Monday, May 4, 2020

ANTIPHONA MARIANA 2

Oleh: Fransiskus Borgias
Fakultas Filsafat UNPAR Bandung




Malam semakin hening. Para senior berbicara berbisik-bisik. Juga berjalan, bergerak perlahan-lahan. Ada juga senior yang berbicara menyampaikan kepada kami, ini saatnya SILENTIUM, saat hening, saat diam. Saya pun sedikit memperpanjang saat berlututku di dalam Kapela Seminari, untuk bersyukur kepada Tuhan atas penyelenggaraanNya hari ini. Kami semua sudah tiba dengan selamat di Asrama Seminari Pius XII, Kisol.

Malam semakin sunyi. Saya juga akhirnya perlahan-lahan meninggalkan Kapela. Begitu tiba di pintu depan Kapela, saya melihat masih ada teman-teman yang lain juga di situ. Semua pada berdiam diri, atau setidaknya hanya berbicara berbisik-bisik. Ada juga yang kemudian berjalan dengan tenang melewati gang di samping kapela dan menuju taman belakang kapela.

Saya mengikutinya. Ternyata di taman belakang itu ada sebuah gua dengan patung Bunda Maria yang diterangi dengan sinar temaram lampu listrik. ada juga beberapa lilin yang bernyala. Ada juga beberapa siswa seminaris yang berdiri di sana dan berdoa. Ternyata memang banyak siswa Seminaris yang berdoa di sana, setiap malam. Dan juga di pagi hari sebelum doa dan Misa pagi di mulai.

Saya juga ikut berdiri dan berdoa di sana. Tetapi saya tidak bisa berlama-lama, karena sudah mulai juga terasa dingin. Maka saya pun segera meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju ke bagian ruang tidur dari asrama seminari kami. Setelah tiba di sana, saya pun tidur. Itulah petang, itulah pagi, hari-hariku yang pertama di Seminari. Et factum est vespere et mane, dies primus. Maka jadilah petang dan pagi, hari pertama. Dan juga hari-hari selanjutnya yang saya harapkan akan berlangsung sebagaimana yang diharapkan.

Yang jelas, setelah menyanyikan antifon Maria Alma Redemptoris Mater itu, pikiranku menjadi semakin terbuka bahwa ada lebih banyak antifona mariana, bahkan juga dipakai menurut masa-masa liturgi gereja. Ini masih awal-awal tahun, tanggal belasan Januari. Jadi, di seminari kami masih memakai antifona itu. Dan seperti yang sudah saya katakan kemarin, antifon ini langsung melekat kuat di dalam ingatan saya dan tidak pernah lagi saya lupakan. Begitu saya sudah hafalkan, maka kata-kata syair lagu itu, menjadi seperti butir-butir air yang mengalir keluar begitu saja dari dalam mulut saya.

Dalam buku nyanyian yang ada di kapela kami memang tersedia beberapa versi lagu antifon Maria itu. Maka saya pun sudah mulai terbiasa dengan memakai antifona-antifona itu menurut masa-masa liturgisnya. Ah gereja, sungguh luar biasa tradisimu. Engkau mengatur pembagian waktu yang sesungguhnya secara natural berjalan seperti datar saja. Tetapi oleh Gereja diatur sedemikian rupa sehingga di dalam peristiwa berjalan mendatarnya waktu itu, ada momen-momen vertikal, di mana hati manusia seperti diangkat ke atas menuju kepada yang transenden untuk kemudian hanyut dalam puji dan sembah bakti.

Betapa membosankannya perjalanan waktu yang alami natural dan datar itu, tanpa selingan yang serba teratur dari gerak-gerak naik dari jiwa. Dan memang jiwa manusia, saya akhirnya bisa merasakannya juga, selalu ada keinginan untuk melayang-layang untuk naik ke atas, existere, melampaui derap-derap dan riak-riak gelombang horizontalisme yang datar. Dan Gereja memberi aturan dan petunjuk ke mana gerak hati yang ingin melayang naik itu harus diarahkan. Sursum corda. Begitu kata doa gereja nan agung di dalam Prefasi itu. Harfiah: "Angkatlah hatimu ke atas." Dan umat pun menjawab: Habemus ad Dominum. Harfiah: Ya, kami sudah lakukan itu kepada Tuhan. Wow.... Sebuah "Itinerarium mentis in Deum" kata santo Bonaventura.

