebabkan oleh macam-macam hal. Pengaruh bacaan, apa yang didengar, apa yang dilihat, ditonton. Juga oleh ingatan, kenangan, nostalgia.

Saya pernah menghibur diri dengan mengatakan “toh sejak kaul pertama tahun 1983 sampai sekarang saya sudah hidup murni. Saya mempertahankan kemurnian badani saya dengan tidak bermain-main yang bukan-bukan. Misalnya mencari perempuan. Tetapi jujur saja, itu yang mengganggu hidup saya. Apakah saya bisa hidup tanpa mencintai perempuan? Mencintainya secara khusus dalam relasi intensif, intim dan personal. Pikiran itu selalu mengganggu. Dalam hal pengalaman dicintai perempuan saya merasa miskin. Karena dalam hidup saya sampai saat itu hanya ada dua perempuan: Ibu dan kakak perempuan saya. Mereka mengasihi saya sebagai ibu dan kakak. Saya pernah berpikir bahwa hidup saya terlalu miskin kalau hanya disayangi oleh dua perempuan itu. Hidup saya mungkin akan menjadi lebih kaya kalau dicintai dan disayangi oleh perempuan lain selain ibu dan kakak. Tetapi siapa? Di mana? Bagaimana? Sebagai lelaki saya merasa bahwa saya harus mencintai seorang perempuan dalam artian yang sesungguhnya.

Dalam kegalauan itu, akhirnya saya mendatangi pater CG. “Pater, menjelang persiapan kaul kekal ini ternyata saya belum bisa mengendalikan diriku, mengendalikan daya-daya seksualku sebagai laki-laki. Maksudnya, bukan mengumbar nafsu ke mana-mana. Tidak pater. Hanya saya merasa bahwa semakin dekat saat putusan itu, semakin takut rasanya. Rasanya “masa-novisiat” saya untuk kaul kemurnian tidak lulus, mungkin juga tidak selesai.” Dengan sangat hati-hati dan serius pater CG memandang muka saya. Tangan kanannya memegang sisa-sisa puntung rokoknya yang diisapnya sore itu. “Frans, jangan bermimpi bahwa kau bisa bebas dari gairah seksual itu. Itu akan tetap ada seumur hidupmu.” Lalu ia merokok lagi, menghembuskannya dan memandang arah naiknya asap itu. “Kau tahu Frans, dulu waktu novisiat saya katakan” (masih ingat juga rupanya, aku membatin), “bahwa jubah tidak mengubahmu menjadi malekat. Kamu tetaplah kau, dalam kepriaanmu, dalam kejantananmu.” Merokok lagi. “Jadi, jangan pernah berpikir bahwa jubah itu menyulap dirimu menjadi malekat. Tidak.” Merokok lagi. “Ingat, daya seksual itu paling kuat dalam diri manusia. Kata kedokteran, itulah daya yang paling akhir mati, ketika manusia mati. Jadi, daya itu kuat sekali.” Merokok lagi. Memandangi kepulan asapnya. “Ya, daya seksual itu mati paling akhir. Itu sebabnya, kalau ada laki-laki yang gantung-diri, maka polisi akan cepat-cepat memeriksa apakah air maninya sudah keluar. Kalau belum keluar, itu pertanda ia masih hidup; mungkin masih bisa diselamatkan. Tetapi kalau air mani sudah keluar, dia sudah lewat. Ya, sedemikian kuatnya, sehingga ia mati paling akhir.” (Aku membatin: Berarti bapa tua ini juga masih berjuang juga hingga saat ini. Baru pada saat itu saya mengerti kalau ada imam yang keluar bahkan pada usia di atas 60an tahun).

Sesudah itu, pater CG berbalik dari saya dan kembali ke bukunya. Itu pertanda bagi saya bahwa saya harus keluar. Saya pamit dan terima kasih. Sampai di luar kamar saya lalu memandang ke bawah. Ternyata ia yang paling kuat. Saya kira selama ini system syaraf di otak yang mati paling akhir. Eh ternyata dia. Hemmmmm…..

Monday, May 11, 2020

ATG – FRATER JATUH CINTA?

Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen dan Peneliti Fakultas Filsafat UNPAR Bandung



Kemeriahan pesta bapa Fransiskus sudah berlalu. Saya selalu mempunyai rasa sepi yang amat mengganggu, yang datang menghinggap ketika baru saja sebuah pesta kemeriahan terjadi. Rasa sepi itu terasa seperti menggigit hati dari dalam. Beberapa kali saya hampir tidak bisa mengatasinya. Tetapi akhirnya saya bisa mengatasinya dengan cara menulis dan menggambar di buku harian saya. Membunuh sepi dengan menulis dan menggambar.

Sekarang rasa sepi itu datang lagi. Pesta Bapa Serafik telah menyedot seluruh perhatian kami. Ada makanan. Ada sukacita. Ada persaudaraan-persaudarian. Luar biasa. Saat itu semua usai, lalu ada sepi. Benar-benar seperti mencengkeram dalam hati. Tiba-tiba saya sadar bahwa rasa sepi kali ini tercampur dengan suatu perasaan aneh. Saya tertarik kepada seorang suster. Saya tidak usah menyebut namanya, maupun kongregasinya. Senang melihatnya. Entahlah kalau berada di dekatnya. Tetapi saya hanya bisa sampai di greget dalam hati. Tidak ada langkah lanjut. Dalam beberapa kasus seperti itu saya memutuskan untuk menjadi the silent admirer saja. Entah kenapa, saya merasa bahwa saya tidak boleh membiarkan diri terhanyut dalam rasa itu. Tetapi mengapa? Apakah itu salah? Apakah itu dosa? Hati kecilku memberontak. Ah tidak mungkin cinta, rasa cinta, jatuh cinta itu dosa. Lalu bagaimana? Untuk apa rasa seperti itu muncul dalam hati saya? Hidup rasanya akan jauh lebih mudah kalau rasa itu tidak pernah mampir. Tetapi ia termasuk kategori tamu yang tidak diundang, tetapi nekad datang. Datangnya lagi seperti bikin lobang dan sayangnya lobang itu seperti dibiarkannya terbuka tanpa diberinya obat pembunuh rasa.

Aneh sekali. Saya takut jatuh cinta. Oh bukan. Bukan takut jatuh cinta. Hanya takut mengaku cinta. Takut menyatakan cinta. Tetapi apakah memang frater harus jatuh cinta? Apakah frater harus menyatakan cinta? Mungkin saja harus dan boleh. Tetapi saya membayangkan sakitnya kalau ternyata tidak diterima, kalau disambut dengan dingin. Rasa jatuh cinta yang ditahan-tahan itu saja sudah sakit. Akan lebih sakit lagi kalau sesudah ditahan-tahan lalu dicoba dikumpulkan tenaga untuk dinyatakan, eh ternyata ditertawakan. Ah bukankah lebih baik didiamkan saja dalam hati. Menjadi sebuah cinta Platonik, cinta dalam diam, cinta dalam hening. Hemmmm….

Apakah Fransiskus dulu begitu juga dengan Klara? Atau sebaliknya, apakah Klara juga begitu dulu terhadap Fransiskus? Sutradara Franco Zefirelli, dalam film BROTHER SUN SISTER MOON, seperti memberi sinyal ada tanda-tanda seperti itu. Entah sudah berapa kali saya nonton film itu, saya selalu terpesona dan bertanya-tanya, apa yang ada dalam hati Klara dan Fransiskus tatkala mereka berlari slowmotion di padang untuk mendekat satu sama lain? Walaupun hanya sekilas, begitu bertemu, saya bisa melihat sedikit pancaran visio beatifica itu di sudut mata Klara dan mata Fransiskus. Benar-benar “bintang film,” mereka yang memerankan itu. Bahasa hati yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata mampu diungkapkan dengan Bahasa gambar, Bahasa film, dan itu pasti atas arahan sutradara, dan pasti dilatar-belakangi oleh pandangan tertentu yang dianutnya. Mungkin Zefirrelli menganut pandangan bahwa dua anak muda itu yang jarak umurnya kira-kira 9-10 tahun, bisa saja pernah jatuh cinta. Siapa tahu. Hanya Fransiskus dan Clara dan Tuhan yang tahu.

Anehnya, bukan baru kali ini saya mengalami gelora rasa seperti ini. Pada masa postulant saya mengalaminya. Tetapi ia seperti berlalu bersama berlalunya waktu. Hemmmm…. Mungkin waktu yang berlalu adalah obat paling mujarab bagi hati yang luka, hati yang lara karena jatuh cinta. Ah memang istilahnya juga dramatis-tragis, fall in love, jatuh cinta. Mengapa tidak bangun cinta? Kalau bangun cinta barangkali tidak sakit kalau tidak jadi. Hemmm… Tiba-tiba saya sadar bahwa harus jatuh dulu baru bangun. Harus jatuh cinta dulu sesudah itu bangun cinta. Tidak bisa langsung bangun cinta kalau tidak terlebih dahulu jatuh cinta. Ahhhh… Mengapa harus sedramatis itu? Mengapa pula frater, yang mau jadi imam harus merepotkan diri dengan hal itu semua?

Dulu waktu di postulant saya punya bapa rohani di seminari menengah. Dalam keadaan bingung karena fall in love itu saya tulis surat kepadanya. “Pater, apakah saya salah kalau jatuh cinta?” Dengan berdebar-debar saya menunggu jawaban beliau. Sebulan, datanglah balasan pater. “Frans, pertama-tama, kau harus tahu dulu, bahwa cinta dan jatuh cinta itu tidak ada yang salah. Kalau ada pihak yang harus disalahkan karena jatuh cinta, maka pihak itu ialah Tuhan sendiri. Karena Tuhanlah yang menggerakkan cinta itu. Jadi, tenang saja. Jangan sampai kamu menjadi lumpuh rasa karena hal itu.” Saya membalas, “Terima kasih pater.” Dengan modal jawaban itu, saya menjadi tidak terlalu tersiksa oleh perasaan yang bergolak itu yang celakanya tidak bisa saya tolak.

Saya kira dengan berlalunya masa postulant, maka saya tidak akan mengalami lagi pengalaman-pengalaman seperti itu, yang sayangnya tidak pernah saya alami di seminari kecil dan menengah, karena di seminari kami semuanya dunia laki-laki. Ternyata hal itu tidak bisa hilang. Ia seperti melekat entah di bagian mana di dalam relung hati saya.

