Sunday, May 24, 2020

MENANGIS DALAM HUJAN, MENANGIS DALAM ASAP

Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen FF-UNPAR, Bandung.




Suatu saat saya menemukan sebuah tulisan singkat, entah di mana, entah kapan. Kalau tidak salah berasal dari Charlie Chaplin. Tulisan singkat itu demikian: “Aku suka menangis di tengah hujan, karena orang tidak tahu bahwa aku menangis.” Tetes-tetes air hujan membasahi rambut, kepala dan muka, sehingga tetes-tetes air mata tidak tampak. Kalau ia tampak, maka ia tampak sebagai tetes-tetes hujan. Hujan menyembunyikan sebuah tangis dalam hati. Tangis menjadi tidak tampak karena tetes-tetes air hujan itu menyamarkan tetes-tetes air mata. Ah mungkinkah tetes-tetes air hujan itu adalah tetes-tetes air mata langit yang berduka? Entahlah. Mungkin saja. Tetapi tetes-tetes air hujan itu, membawa kabar sukacita bagi bumi, bagi segala tetumbuhan yang ada di punggung bumi. Apabila hujan turun pertama kali sesudah musim kering yang panjang, akan terasa seperti alam menyongsong datangnya hujan dengan penuh sukacita. Alam seperti bersukacita, seperti berpesta pora menyambut kedatangan tetes-tetes air surga itu. Segala sesuatu yang ada di punggung bumi mulai hidup kembali berkat air hujan yang turun itu.

Beberapa minggu lalu, datang kabar gembira bagi dua keponakan saya. Mereka diterima masuk ke Seminari Pius XII Kisol. Keduanya, kata orang tua mereka sangat ingin belajar di seminari Kisol. Mereka berjuang untuk itu. Mereka belajar dengan keras. Puji Tuhan mereka berhasil mendapatkan tiket untuk masuk di sana. Kabar gembira itu segera tersebar di wag keluarga. Lalu muncullah beragam komentar menarik tentang hal itu. Salah satu komentar ialah pemberitahuan agar kedua orang tua dari kedua ponakan itu harus bersiap-siap untuk menangis dan merasa sedih karena akan ditinggalkan mereka berdua. Mereka akan tinggal jauh di asrama seminari.

Saya beritahukan bahwa mereka tidak boleh menangis. Mereka harus kuat dan tabah. Paling tidak mereka tidak boleh menangis di depan anak-anak itu saat mereka pergi. Kedua orang tua harus kuat dan tabah. Saat menulis hal itu saya teringat dua hal. Pertama, saya teringat akan saat ketika anakku Yoan dan Agung, tinggal di Asrama. Yoan, tahun 2011, diterima di Sedes Sapientiae, Bedono. Kami pindah ke Yogya. Sebelum ke asrama, Yoan tinggal bersama kami di Kontrakan di Nglempong Lor. Ketika tiba saatnya dia masuk asrama, maka dari Yogya kami mengantarnya ke Bedono. Lalu dengan berat hati kami harus tinggalkan dia di asrama. Saat itu belum terlalu berat rasanya. Barulah terasa berat saat kami sudah tiba kembali di sore hari di Kontrakan. Tiba-tiba kami sadar bahwa kamar yang biasanya ditempati Yoan, sekarang kosong. Biasanya kami menantikan dia keluar dari kamar itu. Sekarang pintu kamar itu tidak ada lagi yang membukanya. Sunyi sekali. Saat itulah saya merasakan kesedihan yang luar biasa. Bahkan saya sempat menulis artikel tentang empty-nest-syndrome, sindrom sarang-kosong. Itu adalah sindrom induk burung yang tiba-tiba merasa kesepian karena anak-anaknya yang selama ini ia jaga di sarangnya sekarang sudah pergi. Maka tinggallah induk burung dalam sunyi, dan karena itu pun ia berbunyi sepanjang hari, seakan-akan meratapi sunyi dan mencari-cari tiada henti tetapi mereka tidak akan pernah kembali lagi, ke sini, di sini. Saat Agung pergi tinggal di asrama van Lin di Muntilan. Saat itu terasa paling berat bagi saya dan Atin. Karena dengan itu kami akan tinggal berdua saja di kontrakan. Yoan belum tamat SMA. Sekarang Agung harus masuk asrama. Kami mengantar Agung ke asrama di Muntilan. Saat mengikuti rangkaian acara di sana, saya sudah merasa sangat sedih melihat Agung yang mulai berusaha bersosialisasi dengan teman-teman barunya, sementara kami berdua hanya menonton dari jauh. Saat pamit, saya berusaha sekuat tenaga agar tidak sampai menangis. Puji Tuhan, saya berhasil menahan diri untuk tidak menangis. Sebab kalau saya menangis, maka saya sangat yakin Atin juga pasti menangis, dan kalau Atin menangis, pasti Agung juga menangis. Setelah rangkaian acara selesai, saya dan Atin pun kembali ke Yogya. Di malam hari, ketika kami akan makan malam, sunyi sekali rasanya. Tidak ada lagi ritual memanggil Agung untuk makan malam bersama. Hanya berdua. Saat itulah saya menangis di meja makan. Kami berdua menangis berdua. Sedih rasanya. Kami tinggal berdua. Kedua anak di asrama. Begitu rupanya hidup.

