Friday, May 8, 2020

ATG - JUBAH COKLAT TUA ITU

Oleh: Fransiskus Borgias



Saya menyelesaikan tahun postulant pada Mei 1982. Pada awal Juli, kami terbang dari Ruteng ke Denpasar lalu naik Bis malam ke Yogyakarta. Untuk mempermudah perjalanan, suster-suster FMM di Pagal menjahitkan baju seragam dari bahan sederhana. Mungkin dari gorden jendela. Tetapi kami senang, sebab seragam itu tampak indah saat kami mengenakannya bersama-sama. Tibalah hari terbang itu. Singkat cerita kami pun tiba di Yogyakarta, beberapa hari sesudahnya. Kami istirahat beberapa hari setelah kami ditunjukkan kamar masing-masing. Kami masih harus menunggu beberapa hari untuk Misa penjubahan. Hal itu terjadi tanggal 15 Juli, pada Pesta St. Bonaventura, pelindung biara Papringan itu. Pemimpin novisiat, sudah memberikan beberapa pengarahan kepada kami untuk mempersiapkan diri dalam rangka Misa penjubahan.

Saya tergetar menunggu saat itu sejak di seminari Kisol. Saya membayangkan bagaimana tampaknya diri saya kalau mengenakan jubah coklat tua itu, dengan tali eksotik itu. Keinginan itu tertunda, karena kami harus menempuh masa postulant. Masa itu sudah lewat. Sekarang tinggal beberapa saat lagi saya akan mengenakan jubah coklat tua itu. Jubah yang membuat beberapa frater, romo, bruder tampak berwibawa. “Apakah saya akan berwibawa tatkala saya berjubah?” Pertanyaan itu mengiang-ngiang dalam hati saya. Hal itu meningkatkan penasaran. Hal itu semakin membuat saya rindu akan Misa penjubahan dan berharap hal itu akan mendatangkan mukjizat perubahan, misalnya mungkin saya menjadi lebih tenang, tidak memikirkan, melamunkan hal-hal yang tidak perlu.

Sementara itu sejak hari-hari pertama di Papringan untuk pertama kalinya saya melihat sosok yang selama ini saya kagumi, pater CG. Orangnya tenang. Serius. Sangat tekun bekerja. Tidak banyak bicara. Oh ya, satu hal. Selalu berjubah. Tidak pernah saya melihat dia tanpa jubah. Maksud saya, tidak pernah saya melihat dia berpakaian sipil. Selalu berjubah. Orangnya sangat sederhana. Ia mencuci pakaian sendiri. Tetapi rokok tidak pernah lepas dari tangannya kecuali saat ekaristi, dan tidur. Ia juga makan sangat sedikit. Mati raganya kuat. Saya sungguh mengagumi orang ini. Diam-diam dalam hati, saya yakin bahwa tentu ada mukjizat kalau ia mengenakan jubah terus menerus. Saya pun berniat agar selama masa novisiat ini minimal dua kali saya harus pernah berbicara dengan dia dalam rangka bimbingan rohani. Saya menunggu datangnya saat itu. Entah kapan.

Sementara itu, akhirnya, hari penjubahan pun tiba. Banyak orang ikut perayaan ekaristi penjubahan itu. Senang rasanya, karena kami bertemu banyak orang baru, wajah baru. Pada misa hari itu, kami awali dengan mengenakan baju kami masing-masing yang biasa sehari-hari, kemeja, celana panjang, dan sepatu sandal. Lalu Misa berlangsung seperti biasa sehari-hari. Setelah injil dibacakan, lalu imam pemimpin upacara berkotbah. Lalu tibalah saat itu. Kami, duapuluh frater muda, berdiri dan maju untuk menerima penjubahan itu.

Kami dari Flores, ada 11 orang (Saya, Paskalis B.Syukur, Peter Aman, Karel D.Jande, Yohanes Kasor, Heribertus Ngabut, Yosef Hambur, Yakobus Kila, Raymundus Ngebu, Wilhelmus Mola Wea, Gregorius Podhi). Dari Mertoyudan (ada satu orang, M.C.Prihminto Widodo). Dari Bogor ada empat orang (A.A.Ariwibowo, Hendrikus Parijo, Theodorus Dwi Kunjono, Yonas Kuremas). Dari Papua ada empat orang (Dominikus Minggu, Aloysius Lani, Sylvester Markus Iyayi, Gerry Servatius Takege). Jadi, angkatan novisiat kami duapuluh orang. Konon itulah jumlah pertama yang cukup besar dalam sejarah OFM di Indonesia. Tidak main-main: novisiat berjumlah duapuluh orang. Luar biasa.

