Tuesday, May 12, 2020

ATG - DAYA ITU PALING KUAT BGN I

Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen Fakultas Filsafat UNPAR Bandung.




Saya TOP dengan mengajar Postulan OFM di Biara Santo Yosef Pagal, Manggarai. Setelah menyelesaikan masa itu saya kembali ke Yogya setelah sebelumnya mengantar para frater postulant ke Jakarta, untuk selanjutnya mereka akan ke novisiat di Depok. Ada pengalaman-pengalaman kegoncangan tersendiri yang saya alami dalam masa TOP itu, tetapi tidak dapat saya ceritakan di sini. Oh mungkin satu hal bisa saya ceritakan sedikit. Di akhir masa TOP, pimpinan OFM di Manggarai meminta saya untuk memimpin Postulan dengan konsekwensi bahwa di akhir masa postulant saya harus memutuskan siapa lolos masuk novisiat siapa yang gagal. Semula saya mengira itu tugas mudah. Ternyata tidak. Saat saya duduk untuk menilai apakah mengirim atau tidak si A dan Si B ke novisiat, saya mengalami kesulitan berat. Saya merasa tidak punya cukup kekuatan untuk tega memulangkan seseorang. Tatkala saya harus memutuskan apakah seseorang tidak diterima, ternyata tidak mudah. Segala macam pertimbangan saya kerahkan dari kemampuan berpikir saya, ternyata akhirnya yang menang bukanlah manusia rasional yang menilai segala sesuatu secara rasional. Yang menang ialah manusia berhati yang menilai dengan hati. Maka saya putuskan untuk mengirim mereka semua ke novisiat. Walaupun saya punya feeling kuat bahwa ada beberapa orang yang tidak cocok untuk masuk novisiat, tetapi karena saya sendiri sedang mengalami kegoyangan, maka saya pun tidak bisa mengambil keputusan yang baik dengan berani dan tegar.

Satu bulan setelah tiba di Papringan orang pertama yang saya datangi ialah pater CG. Dia mau mendengarkan cerita saya. Dia juga memberi pendapat dan pandangan tetapi tidak dapat saya ceritakan di sini. Yang jelas setelah pulang dari TOP kami diminta untuk lebih serius memikirkan kelanjutan hidup panggilan kami. Kami diminta untuk menulis lamaran kepada pater propinsial di Jakarta. Saya masih ingat saat itu sekitar awal bulan November 1988. Hasilnya diperoleh pada awal Desember. Ada yang diterima kaulnya, ada yang ditolak, baik untuk pembaharuan kaul maupun untuk kaul kekal. Saya pun ikut menuliskan surat itu.

Tibalah saatnya bagi saya untuk membuka bagian yang paling berat dari untaian cerita saya selama ini. Semakin dekat masa putusan itu, makin tegang saja rasanya di dalam hati. Ada suatu kegelisahan yang tidak dapat dijelaskan dengan mudah. Ada juga kebingungan. Seperti berdiri di ambang batas awan-awan ketidak-tahuan, the cloud of unknowing. Saya seperti merasa berada di tengah awan itu. Suatu keadaan yang membuat lupa. Saya lupa arah perjalanan. Saya lupa dari mana saya datang. Saya belum tahu ke mana saya akan pergi melangkah dan terbang lebih lanjut. Benar-benar mandek. Padahal dulu dalam pelajaran di novisiat ada sebuah nasihat yang mengatakan bahwa dalam hidup rohani orang tidak boleh berhenti bergerak dalam perjalanan spiritual. Sebab berhenti bahkan sudah sama dengan mati itu sendiri. Saya merasa bahwa sekaranglah saya merasakan hal itu benar. Itu bukan sebuah omongan yang melayang-layang tanpa kaitan dengan kenyataan dan pengalaman. Saya sekarang benar-benar seperti berhenti, padahal saya dituntut untuk bergerak dan berjalan. Sementara itu saya bingung saya harus melangkah bagaimana dan ke mana?

