Sunday, May 3, 2020

ANTIPHONA MARIANA

Oleh: Fransiskus Borgias.



Dulu waktu kecil, pada saat doa rosario di Bulan Oktober, saya hanya mengenal satu lagu antifon Maria, yaitu SALVE REGINA saja. Pada waktu kecil saya tidak tahu versi Latinnya. Yang saya atau kami hafal ialah versi terjemahannya ke dalam bahasa Manggarai, yang termaktub di dalam buku DERE SERANI. Di sana judul SALVE REGINA itu diterjemahkan menjadi TABE SENGAJI. Bahkan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia juga sudah ada di dalam buku YUBILATE, tetapi karena tidak pernah kami gunakan, maka saya pun tidak mengetahui versi terjemahan bahasa Indonesia tersebut.

Sebenarnya, masih ada satu lagi Lagu Antifon Maria yang ada dalam buku DERE SERANI, tetapi karena dulu pada waktu kecil Bulan Mei sebagai bulan Maria belum begitu akrab dipraktekkan orang di Manggarai. Pada umumnya orang hanya menjalankan tradisi BULAN ROSARIO saja di bulan Oktober. Kiranya itulah yang menyebabkan orang tidak begitu terbiasa memakai ANTIFON MARIA yang biasanya dipergunakan pada masa Paskah itu.

Antifona Maria pada masa Paskah ialah teks lagu yang dalam bahasa Latin judulnya, REGINA CAELI. Teks antifona ini pun sudah ada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia yang juga ada dalam buku Yubilate dan juga Syukur Kepada Bapa, buku-buku nyanyian gerejani yang sangat populer di Flores pada masa saya kecil. Nah, teks Regina Caeli ini juga sudah ada terjemahannya ke dalam bahasa Manggarai dan ada juga dalam buku DERE SERANI. Tetapi itu tadi. Karena tidak pernah dipergunakan secara rutin maka kami pun tidak begitu mengenalnya. Tetapi secara pribadi, saya sungguh sangat suka akan antifona Maria yang satu ini.

Cakrawala pengenalan saya akan ANTIPHONA MARIANA semakin luas dan banyak, tatkala saya masuk ke Seminari Kecil di Kisol, pada bulan Januari 1975. Pada saat itu, kami tiba di sore hari setelah melewati perjalanan yang melelahkan dari Ruteng menuju Kisol. Sebenarnya tidak begitu jauh. Hanya 65an kilometer saja. Tetapi karena pada tahun 70an itu, jalan Rayanya sangat buruk, maka perjalanan itu ditempuh hampir dalam waktu sehari. Berangkat dari Ruteng Pukul 8.00, sampai di Kisol sekitar pukul 3 sore. Itupun kalau semua berjalan lancar.

Begitu tiba di Kisol, badan kami semua keletihan. Tetapi sebagai anak baru dari kampung, saya mengagumi arsitektur gedung seminari yang bagi saya saat itu sangat luar biasa. Maka secara spontan saya pun mencoba menikmatinya.

Dan tibalah sore hari. Lembah Kisol sangat sunyi. Tidak terdengar suara anak-anak. Tidak terdengar suara mobil, karena memang semuanya itu masih sangat langka pada waktu itu. Yang paling saya ingat ialah bunyi burung-burung malam yang dalam mitologi di kampung terasa menyeramkan. Karena pada sore hari menjelang malam itu, dari kejauhan di pinggir hutan di belakang asrama Seminari saya mendengar bunyi burung hantu yang terasa menyeramkan... poh... poh... poh....

Sebentar-sebentar saya juga mendengar bunyi burung toak, entah apa namanya sebenarnya, dan entah seperti apa bunyinya. Yang jelas dari kejauhan bunyinya Toa o... toa o... toa o... Maka orang-orang di Ketang dan sekitarnya menyebut burung itu kaka Toa. Kata orang tua-tua, kalau didengar dari dekat, sebenarnya di belakang bunyi toa o itu ada lanjutannya... yaitu ta ta ta... Jadi selengkapnya, bunyinya toa o tah tah tah... toa o tah tah tah... Kata orang tua-tua dulu, sebenarnya burung malam itu adalah burung setan yang sedang menuntun paha-paha yang berjalan dan hanya paha-paha saja, dan itu adalah paha-paha orang hidup yang sebentar lagi akan segera mati. Oh betapa menyeramkan rasanya. Saya ketakutan.

