Showing posts with label nostalgia01. Show all posts
Showing posts with label nostalgia01. Show all posts

Saturday, May 16, 2020

ATG – MENERAWANG PERJALANAN PANJANG

Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, MA.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung.


Tanpa terasa saya sudah hari kelima dalam ret-ret itu. Saya mencoba menjalani rutinitas yang berjalan sangat lambat itu. Rutinitas itu berulang-ulang. Namanya juga rutinitas. Harus berulang-ulang. Saya harus ikut berputar di dalam perputaran roda pengulangan itu.

Tetapi ada empat hal yang selalu menjadi alternatif bagi saya dalam rutinitas itu, yang akhirnya menjadi sebuah rutinitas tersendiri juga bagi saya. Pertama, mendengarkan bunyi burung-burung. Pada suatu hari saya bahkan bisa membedakan bunyi burung. Pada pagi hari bunyi burung itu seperti penuh semangat dan gembira ria. Di siang hari mulai terasa semakin sunyi, masih ada satu dua, tetapi sebagian besar sunyi, entahlah di tempat lain. Tetapi di perdu di tebing kali itu, bunyi burung semakin kurang terdengar di siang hari. Atau mungkin karena kalah bersaing dengan bunyi kebisingan siang hari sebab banyak juga bunyi lain yang seperti menteror bunyi alam yang alami itu.

Kedua, mendengarkan bunyi angin bertiup. Baik di pagi hari, maupun di siang hari, suara angin selalu terasa merdu. Tetapi di sore hari, mungkin karena panas matahari sudah mulai berkurang, suara angin tidak lagi begitu terasa. Semua seperti pada diam. Hal itu tampak pada dedaunan. Seperti tertunduk lesu. Seakan-akan masuk ke dalam kontemplasi, runduk memandang diri sendiri, memandang pangkalnya di tanah. Ketiga, mendengarkan bunyi dedaunan yang bergesek karena ditiup angin. Jadi, yang ketiga ini terkait dengan yang kedua. Dedaunan seperti menari-nari, lincah menanggapi colekan bayu pagi, bayu siang. Dedaunan yang sudah tua, jatuh pasrah, let it go. Yang masih muda, masih tahan terpaan angin. Seakan-akan mereka meledek kekuatan angin bertiup. Tetapi angin itu seperti bersabar: tunggu giliranmu. Nanti juga kau kering. Dan pada saat itu kau tidak akan bisa lagi meledek kekuatanku selain pasrah melepaskan diri dan jatuh ke bawah, membusuk dan menjadi mata rantai makanan bagi ibu bumi.

Keempat, saya mendengar bunyi detak jantungku dan juga terutama suara hatiku sendiri. Ke mana aku sesudah ini? Mengapa aku di sini? Untuk apa aku di sini? Semua pertanyaan itu seperti datang mencerca aku dan aku seperti tidak diberinya kesempatan untuk menjawab satu per satu. Semuanya seperti ingin dijawab duluan. Benar-benar menyesakkan dada. Saya melihat ketiga temanku sepertinya tenang-tenang saja. Sepertinya mereka tidak ada masalah sama sekali dengan keadaan ini. Saya melihat mereka sangat serius dalam permenungan masing-masing sehingga rasanya sulit untuk diajak berbicara, berbuka dari hati ke hati.

Rutinitas keempat inilah yang paling tidak mengenakkan bagi saya. Sebenarnya pada saat-saat seperti ini, aku tidak suka berhadapan dengan diriku sendiri. Tetapi ternyata di dalam kesunyian, mau tidak mau kita harus menghadap tahta pengadilan suara hati kita sendiri. Kamu ini siapa? Mau apa? Mau ke mana? Sungguhkah kau mau ke sana? Jangan-jangan ke sinilah yang lebih cocok bagimu. Benar-benar terasa sesak dan menyesakkan.

Apalagi tadi siang, kami dijejali dengan refleksi mengenai hal “menghadapi hari tua.” Mula-mula CG memberi gambaran kepada kami, bagaimana kira-kira gambaran hari tua sebagai seorang bapa keluarga, dengan suka dan dukanya. Tentu ada sukanya. Tetapi ada juga dukanya dan lukanya.

