Wednesday, May 13, 2020

ATG -- DAYA ITU PALING KUAT (BGN II)

Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen Fakultas Filsafat UNPAR Bandung.




Ya, saya tekankan sebuah kesadaran dalam diri saya bahwa dalam kaul kemiskinan, saya sudah berjuang untuk belajar hidup sederhana, einfach Leben wie Franziscus, hidup sederhana seperti Fransiskus. Ada yang mengusulkan terjemahan yang lebih tragis: Hidup Urakan Seperti Fransiskus. Ah tidak. Urakan itu berlebihan. Kata Ugahari jauh lebih baik untuk dipakai sebagai terjemahan einfach. Einfach Leben, Hidup ugahari. Toh kata itu dipakai dalam salah satu madah Completorium.

Tidak ada kemewahan di tubuh saya. Celana saya sederhana. Baju sederhana. Ada satu jubah. Sepatu? Hemmm…. Rasanya hampir tidak pernah memiliki sepatu, apalagi sepatu mahal. Saya hanya punya kasut, sepatu sandal, khas sepatu biarawan, sepatu frater. Itu pun usianya sudah tua, karena sudah beberapa kali ditambal. Hanya itu. Rasanya kedudukan kasut itu sudah pas dan akrab di kaki saya. Sayang kalau dibuang. Aku juga tidak punya tas kuliah mahal. Tas sederhana. Paling sering saya menyulap kaus kutangku untuk kujadikan tas kain kuliah. Nyentrik.

Kamar saya juga sederhana. Hanya tikar dan papan alas tidur. Tidak ada kemewahan. Barangku hanya beberapa buku yang saya beli dari uang saku. Jadi, saya sudah berusaha hidup miskin dengan tidak memiliki apa-apa. Tidak ada kamera, tidak ada tape recorder, radio kecil pun tidak. Hiburan satu-satunya hanya membaca, menulis buku harian, menulis puisi, dan bernyanyi baik tanpa gitar maupun dengan gitar. Oh ya, di tangan saya tidak ada jam tangan. Juga tidak ada cincin. Karena ada yang memakai cincin emas. Ya aku benar-benar apa adanya. Di kamarku tidak ada gambar mewah dengan pigura indah. Hanya ada orat-oret tanganku pada sebuah kain putih lusuh. Saya gambar sosok Ebed Adonai, Hamba Yahwe yang Menderita (Yes 53:1-13), sosok yang selalu menawan. Kemewahan saya hanya rokok. Bersaing dengan pater CG. Ya saya sudah berusaha belajar kemiskinan di “sekolah” membiara ini.

Lalu kaul kemurnian? Apakah saya sudah berusaha hidup murni? Apa itu hidup murni? Apa itu kemurnian? Saya berusaha keras untuk itu. Memang kemurnian itu bukan terutama soal hubungan pria dan wanita dengan konotasi tendensius. Kemurnian itu adalah perkara hati dan pikiran. Saya teringat akan nasihat dalam pelajaran hidup rohani dan hidup doa di novisiat dulu. Salah satu bab yang paling melekat dalam ingatan saya ternyata, bukan definisi doa dan hidup rohani, melainkan tentang pelanturan. Saat berdoa dan meditasi, pikiran tidak bisa dipusatkan pada objek meditasi, tidak bisa diarahkan kepada Tuhan, melainkan melantur ke mana-mana, sampai ke sudut-sudut dunia yang tidak seorang pun tahu. Itulah pelanturan. Dalam pelanturan itu ada banyak yang menarik dan menggoda. Pelanturan selalu dalam kebersamaan. Kedua buku pegangan itu disusun P.CG dan P.Alex. Tetapi yang mengajarkan kami bahan-bahan itu ialah, P.Alex. “Karena aksi pelanturan, maka bisa terjadi, bahwa badan orang ada di Kapel, tetapi hatinya ada di Malioboro, ataupun di Bioskop dan itupun tidak sendirian. Ada temannya.” Begitu kata P.Alex memberi penjelasan tentang Pelanturan itu dengan contoh kongkret. Memang daya khayal manusia luar biasa. Bisa ke mana-mana, walaupun secara jasmani ia ada di sini. Tiada batas apa pun bagi imajinasi manusia. Tidak ada batas apa pun bagi daya fantasi manusia. Fantasi itu bisa berbahaya karena membayangkan apa saja. Kita tidak bisa menghapus fantasi itu. Fuer die Fantasie es gibt keine Seife. Kata orang Jerman. Pelanturan bisa disebabkan oleh macam-macam hal. Pengaruh bacaan, apa yang didengar, apa yang dilihat, ditonton. Juga oleh ingatan, kenangan, nostalgia.