Terkadang bunyi burung hantu itu terasa begitu dekat, karena rupanya burung itu bertengger di atas pohon Kihujan yang ada di halaman tengah seminari kami. Tetapi karena melihat para senior yang tenang-tenang dan santai saja, akhirnya saya pun menjadi terbiasa juga dengan semua bunyi itu.

Akhirnya tibalah pukul 20:45 malam. Ada bunyi lonceng yang memanggil dan mengarahkan semua siswa seminari untuk menuju ke kapel seminari. Saya ikut saja dalam arus itu. Para senior berbisik kita akan pergi completorium. Oh... saya mengangguk walaupun tidak mengerti apa itu. Bagaimana bisa mengerti, mengucapkannya saja masih susah. Ya sudah, pokoknya ikut saja.

Ternyata completorium itu adalah doa malam, doa yang menutup semua aktifitas dalam sehari. Tidak ada yang sangat istimewa dengan doa malam itu, sebab kami sendiri di rumah sudah biasa dengan doa malam itu, ngaji wie yang juga diucapkan dari hafalan Dere Serani.

Begitu selesai, lalu ada hening sejenak. Tiba-tiba hening itu dipecahkan oleh sebuah bunyi ajaib dari bagian atas belakang kapel itu. Kami menoleh. Para senior pada tersenyum. Ternyata itu adalah bunyi harmonium. Saya langsung jatuh cinta pada bunyi itu sejak pendengaran pertama. Setelah preludium yang indah mempesona itu, lalu para siswa senior pun menyanyikan sebuah lagu yang sangat indah. Kami para siswa baru hanya bengong.

Tetapi untunglah seorang senior di belakang saya, memberi sebuah buku nyanyi kepada saya dan langsung ke halaman lagu tersebut. Dan ada notnya juga. Maka saya pun juga langsung mencoba ikut bernyanyi, setidaknya hanyut dalam nada dan irama gregorian yang indah itu.

Alma Redemptoris Mater, quae pervia caeli porta manes, et stella maris, succurre cadenti, surgere qui curat populo, tu quae genuisti, natura mirante, tuum sanctum Genitorem, virgo prius ac posterius, Gabrielis ab ore, summens illud ave, peccatorum miserere.

Sesudah itu, masih ada sepotong doa dalam bahasa Latin yang tidak saya pahami saat itu. Yang jelas, sesudah semuanya itu, masih ada doa hening pribadi dan para siswa dengan diam, menuju ke kamar tidur untuk istirahat malam. Tetapi ada yang masih melanjutkan doa di belakang kapel seminari... (Bersambung)....

4 comments:

CV GRAFFIKO said...

BESAR BERSAMA SANG WAKTU

Terima kasih Kraeng Frans Borgias atas buah pikir yang naratif. Narasi Kraeng bukan sekadar nostalgia (mungkin pula nostalgila) yang kaya penggalan kesejarahan, melainkan juga sarat refleksi kritis, inspiratif, menggelitik, dan juga futuristik.

Nostalgia entah manis dan/atau pahit dialami setiap orang. Ada yang sama, mirip, ada pula yang berbeda. Kalau saja yang berbeda itu disatukan kembali, tentu kita memiliki buku pengetahuan yang bisa kita wariskan kepada generasi milenial yang sekarang sedang diuji tuan korona maupun generasi supermilenial pada kemungkinan sikon "korona bana" mendatang.

Bagi saya, kenangan manis yang Kraeng Frans ungkapkan merupakan satu refleksi kritis tentang jawaban atas pertanyaan, "Siapakah aku"? Aku adalah anak kampung (bukan kampungan) yang mengikuti doa rosario pada bulan Mei dan Oktober sambil ikut-ikut menyanyikan TABE SENGAJI (SALAM YA RATU dalam buku Madah Bakti). Aku tidak pernah bertanya tentang makna mendalam dalam nyanyian tersebut. Setelah membaca tulisan Kraeng Frans, saya pada usia 60 tahun ini baru berpikir anggapan, "Am judul TABE SENGAJI kurang sejalan dengan isi teks lagu yang bercerita memuja Sang Ratu (Bunda Maria)". Mengapa? Kata "sengaji" dalam bahasa Manggarai berarti 'Tuhan, tuan, raja', bukan ratu.