Dalam keadaan bingung, awal November 1982, saya memberanikan diri untuk mendatangi kamar pater CG. Begitu masuk, ia tidak menoleh kepada saya. Ia juga tidak menyuruh saya duduk. Saya berdiri saja. Kemudian ia berkata, “Duduk. Kamu mau bicara apa lagi?” Ia ucapkan pertanyaan itu tanpa menoleh ke saya. Matanya tetap menukik ke sebuah buku tebal yang terbuka. Dia pasti sedang sibuk membaca. “Pater, mungkin saya jatuh cinta.” Begitu saya omong begitu, ia terbahak-bahak dan menoleh kepada saya. Dia sama sekali tidak tanya, kamu jatuh cinta dengan siapa? Mengapa kamu jatuh cinta? Apakah kamu sudah menyatakannya? Dia tidak tanyakan itu. Melainkan dia langsung memberi pendapat. Yang menarik ialah, seakan-akan dia tahu, entah dari mana, entah bagaimana, saya sedang jatuh cinta dengan suster, sehingga ia lalu berkata dengan suaranya yang sengau dan cempreng: “Frans, hati-hati dengan jubah-jubah putih bersih itu. Itu semua betina-betina di dalamnya. Dan kamu sendiri juga, kamu berjubah tetapi di dalamnya tetap ada jantan.” Lalu ia diam lagi. “Tidak ada cara lain, kamu harus mengambil jarak. Cari banyak kesibukan. Banyaklah berdoa. Banyaklah membaca dan menulis. Hanya dengan itu kamu akan sembuh dari sebuah luka karena drama jatuh cinta. Waktu yang berlalu akan mengobati hatimu. Hanya itu.”

Saya pulang. Tetap bingung. Tetapi berusaha menjalankan hal yang ia nasihatkan. Tetapi itu hanya pengalihan. Hanya sublimasi. Berusaha melupakan. Tetapi ia tetap ada. Di sana. Mungkin sedang memelihara sebuah luka yang sesewaktu bisa terbuka di satu kala.

Saturday, May 9, 2020

ATG - IO FRATRE FRANCESCO

Oleh: Fransiskus Borgias



Tiga bulan pertama di Novisiat Papringan Yogyakarta, kami disibukkan dengan beberapa rangkaian acara persiapan perayaan Hari Raya Santo Fransiskus dari Asisi, tanggal 4 Oktober. Biasanya dirayakan sejak tanggal 2 Oktober dan ditandai dengan beberapa acara dan kegiatan. Ada Perayaan Ekaristi bersama, ada ceramah, ada beberapa kegiatan lain. Semua kegiatan itu tidak dilakukan di Papringan, melainkan di komunitas suster-suster Fransiskanes Semarang di Senopati, Yogyakarta. Memang di Yogyakarta ada kerjasama antar keluarga-keluarga fransiskan dan fransiskanes se Yogyakarta, yang disingkat Kanesta.

Dari semua kegiatan itu saya ingat akan satu hari puncak yaitu 3 Oktober 1982. Pada hari itu semua anggota berkumpul di biara osf Senopati sebab hari itu ada acara yang sangat special. Pater CG akan menyampaikan ceramah. Itu merupakan salah satu inti dari kegiatan perayaan Bapa Serafik Fransiskus tahun itu. Bukan baru pertama kali saya mendengarkan ceramah. Beberapa kali di seminari Kisol dulu, kami mendengarkan ceramah dari beberapa narasumber.

Tetapi sekarang, bagi saya ceramah ini menjadi sangat istimewa karena yang akan menjadi narasumbernya ialah Pater Dr.Cletus Groenen OFM. Sudah beberapa kali saya mengikuti mata pelajarannya tentang pengantar ke dalam kitab suci di novisiat. Sudah beberapa kali saya mendengar dia berkotbah, baik dalam misa di biara, maupun misa di biara Santa Klara di Mrican (beliau mendapat tugas khusus untuk merayakan ekaristi di sana). Juga sudah mendengar suara dia di kamarnya. Tetapi saya belum pernah mendengar dia di panggung meja narasumber berceramah. Karena itu, menjelang awal Oktober saya diliputi rasa penasaran untuk mendengarkan beliau, yang saya kenal lewat tulisan-tulisannya di Rohani, di Perantau, di Orientasi. Saat itu saya belum tahu apa judul ceramah beliau. Yang menjadi moderator dalam acara itu ialah Pater Alex Lanur OFM, magister novis. Wow. Magister kami menjadi manager yang mengatur lalulintas ceramah itu.

Pada hari H, acara dimulai pada pagi hari dengan acara pokok ceramah pater CG. Pada saat itulah, ketika saya masuk ke ruang ceramah, tentu dengan jubah hitam, saya bersiap-siap mendengarkan pater CG berbicara. Dengan suara yang rada cempreng dan sengau, ia membacakan judul ceramahnya, Io Fratre Francesco, Aku saudara Fransiskus. Judul ceramah itu, juga dijelaskan saat itu, diambil dari judul buku Carlo Carretto, anggota sebuah kongregasi yang nama kongregasinya mirip-mirip dengan ordo fransiskan. Serikat itu didirikan oleh Charles de Foucauld (1858-1916; bukan Mitchel Foulcault). Nama serikatnya Petit Frere de Jesu yang artinya Saudara-saudara Kecil (Dina) dari Yesus. Carlo Carretto adalah anggota serikat yang didirikan oleh Charles de Foucauld tadi. Carlo Carretto ini sangat terkenal di seluruh dunia sebagai penulis rohani yang beken, kondang dan mempunyai daya pengaruh transformative yang sangat kuat.

Carlo Carreto sudah menulis banyak buku. Akhir tahun 1979 atau mungkin tahun 1980 ia menerbitkan buku dengan judul Io Fratre Francesco (Italia). Ternyata buku itu menjadi best-seller sehingga dalam waktu sangat singkat, di akhir tahun 1980, muncul terjemahan ke Inggris, I Francis. Beberapa tahun kemudian muncul terjemahan ke dalam Bahasa Jerman, Ich Franziscus. Saya hanya bisa menelusuri kedua versi terjemahan itu. Buku international-best-seller itulah yang dipakai Pater CG sebagai bahan dasar ceramahnya ini.

Apa kekuatan buku ini? Kekuatan buku ini ialah bahwa Carretto seakan-akan mampu masuk ke dalam diri Fransiskus dari abad ketigabelas itu, dan dalam diri Carretto yang sudah masuk ke dalam diri Fransiskus itulah, Fransiskus masa silam itu, tampil lagi pada masa kini dan menyapa manusia masa kini dengan pelbagai persoalan dan tantangan hidupnya yang nyata sekarang dan di sini. Saya merasa Carretto sangat berhasil memainkan peranan itu, kira-kira seperti peranan dari si pengarang kitab Pengkotbah yang konon secara imajinatif masuk ke dalam salah satu tokoh wisdom Perjanjian Lama, yaitu Salomo. Itulah kunci keberhasilan buku Carretto itu.

Sekarang pater CG. Pater CG hari itu, saya melihat, ia tidak hanya berhasil masuk ke dalam diri Carlo Carretto (pengarang buku), melainkan, bersama Carretto ia masuk ke dalam Fransiskus dan Fransiskus itulah yang tampil berbicara kepada para pendengarnya hari itu. Hanya sejauh yang saya ingat, Pater Cletus menampilkan gaya ceramahnya seperti sebuah surat personal dari Fransiskus yang menyapa, mengeritik, mengecam, para pendengarnya. Terkadang pater CG terdengar seperti sedang menangis tatkala menyampaikan apa yang ia lihat dan ia rasakan di dalam perkembangan yang terjadi dan dihayati oleh anak-anaknya. Saya masih ingat dengan sangat baik, ada bagian dari surat itu di mana Fransiskus seperti tidak mengenal lagi anak-anaknya yang hidup dalam dunia modern dewasa ini, karena perkembangan dan mungkin penyimpangan yang begitu jauh dari apa yang ia cita-citakan dulu.

Dan saat membacakan hal itu, dan ini serius, saya mendengar Pater CG seperti menangis, eh tidak, memang ia menangis tersedu-sedu. Saya merasa hari itu, semua orang dalam ruangan itu menangis, seakan-akan sedang mendengar Fransiskus sendiri berbicara dari hatinya. Memang Carretto menampilkan Fransiskus sedang berbicara dari hatinya dan menumpahkan isi hatinya kepada anak-anaknya dalam dunia modern dewasa ini.

Saat itu saya sempat tertegun, kok bisa ya Pater CG bisa menyuarakan hal itu dengan sangat personal dan sangat menyentuh perasaan. Saya benar-benar kagum padanya. Oh ya, saya juga tidak lupa memperhatikan, bahwa Pater Alex yang biasanya tampak tegar itu juga mengeluarkan saputangannya dari saku jubahnya walaupun seperti dengan rada sembunyi-sembunyi antara melap keringat dan di dahi dan melap butir-butir air mata. Ah saya melihat kedua pater itu menangis di sore hari itu.

Sejak itu saya berusaha mencari buku Carretto itu. Tetapi tidak menemukannya. Saya baru menemukannya pada tahun 1987 (lima tahun kemudian). Maka saya membacanya dari terjemahan Inggris, I Francis. Saya memutuskan untuk menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia. Dan berhasil. Dengan malu-malu saya mengantarkan naskah itu ke Kanisius. Hanya dalam seminggu saya mendapat tanggapan: mereka mau menerbitkan buku itu. Mereka mulai mengolahnya. Tiga bulan sesudah penantian itu, tiba-tiba saya mendapat kabar lagi bahwa Kanisius membatalkan niat itu karena ternyata Kanisius, ya saya juga, kalah cepat. Nusa Indah sudah naik cetak. Buku itu diterjemahkan oleh P.Herman Embuiru SVD. Dengan demikian ada tiga buku Carretto yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Ketiganya diterbitkan Nusa Indah.

Terima kasih pater CG karena telah mengenalkan saya kepada Fransiskus yang ditemukan kembali oleh Carlo Carretto dan pater CG menuntun anggota Kanesta untuk mengenal Bapa Serafik dengan lebih baik lagi secara kontekstual, sekarang dan di sini. Hari itu aku “melihat” Fransiskus.

Friday, May 8, 2020

ATG - JUBAH COKLAT TUA ITU

Oleh: Fransiskus Borgias



Saya menyelesaikan tahun postulant pada Mei 1982. Pada awal Juli, kami terbang dari Ruteng ke Denpasar lalu naik Bis malam ke Yogyakarta. Untuk mempermudah perjalanan, suster-suster FMM di Pagal menjahitkan baju seragam dari bahan sederhana. Mungkin dari gorden jendela. Tetapi kami senang, sebab seragam itu tampak indah saat kami mengenakannya bersama-sama. Tibalah hari terbang itu. Singkat cerita kami pun tiba di Yogyakarta, beberapa hari sesudahnya. Kami istirahat beberapa hari setelah kami ditunjukkan kamar masing-masing. Kami masih harus menunggu beberapa hari untuk Misa penjubahan. Hal itu terjadi tanggal 15 Juli, pada Pesta St. Bonaventura, pelindung biara Papringan itu. Pemimpin novisiat, sudah memberikan beberapa pengarahan kepada kami untuk mempersiapkan diri dalam rangka Misa penjubahan.