Salah satu pertanyaan pokok yang mengganggu saya pada waktu itu ialah apakah saya bisa menjalani hidup itu kelak, menyerahkan diri sepenuhnya, ya kata sepenuhnya itu, secara utuh, di dalam janji suci kaul-kaul ketaatan, kemiskinan, dan kemurnian. Bisakah saya melaksanakan hal itu? “Ya, ini memang bukan putusan main-main. Ini putusan yang sangat serius, karena menyangkut seluruh hidupmu di masa depan.” Begitu kata pater CG saat saya datang mencurahkan isi hati dan kegelisahan saya kepadanya. “Hidup ini adalah hidup dalam iman, dan hidup dalam iman itu bagaikan meloncat ke dalam kegelapan. Masalahnya ialah kamu harus meloncat, tidak bisa lagi tinggal dan diam di sini. Harus ada keberanian untuk berserah. Tetapi kamu harus meloncat, kamu harus mengambil keputusan sekarang.” Begitu katanya lagi dengan sangat serius, mungkin karena melihat pancaran kegalauan di wajah saya. Lalu saya pamit.

Kemudian saya juga merenungkan bahwa sebenarnya sudah beberapa waktu lamanya saya telah merenung dalam hati bahwa saya sudah melatih diri dalam kaul ketaatan. Saya sudah mencoba belajar untuk taat, taat kepada aturan, taat kepada kesepakatan bersama, taat kepada para pemimpin. Saya merasa saya tidak bermasalah dengan soal ketaatan itu, entahlah nanti kalau saya sudah menjadi orang besar atau orang pintar dengan pendidikan yang lebih tinggi lagi, suatu peluang yang kiranya bisa saya dapatkan juga mengingat apa yang sudah saya capai sampai sejauh ini. Saya merasa saya mempunyai ranah dalam mana saya melatih diri untuk taat. Saya merasa ada “sekolah” bagi saya untuk belajar taat dan mempraktekkan ketaatan itu, walaupun tidak selalu mudah.

Saya juga merasa bahwa dengan kaul kemiskinan tidak ada masalah. Saya sudah belajar untuk hidup miskin, mencoba menerima hidup apa adanya, tanpa banyak menuntut ataupun memaksakan kehendak dan keinginan sendiri. Saya berusaha belajar dan mempelajari anggaran dasar ordo dan konstitusi dalam rangka untuk berusaha melaksanakanannya dan mentaatinya. Saya tidak pernah mengatakan bahwa saya sangat istimewa, tetapi saya berusaha. Pelajaran-pelajaran spiritualitas yang diberikan oleh para dedengkot spiritualitas fransiskan (CG sendiri, P.Alex, Mgr.Leo, almarhum P.Yan Laju), benar-benar menantang saya juga, terutama terkait dengan pertarungan antara kubu yang menghendaki “ad litteram sine glosa”, dan kubu yang menghendaki adaptasi-kompromi. Saya benar-benar mencoba mentaati nasihat santo Bonaventura, yang pada suatu saat dalam nasihat-nasihatnya kepada para suster berkata: Janganlah kamu belajar kesombongan pada sekolah kerendahan hati. Yang ia maksudkan dengan sekolah kerendahan hati ialah hidup membiara dengan monasterinya yang megah. Di dalam sekolah kerendahan hati itu, adalah haram hukumnya kalau orang belajar kesombongan dan menjadi sombong benaran juga pada akhirnya. Saya sungguh berjuang untuk itu, walaupun tidak selalu mudah. Harus saya akui saya jatuh bangun. (Bersambung)….

2 comments:

Unknown said...

"Dalam sekolah "Kerendahan Hati", haram hukumnya untuk belajar sombong, karena akhirnya akan sombong benaran. Dalam kawanan domba haram hukumnya untuk belajar sebagai singa. Semua manusia telah berdosa (PB), daptkah utk tdk sombong barang sedetik saja? Inilah perjalanan panggilan teramat mulia, teramat berat. Trimakasih Prof Frans

canticumsolis said...

Kela Ocep...
terima kasih banya telah sudi mampir di sini...
terima kasih juga sudah memberi komentar yang indah dan mendalam di sini...
mengenai pertanyaan itu, biarlah kela sendiri yang menemukan jawabnya...
tabe kela...

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...