Saya pernah menghibur diri dengan mengatakan “toh sejak kaul pertama tahun 1983 sampai sekarang saya sudah hidup murni. Saya mempertahankan kemurnian badani saya dengan tidak bermain-main yang bukan-bukan. Misalnya mencari perempuan. Tetapi jujur saja, itu yang mengganggu hidup saya. Apakah saya bisa hidup tanpa mencintai perempuan? Mencintainya secara khusus dalam relasi intensif, intim dan personal. Pikiran itu selalu mengganggu. Dalam hal pengalaman dicintai perempuan saya merasa miskin. Karena dalam hidup saya sampai saat itu hanya ada dua perempuan: Ibu dan kakak perempuan saya. Mereka mengasihi saya sebagai ibu dan kakak. Saya pernah berpikir bahwa hidup saya terlalu miskin kalau hanya disayangi oleh dua perempuan itu. Hidup saya mungkin akan menjadi lebih kaya kalau dicintai dan disayangi oleh perempuan lain selain ibu dan kakak. Tetapi siapa? Di mana? Bagaimana? Sebagai lelaki saya merasa bahwa saya harus mencintai seorang perempuan dalam artian yang sesungguhnya.

Dalam kegalauan itu, akhirnya saya mendatangi pater CG. “Pater, menjelang persiapan kaul kekal ini ternyata saya belum bisa mengendalikan diriku, mengendalikan daya-daya seksualku sebagai laki-laki. Maksudnya, bukan mengumbar nafsu ke mana-mana. Tidak pater. Hanya saya merasa bahwa semakin dekat saat putusan itu, semakin takut rasanya. Rasanya “masa-novisiat” saya untuk kaul kemurnian tidak lulus, mungkin juga tidak selesai.” Dengan sangat hati-hati dan serius pater CG memandang muka saya. Tangan kanannya memegang sisa-sisa puntung rokoknya yang diisapnya sore itu. “Frans, jangan bermimpi bahwa kau bisa bebas dari gairah seksual itu. Itu akan tetap ada seumur hidupmu.” Lalu ia merokok lagi, menghembuskannya dan memandang arah naiknya asap itu. “Kau tahu Frans, dulu waktu novisiat saya katakan” (masih ingat juga rupanya, aku membatin), “bahwa jubah tidak mengubahmu menjadi malekat. Kamu tetaplah kau, dalam kepriaanmu, dalam kejantananmu.” Merokok lagi. “Jadi, jangan pernah berpikir bahwa jubah itu menyulap dirimu menjadi malekat. Tidak.” Merokok lagi. “Ingat, daya seksual itu paling kuat dalam diri manusia. Kata kedokteran, itulah daya yang paling akhir mati, ketika manusia mati. Jadi, daya itu kuat sekali.” Merokok lagi. Memandangi kepulan asapnya. “Ya, daya seksual itu mati paling akhir. Itu sebabnya, kalau ada laki-laki yang gantung-diri, maka polisi akan cepat-cepat memeriksa apakah air maninya sudah keluar. Kalau belum keluar, itu pertanda ia masih hidup; mungkin masih bisa diselamatkan. Tetapi kalau air mani sudah keluar, dia sudah lewat. Ya, sedemikian kuatnya, sehingga ia mati paling akhir.” (Aku membatin: Berarti bapa tua ini juga masih berjuang juga hingga saat ini. Baru pada saat itu saya mengerti kalau ada imam yang keluar bahkan pada usia di atas 60an tahun).

Sesudah itu, pater CG berbalik dari saya dan kembali ke bukunya. Itu pertanda bagi saya bahwa saya harus keluar. Saya pamit dan terima kasih. Sampai di luar kamar saya lalu memandang ke bawah. Ternyata ia yang paling kuat. Saya kira selama ini system syaraf di otak yang mati paling akhir. Eh ternyata dia. Hemmmmm…..

4 comments:

Runa said...

Dari awal crita, sya tenggelam dlam kisahnya. Kesannya serius.
Endingnya malah bikin tertawa,, hhhhhh
Trmksih pak. keren....

canticumsolis said...

wakkkkkkkk.....
supaya kamu jangan tegang terus kah...
terima kasih sudah beri komentar di sini yah...
salam damai...
Dr. Frans B

Simus said...

Karena itu salut bagi yang setia sampai akhir.

canticumsolis said...

SIMUS...
Iya... betul sekali... saya dan kita semua sangat salut kepada mereka yang setia sampai akhir... terima kasih...

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...