Tulisan Kraeng Frans juga semakin menginspirasi saya untuk menjelaskan makna/pesan bernilai penguatan pendidikan karakter melalui buku muatan lokal kepada generasi milenial. Misalnya, lagu-lagu dalam DERE SERANI tidak asal dibunyikan dan tidak hanya dipahami maknanya, tetapi juga dihayati lalu diamalkan. Inspirasi sekaligus refleksi diri bahwa aku "besar" bersama dengan aliran waktu sejarah. Jangan bolak-balikkan fakta sejarah tentang orang-orang sukses berwatak SMS (seber 'rajin', molor 'baik/jujur', sundur 'patuh') di samping getut gejur (ketekunan tak kenal waktu lelah).

Tulisan Kraeng Frans juga menggelitik saya sebagai anak kampung. Dari kampung ke kota kecil, Ruteng, di SMP Tubi (SMPN I Ruteng sekarang) saya belajar "melaju" (berbahasa Indonesia). Saya tidak hanya bengong seperti halnya Kraeng Frans, tetapi juga bengung (bunyi dalam telinga seperti waktu demam). Bengung atau "jejer" ketika bapak asrama (bruder berkebangsaan Belanda) berbahasa Indonesia. Bengung karena bingung menjawabnya "ya" atau "tidak". Sekarang kadang saya merasa geli tatkala menjadi sarjana bahasa Indonesia yang "tukang" mengajarkan penggunaaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Nah, dalam aliran waktu saya pun sempat "bergabung" di Kisol dengan raihan kenangan "seminari tompok". Mengapa tompok? Ceritanya panjang. Cukup saya katakan bahwa suatu waktu akan saya ceritakan dengan topik "Kejujuran kadang bersahabat dengan kebodohan". Kebodohan lebih baik daripada kebaikan semu, pura-pura baik dengan gaya kocol karena ada "U" balik "B". Sekarang baru terefleksikan bahwa lebih baik tompok waktu itu (tahun 1979) daripada tompok sekarang. Di Papringan Yogyakarta Kraeng Frans pun tompok, hehehe, kenangan kawan.

Sudahlah, Kawan! Yang lalu sudah berlalu. Dari ketompokan masa lampau itu saya bisa melangkah perlahan berhaluan futuristik. Tulisan Kraeng Frans, bagi saya, menjadi daya sekaligus kiat futuristik (ancang-ancang mundur untuk melompat jauh ke depan). Lompatan saya tentu terukur lorong umur, tetapi generasi milenial harus lompat sejauh-jauhnya tanpa toleh lagi ke belakang "boto ciri watu ata" (menjadi batu berwajah manusia) seperti dalam legenda Ulumbu.

Kota Dingin, Ruteng, 4 Mei 2020

Kanis Barung

canticumsolis said...

Wow... benar-benar mengagumkan...
Sungguh di luar dugaan saya bisa mendapat tanggapan yang sangat luar biasa seperti ini. Pertama-tama, saya hanya mau menghaturkan berlimpah terima kasih karena ite sempat membaca dan menulis komentar di sini. Kedua, terima kasih juga, karena komentar ini benar-benar mendalam dan nyambung pada narasi saya. Ketiga, betul seperti ajakan dite, mari kita terus melangkah ke masa depan dengan rencana-rencana kita masing-masing, dengan program literasi-literasi kita, terutama literasi rohani dan penghayatan agama kita masing-masing. Sesungguhnya tanggapan dite ini, sudah bisa menjadi sebuah cerita tersendiri. Juga tentang kata SENGAJI, juga tentang HAKEKAT KETOMPOKAN kita masing-masing.

Tetapi tunggu dulu, apakah memang kita2 ini sungguh TOMPOK? Rasanya tidak juga. Karena dengan cara hidup kita masing-masing, kita terus mengembangkan SEMINARIUM yang artinya PERSEMAIAN itu, di dalam hati, di dalam ruang hidup kita masing-masing. Rasanya sih SEMINARIUM di dalam HATI itulah yang jauh lebih penting dan lebih berperan di dalam hidup pribadi kita, terutama di dalam sumbangsih kita dalam proses2 transformasi sosial... hehehehehe....

