Friday, April 10, 2020

JUMAT AGUNG YANG HENING

Oleh: Fransiskus Borgias



Dalam satu WAG yang saya ikuti, ada sebuah percakapan menarik tentang Hari Jumat Agung yang hening. Hening, artinya tidak ada suara apa pun yang mengganggu ketenangan alam. Yang ada paling-paling hanya suara alam seperti suara burung yang beterbangan di udara, suara ayam berkokok atau berkotek, suara anak ayam menciap, ataupun suara angin yang bertiup. Kalau orang berdiam di pinggir hutan bambu maka akan terdengar suara gemerisik dari daun dan batang bamboo. Atau kalau orang berdiam di dekat sungai, maka orang akan mendengar suara deru air mengalir. Hanya itu. Mungkin sesekali di udara terdengar suara pesawat terbang yang melintas di ketinggian. Mungkin juga sesekali terdengar bunyi oto yang sayup-sayup terdengar dari kejauhan karena sekadar terbang dibawa angin.


Apa yang baru saja dilukiskan itu terasa seperti sebuah impian. Ah tidak. Itu sebuah kenyataan. Paling tidak, itu adalah kenyataan yang pernah saya alami dulu saat masih duduk di Sekolah Dasar Katolik di Lamba-Ketang. Pada saat itu, memang Jumat Agung kami lewatkan dalam suasana keheningan. Pernah beberapa tahun, pada hari Jumat Agung, pertandingan (sepak bola, dll) tetap diadakan. Tetapi kemudian, akhirnya diterima umum (setidaknya di Ketang), pertandingan hanya boleh pada hari Rabu, Kamis, dan Sabtu. Jumat Agung harus hening. Keheningan itu masih bisa saya ingat dan bahkan rasakan dalam memori masa kecil saya, yang entah kenapa masih terus tersimpan dan sekarang ini kembali muncul ke permukaan. Betapa kuatnya ingatan itu.


Sejak Hari Kamis pagi, sebelum pertandingan-pertandingan dimulai, ada ibadat Lamentasi, ibadat Ratapan. Ada lagu ratapan yang dibawakan oleh sekelompok penyanyi. Bahkan nyanyian itu sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Manggarai. Sepotong teks ayat ulangannya berbunyi sbb: Yerusalem, Yerusalem, kole ngger one agu Mori Keraeng de hau. (Lalu diselipi dengan beberapa huruf Ibrani yang relevan, seperti Alef, Beth, Ghimel, Daleth, He, Vav, Zain, Heth, Teth, Iof, Kaf, Lamed, Mem, Nun, Samech, dll). Bahkan bagian pengantar dari Lamentasi itu berbunyi sbb: Wangkan tilir, di Yeremias, propheta (kemudian kata propheta ini diterjemahkan menjadi, nabi nggeluk). Lalu sesudah itu ada pertandingan-pertandingan. Biasanya anak-anak SD yang ada dalam lingkup Paroki tersebut. Tetapi semua pertandingan dihentikan (berhenti) pada jam dua sore. Syukur kalau sebelumnya sudah selesai. Walau pernah terjadi, juga di Ketang, pertandingan sampai sore. Tetapi pastor marah karenanya. Sebab orang lalu keletihan dan tidak mau ke gereja lagi. Hahahahaha….. ata ngonde muing ba wekid ata situ e opa tuang Moma….


Lalu hari Jumat pagi, juga dimulai dengan ibadat lamentasi. Sesudah lamentasi biasanya dilanjutkan dengan ibadat jalan salib (yang memang biasanya dilakukan setiap hari Jumat selama masa Puasa itu). Tetapi tidak ada pertandingan. Orang-orang pada berdiam diri saja. Juga tidak ke kebun. Karena hari itu adalah hari libur. Barulah pada sore hari, tepatnya jam 3, dimulailah rangkaian ibadat Jumat Agung. Ibadat Lamentasi juga masih dilakukan pada hari Sabtu Pagi. Adapun inti dari ibadat Lamentasi itu ialah mengenang sengsara dan wafat Yesus. Peristiwa sengsara Yesus itu disimbolisasi dengan lilin yang dipasang pada sebuah kaki lilin yang dibuat berbentuk segitiga. Pada sisi yang satu ada enam lilin. Pada sisi yang lain ada enam lilin. Di puncak segitiga ada satu lilin (biasanya lebih besar ukurannya dari pada keduabelas lilin yang lain). Keenam lilin di kedua sisi segitiga itu melambangkan keduabelas murid Yesus. Lilin di puncak itu melambangkan tentu saja Yesus sendiri. Setiap sesudah beberapa ayat lagu lamentasi dinyanyikan, dua lilin dipadamkan, satu di kiri, satu di kanan. Mulai dari lilin yang paling bawah. Begitu terus, sampai akhirnya hanya tinggal satu lilin yaitu lilin yang ada di puncak segitiga itu. Itu adalah simbolisasi peristiwa di mana Yesus ditinggalkan oleh para muridNya, sampai Dia hanya sendirian saja menghadapi maut-Nya sendiri, bahkan di ketinggian salib, terangkat dari muka bumi. Begitulah kira-kira salah satu penjelasan yang pernah saya ketahui tentang ibadat yang penuh simbolisme itu.