Saya tergetar menunggu saat itu sejak di seminari Kisol. Saya membayangkan bagaimana tampaknya diri saya kalau mengenakan jubah coklat tua itu, dengan tali eksotik itu. Keinginan itu tertunda, karena kami harus menempuh masa postulant. Masa itu sudah lewat. Sekarang tinggal beberapa saat lagi saya akan mengenakan jubah coklat tua itu. Jubah yang membuat beberapa frater, romo, bruder tampak berwibawa. “Apakah saya akan berwibawa tatkala saya berjubah?” Pertanyaan itu mengiang-ngiang dalam hati saya. Hal itu meningkatkan penasaran. Hal itu semakin membuat saya rindu akan Misa penjubahan dan berharap hal itu akan mendatangkan mukjizat perubahan, misalnya mungkin saya menjadi lebih tenang, tidak memikirkan, melamunkan hal-hal yang tidak perlu.

Sementara itu sejak hari-hari pertama di Papringan untuk pertama kalinya saya melihat sosok yang selama ini saya kagumi, pater CG. Orangnya tenang. Serius. Sangat tekun bekerja. Tidak banyak bicara. Oh ya, satu hal. Selalu berjubah. Tidak pernah saya melihat dia tanpa jubah. Maksud saya, tidak pernah saya melihat dia berpakaian sipil. Selalu berjubah. Orangnya sangat sederhana. Ia mencuci pakaian sendiri. Tetapi rokok tidak pernah lepas dari tangannya kecuali saat ekaristi, dan tidur. Ia juga makan sangat sedikit. Mati raganya kuat. Saya sungguh mengagumi orang ini. Diam-diam dalam hati, saya yakin bahwa tentu ada mukjizat kalau ia mengenakan jubah terus menerus. Saya pun berniat agar selama masa novisiat ini minimal dua kali saya harus pernah berbicara dengan dia dalam rangka bimbingan rohani. Saya menunggu datangnya saat itu. Entah kapan.

Sementara itu, akhirnya, hari penjubahan pun tiba. Banyak orang ikut perayaan ekaristi penjubahan itu. Senang rasanya, karena kami bertemu banyak orang baru, wajah baru. Pada misa hari itu, kami awali dengan mengenakan baju kami masing-masing yang biasa sehari-hari, kemeja, celana panjang, dan sepatu sandal. Lalu Misa berlangsung seperti biasa sehari-hari. Setelah injil dibacakan, lalu imam pemimpin upacara berkotbah. Lalu tibalah saat itu. Kami, duapuluh frater muda, berdiri dan maju untuk menerima penjubahan itu.

Kami dari Flores, ada 11 orang (Saya, Paskalis B.Syukur, Peter Aman, Karel D.Jande, Yohanes Kasor, Heribertus Ngabut, Yosef Hambur, Yakobus Kila, Raymundus Ngebu, Wilhelmus Mola Wea, Gregorius Podhi). Dari Mertoyudan (ada satu orang, M.C.Prihminto Widodo). Dari Bogor ada empat orang (A.A.Ariwibowo, Hendrikus Parijo, Theodorus Dwi Kunjono, Yonas Kuremas). Dari Papua ada empat orang (Dominikus Minggu, Aloysius Lani, Sylvester Markus Iyayi, Gerry Servatius Takege). Jadi, angkatan novisiat kami duapuluh orang. Konon itulah jumlah pertama yang cukup besar dalam sejarah OFM di Indonesia. Tidak main-main: novisiat berjumlah duapuluh orang. Luar biasa.

Kami diberitahu bahwa jubah yang akan kami pakai pada penjubahan ini adalah jubah bekas. Saya tidak mempersoalkan hal itu. Yang penting itu adalah jubah. Saya pun tidak tahu itu bekas siapa. Pokoknya kami terima saja penjubahan itu. Ketika moment itu tiba, saya berdebar-debar. Jubah itu diserahkan kepada saya, dan saya mengenakannya. Hal itu tidak terlalu masalah karena jubah-jubah itu semuanya berukuran besar dan panjang. Jubah yang saya dapat siang itu, adalah jubah berwarna hitam dan kainnya cukup tebal dan bekas dari seorang imam yang berbadan cukup tinggi. Tatkala saya kenakan, jubah itu kepanjangan. Tetapi kalau saya mengenakan sepatu sandal yang cukup tinggi, jubah itu tetap menutup mata kakiku. Saya biarkan saja. Saya kencangkan talinya dan dengan itu jubah bisa sedikit dinaikkan.

Begitu kami sudah mengenakan jubah, kami sempat berdiri bersama-sama dan tampak bahwa di dalam kebersamaan kami gagah juga. Indah di dalam kebersamaan. Luar biasa. Misa selanjutnya kami rayakan dengan berjubah. Senang rasanya. Saya berdoa agar jubah itu bisa mendatangkan mukjizat perubahan di dalam hidup saya, menjadi lebih tenang, bisa mengendalikan pikiran, dan segala keinginan dan kemauan dalam diri saya sebagai anak muda, sebagai seorang pria.

Sesudah itu masa novisiat kami pun secara resmi dimulai. Rutinitas hidup pun dimulai. Bangun pagi, doa pagi, misa pagi, makan pagi, pelajaran, kerja tangan, makan siang, istirahat siang, kerja tangan sore, belajar, vesper, makan malam, belajar. Pada hari-hari tertentu ada rekreasi satu jam. Jam Sembilan malam ditutup dengan completorium, lalu tidur malam. Semua serba rutin. Termasuk memakai jubah pun menjadi rutin. Biasa-biasa saja rasanya. Hehehehe… tidak lagi menggebu-gebu seperti saat penantian dulu. Tanda apakah ini? Apakah saya sudah mulai bosan? Entahlah?

Untuk memastikan perasaan itu, saya memberanikan diri datang berbicara, meminta bimbingan rohani kepada pater CG. “Pater, saya merasa bahwa setelah memakai jubah ini, saya merasa tetap biasa-biasa saja. Tidak ada yang berubah drastic dalam diri saya. Semua masih seperti kemarin-kemarin. Masalah tetap ada. Apalagi masalah sebagai laki-laki, tetap saja muncul.” Saya serius sekali menyampaikan perjuangan batin saya. Tanpa saya duga tiba-tiba pater CG terbahak-bahak, “Hehehehe... Frans…. kau jangan mengira pakai jubah itu seperti sulap simsalabim, plug, kau masuk jubah, lalu kau jadi malaekat.” Oh iya, suara pater CG itu sengau. “Kau tetaplah seperti kau yang kemarin.” Katanya lagi sambil mengisap rokoknya. “Jubah tidak mengubah kau menjadi malaekat yang mati rasa. Kau tetap manusia, kau tetap pria dengan segala rasa gairahmu.” Isap rokok lagi. Beberapa percikan api rokok itu jatuh ke atas jubahnya. Tetapi pater CG tenang-tenang saja. “Jadi jangan kau bermimpi menjadi orang lain dengan jubah ini. Kau tetaplah kau.” Sesudah itu ia diam lalu tanpa babibu, ia kembali ke bukunya. Mungkin karena saya masih duduk di situ, ia lalu berbalik lagi, “Tunggu apa lagi? Sudah selesai. Hanya itu nasihat saya.” Dengan bergegas saya keluar dari kamarnya. Ada kelegaan. Tetapi bukan lega karena mendapat nasihat rohani. Saya lega karena saya berhasil berbicara dengan dia dari hati ke hati. Setidaknya saya sudah mencoba. Nanti saya coba lagi.

Thursday, May 7, 2020

ATG: OPA SEPEDA, NONA DAN MESIN TIK LISTRIK

Oleh: Fransiskus Borgias



Pada tahun 1982-1983, saat kami menjalani tahun novisiat di Biara Santo Bonaventura (Bitora), Yogyakarta, saya amati bahwa hampir seminggu sekali kami melihat ada seorang bapa tua yang datang ke Papringan dengan naik sepeda, sambil membonceng cucunya, seorang putri cilik yang manis. Saat turun dari sepeda di bawah naungan pohon yang rindang di halaman depan biara, bapa tua itu mula-mula melepaskan ikatan tali dari bagian bawah sadel sepedanya. Ternyata ia sedang melepaskan ikatan kaki putri cilik itu. Hehehehe…. Saya harus akui dengan jujur bahwa baru pada saat itu saya tahu kalau anak-anak kecil, pada saat mereka naik sepeda, kakinya diikat kain ke depan ke bawah sadel. Hal itu dimaksudkan untuk mencegah jangan sampai kakinya yang menggantung itu masuk ke dalam jari-jari roda sepeda yang berputar kencang. Maklumlah, saya datang dari kampung di Manggarai. Bahkan baru belajar naik sepeda di Papringan, Yogyakarta, itu pun dengan susah payah, penuh cerita pedih dan perih. Mungkin butuh lembar dan waktu lain untuk bisa menceritakan pengalaman itu.

Oke, saya tinggalkan hal itu dan kembali focus ke cerita saya yang awal tadi. Semula saya selalu bertanya dalam hati, siapakah Bapa tua itu, dan untuk apakah bapa tua itu datang ke Papringan. Belakangan barulah saya tahu, bahwa bapa tua itu adalah seorang bapa tua yang biasa membantu pater Cletus untuk mengetik semua naskah tulisan tangan pater Cletus. Wow. Baru pada saat itulah saya mengerti bahwa dia hampir datang setiap minggu ke Papringan. Dari para frater dan bruder senior saya tahu bahwa bapa tua itu mengayuh sepeda cukup jauh, katanya. Tetapi pada mulanya saya tidak bisa membayangkan jauhnya karena pada awal-awal saya tinggal di Yogyakarta, saya juga belum bisa ke mana-mana karena belum bisa naik sepeda. Paling-paling naik sepedanya masih di dalam pagar biara, di dalam kebun dan itupun dengan pengalaman jatuh bangun. Keberanian untuk keluar dari pagar biara belum ada, apalagi kalau harus sampai pergi jauh di tengah keramaian kota. Serem rasanya. Padahal pada saat itu, semua orang juga bersepeda. Yogya, lautan sepeda. Sungguh. Terkesan seperti semut sepeda saja.