Kami diberitahu bahwa jubah yang akan kami pakai pada penjubahan ini adalah jubah bekas. Saya tidak mempersoalkan hal itu. Yang penting itu adalah jubah. Saya pun tidak tahu itu bekas siapa. Pokoknya kami terima saja penjubahan itu. Ketika moment itu tiba, saya berdebar-debar. Jubah itu diserahkan kepada saya, dan saya mengenakannya. Hal itu tidak terlalu masalah karena jubah-jubah itu semuanya berukuran besar dan panjang. Jubah yang saya dapat siang itu, adalah jubah berwarna hitam dan kainnya cukup tebal dan bekas dari seorang imam yang berbadan cukup tinggi. Tatkala saya kenakan, jubah itu kepanjangan. Tetapi kalau saya mengenakan sepatu sandal yang cukup tinggi, jubah itu tetap menutup mata kakiku. Saya biarkan saja. Saya kencangkan talinya dan dengan itu jubah bisa sedikit dinaikkan.

Begitu kami sudah mengenakan jubah, kami sempat berdiri bersama-sama dan tampak bahwa di dalam kebersamaan kami gagah juga. Indah di dalam kebersamaan. Luar biasa. Misa selanjutnya kami rayakan dengan berjubah. Senang rasanya. Saya berdoa agar jubah itu bisa mendatangkan mukjizat perubahan di dalam hidup saya, menjadi lebih tenang, bisa mengendalikan pikiran, dan segala keinginan dan kemauan dalam diri saya sebagai anak muda, sebagai seorang pria.

Sesudah itu masa novisiat kami pun secara resmi dimulai. Rutinitas hidup pun dimulai. Bangun pagi, doa pagi, misa pagi, makan pagi, pelajaran, kerja tangan, makan siang, istirahat siang, kerja tangan sore, belajar, vesper, makan malam, belajar. Pada hari-hari tertentu ada rekreasi satu jam. Jam Sembilan malam ditutup dengan completorium, lalu tidur malam. Semua serba rutin. Termasuk memakai jubah pun menjadi rutin. Biasa-biasa saja rasanya. Hehehehe… tidak lagi menggebu-gebu seperti saat penantian dulu. Tanda apakah ini? Apakah saya sudah mulai bosan? Entahlah?

Untuk memastikan perasaan itu, saya memberanikan diri datang berbicara, meminta bimbingan rohani kepada pater CG. “Pater, saya merasa bahwa setelah memakai jubah ini, saya merasa tetap biasa-biasa saja. Tidak ada yang berubah drastic dalam diri saya. Semua masih seperti kemarin-kemarin. Masalah tetap ada. Apalagi masalah sebagai laki-laki, tetap saja muncul.” Saya serius sekali menyampaikan perjuangan batin saya. Tanpa saya duga tiba-tiba pater CG terbahak-bahak, “Hehehehe... Frans…. kau jangan mengira pakai jubah itu seperti sulap simsalabim, plug, kau masuk jubah, lalu kau jadi malaekat.” Oh iya, suara pater CG itu sengau. “Kau tetaplah seperti kau yang kemarin.” Katanya lagi sambil mengisap rokoknya. “Jubah tidak mengubah kau menjadi malaekat yang mati rasa. Kau tetap manusia, kau tetap pria dengan segala rasa gairahmu.” Isap rokok lagi. Beberapa percikan api rokok itu jatuh ke atas jubahnya. Tetapi pater CG tenang-tenang saja. “Jadi jangan kau bermimpi menjadi orang lain dengan jubah ini. Kau tetaplah kau.” Sesudah itu ia diam lalu tanpa babibu, ia kembali ke bukunya. Mungkin karena saya masih duduk di situ, ia lalu berbalik lagi, “Tunggu apa lagi? Sudah selesai. Hanya itu nasihat saya.” Dengan bergegas saya keluar dari kamarnya. Ada kelegaan. Tetapi bukan lega karena mendapat nasihat rohani. Saya lega karena saya berhasil berbicara dengan dia dari hati ke hati. Setidaknya saya sudah mencoba. Nanti saya coba lagi.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...