Thursday, May 14, 2020

ATG – PERGULATAN YANG PANJANG

Oleh: Fransiskus Borgias.
Dosen FF-UNPAR, BANDUNG. Ketua Sekolah Kitab Suci K3S Bandung.




Roh kuat daging lemah. Ataukah daging kuat? Roh lemah? Ataukah roh kuat bersama daging? Memang hubungan antara roh dan daging itu suatu tema yang sangat rumit di dalam refleksi filsafat dan teologi. Apakah daging ini hanya sekadar wahana bagi roh yang bebas? Ataukah ada suatu ikatan yang sangat erat di antara keduanya sehingga keduanya identic? Ataukah sekadar seperti ungkapan dalam filsafat Yunani yang melukiskan badan itu sebagai ruang yang mengungkung jiwa. Soma estin sema. Tubuh adalah penjara. Entahlah. Saya tidak lagi mau pusing dengan refleksi filosofis itu. Yang jelas saat ini saya benar-benar mengalami paradox Paulus, saya tahu apa yang seharusnya saya lakukan dan saya pilih sekarang, tetapi saya seperti tidak mempunyai kemampuan untuk memilih dan memutuskannya sekarang. Tinggallah saya di dalam kegamangan dan kegalauan.


Akhirnya lewat suatu permenungan dan pergulatan batin yang panjang, dan setelah berbicara khusus dengan pater provincial yang datang ke Yogyakarta untuk beberapa agenda, juga mengagendakan pertemuan dengan saya karena dalam surat lamaran, saya mengajukan penundaan kaul kekal sampai setahun lagi, dan lewat suatu pembicaraan yang mendalam dari hati ke hati dengan beliau tentang pelbagai segi pertimbangan tentang hidup dan masa depan, akhirnya saya merasa kuat dan berani untuk maju. Hal itu terjadi awal Desember. Saya diminta untuk menulis ulang surat permohonan: bukan lagi meminta penundaan setahun, melainkan saya menyatakan siap mengucapkan kaul kekal dalam jadwal yang sudah ditetapkan bersama dengan tiga kawan (Dominikus Minggu, Paskalis B.Syukur, Petrus C.Aman). Memang setelah pembicaraan yang sangat intens dari hati ke hati dengan pater Provinsial malam itu, saya merasa dikuatkan dan merasa bersemangat lagi untuk maju. Dan jadilah demikian. Maka fixed, bahwa yang akan maju kaul kekal ada tiga frater dan satu Bruder. Jadwal retret agung di Rumah retret Sukabumi dijadwalkan pada pertengahan Desember.


Tetapi tiba-tiba setelah merasa yakin di dalam pembicaraan dengan pater provincial, hanya jarak dalam beberapa hari saja, tiba-tiba saya jatuh sakit. Sebenarnya itu hanya gejala kambuhnya batuk, yang menyebabkan saya demam, menggigil dan lemas. Saya meminta untuk diperiksakan di Panti Rapih. Mungkin karena melihat kondisi yang lemas, demam dan menggigil dokter langsung menyuruh saya dirawat. Waduh. Gawat. Saya tidak bisa ikut ret-ret nich. Pada sore hari itu saya langsung masuk ruang rawat inap dan mendapat infus, karena saya dinilai kekurangan cairan dalam tubuh. Saya ingat saya masuk Panti Rapih sekitar tanggal 7 atau 8 Desember. Setelah dirawat dua hari, saya merasa bahwa saya sudah mulai membaik, saya berdialog dengan suster perawat untuk menanyakan sakit saya. Dia tidak menjawab. “Kalau besok pagi dokter berkunjung, frater tanyakan langsung kepada dia.” Begitu jawab suster itu. Saya tidak memaksa. Ketika besok pagi dokter berkunjung, saya langsung bertanya. “Dokter, saya sakit apa?” Dokter itu memandang saya dan tersenyum. “Hemm…. Sakit apa ya? Frater tidak sakit. Hanya stress berat. Karena itu harus istirahat.” “Hanya begitu dokter?” “Ini stressnya berat. Maka harus istirahat satu dua hari lagi yah. Istirahat. Jangan banyak pikiran. Makan yang cukup.” Dokter pulang. Satu dua hari lagi istirahat artinya, mungkin saya baru bisa keluar tanggal 14 atau 15 Desember. Padahal Retret di Sukabumi dimulai tanggal 14 atau 15. Saya sangat gelisah karenanya.


Untunglah pada jam besuk sore, P.Yan Ladju mengunjungi saya. Saya menampilkan diri bahwa saya sudah sehat. Setidaknya saya sudah tidak demam atau menggigil lagi, walaupun masih sedikit lemas dan pusing. Seperti biasa pater datang dengan bercanda untuk menanyakan keadaan saya. “Ah tampaknya sudah sehat nich.” “Rasanya begitu pater. Tetapi kata dokter saya masih harus istirahat dua atau tiga hari lagi.” “Tidak apa-apa toh. Yang penting bisa pulih.” “Tetapi nanti saya terlambat untuk ret-ret dengan teman-teman.” “Tenang saja. Kamu bisa datang menyusul nanti. Tinggal nanti lapor kepada CG mengapa kamu terlambat.” “Jadi, tidak apa-apa saya datang belakangan pater?” “Tidak apa-apa. Frans kan sakit.” Setelah membahas beberapa hal akhirnya pater pulang.