Kembali ke bapa tua itu. Bapa tua itu ternyata tukang ketik tulisan tangan pater Cletus. Hemmmm…. Sungguh luar biasa. Maka bisa dipastikan bahwa semua buku-buku dan semua artikel, semua bahan ceramah hasil karya Pater Cletus Groenen yang terbit, sebelumnya pasti sudah dibaca juga terlebih dahulu oleh bapa tua itu. Saya membayangkan betapa luar biasanya pengetahuan bapa tua itu. Semua pergulatan intelektual dan rohani pater Groenen dia ikuti juga karena ia mengetiknya. Wonderful, cos it is full of wonder. Kalau buku-buku ataupun artikel-artikel dari Pater Groenen itu bisa menyapa dan berbicara kepada para pembacanya setelah diterbitkan, maka mungkin saja mereka itu (baca: teks-teks terbitan) akan mengatakan kepada para pembacanya: sebelum aku ada di depan matamu (dan kamu baca), aku sudah ada di depan mata si bapa tua tukang ketik dari mBener itu, aku sudah menari-nari di depan mata dia, aku juga sudah menjadi kesenangan dan buah ketekunan dia. Hemmmm…. Saya membayangkan mungkin juga teks-teks pater Groenen itu sudah menuntun, membimbing, mencerahkan, menantang, dan mungkin juga membuat dia bingung dan bertanya-tanya. Entahlah. Saya ini kan hanya menerka dan menduga saja. Saya menyaksikan adegan kunjungan itu hampir setiap minggu selama saya menjalani masa novisiat kami. Sesudah menyelesaikan masa novisiat, maka pada bulan Juni 1983, kami berpindah ke Jakarta, karena kami harus menempuh kuliah filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Studi itu dilakukan selama tiga tahun. Itu berarti kami selesaikan studi kami tahun 1986. Lalu kami pindah lagi ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan teologi di Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta. Sebuah pengalaman yang menarik dan menyenangkan juga.

Pada tahun 1986, saat kami kembali lagi ke Yogya, setelah kami menyelesaikan studi filsafat kami di STF Driyarkara Jakarta, kami masih beberapa kali melihat bapa tua itu datang. Tetapi pada saat itu saya melihat bahwa bapa tua itu memang sudah sangat tua. Genjotan sepedanya sudah tidak lagi segesit dan sekencang tiga atau empat tahun silam. Ia sudah dimakan usia. Factor U memang tidak bisa ditipu, tidak bisa ditantang. Ia datang begitu saja. Makanya saya bisa mengerti bahwa kali ini, si bapa tua itu sudah tidak lagi datang dengan membonceng cucunya. Mungkin cucu putri itu sudah gede, sudah tidak mau lagi ikut sang eyang kakung karena hal itu akan semakin membebani si bapa tua itu. Ya, mungkin putri itu sudah menjadi remaja, Bahasa sekarang sudah abg, sehingga tidak mau ikut-ikutan lagi naik sepeda dengan kakek tua. Memang sesudah itu ia tidak pernah datang lagi ke Papringan.

Pada saat itu kami dengar bahwa Pater Bernhard Kiesser SJ menghadiahi beliau dengan sebuah mesin ketik elektrik. Saya tidak tahu persis, apakah mesin tik listrik itu diberikan kepada pater Groenen karena bapa tua tukang ketik itu sudah sungguh-sungguh pensiun, ataukah jangan-jangan bapa tua itu pensiun karena bapa tua Groenen sudah punya mesin tik elektrik. Kalau poin kedua ini yang terjadi, hehehehe…. Kasihan sekali bapa tua itu…. Ia tersingkirkan oleh teknologi mesin ketik yang canggih. Pada waktu itu, mesin tik elektrik sangat canggih. Tetapi saya yakin bapa tua itu pensiun dari pekerjaannya membantu pater Groenen karena sudah tua. Sesudah itu, kami tidak pernah tahu lagi kabar tentang bapa tua itu. Juga kabar tentang cucunya si putri manis yang mungil itu, yang selalu nangkring di belakang sepeda eyang kakungnya, untuk datang menjenguk eyang kakung Groenen di Papringan.

Sekarang kembali lagi ke mesin tik itu. Mesin tik baru itu katanya diberikan sebagai hadiah ulang tahun pater Groenen. Saya membayangkan betapa tidak mudah juga bagi pater Groenen untuk memakai teknologi mesin tik listrik itu. Pasti butuh latihan dan pendampingan juga. Pater Kiesser membantunya dalam hal itu dengan tekun dan setia. Suatu yang sangat luar biasa.

Kembali ke Bapa tua itu. Saya merasa bahwa bapa tua itu sungguh luar biasa, sebab ia bisa membaca tulisan tangan pater Groenen. Kalau ia tidak mahir membacanya, ia pasti kerepotan dan bingung. Jangan-jangan ada yang ditambahkan si bapa tua. Hehehehe…. Memang tulisan tangan pater Groenen sangat jelek. Tidak mudah untuk dibaca. Ya saya mempunyai pengalaman pribadi yaitu terkait dengan proses bimbingan penulisan skripsi saya, yang sudah saya ceritakan kemarin.

Monday, May 4, 2020

ANTIPHONA MARIANA 2

Oleh: Fransiskus Borgias
Fakultas Filsafat UNPAR Bandung




Malam semakin hening. Para senior berbicara berbisik-bisik. Juga berjalan, bergerak perlahan-lahan. Ada juga senior yang berbicara menyampaikan kepada kami, ini saatnya SILENTIUM, saat hening, saat diam. Saya pun sedikit memperpanjang saat berlututku di dalam Kapela Seminari, untuk bersyukur kepada Tuhan atas penyelenggaraanNya hari ini. Kami semua sudah tiba dengan selamat di Asrama Seminari Pius XII, Kisol.

Malam semakin sunyi. Saya juga akhirnya perlahan-lahan meninggalkan Kapela. Begitu tiba di pintu depan Kapela, saya melihat masih ada teman-teman yang lain juga di situ. Semua pada berdiam diri, atau setidaknya hanya berbicara berbisik-bisik. Ada juga yang kemudian berjalan dengan tenang melewati gang di samping kapela dan menuju taman belakang kapela.

Saya mengikutinya. Ternyata di taman belakang itu ada sebuah gua dengan patung Bunda Maria yang diterangi dengan sinar temaram lampu listrik. ada juga beberapa lilin yang bernyala. Ada juga beberapa siswa seminaris yang berdiri di sana dan berdoa. Ternyata memang banyak siswa Seminaris yang berdoa di sana, setiap malam. Dan juga di pagi hari sebelum doa dan Misa pagi di mulai.

Saya juga ikut berdiri dan berdoa di sana. Tetapi saya tidak bisa berlama-lama, karena sudah mulai juga terasa dingin. Maka saya pun segera meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju ke bagian ruang tidur dari asrama seminari kami. Setelah tiba di sana, saya pun tidur. Itulah petang, itulah pagi, hari-hariku yang pertama di Seminari. Et factum est vespere et mane, dies primus. Maka jadilah petang dan pagi, hari pertama. Dan juga hari-hari selanjutnya yang saya harapkan akan berlangsung sebagaimana yang diharapkan.

Yang jelas, setelah menyanyikan antifon Maria Alma Redemptoris Mater itu, pikiranku menjadi semakin terbuka bahwa ada lebih banyak antifona mariana, bahkan juga dipakai menurut masa-masa liturgi gereja. Ini masih awal-awal tahun, tanggal belasan Januari. Jadi, di seminari kami masih memakai antifona itu. Dan seperti yang sudah saya katakan kemarin, antifon ini langsung melekat kuat di dalam ingatan saya dan tidak pernah lagi saya lupakan. Begitu saya sudah hafalkan, maka kata-kata syair lagu itu, menjadi seperti butir-butir air yang mengalir keluar begitu saja dari dalam mulut saya.

Dalam buku nyanyian yang ada di kapela kami memang tersedia beberapa versi lagu antifon Maria itu. Maka saya pun sudah mulai terbiasa dengan memakai antifona-antifona itu menurut masa-masa liturgisnya. Ah gereja, sungguh luar biasa tradisimu. Engkau mengatur pembagian waktu yang sesungguhnya secara natural berjalan seperti datar saja. Tetapi oleh Gereja diatur sedemikian rupa sehingga di dalam peristiwa berjalan mendatarnya waktu itu, ada momen-momen vertikal, di mana hati manusia seperti diangkat ke atas menuju kepada yang transenden untuk kemudian hanyut dalam puji dan sembah bakti.

Betapa membosankannya perjalanan waktu yang alami natural dan datar itu, tanpa selingan yang serba teratur dari gerak-gerak naik dari jiwa. Dan memang jiwa manusia, saya akhirnya bisa merasakannya juga, selalu ada keinginan untuk melayang-layang untuk naik ke atas, existere, melampaui derap-derap dan riak-riak gelombang horizontalisme yang datar. Dan Gereja memberi aturan dan petunjuk ke mana gerak hati yang ingin melayang naik itu harus diarahkan. Sursum corda. Begitu kata doa gereja nan agung di dalam Prefasi itu. Harfiah: "Angkatlah hatimu ke atas." Dan umat pun menjawab: Habemus ad Dominum. Harfiah: Ya, kami sudah lakukan itu kepada Tuhan. Wow.... Sebuah "Itinerarium mentis in Deum" kata santo Bonaventura.

Sunday, May 3, 2020

ANTIPHONA MARIANA

Oleh: Fransiskus Borgias.



Dulu waktu kecil, pada saat doa rosario di Bulan Oktober, saya hanya mengenal satu lagu antifon Maria, yaitu SALVE REGINA saja. Pada waktu kecil saya tidak tahu versi Latinnya. Yang saya atau kami hafal ialah versi terjemahannya ke dalam bahasa Manggarai, yang termaktub di dalam buku DERE SERANI. Di sana judul SALVE REGINA itu diterjemahkan menjadi TABE SENGAJI. Bahkan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia juga sudah ada di dalam buku YUBILATE, tetapi karena tidak pernah kami gunakan, maka saya pun tidak mengetahui versi terjemahan bahasa Indonesia tersebut.

Sebenarnya, masih ada satu lagi Lagu Antifon Maria yang ada dalam buku DERE SERANI, tetapi karena dulu pada waktu kecil Bulan Mei sebagai bulan Maria belum begitu akrab dipraktekkan orang di Manggarai. Pada umumnya orang hanya menjalankan tradisi BULAN ROSARIO saja di bulan Oktober. Kiranya itulah yang menyebabkan orang tidak begitu terbiasa memakai ANTIFON MARIA yang biasanya dipergunakan pada masa Paskah itu.

Antifona Maria pada masa Paskah ialah teks lagu yang dalam bahasa Latin judulnya, REGINA CAELI. Teks antifona ini pun sudah ada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia yang juga ada dalam buku Yubilate dan juga Syukur Kepada Bapa, buku-buku nyanyian gerejani yang sangat populer di Flores pada masa saya kecil. Nah, teks Regina Caeli ini juga sudah ada terjemahannya ke dalam bahasa Manggarai dan ada juga dalam buku DERE SERANI. Tetapi itu tadi. Karena tidak pernah dipergunakan secara rutin maka kami pun tidak begitu mengenalnya. Tetapi secara pribadi, saya sungguh sangat suka akan antifona Maria yang satu ini.