1 comment:

CV GRAFFIKO said...

HAFAL LALU PRAKTIKKAN
Disiplin waktu dalam tradisi gereja. Sekadar contoh, misa diatur mulai pukul 08.00 ya mulainya pukul 08.00 juga. Kalau ada pengkhotbah yang makan waktu, itu manusiawi karena dia kaya bahan khotbah. Yang kurang saya suka jika umat terlambat masuk gereja lalu berjalan di dalam gereja ditemani suara kakinya yang "pok-pak-pek". Tahu aturan, tetapi tidak dipraktikkan hehhe.
Mengenang antifon "Maria Alma Redemptoris Mater" di Kisol, saya ingat satu kawan. Kawan itu tampaknya suka menyanyi. Pada bulan Januari 1978 dari Ruteng sampai Kisol kawan itu nyanyi terus-menerus. Di Wakas (Kecamatan Rana Mese) syair lagu "Apuse Kokondao" diplesetkannya menjadi "ema ge kokor tago". Diam-diam saya menyukainya. Itulah satu ciri gaya belajar anak kampung, gaya diam-diam mencari tahu, hafal, dan praktikkan.
Satu-satunya antifon Maria dalam bahasa Latin yang masih saya ingat sampai sekarang adalah antifon Maria Alma Redemptoris Mater. Masih ingat karena dulu saya hafal dan saya nyanyikan. Awalnya sekadar "bongat" tak masalah, yang penting saya bukan orang "bongot". Saya keluar (bukan dikeluarkan) dari kompleks Kisol bukan atas alasan "kebongotan", melainkan atas keluguan, "Kawan-kawan menjatuhkan buah pepaya matang di kebun dekat lapangan basket, saya memakannya". Dua kawan lain melarikan diri setelah mendengar bentakan “tako” (curi) dari kejauhan, sedangkan dengan lugu saya makan pepaya di RUANG TERBUKA siang hari hingga ujung-ujungnya saya disuruh melapor diri kepada pater perfek atas kejadian “tako” yang telah menusuk RASA di relung hati.

Kejadian tersebut menjadi titik awal status "seminari tompok" dan "tako ilmu" yang diucapkan oleh kawan dan guru di SPG Setia Bakti Ruteng. Saya terdampar di SPG setelah “losi” (lari) atas desakan RASA dari Kisol. Tidak jadi masalah, malah saya bangga atas kedua status itu. "Biar tompok asal tidak dituduh “tako ka’ung”, demikian kata-kata bela diri sambil mengulang narasi CURI PEPAYA atas alasan “BOTO OKE BON KA’UNG LODA HOO” (biar tidak terbuang percuma papaya yang jatuh terbelah-belah ini). Status "tako ilmu" (curi ilmu) pun tidak saya permasalahkan. Bagi saya, "mencuri" adalah membaca. Pada akhir dekade 1970 di Kisol saya bisa membaca koran KOMPAS dan “nunduk” (dongeng, mitos, legenda, fabel) dalam MANGGARAI TEXTS (Pater Verheijen).

Begitulah suatu gaya belajar yang dapat saya katakan secara eufonistis: PANDE BAE NGANCE PANDE (tahu dan praktikkan). Dalam literasi modern goet itu dapat bersinonim dengan MEMBACA UNTUK MENULIS (DITULIS UNTUK DIBACA) yang menekankan UNTUK, bukan DAN. Konjungsi DAN cenderung "memisahkan" kebiasaan "bisa membaca" tetapi tidak "bisa menulis". Persoalan kecendekiaan kita adalah kesenjangan antara membaca dan menulis. Ke depan dalam pendidikan di negeri Tut Wuri Handayani ini ditekankan ihwal keselarahan "bisa membaca sekaligus bisa menulis" dengan bahasa Indonesia yang santun dan teratur dari aspek logika dan kaidah kebahasaan.
Ruteng, 11 Mei 2020

Kanisius Barung

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...