Hal kedua yang saya ingat ialah dulu di masa kecilku. Tahun 1973 kakak sulung kami, Kaka Sin menamatkan sekolah dasar. Karena itu ia harus pindah ke Ruteng untuk masuk pendidikan Sekolah Kepandaian dan Ketrampilan Putri (SKKP, setingkat SMP). Yang mengantar kak Sin ke Ruteng adalah Bapa. Pagi itu, mereka berangkat pagi-pagi. Saya masih ingat mama mengantar sampai di punggung bukit di dekat wae teku. Sedangkan saya, mengikuti mereka sampai ke wae Lelang dekat Tango. Sesudah itu saya pulang. Dari jauh saya masih melihat mama menunggu mereka sampai hilang dari tatapan mata di balik kampung Tango itu. Saya pun balik lagi mencoba mengejar mereka. Tetapi tidak bisa karena rupanya mereka sudah cepat-cepat pulang. Saya merasakan benar sunyi itu di rumah kami. Kakak sulung saya sudah meninggalkan kami. Dia ke Ruteng. Siang hari, rasa sunyi itu belum begitu terasa. Mungkin karena masih terang siang hari. Masih terdengar banyak bunyi keramaian siang hari. Jadi sunyi tidak terasa begitu mencengkam.
Rasa sunyi itu baru terasa saat sore hari datang. Sinar mentari siang, sudah diganti oleh matahari yang memerah dan mulai meredup di sore hari. Mula-mula dimulai dengan leso holes, mata hari sudah mulai condong ke barat. Lalu tiba giliran wa leso, yaitu matahari sudah mulai turun. Dan akhirnya leso temba golo, artinya matahari di punggung bukit-bukit sebelah barat menjelang ia jatuh di balik bukit. Terdengar bunyi kokok ayam di sore hari bersiap-siap naik bertengger di pohon untuk tidur. Saat itulah mamaku mulai sibuk memasak makan malam. Ia duduk di sapo, mulai sempong api. Biasanya ia dibantu kakak Sin tetapi sekarang kak Sin sudah pergi. Sunyi sekali rasanya dapur kami karena kak Sin tidak ada lagi di situ. Sapo juga sepi rasanya. Tepat di saat itulah saya melihat mama menangis. Air matanya jatuh di pipi. Saya memberanikan diri bertanya: “Mama menangis?” dengan cepat ia coba tersenyum dan menjawab: “Aeh toe ye. Toe ita le hau nus api hoo ko?” begitu katanya sambil mencoba tersenyum dan menggosok matanya.

Memang kalau mata kita keasapan, air mata pasti akan keluar. Tetapi saya tahu betul, mama menangis. Air matanya mengalir di pipi, bukan karena asap api dari sapo, tetapi karena ia kehilangan. Tiba-tiba ada sebuah rasa sunyi yang mencengkam di tempat yang biasanya ramai karena kehadiran sang putri. Sekarang tempat yang satu dan sama tiba-tiba menjadi sunyi karena dia sudah pergi jauh. Benar kata Charlie Chaplin: saya suka menangis dalam hujan karena dengan itu orang tidak tahu saya menangis. Ya, saya senang melihat mamaku menangis. Tetapi ia menyembunyikannya dengan pemaaf yaitu asap api yang menyerang mata. Saya suka menangis di tengah asap api karena dengan itu orang tidak tahu saya menangis. Tetapi mataku tidak bisa ditipu mama: aku tahu mama menangis dalam asap, bersama asap. Pasti pedih dan perih, seperti pedih dan perih asap yang menyebabkan air mata itu keluar, tetapi air mata itu keluar untuk mengungkapkan Bahasa hati yang sunyi, Bahasa hati yang sepi.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...