Cakrawala pengenalan saya akan ANTIPHONA MARIANA semakin luas dan banyak, tatkala saya masuk ke Seminari Kecil di Kisol, pada bulan Januari 1975. Pada saat itu, kami tiba di sore hari setelah melewati perjalanan yang melelahkan dari Ruteng menuju Kisol. Sebenarnya tidak begitu jauh. Hanya 65an kilometer saja. Tetapi karena pada tahun 70an itu, jalan Rayanya sangat buruk, maka perjalanan itu ditempuh hampir dalam waktu sehari. Berangkat dari Ruteng Pukul 8.00, sampai di Kisol sekitar pukul 3 sore. Itupun kalau semua berjalan lancar.

Begitu tiba di Kisol, badan kami semua keletihan. Tetapi sebagai anak baru dari kampung, saya mengagumi arsitektur gedung seminari yang bagi saya saat itu sangat luar biasa. Maka secara spontan saya pun mencoba menikmatinya.

Dan tibalah sore hari. Lembah Kisol sangat sunyi. Tidak terdengar suara anak-anak. Tidak terdengar suara mobil, karena memang semuanya itu masih sangat langka pada waktu itu. Yang paling saya ingat ialah bunyi burung-burung malam yang dalam mitologi di kampung terasa menyeramkan. Karena pada sore hari menjelang malam itu, dari kejauhan di pinggir hutan di belakang asrama Seminari saya mendengar bunyi burung hantu yang terasa menyeramkan... poh... poh... poh....

Sebentar-sebentar saya juga mendengar bunyi burung toak, entah apa namanya sebenarnya, dan entah seperti apa bunyinya. Yang jelas dari kejauhan bunyinya Toa o... toa o... toa o... Maka orang-orang di Ketang dan sekitarnya menyebut burung itu kaka Toa. Kata orang tua-tua, kalau didengar dari dekat, sebenarnya di belakang bunyi toa o itu ada lanjutannya... yaitu ta ta ta... Jadi selengkapnya, bunyinya toa o tah tah tah... toa o tah tah tah... Kata orang tua-tua dulu, sebenarnya burung malam itu adalah burung setan yang sedang menuntun paha-paha yang berjalan dan hanya paha-paha saja, dan itu adalah paha-paha orang hidup yang sebentar lagi akan segera mati. Oh betapa menyeramkan rasanya. Saya ketakutan.

Terkadang bunyi burung hantu itu terasa begitu dekat, karena rupanya burung itu bertengger di atas pohon Kihujan yang ada di halaman tengah seminari kami. Tetapi karena melihat para senior yang tenang-tenang dan santai saja, akhirnya saya pun menjadi terbiasa juga dengan semua bunyi itu.

Akhirnya tibalah pukul 20:45 malam. Ada bunyi lonceng yang memanggil dan mengarahkan semua siswa seminari untuk menuju ke kapel seminari. Saya ikut saja dalam arus itu. Para senior berbisik kita akan pergi completorium. Oh... saya mengangguk walaupun tidak mengerti apa itu. Bagaimana bisa mengerti, mengucapkannya saja masih susah. Ya sudah, pokoknya ikut saja.

Ternyata completorium itu adalah doa malam, doa yang menutup semua aktifitas dalam sehari. Tidak ada yang sangat istimewa dengan doa malam itu, sebab kami sendiri di rumah sudah biasa dengan doa malam itu, ngaji wie yang juga diucapkan dari hafalan Dere Serani.

Begitu selesai, lalu ada hening sejenak. Tiba-tiba hening itu dipecahkan oleh sebuah bunyi ajaib dari bagian atas belakang kapel itu. Kami menoleh. Para senior pada tersenyum. Ternyata itu adalah bunyi harmonium. Saya langsung jatuh cinta pada bunyi itu sejak pendengaran pertama. Setelah preludium yang indah mempesona itu, lalu para siswa senior pun menyanyikan sebuah lagu yang sangat indah. Kami para siswa baru hanya bengong.

Tetapi untunglah seorang senior di belakang saya, memberi sebuah buku nyanyi kepada saya dan langsung ke halaman lagu tersebut. Dan ada notnya juga. Maka saya pun juga langsung mencoba ikut bernyanyi, setidaknya hanyut dalam nada dan irama gregorian yang indah itu.

Alma Redemptoris Mater, quae pervia caeli porta manes, et stella maris, succurre cadenti, surgere qui curat populo, tu quae genuisti, natura mirante, tuum sanctum Genitorem, virgo prius ac posterius, Gabrielis ab ore, summens illud ave, peccatorum miserere.

Sesudah itu, masih ada sepotong doa dalam bahasa Latin yang tidak saya pahami saat itu. Yang jelas, sesudah semuanya itu, masih ada doa hening pribadi dan para siswa dengan diam, menuju ke kamar tidur untuk istirahat malam. Tetapi ada yang masih melanjutkan doa di belakang kapel seminari... (Bersambung)....

Wednesday, April 29, 2020

ATG - TEMBOK BITORA DAN KETAATAN GROENEN

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosesn dan Peneliti FF-UNPAR Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci St.Hieronimus, di Keuskupan Bandung.



Sebuah kilas balik. Menengok ke masa silam. Dalam rangka belajar dan menimba hikmat. Ya, pada tahun itu, tepatnya tahun 1988, sekitar menjelang akhir tahun, Bitora yang tenang dan hening mulai menjadi ramai dengan beberapa wacana. Apa pasalnya? Pater gardian Yogya pada waktu itu, yaitu Pater Parto Sudarmo ofm almarhum, mulai membangun rasanya seperti dengan putusan sepihak pagar tembok yang cukup tinggi mengelilingi Bitora itu. Hal itulah yang menjadi pokok kasak-kusuk dalam wacana para penghuni Bitora pada saat itu. Salah satu inti pokok diskusinya kiranya dapat dipaparkan secara singkat berikut ini.

Jika pagar tembok itu sudah terbangun maka hal itu jelas akan sangat mengubah bentuk dan penampang biara itu dan terutama sekali akan mengubah pola relasi biara dengan masyarakat di sekitar biara. Jika sebelumnya hubungan itu serba terbuka karena hanya dibatasi dengan pagar yang hidup saja, maka dengan terbangunnya tembok itu akan muncul sebuah ruang tertutup yang serba sangat eksklusif yang berbatas dengan sangat jelas dan tegas antara luar dan dalam, antara kita dan mereka, antara masyarakat luat biara dan dalam biara.

Selama ini, pagar hidup yang hijau memungkinkan pola relasi itu akrab, terbuka dan hidup. Orang-orang di luar biara menyebut penghuni biara dengan sebutan Bruder atau dengan sebutan singkat der. Kalau ada orang yang sudah bisa membedakan pelbagai macam sebutan yang dipakai di dalam biara (misalnya, ada yang dipanggil pater, ada yang dipanggil bruder, ada yang dipanggil bruder), maka dapat dipastikan bahwa orang itu adalah orang Katolik. Kembali lagi ke masalah tembok tadi. Sebelum tembok itu ada, maka tidak terkesan eksklusif dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Tidak ada sesuatu yang disembunyikan, seperti harta misalnya. Entahlah apa. Masyarakat luar biasa melihat ke dalam tanpa sembunyi-sembunyi, penghuni biara bisa melihat keluar tanpa sembunyi-sembunyi juga. Relasi akrab itu tampak dalam aktifitas ronda malam bersama, bahkan kerja bersih lingkungan bersama. Terkadang juga tampak dalam aktifitas olah raga.

Tetapi sejak akhir tahun 1988 itu dimulailah pembangunan tembok yang cukup tinggi di sekeliling biara itu. Tembok itu serba sangat tertutup dan cukup tinggi, mungkin lebih dari dua meter. Bahkan mungkin juga mencapai tiga meter. Cukup banyak penghuni biara waktu itu yang melakukan protes terhadap pembangunan tembok ini. Bahkan sebelum saya meninggalkan biara itu pada awal Januari 1989, saya masih sempat menulis sebuah catatan protes dan kritik pedas di dalam majalah bulanan Fransiskan, Taufan, bulan keluarga OFM. Tulisan saya waktu itu berjudul sarkastik, “Tembok Cina” di bitora. Jadi rindu lagi membaca tulisan dari masa muda (sebagai frater muda) itu. Semoga pada suatu saat bisa membolak-balik lagi semua koleksi itu.

Selidik punya selidik, ternyata pater Cletus Groenen juga mengkritik pedas putusan membangun tembok cina itu di Bitora. Beberapa kali kami sempat mendengar dia menggerutu dan mennyeletuk protes keras tentang hal itu. Kiranya ia juga sudah menyampaikan hal itu secara pribadi dan langsung kepada pater Parto sendiri. Rupanya semuanya itu tidak mempan, tidak digubris sama sekali. Akhirnya Pater Cletus pun diam saja. Ia tidak lagi berkata-kata sepatah katapun juga.

Hal itu tentu saja membingungkan dan mengerankan para penghuni biara lain yang menolak keberadaan tembok biara itu. Apalagi, entah dari mana anggaran biaya untuk pembangunan itu. Salah seorang teman dari antara kami memberanikan diri untuk menanyakan secara langsung kepada pater Gronen, mengenai perubahan drastis sikap dia. Dan inilah pelajaran penting yang ingin saya sampaikan di sini. Dan hal ini ada kaitannya dengan perkara ketaatan yang dalam tradisi disebut ketaatan suci. Salah seorang teman di antara kami pergi menghadap pater Groenen untuk menanyakan bagaimana pendapat dan pandangan dia terhadap situasi yang ada. Dan betapa jawaban dia sangat mengejutkan kami semua; memang ada juga di antara kami yang kecewa. Tetapi itulah sikap dia.

Dia mengatakan bahwa sebagai bawahan kita harus tunduk kepada apa yang sudah diputuskan oleh pimpinan, betapapun putusan sang pemimpin itu sangat sulit kita terima, putusan itu kita anggap sangat bertentangan dengan akal sehat kita. Kita harus siap untuk melihat sisi positif dari pengalaman ini. Barangkali Tuhan mau menyampaikan sesuatu yang dari saat ini belum dapat kita lihat dengan sebaik-baiknya dan sepenuh-penuhnya. Begitulah jawaban dan sikap Pater Groenen pada waktu itu.