Lalu CG juga memberi gambaran kepada kami, bagaimana kira-kira gambaran hari tua sebagai imam atau biarawan. Ya, dengan suka dan dukanya. Semuanya dibuka satu per satu. Dikupas tuntas oleh CG dengan dimensi kedalaman yang luar biasa. Semuanya memancar dari pengalaman dia sendiri, dari pengamatannya yang jernih dan tajam terhadap pelbagai macam cara dan jalan hidup. Tentu juga dibantu pelbagai bacaan yang sudah ia baca selama ini.

Ketika CG membicarakan tantangan hidup sebagai seorang imam atau biarawan di masa tuanya, pasti, suka ataupun tidak suka, ditandai kesunyian. Walaupun belum tentu kesunyian itu adalah kesepian. Memang kesunyian bisa sangat mudah berubah menjadi kesepian. Tetapi dalam teori hidup rohani kesunyian adalah dimaksudkan untuk mencinta. Tidak mudah menjelaskan hal ini. Ya, ketika CG omong tentang hal itu tiba-tiba saja pikiran saya tertuju kepada Pater Flori Laot OFM. Dialah Bapa Rohani saya saat saya menjalani TOP di Pagal. Selama hampir setahun menjalani tahun pastoral, setidaknya saya empat atau lima kali berbicara dari hati ke hati dengan dia. Kami membicarakan macam-macam hal yang terkait dengan hidup rohani sebagai biarawan. Hal itu kami lakukan baik saat dia datang ke Pagal ataupun saat dia datang ke Ruteng (Ibu kota Kabupaten).

Saya teringat akan sesi pembicaraan terakhir menjelang akhir TOP itu. “Menurut pater, apa sebabnya, seorang imam jatuh ke dalam dosa godaan seksual?” Begitu tanyaku. Dia tidak memandang saya. Ia seperti bapa pengakuan yang mendengarkan pengakuan dosa seorang pendosa. Ia menghadap ke jendela ke arah timur. Saya duduk ke telinga kanannya, menghadap ke utara. Tanpa memandang ke saya, dia menjawab dengan sangat tenang. “Frans, sebabnya hanya satu.” “Apa itu Pater?” “Karena imam itu tidak bisa lagi berdoa. Ia mengalami krisis hidup doa. Krisis hidup rohani. Kalau tidak bisa lagi berdoa, maka mudah berdosa. Beda satu huruf saja.” Sejenak dia diam. “Frans, saya kasih tahu yah… Saat kamu masih muda seperti ini, kamu gesit bekerja, memperjuangkan apa saja, bekerja maksimal, sampai badanmu letih. Tidak apa-apa. Tatkala malam datang, kamu ke tempat tidurmu, dan segera tertidur. Aman.”

“Maksud pater?” tanyaku. “Begini Frans. Ada saatnya, di usia tertentu dalam hidup imamat dan membiara ini, saat gerakmu sudah tidak gesit lagi, lebih banyak diam, tiba-tiba saja di malam hari, kita merasa bahwa tempat tidur ini kosong. Kita merasa ada yang aneh dengan kekosongan itu. Kita mengalami “terror ruang kosong” seperti kata seorang seniman di Bali, lupa namanya, saat menghadapi tempat tidur kosong itu. Terror itu kuat sekali sehingga kita terdorong untuk mengisinya. Kamu tahu maksud saya.” Diam sejenak dan senyum ke Timur.

“Frans, kalau hidup doamu pada saat itu tidak kokoh, kamu pasti jatuh. Kamu akan mencari “dia” untuk mengisi “kekosongan” itu yang seperti sedang menterror kesendirian dan kesunyian kita.” Sesudah itu dia diam. Seperti meredam terror sunyinya sendiri. “Frans, jangan pernah menelantarkan hidup doa.” Diam lagi. “Hanya itu.”

Sekarang, tatkala Groenen mengkonfrontasikan kami dengan bayangan akan hari-hari tua itu, terutama sebagai imam atau biarawan, saya teringat akan kata-kata P. Flori, “terror ruang kosong” itu, yang sebenarnya mungkin bermula dalam sebuah sudut di hati, tetapi kemudian menjalar keluar, sampai ke tempat tidur, ke ruang tidur yang kosong. Semuanya seperti menteror kita. Ah terror ruang kosong itu.

Friday, May 15, 2020

ATG – HARI-HARI HENING ITU

Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, MA
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR, Bandung.