Sekali lagi, terima kasih sudah berbagi... dan ini luar biasa... salam literasi... dengan hati... menuju pencerahan budi, menuju penyalaan hati...

tabik seribu dari hati...

itu sudah kah...

CV GRAFFIKO said...

TOMPOK KARENA KEBUNTUAN

Kraeng Frans,
Bagi saya, masa lampau (tadi, kemarin, minggu lalu, tahun lalu, dahulu, dahulu kala) menjadi titik awal berliterasi merefleksi diri tentang pengalaman/pencapaian dan kegagalan, tentang kekurangan dan kelebihan, tentang kelemahan/dosa dan kekuatan, atau tentang apa saja yang perlu direfleksikan. Dari titik itulah saya coba melangkah.

Seminari "tompok" di Kisol tahun 1978 adalah salah satu jejak langkah masa lampau yang selalu saya kenang. Di sana saya belajar banyak hal, terutama belajar tentang pengelolaan waktu dalam banyak aktivitas. Termasuk doa yang diatur lalu menjadi teratur. Berdoa secara teratur tidak harus selalu bersama dengan orang lain di kapela seminari, tetapi terutama dalam HATI masing-masing seperti "silentium" di depan gua di belakang kapela. Belajar mengelola HATI itulah SEMINARIUM bagi saya yang akan terus kembangkan. Mengapa? Hidup tidak bisa hanya andalkan otak. Mitos burung hantu "todang pa'a" (menuntun potongan paha) adalah literasi hati setiap orang, setiap komunitas, setiap kelompok sosiokultural.

Bagi saya, tompok adalah suatu gang buntu yang saya pilih untuk saya lalui sendiri. Sudah banyak "gang buntu" yang tapaki seperti dosen tompok di Sadhar dan hampir menjadi mahasiswa tompok di UGM. Ketompokan pilihan sendiri atas suatu kebebasan tidak boleh disesali diri sendiri. Itu satu prinsip hidup saya. Titik tompok adalah awal kesadaran untuk cari jalan lain yang mungkin lebih mulus. Dari titik tompok itulah saya mencoba melirik pilihan jalan lain yang telah diatur-Nya. Kehidupan di jalan-jalan lain itu pun tetap saya anggap "mose dokong" (kehidupan sekejap) karena masih ada yang diharapkan secara teologis, hehehe, "mose tedeng len" (kehidupan kekal).

Nah, ketika sekarang pada masa korona ada ketentuan mengisolasi diri sendiri, dahulu saya sudah terbiasa isolasi diri di ladang yang hanya berteman dengan suara-suara burung; terbiasa dalam asrama yang diatur superketal; mungkin Ite juga atau kawan lain yang mengalami kehidupan berasrama pada masa lampau dengan aturan yang superketat.
Belajar menghargai aturan, khususnya disiplin waktu, tampaknya tetap menjadi literasi sosiokultural yang terus digalakkan tanpa anjing galak.

SALAM SEHAT LAWAN NEMBA KORONA

Ruteng, 08 Mei 2020
Salam Tompok
Kanis Barung

canticumsolis said...

hehehehehe.... trima kasih banyak kraeng Kanis atas refleksi ini. refleksi yang mantap tentang tompok.... hehehe... luar biasa... betul sekali e kraeng bahwa keheningan hati itulah prinsip dasar dari silentium... tanpa keheningan hati, maka aturan dari luar untuk silentium akan menjadi sia-sia dan tidak bermakna sama sekali...

mencari keheningan itu memang harus diniatkan oleh diri sendiri, dengan berangkat dari dalam diri sendiri. tanpa sebuah kesadaran yang mengalir dan memancar keluar dari diri sendiri, niscaya kita sulit untuk masuk ke dalam keheningan. dan di dalam keheningan bisa berjumpa dengan tuhan dan diri sendiri, atau malah jangan-jangan bertemu hantu... hehehehe... bahaya sudah itu e...

Baik kraeng, trima kasih banyak sudah datang lejong one natas hoo, te pande rame tombo du wae manen.... wali dia ga...

salam sukses selalu dari Bandung...
salam perjuangan melawan NEMBA KORONA...

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...