Groenen yang merupakan dosen super senior, seorang pakar kitab suci yang kenamaan dan sangat disegani di Indonesia, memberikan jawaban yang sangat fransiskan, sebab jawaban dia itu mengajarkan sikap tunduk dan menghormati sang pemimpin walaupun hal itu dianggap tidak masuk akal. Dalam hal ini, secara pribadi saya teringat akan ajaran tentang apa yang disebut ketaatan mayat (oebedientia cadaver) yang diajarkan oleh Fransiskus Asisi kepada para saudaranya yang paling awal. Kita harus taat sepenuhnya kepada pemimpin kita walaupun kita tidak selalu mudah memahami hal itu. Kita harus menghormati mereka. Kita harus tunduk kepada pemimpin. Di hadapan sikap pemimpin yang sudah mengambil keputusan seperti itu, kita hanya bisa diam dan tunduk. Dan saya sudah mengambil sikap dan keputusan itu. memang berat. Tetapi saya tidak punya pilihan lain. Begitulah kira-kira kata Groenen pada waktu itu. Mendengar jawaban itu, saya hanya bisa berkata, wow… itulah gaya hidup Fransiskan.


Tuesday, April 28, 2020

ATG "DISKUSI KANON"

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI.




Minggu yang lalu (saya lupa tanggal persisnya), seorang teman saya, Hortensius Mandaru (Ahli di departemen Penerjemahan LAI), dalam akun instagram pribadinya, menerbitkan foto sebuah cover buku baru. Buku itu berbicara tentang masalah, diskusi, dan perdebatan tentang Kanon Kitab Suci. Editor buku itu adalah dua orang ini: Lee Martin McDonald dan James A.Sanders. Hortensius Mandaru kemudian menulis sebuah caption singkat di bagian bawah postingan itu, yang bunyinya ialah sbb: “Indeed… Never ending debate…!!” Caption itu bisa diartikan secara bebas demikian: Ini adalah sebuah persoalan abadi, yang akan terus didiskusikan, diperdebatkan dengan hangat di dalam sejarah penafsiran kitab suci, di dalam sejarah teologi, di dalam sejarah gereja. De canone numquam satis. Hehehehe…. Ungkapan marialis itu bisa diterapkan di sini, sebagaimana telah diterapkan di tempat lain (sebagaimana dibuat Romo Purnomo, “De Satanae numquam satis” dalam salah satu artikelnya di Mingguan Hidup).

Begitu saya melihat postingan itu, saya langsung memberi dua buah komentar. Dan dalam komentar itu saya bercerita tentang pater Cletus Groenen OFM. Memang saat saya membaca judul buku itu dan juga membaca komentar singkat dari Tensi atas buku itu, saya langsung teringat akan pater Cletus Groenen. Saya langsung ingat bahwa pada awal tahun 80an atau bahkan akhir tahun 70-an dia sudah menulis sebuah artikel ilmiah dalam Jurnal Filsafat-Teologi bergensi pada waktu itu, Orientasi (saya lupa tahun persis dan nomornya, apalagi halamannya). Saya juga sudah lupa akan judulnya. Tetapi kurang lebih ia mau mengatakan bahwa persoalan tentang, apakah kanon itu sudah tertutup atau masih terbuka.

Tentu saja ini adalah sebuah persoalan yang cukup rumit dan sensitive karena menyangkut otoritas gereja (magisterium) yang sudah lama menetapkan dan bersepakat bahwa kitab-kitab yang masuk kanon Perjanjian Baru adalah sungguh kanonik (dan tidak dapat, tidak boleh digugat lagi). Apalagi hal itu sudah diperteguh oleh beberapa konsili. Peneguhan terakhir dibuat dalam Konsili Trente dalam rangka perdebatan teologis dengan Protestan (Peneguhan Trente kemudian ditegaskan kembali dalam Vatikan I dan Vatikan II). Kita sudah tahu bahwa otoritas gereja sudah memutuskan mengenai mana kitab-kitab yang masuk kanon, mana yang tidak lolos masuk Kanon, karena ada satu atau dua masalah terkait pandangan hidup dan pandangan teologis tertentu. Terhadap pertanyaan yang diajukan di atas tadi tentang apakah kanon sudah tertutup (final) atau masih terbuka, pastor Groenen memberikan sebuah jawaban yang dalam penangkapan saya terasa cukup pasti dan meyakinan bahwa kanon itu masih terbuka. Ia tidak tertutup sama sekali. Semoga saya tidak keliru membaca beliau. Maaf jika keliru.

Artinya, secara kongkret ialah bahwa kalau sampai sekarang kanon kitab suci Perjanjian Baru kita terdiri atas 27 kitab, maka mungkin saja di hari-hari yang akan datang, jumlah itu bisa saja berkurang atau bisa juga bertambah. Mengapa demikian? Hal itu erat terkait dengan upaya penggalian dan pencarian arkeologis yang masih terus berlangsung hingga sekarang ini. Pelbagai penggalian arkeologis masih terus dilakukan oleh para ahli hingga saat ini. Bisa saja pada suatu saat di masa yang akan datang, begitu pater Cletus mensinyalir, para arkeolog itu akan menemukan naskah-naskah kuno lagi yang bisa saja mengubah seluruh postur daftar kanon Kitab Suci Perjanjian Baru yang sudah kita miliki hingga sekarang ini. Belum lagi kalau diskusi itu kita perlebar hingga mencakup kanon kitab suci Perjanjian Lama juga (yang bisa “berubah” dengan semakin mendalamnya pengetahuan kita tentang “intertestamental period”, kurun yang sangat subur, tetapi yang selama ini diabaikan karena orang terpaku pada PL di satu pihak dan PB di pihak lain lalu lupa bahwa ada kurun misteri yang kaya di antaranya).

Sekarang kembali lagi ke pokok yang didiskusikan oleh pater Cletus Groenen di atas tadi. Bahkan pater Cletus tidak hanya memberi pendasaran argumentasinya pada penggalian arkeologis. Ia juga mendasarkan argumentasinya pada beberapa teks yang hingga sekarang ini masih diperdebatkan oleh para ahli. Saya masih ingat dalam karangan itu, Pater Groenen memberi contoh berikut ini. Dengan cukup tegas dan berani ia mengatakan bahwa kalau mau jujur maka Kitab Gembala Hermas sesungguhnya jauh lebih bermutu dan lebih layak masuk kanon dibandingkan dengan kitab 2Petrus. Sebagai seorang novis saat itu, saat saya membaca hal itu dulu, saya juga sangat terkejut (apalagi saya sudah katam lebih dari dua kali membaca alkitab itu). Tetapi apa mau dikata, tradisi gereja sudah menetapkan demikian: 2Petrus lolos masuk kanon, sedangkan Pastor Hermas, terbuang di luar kanon, walaupun kita masih tetap sangat menghargainya sebagai sebuah karya yang sangat bermutu.

Persoalan ini semakin terasa meyakinkan lagi, tatkala kita diberitahu oleh pater Groenen dan para ahli lain bahwa jika kita membandingkan dengan baik, maka ada beberapa bagian dalam 2Petrus itu sesungguhnya mengutip dari surat Yudas. Sebenarnya tidak juga ada sebuah keputusan yang pasti, apakah 2Petrus yang mengutip Yudas, ataukah Yudas yang mengutip 2Petrus. Tetapi menurut Pater Groenen, 2Petruslah yang mengutip Yudas. Dan saya menerima itu. Jika demikian duduknya perkara, maka kita pun semakin menjadi yakin lagi mengenai betapa goyahnya kedudukan 2Petrus itu di dalam bingkai Kanon Kitab Suci Perjanjian Baru. Sedangkan Yudas mempunyai persoalannya tersendiri juga. Di dalam kitab itu, kita menemukan beberapa kutipan yang berasal dari kitab-kitab apokrif, suatu yang sangat langka dilakukan di dalam kitab-kitab yang kanonik sejauh yang saya ketahui selama ini. Jadi, secara tertentu, posisi surat Yudas pun sesungguhnya cukup “goyah” juga, kalau pada suatu saat dikatakan bahwa kriteria kanon ialah tidak mengutip dari kitab apokrif. Kalau hal itu terjadi, maka tamatlah riwayat status kanonik surat Yudas itu. Hehehehehe.... kita omong jujur-jujur saja sebagai orang yang dewasa dalam beriman. Jangan baper yah….

Monday, April 13, 2020

SEPATU BISU DAN MARS KUNCI

Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, MA


September sampai dengan Desember 2014, saya tinggal di Geithersberg, Maryland, USA. Saya tinggal di sana dalam rangka menjalani semester sandwich-programme saya pada Fakultas Theology di Georgetown University, salah satu universitas tertua di Amerika, yang didirikan oleh para romo Yesuit, kalau tidak salah pada tahun 1779 (jadi, tiga tahun sesudah Declaration of Independence, yang ditanda-tangani oleh Thomas Jefferson itu, 4 Juli 1776). Kegiatan utama saya pada waktu itu adalah riset kepustakaan dengan mitra dialog Prof.Dr.Peter C.Phan, profesor teologi di Georgetown, seorang teolog kelahiran Vietnam. Walaupun saya tinggal cukup jauh di luar Washington DC, tetapi setiap hari saya mengunjungi perpustakaan Georgetown itu yang memang terletak di dalam wilayah DC itu. Atas nasihat Prof.Peter Phan, saya bekerja keras pada hari Senin sampai Kamis. Sedangkan pada Hari Jumat sampai dengan Minggu, saya harus berjalan-jalan menikmati kota Washington dan sekitarnya. "Frans, from Monday to Thursday, you have to WORK HARD, while from Friday to Sunday, YOU HAVE TO WALK HARD." Begitu kata Prof.Peter Phan dengan nada bercanda. Dan saya melakukan hal itu dengan sungguh-sungguh.

Untuk itulah maka di akhir pekan saya selalu menyempatkan diri mengunjungi beberapa museum yang terletak di kawasan Gedung Capitol, di Smithsonian Avenue. Memang di kawasan itu ada banyak sekali museum yang indah-indah dan sangat mengagumkan. Sebagian besar museum itu terletak di bawah tanah. Pada saat itu saya masih ingat, sudah pada akhir bulan November dan bagi saya sudah terasa sangat dingin. Saya datang ke sana untuk mengunjungi secara khusus Holocaust Memorial Museum. Itu adalah museum peringatan akan kekejaman dan kebengisan Perang Dunia Kedua yang menimpa orang-orang Yahudi di seluruh dunia, khususnya di Eropa akibat penindasan yang dilakukan Nazi, semacam program pemusnahan etnis (ethnic cleansing) yang mengerikan. Dalam museum itu ada banyak hal yang menarik untuk dicermati dan dicatat dan diberi perhatian khusus. Tetapi saya kali ini sangat tertarik dengan satu ruangan besar yang berisi hanya sepatu-sepatu dari berbagai ukuran, baik itu sepatu untuk kaum pria maupun sepatu untuk kaum perempuan. Sebagian terbesar sepatu-sepatu itu sudah berwarna hitam, kelabu, kusam-kusam, mungkin karena sudah dimakan usia. Ada juga sepatu yang berwarna keabu-abuan. Ada juga yang berwarna kebiru-biruan.