Saya langsung mulai dengan untaian kegiatan hari itu, mendengarkan ceramah, dengan ketiga teman, dan CG. Letih. Tetapi saya berusaha menyimak semua yang disampaikan Pater. Untung tidak lama. Setengah jam. Lalu kami hening. Saya ke kamar, melepaskan rasa kantuk karena hampir semalaman tidak bisa tidur. Untung saya bisa tidur cukup sepuluh menit sehingga terbangun lagi agar dapat mengikuti sesi selanjutnya.


Ternyata skema ret-ret CG ialah mengikuti alur hidup manusia: masa kecil (kanak-kanak), masa remaja, sebagai pemuda, kemudian masa orang dewasa penuh, dan akhirnya masa tua, dan menyiapkan diri menyongsong kematian. Hidup manusia dibentangkan dalam untaian ceramah selama sebulan. Ada juga kegiatan lain. Minggu kedua itu kami dihidangkan renungan tentang masa muda, rentang duapuluhan sampai tigapuluhan, masa-masa kami saat itu. Pada usia itu hidup terasa penuh gairah, penuh semangat. Punya cita-cita tinggi, semangat menggebu-gebu, juga termasuk gairah seksual. Banyak pikiran dan gagasan cemerlang. Banyak rencana yang ingin diwujudkan. Semua ingin serba tergesa-gesa. Benturan dengan orang tua biasanya muncul di sini, karena anak muda biasanya ingin cepat dan gesit sementara orang tua mulai lamban gerak dan pikir. Drama gap generation. Sangat biasa. Alamiah.


Saat istirahat, dalam suasana hening, silentium strictum, saya duduk sendiri di sudut taman rumah ret-ret itu. Mencoba mendengarkan bunyi burung di tebing pinggir kali. Juga bunyi dedaunan bergesek karena dibuai bayu siang. Sesekali terdengar orang kampung berteriak dari kali di bawah sana. Di lereng kali di sebelah sana, saya melihat lelaki tua menuruni lereng itu menuju kali. Susah sekali ia berjalan.


Tiba-tiba saat itu, saya teringat akan tulisan CG dalam majalah bulanan Rohani, November 1988, yang baru terbit. Saya sudah membaca salah satu karangan di dalamnya. Saya tertarik karena beberapa artikel utama dalam edisi itu berbicara tentang hari tua.


CG juga omong tentang hari tua. Dan yang paling kuat dalam ingatan saya ialah penutup artikel itu. Di sana CG mengutip refleksi si filsuf ataupun teolog skeptis (maaf kalau saya menyebutnya begitu, walau saya yakin dia juga adalah orang yang percaya, tetapi karena beberapa kalimat di dalam kitabnya, maka saya berani menyebut dia skeptis, segala sesuatu adalah sia-sia, demikian bunyi refrain terkenal dalam kitabnya), Pengkotbah itu. Ia mulai dengan Memento creatoris, seruan kepada orang muda agar ingat akan Pencipta pada masa mudamu. Dia serukan hal ini jangan sampai orang muda, dalam gairah kemudaannya lupa diri, lupa dunia, dan mungkin juga lupa Tuhan. Mumpung masih muda, penuh gairah, jangan lupa Tuhan sang Pencipta. Bijaksana sekali.


Kalimat selanjutnya menjadi sangat pedih dan tragis bagi saya. Mengapa orang muda harus ingat akan Pencipta? Ya, sebagai persiapan untuk menyongsong hari-harimu kelak. Yaitu hari-hari yang ditandai dengan hal-hal menyedihkan. Berikut ini saya daftarkan hal-hal itu:
“…sebelum tiba hari-hari yang malang
dan mendekat tahun-tahun yang kaukatakan:
"Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya!”,
sebelum matahari dan terang, bulan dan bintang-bintang menjadi gelap,
dan awan-awan datang kembali sesudah hujan,
pada waktu penjaga-penjaga rumah gemetar,
dan orang-orang kuat membungkuk,
dan perempuan-perempuan penggiling berhenti karena berkurang jumlahnya,
dan yang melihat dari jendela semuanya menjadi kabur,
dan pintu-pintu di tepi jalan tertutup,
dan bunyi penggilingan menjadi lemah,
dan suara menjadi seperti kicauan burung,
dan semua penyanyi perempuan tunduk,
juga orang menjadi takut tinggi, dan ketakutan ada di jalan,
pohon badam berbunga,
belalang menyeret dirinya dengan susah payah
dan nafsu makan tak dapat dibangkitkan lagi –
karena manusia pergi ke rumahnya yang kekal
dan peratap-peratap berkeliaran di jalan,
sebelum rantai perak diputuskan dan pelita emas dipecahkan,
sebelum tempayan dihancurkan dekat mata air
dan roda timba dirusakkan di atas sumur,
dan debu kembali menjadi tanah seperti semula
dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya.” (Pkth.12:1-7).