Sekarang kembali ke suasana Jumat Agung yang hening itu. Apakah pengalaman masa kecil itu sudah tidak ada lagi di Manggarai? Mungkin di beberapa daerah pedalaman hal itu masih ada, masih bisa dirasakan, masih bisa dialami. Tetapi daerah perkotaan dan di daerah yang terletak di pinggir jalan, hal itu mungkin sudah susah dialami dan dirasakan. Sekarang sudah ada banyak sekali bunyi yang mengganggu. Yang paling kuat misalnya, suara motor, suara mobil yang lalu lalang. Dulu pada tahun 70an, suara-suara itu masih sangat langka. Sekarang sudah tidak terhindarkan lagi. Ditambah lagi suara manusia yang lalu lalang dengan pelbagai kegiatan mereka. Katakanlah itu semua adalah termasuk atau dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang alami, yang kiranya pada hari libur seperti pada hari Jumat Agung, mungkin bisa sangat diminimalisir.


Dalam pembicaraan di WAG yang saya singgung di atas tadi, ada beberapa teman yang menyinggung mengenai suara yang dihasilkan oleh pengeras suara pada hari Jumat terutama di kota-kota. Hemmm….. Menarik untuk membahas tentang hal itu. Dan saya mau melakukan hal itu di sini. Tetapi sebelum itu saya ke Bali dulu. Di Bali, sekali setahun ada perayaan Nyepi, di mana semua aktifitas dihentikan. Tidak ada pergerakan. Tidak ada suara. Tidak ada api. Tidak ada kerja. Orang hanya diam. Bahkan dunia internasional pun taat. Dunia penerbangan juga taat. Semua sudah mengatur jadwal mereka. Dan semua orang taat. Tidak ada yang mau melanggar. Tidak terkecuali, siapa pun anda, dan apa pun agama anda, apa pun jabatan atau pekerjaan anda, apapun status social dan ekonomi dan politik anda, semua orang taat dan paham, mengerti, simpati, empati. Di Bali hal itu bisa dilakukan, dengan mengemukakan ke-Hindu-an Balinya.


Bagaimana dengan di Manggarai atau di Flores pada umumnya? Bisakah hal semacam nyepi itu dilakukan? Sebuah praksis NYEPI Jumat Agung, walaupun tentu saja tidak usah disebut dengan sebutan itu. Hanya sekali setahun. Orang berdiam diri, termasuk pengeras suara masjid. Rasanya hal itu bisa dilakukan dan bisa diterima. Tentu orang sama sekali tidak dilarang berdoa. Bukan itu juga maksdunya. Tetapi tidak dengan pengeras suara. Hanya selama satu hari saja sepanjang Tahun, yaitu pada Hari Jumat Agung. Rasanya bisa. Bali bisa dengan mengedepankan ke-Bali-annya. Mengapa Manggarai, atau Flores tidak bisa dengan mengedepankan ke-Flores-annya.


Hanya mungkin jika hal itu akan diwujudkan, kiranya perlu diatur lagi dengan begitu ketat bahwa ketika orang-orang Katolik sudah menuntut hal itu, maka orang-orang Katolik sendiri juga harus memperlihatkan kesalehan dan ketaatan untuk melaksanakannya dengan tekun, taat dan khusyuk. Pelbagai praksis ibadat yang pernah ada dalam tradisi gereja untuk hari Jumat Agung bisa dihidupkan lagi. Misalnya, di pagi hari ada Lamentasi (yang dilaksanakan dengan meriah dan bersama-sama seluruh umat). Lalu sekitar jam 11-an dilanjutkan dengan upacara Jalan Salib bersama dan meriah juga. Dan Jam tiga sore, ditutup dengan rangkaian ibadat Jumat Agung, seperti perarakan Salib, peninggian Salib, Kisah Sengsara, Penyembahan Salib, Doa Umat Meriah (dengan tata cara yang memang meriah), dst.dst. Tentu diharapkan bahkan diwajibkan agar pada hari Jumat Agung ini, semua orang Katolik harus berpuasa dan berpantang sebagaimana yang sudah ditetapkan oleh Gereja.


Mungkin akan ada yang bertanya: mangapa dan untuk apa hal itu dilakukan? Apakah ada dasar biblisnya? Dalam kisah sengsara (passio) injil Markus 15:33 (bdk. Luk 23:44-45a) dilukiskan demikian: “Pada jam dua belas, kegelapan meliputi seluruh daerah itu dan berlangsung sampai jam tiga.” Bagaimana persisnya keadaan itu dahulu tidak diketahui lagi. Tetapi saya membayangkan bahwa di sana dulu terjadi keheningan yang luar biasa karena matahari tidak lagi bersinar, seperti kata penginjil Lukas. Sebuah suasana keheningan yang dirasakan alam saat akan terjadi gerhana matahari seperti yang dulu pernah saya alami pada tahun 1983, saat gerhana matahari total melintas di atas Yogyakarta. Kiranya hal ini (deskripsi injil Markus dan Lukas tadi) bisa dijadikan sebagai dasar biblis dari praksis ini. Gereja dan orang-orang lain bersama-sama menghormati keheningan semesta itu pada hari Jumat Agung, dengan melakukan keheningan juga, membiarkan hanya suara alam yang bisa terdengar, mengiringi duka gereja, duka semesta karena Yesus bersengsara dan wafat dan dimakamkan. Jika hal ini terjadi (baca: bisa diwujudkan, bisa dilakukan), saya membayangkan hal ini bisa menjadi sebuah ikon pariwisata rohani kultural di Flores yang terpadu dengan baik dengan Semana Santa di Larantuka yang fenomenal itu.


Selamat berdiskusi.


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...