Saat memasuki kawasan ruang sepatu itu, suasana terasa sangat sepi. Bahkan saya merasakan suasana yang rada mencengkam. Mungkin karena pada saat itu saya hanya sendirian saja di sana. Ruang itu sepi sekali, bisu. Hening. Dan sepatu-sepatu itu... juga diam membisu, hening, sunyi. Tidak bergerak. Kalau ada yang bergerak pasti saya lari ketakutan. Sampai akhirnya saya membaca satu keterangan tertulis di salah satu sudut ruang kaca tersebut. Di sana terbaca keterangan yang kurang lebih berbunyi demikian: Ini adalah sepatu-sepatu dari orang-orang yang menjadi korban (victim) keganasan Nazi di Jerman. Tubuh dan kaki orang-orang itu sudah mati di dalam ruang gas beracun. Tetapi kini sepatu-sepatu milik mereka seakan-akan sedang berbicara dengan sangat lantang dan keras-keras tentang keberadaan dan nasib mereka. Bahkan di dinding ruangan itu ada juga sebuah daftar nama dari orang-orang atau para pemilik sepatu-sepatu itu, yang kini sudah tiada. Hanya tinggal nama saja. Hanya tinggal sepatu saja. Diam. Membisu, membiru, abu-abu, kelabu. Tetapi bagi saya juga serentak menderu justru di dalam membisu itu. Paradoksal sekali. Aku seakan-akan melihat dan mendengar mereka, mendengar mereka sedang berteriak, mengaduh, merintih. Ah....

Kalau saya tidak salah ingat, tragedi gas beracun itu terjadi pada tahun 40an di Jerman dan di Polandia. Banyak orang Yahudi yang digiring ke dalam Kamar Gas beracun itu. Akibatnya, banyak orang Yahudi yang menjadi korban. Salah satu tokoh yang menyaksikan hal itu adalah seorang sastrawan Austria, Elie Wiessel, yang dari dalam bencana tragis itu dari mana dia akhirnya secara ajaib selamat, menuliskan trilogi novelnya yang sangat menarik dan indah. Semuanya berbicara tentang krisis kemanusiaan di Eropa itu. Saya masih ingat salah satu perkataan Wiessel dalam salah satu trilogi itu: Aku melihat Allah sudah terbakar, dan ia menjadi jelaga hitam yang keluar dari cerobong asap kamar gas maut. Kira-kira begitu. Ia terperosok ke dalam ateisme praktis, susah untuk menjadi percaya lagi akan Allah, karena tragedi penderitaan manusia yang sangat dahsyat dan mengerikan itu. Maka sebagai akibatnya, sejak saat itu gelombang Alia, yaitu kaum imigran yang lari mencari keselamatan dan keamanan ke tanah Kanaan (sekarang disebut Palestina) menjadi semakin gencar. Sehingga boleh dikatakan bahwa gerakan zionisme-politik dan religius di Eropa akhirnya memuncak dan bermuara pada peristiwa proklamasi berdirinya negara Israel pada bulan Mei 1948. Dan itu terjadi di tanah Kanaan. Ya, di Palestina.

Tentu saja pada saat itu negeri itu bukan sebuah negeri yang kosong, tanah yang tanpa tuan, tanah yang tidak diketahui, daerah tidak bertuan, terra incognita. Sekali lagi tidak. Yang jelas, bagaimanapun juga di sana sudah ada manusia. Di sana ada orang-orang Palestina. Ada juga orang-orang Yahudi. Dan ada juga orang-orang Kristiani. Hal itu bisa kita rasakan dengan sangat kuat dalam sebuah buku novel Palestina yang bernama Elias Chakour, seorang imam Palestina (kalau tidak salah dari tradisi iman Kristiani kaum Yakobit ataupun Melkit). Judul novel dia ialah SAUDARA SEKANDUNG, yang sudah diterjemahkan juga ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh penerbit Sinar Harapan di akhir tahun 80an ataupun awal tahun 90an. Sebuah kisah tragis yang amat menyedihkan tentang orang-orang Palestina yang menjadi korban dari percaturan politik di kawasan itu.

Yang jelas ialah bahwa sejak berdirinya negara Israel tadi maka terjadi juga banyak drama pengusiran dan penggusuran terhadap orang-orang setempat, baik Israel yang sudah ada di sana sejak semula, maupun juga orang-orang Palestina, dan juga orang-orang Kristen Palestina, termasuk keluarga sang pendeta Chakour tadi. Sejak itu rumah-rumah orang Palestina digusur. Bahkan kampung halaman mereka juga digusur. Lahan-lahan pertanian mereka, di mana mereka selama ratusan tahun sudah menamam pohon ara, pohon zaitun, kebun anggur, apel, dan kurma, juga digusur. Tentu saja orang-orangnya sekalian digusur juga. Maka jadilah mereka gelandangan dan perantau di tanah mereka sendiri. Tragis sekali. Penggusuran itu, menurut kesaksian Chakour, dilakukan demi ekspansi Lebensraum, ruang hidup, pemukiman bagi orang-orang Israel, para pemukim baru yang datang dari seberang lautan itu. Maka sejak saat itu penduduk Palestina pun tergusur menjadi gelandangan. Tanpa rumah. Tanpa kampung halaman. Tanpa kebun. Tetapi semuanya masih mereka ingat, dalam ingatan kolektif mereka.

Pada tanggal 20 Maret tahun 2000, Paus Yohanes Paulus II, pergi mengunjungi tanah suci, Palestina (Kanaan). Di sana ia mengunjungi gunung Nebo yang sangat terkenal itu. Konon ia kesana untuk bisa merasakan apa yang dulu dirasakan dan dialami Musa saat ia berdiri sana untuk memandang ke tanah Kanaan, Tanah Terjanji, the Promised Land itu. Bapa Suci juga pergi mengunjungi kota Betlehem. Dan masih ada beberapa tempat yang lain lagi. Tidak hanya itu. Bapa Paus juga pergi mengunjungi kamp pengungsi Palestina yang bernama Dheishal, yang terletak di luar kota Betlehem, Rumah Roti itu. Para penghuni Kamp itu tidak lain adalah orang-orang keturunan Palestina yang telah kehilangan rumah-rumah dan lahan pertanian mereka sejak tahun 1948 itu, sejak program ekspansi para pemukim Yahudi.

Konon di sana, di kamp para pengungsi itu Bapa Paus disambut dengan "Mars Kunci (Gary M.Burge, Palestina, Milik Siapa?, Jakarta BPK, 2003:x). Apa itu Mars Kunci? "Mars Kunci" adalah bunyi gemerincing kunci-kunci rumah milik orang Palestina yang sudah digusur oleh Israel. Kunci-kunci itu sekarang ini dibawa oleh anak-anak Palestina, sebagai warisan, sebagai bukti historis bahwa dulu mereka pernah mempunyai rumah di sini, di atas tanah ini. Rumah itu sudah hancur binasa, sudah hilang. Tetapi kenangan akan rumah-rumah itu tidak akan pernah hilang, sebab mereka akan tetap hidup dan bahkan menjadi abadi di dalam bunyi gemerincing Mars Kunci-kunci itu. Pada saat melihat dan mendengar Mars Kunci-kunci itu, konon Bapa Paus, sangat trenyuh dan tampak sekali ia menjadi sangat sedih dan pilu, bahkan seperti akan menangis. Kata Burge demikian: "Beliau memeluk anak-anak yang membawa kunci-kunci besi milik kakek-kakek mereka" (p.x). Tragis. Sedih. Pilu. Jadi, di Washington ada Museum Sepatu Bisu, di Betlehem ada "Museum" Mars Kunci.

Hingga saat ini saya belum mempunyai kesempatan, lebih tepatnya belum memiliki kemampuan, untuk mengunjungi tanah Kanaan, Palestina, Israel, khususnya kota suci Yerusalem, kota suci tiga agama besar, Yahudi, Kristen, Islam (Harus disebut dengan urutan historis seperti itu, agar bisa memperlihatkan keadilan sejarah dengan sebaik-baiknya). Semoga pada satu saat saya bisa ke sana, berziarah. Tetapi waktu di Belanda, saya pernah diceritakan oleh seorang dosen Kitab Suci saya bahwa di Israel, kalau tidak salah di Haifah, ada juga sebuah museum suara, museum memorial korban-korban perang dunia kedua juga. Katanya, di dalam museum itu yang ada adalah justru tiada, sebuah ruang kosong. Katanya juga, hanya diterangi semacam cahaya lilin yang redup.

Tetapi saat para pengunjung masuk ke sana, mereka akan mendengar suara orang-orang yang hanya menyebut nama mereka masing-masing dan sekaligus menyebutkan keterangan singkat, lahir di mana, besar di mana, dan mati dengan cara seperti apa, di mana. Misalnya, "Saya adalah Moshe. Saya lahir di Belarus. Waktu itu saya masih anak-anak. Saya mati di kamp pengungsian akibat Perang dunia Kedua." Atau contoh lain, "Saya adalah Deborah. Saya lahir di Prussia. Saya mati di ruang gas beracun." Dst.dst., Kata dosen saya itu, rasanya mencengkam sekali. Ketika mendengar cerita itu saya langsung teringat akan perkataan Cletus Groenen tentang Yerusalem: Yerusalem adalah sebuah kota dengan masalah yang pelik. Dan tidak akan pernah selesai masalah itu. Kalau masalah Yerusalem sudah bisa diatasi, maka itu berarti sudah akan kiamat. Mungkin saja dia benar.

Samar-samar aku dengar sebuah lagu ziarah dari tahun 70an kalau tidak salah dilantunkan oleh Leks Trio: "O Yerusalem, kota mulia, hatiku rindu, ke sana. Tak lama lagi, Tuhanku datanglah, bawa aku masuk sana." Banyak orang dilanda rindu seperti itu: Mau Ke Yerusalem, seperti kata pemazmur juga, Kalau sampai aku melupakanmu Yerusalem, biarlah lidahku melekat pada langit-langitku, biarlah tangan kananku dipotong (Mzm 137, yang konon dilantunkan oleh para exil, kaum buangan yang menangis sedih pilu rindu akan Yerusalem saat mereka duduk dengan kaki selonjor di tepi kanal-kanal indah di Babilon, sementara mereka gantungkan kecapi mereka di pohon gandarusa. Ah sebuah nostalgia yang indah, tetapi sekaligus pahit juga. hehehehe....