Bagian akhir ini lagi-lagi sebuah memento creatoris, ingat akan titik awal saat daya hidup diberikan. Si Pengkotbah teringat akan kisah penciptaan pada awal dalam Kejadian, di mana Tuhan menghembuskan rohNya maka tanah liat itupun hidup (Kej 2:5-7). Tetapi di bagian tengah penuh dengan memento mori. Memento mori, dibingkai memento creatoris di awal dan akhir. Indah sekali refleksi filsuf ini. Ia ingin agar memento mori itu tidak terlalu menjadi beban. Berbeda dengan ritual Rabu Abu, “kau berasal dari debu dan akan kembali menjadi abu,” Si Pengkotbah mengingatkan kita, “kau berasal dari sang Pencipta dan akan kembali kepada sang Pencipta.”


Waktu itu saya tidak banyak tahu tentang makna kata-kata itu. Tetapi keindahan sebuah puisi hanya bisa dirasakan tidak usah harus dimengerti. Dalam keindahan yang bisa saya rasakan itu saya yakin pasti ada makna walau tidak selalu mudah disingkapkan. Ingin sekali saya ke kamar CG untuk menanyakan arti kata-kata itu, tetapi kini saya rada takut karena melihat wajahnya tadi pagi saat saya baru tiba. Saat saya melihat kakek tua di lereng kali itu, saya teringat akan gerak dramatis belalang itu, yang menyeret dirinya dengan susah payah.


Saya juga ingat bahwa CG menulis karangan itu selain untuk pembaca umum juga terutama ingin menyapa para pembaca dari kalangan biarawan-biarawati. Apa yang akan kau lakukan tatkala semua itu tiba? Saat tatapan mata sudah tidak maksimal lagi, sehingga cahaya matahari yang sebenarnya masih cerah, tetapi karena matamu yang tua sudah rabun, lalu kecerlangan mentari menjadi suram? Apa yang akan kau lakukan wahai biarawan-biarawati ketika “bunyi penggilingan semakin melemah karena perempuan-perempuan penggiling berhenti karena berkurang jumlahnya?” Saya pernah mengintip sebuah buku tafsir tentang ayat-ayat dramatis ini. Ternyata perempuan-perempuan penggiling itu adalah metafora untuk gigi. Ya tatkala semakin tua, jumlah gigi semakin berkurang dan karena berkurang maka aktifitas menggiling yaitu mengunyah mulai berkurang bahkan juga berhenti. Ah dramatis sekali. Tragis. Pada saat seperti itu, nafsu makan tidak dapat dibangkitkan lagi.


CG, di dalam artikel itu benar-benar mengantar para pembaca untuk benar-benar serius memikirkan hari-hari itu. Jangan sampai terkejut. Karena suka ataupun tidak suka, hari-hari itu akan datang. Hari Tuhan datang seperti pencuri di waktu malam. Kita sama sekali tidak bisa menduganya apalagi menundanya. Ya, tempus Dei bukanlah tempus homini. Camkan itu.


Ret-ret pribadiku di pinggir tebing kali yang dipagari tembok itu tiba-tiba terputus dan berakhir karena mendengar bunyi lonceng kecil. Itulah tanda kami harus makan siang. Saya berdiri dengan mencoba meyakinkan bahwa saya masih muda. Tetapi walaupun masih muda, jangan lupa akan Tuhan. Hendaklah Memento creatoris sebelum memento mori. Sebuah kearifan hidup.

Tuesday, May 12, 2020

ATG - DAYA ITU PALING KUAT BGN I

Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen Fakultas Filsafat UNPAR Bandung.