Malam mulai datang menjelang. Sebagai frater fransiskan saya dirawat di kelas 3. Kami ada beberapa pasien. Kalau tidak salah ada enam orang. Pokoknya ramai rasanya. Tetapi tatkala malam datang, tetap terasa juga sepi yang datang mencengkam. Malam memang selalu memaksa kita untuk masuk ke dalam diri sendiri. Kegelapan malam itu seperti ruang bagi manusia untuk masuk ke dalam diri sendiri. Maka malam itu saya memikirkan banyak hal. Ah sebenarnya mencemaskan banyak hal. Saya mencemaskan teman-temanku yang lamaran kaulnya ditolak. Malam itu saya ingat temanku Yosef H, temanku Ariwibowo, kami satu angkatan. Apa yang mereka rasakan? Apa yang mereka pikirkan? Setelah tujuh tahun lebih bersama (Yosef) dan enam tahun lebih bersama (Ari) apa yang mereka rasakan. Yang jelas, waktu itu saya melihat wajah terkejut dan kecewa di mata mereka. Walaupun tetap berusaha senyum. Senyum harus memikirkan hidup dari titik nol. Atau mungkin juga bahkan dari titik di bawah nol. Saya juga memikirkan adik kelasku yang lamaran kaulnya ditolak. Ada Okto, si hitam periang itu. Malam itu saya benar-benar galau memikirkan mereka. Ah teman-teman kita harus mulai memikirkan masa depan kita masing-masing mulai dari sekarang.


Malam itu saya juga memikirkan retret kami. Retret kami itu akan dipimpin oleh CG sendiri. Dan ret-ret itu akan berlansung selama 1 bulan. Sebenarnya lebih dari sebulan, yaitu 35, karena totalnya ada lima minggu. Jadi, selama lima Minggu kami akan tinggal di rumah ret-ret mengolah hidup batin, hidup rohani kami, bersama pembimbing. Saya belum bisa membayangkan bagaimana rasanya ret-ret selama lima minggu itu. Que sierra sierra, whatever will be will be… lalu saya pun tertidur.


Beberapa hari kemudian, saya sudah dibelikan tiket bis malam oleh Br.Mulyanto, ekonom di Papringan. Beberapa hari lalu saya sudah keluar dari rumah sakit. Setelah istirahat satu dua hari di biara, saya memutuskan untuk ke Sukabumi. Saya berangkat tanggal 20 sore. Tiba di sana 21 pagi. Begitu tiba, saya langsung melapor ke CG di kamarnya. “Akhirnya kamu datang juga?” “Iya pater.” “Tetapi kami sudah berproses satu minggu di sini. Siapa yang menyuruh kamu ke sini?” “Pater Yan.” “Ya sudah. Kamu ikut saja dengan teman-teman di sana.” Pater CG tampak serius sekali. Serem melihatnya. Mungkin dia marah. Kecewa. Karena saya terlambat datang. Entahlah. Saya harus segera mulai mengejar ketertinggalan satu minggu. Ketiga kawan menyambut dengan hangat dan senyum. Tetapi semua dalam diam.

6 comments:

Unknown said...

Setelah sy membaca ..mencoba masuk dlm pergulatan pak Frans..hanya bisa berdecak kagum..sangat detil sekali menulisnya.. manusia menjalani kehidupannya dengan seolah mengikuti alur dr sang pemberi hidup..tapi tdk selalu keyakinan ini benar.Tuhan sll memberi yg terbaik..walau jalan penuh liku..

Unknown said...

Sangat menarik mengikuti cerita menjalani lika-liku panggilan Pak Frans

canticumsolis said...

to the FIRST UNKNOWN one...
terima kasih atas apresiasinya... dan atensinya...
terima kasih juga atas insight mengenai panggilan Tuhan yang unik...
dan terutama sekali diikuti dan dijalani manusia dengan caranya sendiri...
sekali lagi... terima kasih yah...
salam damai...

canticumsolis said...

to the SECOND UNKNOWN ONE...
Terima kasih banyak yah atas apresiasinya terhadap kisah-kisahku ini...
salam damai...

Runa said...

Sya mengakui bahwa panggilan hidup membiara mmng unik. Uniknya ketika seorang calon imam memilih lalu membuat keputusan. Bukan sja calon ttpi, MUNGKIN juga imam. sya blng mungkin krna tdk pengalaman,,,,😄😄
Mantap pak,,,

Unknown said...

Baik....
kita yang tidak jadi imam ini... hanya menerka saja...
tetapi kita bisa membayangkan dari hidup lajang selama beberapa tahun persiapan...
toh hidup kita selama persiapan, kita benar-benar menghayati hidup itu juga...
jadi, tidak buta sama sekali... sudah ada pengalaman dikitlah...
terima kasih sudah sudi mampir di sini...
salam

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...