Friday, April 10, 2020

JUMAT AGUNG YANG HENING

Oleh: Fransiskus Borgias



Dalam satu WAG yang saya ikuti, ada sebuah percakapan menarik tentang Hari Jumat Agung yang hening. Hening, artinya tidak ada suara apa pun yang mengganggu ketenangan alam. Yang ada paling-paling hanya suara alam seperti suara burung yang beterbangan di udara, suara ayam berkokok atau berkotek, suara anak ayam menciap, ataupun suara angin yang bertiup. Kalau orang berdiam di pinggir hutan bambu maka akan terdengar suara gemerisik dari daun dan batang bamboo. Atau kalau orang berdiam di dekat sungai, maka orang akan mendengar suara deru air mengalir. Hanya itu. Mungkin sesekali di udara terdengar suara pesawat terbang yang melintas di ketinggian. Mungkin juga sesekali terdengar bunyi oto yang sayup-sayup terdengar dari kejauhan karena sekadar terbang dibawa angin.


Apa yang baru saja dilukiskan itu terasa seperti sebuah impian. Ah tidak. Itu sebuah kenyataan. Paling tidak, itu adalah kenyataan yang pernah saya alami dulu saat masih duduk di Sekolah Dasar Katolik di Lamba-Ketang. Pada saat itu, memang Jumat Agung kami lewatkan dalam suasana keheningan. Pernah beberapa tahun, pada hari Jumat Agung, pertandingan (sepak bola, dll) tetap diadakan. Tetapi kemudian, akhirnya diterima umum (setidaknya di Ketang), pertandingan hanya boleh pada hari Rabu, Kamis, dan Sabtu. Jumat Agung harus hening. Keheningan itu masih bisa saya ingat dan bahkan rasakan dalam memori masa kecil saya, yang entah kenapa masih terus tersimpan dan sekarang ini kembali muncul ke permukaan. Betapa kuatnya ingatan itu.


Sejak Hari Kamis pagi, sebelum pertandingan-pertandingan dimulai, ada ibadat Lamentasi, ibadat Ratapan. Ada lagu ratapan yang dibawakan oleh sekelompok penyanyi. Bahkan nyanyian itu sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Manggarai. Sepotong teks ayat ulangannya berbunyi sbb: Yerusalem, Yerusalem, kole ngger one agu Mori Keraeng de hau. (Lalu diselipi dengan beberapa huruf Ibrani yang relevan, seperti Alef, Beth, Ghimel, Daleth, He, Vav, Zain, Heth, Teth, Iof, Kaf, Lamed, Mem, Nun, Samech, dll). Bahkan bagian pengantar dari Lamentasi itu berbunyi sbb: Wangkan tilir, di Yeremias, propheta (kemudian kata propheta ini diterjemahkan menjadi, nabi nggeluk). Lalu sesudah itu ada pertandingan-pertandingan. Biasanya anak-anak SD yang ada dalam lingkup Paroki tersebut. Tetapi semua pertandingan dihentikan (berhenti) pada jam dua sore. Syukur kalau sebelumnya sudah selesai. Walau pernah terjadi, juga di Ketang, pertandingan sampai sore. Tetapi pastor marah karenanya. Sebab orang lalu keletihan dan tidak mau ke gereja lagi. Hahahahaha….. ata ngonde muing ba wekid ata situ e opa tuang Moma….


Lalu hari Jumat pagi, juga dimulai dengan ibadat lamentasi. Sesudah lamentasi biasanya dilanjutkan dengan ibadat jalan salib (yang memang biasanya dilakukan setiap hari Jumat selama masa Puasa itu). Tetapi tidak ada pertandingan. Orang-orang pada berdiam diri saja. Juga tidak ke kebun. Karena hari itu adalah hari libur. Barulah pada sore hari, tepatnya jam 3, dimulailah rangkaian ibadat Jumat Agung. Ibadat Lamentasi juga masih dilakukan pada hari Sabtu Pagi. Adapun inti dari ibadat Lamentasi itu ialah mengenang sengsara dan wafat Yesus. Peristiwa sengsara Yesus itu disimbolisasi dengan lilin yang dipasang pada sebuah kaki lilin yang dibuat berbentuk segitiga. Pada sisi yang satu ada enam lilin. Pada sisi yang lain ada enam lilin. Di puncak segitiga ada satu lilin (biasanya lebih besar ukurannya dari pada keduabelas lilin yang lain). Keenam lilin di kedua sisi segitiga itu melambangkan keduabelas murid Yesus. Lilin di puncak itu melambangkan tentu saja Yesus sendiri. Setiap sesudah beberapa ayat lagu lamentasi dinyanyikan, dua lilin dipadamkan, satu di kiri, satu di kanan. Mulai dari lilin yang paling bawah. Begitu terus, sampai akhirnya hanya tinggal satu lilin yaitu lilin yang ada di puncak segitiga itu. Itu adalah simbolisasi peristiwa di mana Yesus ditinggalkan oleh para muridNya, sampai Dia hanya sendirian saja menghadapi maut-Nya sendiri, bahkan di ketinggian salib, terangkat dari muka bumi. Begitulah kira-kira salah satu penjelasan yang pernah saya ketahui tentang ibadat yang penuh simbolisme itu.


Sekarang kembali ke suasana Jumat Agung yang hening itu. Apakah pengalaman masa kecil itu sudah tidak ada lagi di Manggarai? Mungkin di beberapa daerah pedalaman hal itu masih ada, masih bisa dirasakan, masih bisa dialami. Tetapi daerah perkotaan dan di daerah yang terletak di pinggir jalan, hal itu mungkin sudah susah dialami dan dirasakan. Sekarang sudah ada banyak sekali bunyi yang mengganggu. Yang paling kuat misalnya, suara motor, suara mobil yang lalu lalang. Dulu pada tahun 70an, suara-suara itu masih sangat langka. Sekarang sudah tidak terhindarkan lagi. Ditambah lagi suara manusia yang lalu lalang dengan pelbagai kegiatan mereka. Katakanlah itu semua adalah termasuk atau dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang alami, yang kiranya pada hari libur seperti pada hari Jumat Agung, mungkin bisa sangat diminimalisir.


Dalam pembicaraan di WAG yang saya singgung di atas tadi, ada beberapa teman yang menyinggung mengenai suara yang dihasilkan oleh pengeras suara pada hari Jumat terutama di kota-kota. Hemmm….. Menarik untuk membahas tentang hal itu. Dan saya mau melakukan hal itu di sini. Tetapi sebelum itu saya ke Bali dulu. Di Bali, sekali setahun ada perayaan Nyepi, di mana semua aktifitas dihentikan. Tidak ada pergerakan. Tidak ada suara. Tidak ada api. Tidak ada kerja. Orang hanya diam. Bahkan dunia internasional pun taat. Dunia penerbangan juga taat. Semua sudah mengatur jadwal mereka. Dan semua orang taat. Tidak ada yang mau melanggar. Tidak terkecuali, siapa pun anda, dan apa pun agama anda, apa pun jabatan atau pekerjaan anda, apapun status social dan ekonomi dan politik anda, semua orang taat dan paham, mengerti, simpati, empati. Di Bali hal itu bisa dilakukan, dengan mengemukakan ke-Hindu-an Balinya.


Bagaimana dengan di Manggarai atau di Flores pada umumnya? Bisakah hal semacam nyepi itu dilakukan? Sebuah praksis NYEPI Jumat Agung, walaupun tentu saja tidak usah disebut dengan sebutan itu. Hanya sekali setahun. Orang berdiam diri, termasuk pengeras suara masjid. Rasanya hal itu bisa dilakukan dan bisa diterima. Tentu orang sama sekali tidak dilarang berdoa. Bukan itu juga maksdunya. Tetapi tidak dengan pengeras suara. Hanya selama satu hari saja sepanjang Tahun, yaitu pada Hari Jumat Agung. Rasanya bisa. Bali bisa dengan mengedepankan ke-Bali-annya. Mengapa Manggarai, atau Flores tidak bisa dengan mengedepankan ke-Flores-annya.


Hanya mungkin jika hal itu akan diwujudkan, kiranya perlu diatur lagi dengan begitu ketat bahwa ketika orang-orang Katolik sudah menuntut hal itu, maka orang-orang Katolik sendiri juga harus memperlihatkan kesalehan dan ketaatan untuk melaksanakannya dengan tekun, taat dan khusyuk. Pelbagai praksis ibadat yang pernah ada dalam tradisi gereja untuk hari Jumat Agung bisa dihidupkan lagi. Misalnya, di pagi hari ada Lamentasi (yang dilaksanakan dengan meriah dan bersama-sama seluruh umat). Lalu sekitar jam 11-an dilanjutkan dengan upacara Jalan Salib bersama dan meriah juga. Dan Jam tiga sore, ditutup dengan rangkaian ibadat Jumat Agung, seperti perarakan Salib, peninggian Salib, Kisah Sengsara, Penyembahan Salib, Doa Umat Meriah (dengan tata cara yang memang meriah), dst.dst. Tentu diharapkan bahkan diwajibkan agar pada hari Jumat Agung ini, semua orang Katolik harus berpuasa dan berpantang sebagaimana yang sudah ditetapkan oleh Gereja.


Mungkin akan ada yang bertanya: mangapa dan untuk apa hal itu dilakukan? Apakah ada dasar biblisnya? Dalam kisah sengsara (passio) injil Markus 15:33 (bdk. Luk 23:44-45a) dilukiskan demikian: “Pada jam dua belas, kegelapan meliputi seluruh daerah itu dan berlangsung sampai jam tiga.” Bagaimana persisnya keadaan itu dahulu tidak diketahui lagi. Tetapi saya membayangkan bahwa di sana dulu terjadi keheningan yang luar biasa karena matahari tidak lagi bersinar, seperti kata penginjil Lukas. Sebuah suasana keheningan yang dirasakan alam saat akan terjadi gerhana matahari seperti yang dulu pernah saya alami pada tahun 1983, saat gerhana matahari total melintas di atas Yogyakarta. Kiranya hal ini (deskripsi injil Markus dan Lukas tadi) bisa dijadikan sebagai dasar biblis dari praksis ini. Gereja dan orang-orang lain bersama-sama menghormati keheningan semesta itu pada hari Jumat Agung, dengan melakukan keheningan juga, membiarkan hanya suara alam yang bisa terdengar, mengiringi duka gereja, duka semesta karena Yesus bersengsara dan wafat dan dimakamkan. Jika hal ini terjadi (baca: bisa diwujudkan, bisa dilakukan), saya membayangkan hal ini bisa menjadi sebuah ikon pariwisata rohani kultural di Flores yang terpadu dengan baik dengan Semana Santa di Larantuka yang fenomenal itu.


Selamat berdiskusi.


PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...