Saya TOP dengan mengajar Postulan OFM di Biara Santo Yosef Pagal, Manggarai. Setelah menyelesaikan masa itu saya kembali ke Yogya setelah sebelumnya mengantar para frater postulant ke Jakarta, untuk selanjutnya mereka akan ke novisiat di Depok. Ada pengalaman-pengalaman kegoncangan tersendiri yang saya alami dalam masa TOP itu, tetapi tidak dapat saya ceritakan di sini. Oh mungkin satu hal bisa saya ceritakan sedikit. Di akhir masa TOP, pimpinan OFM di Manggarai meminta saya untuk memimpin Postulan dengan konsekwensi bahwa di akhir masa postulant saya harus memutuskan siapa lolos masuk novisiat siapa yang gagal. Semula saya mengira itu tugas mudah. Ternyata tidak. Saat saya duduk untuk menilai apakah mengirim atau tidak si A dan Si B ke novisiat, saya mengalami kesulitan berat. Saya merasa tidak punya cukup kekuatan untuk tega memulangkan seseorang. Tatkala saya harus memutuskan apakah seseorang tidak diterima, ternyata tidak mudah. Segala macam pertimbangan saya kerahkan dari kemampuan berpikir saya, ternyata akhirnya yang menang bukanlah manusia rasional yang menilai segala sesuatu secara rasional. Yang menang ialah manusia berhati yang menilai dengan hati. Maka saya putuskan untuk mengirim mereka semua ke novisiat. Walaupun saya punya feeling kuat bahwa ada beberapa orang yang tidak cocok untuk masuk novisiat, tetapi karena saya sendiri sedang mengalami kegoyangan, maka saya pun tidak bisa mengambil keputusan yang baik dengan berani dan tegar.

Satu bulan setelah tiba di Papringan orang pertama yang saya datangi ialah pater CG. Dia mau mendengarkan cerita saya. Dia juga memberi pendapat dan pandangan tetapi tidak dapat saya ceritakan di sini. Yang jelas setelah pulang dari TOP kami diminta untuk lebih serius memikirkan kelanjutan hidup panggilan kami. Kami diminta untuk menulis lamaran kepada pater propinsial di Jakarta. Saya masih ingat saat itu sekitar awal bulan November 1988. Hasilnya diperoleh pada awal Desember. Ada yang diterima kaulnya, ada yang ditolak, baik untuk pembaharuan kaul maupun untuk kaul kekal. Saya pun ikut menuliskan surat itu.

Tibalah saatnya bagi saya untuk membuka bagian yang paling berat dari untaian cerita saya selama ini. Semakin dekat masa putusan itu, makin tegang saja rasanya di dalam hati. Ada suatu kegelisahan yang tidak dapat dijelaskan dengan mudah. Ada juga kebingungan. Seperti berdiri di ambang batas awan-awan ketidak-tahuan, the cloud of unknowing. Saya seperti merasa berada di tengah awan itu. Suatu keadaan yang membuat lupa. Saya lupa arah perjalanan. Saya lupa dari mana saya datang. Saya belum tahu ke mana saya akan pergi melangkah dan terbang lebih lanjut. Benar-benar mandek. Padahal dulu dalam pelajaran di novisiat ada sebuah nasihat yang mengatakan bahwa dalam hidup rohani orang tidak boleh berhenti bergerak dalam perjalanan spiritual. Sebab berhenti bahkan sudah sama dengan mati itu sendiri. Saya merasa bahwa sekaranglah saya merasakan hal itu benar. Itu bukan sebuah omongan yang melayang-layang tanpa kaitan dengan kenyataan dan pengalaman. Saya sekarang benar-benar seperti berhenti, padahal saya dituntut untuk bergerak dan berjalan. Sementara itu saya bingung saya harus melangkah bagaimana dan ke mana?

Salah satu pertanyaan pokok yang mengganggu saya pada waktu itu ialah apakah saya bisa menjalani hidup itu kelak, menyerahkan diri sepenuhnya, ya kata sepenuhnya itu, secara utuh, di dalam janji suci kaul-kaul ketaatan, kemiskinan, dan kemurnian. Bisakah saya melaksanakan hal itu? “Ya, ini memang bukan putusan main-main. Ini putusan yang sangat serius, karena menyangkut seluruh hidupmu di masa depan.” Begitu kata pater CG saat saya datang mencurahkan isi hati dan kegelisahan saya kepadanya. “Hidup ini adalah hidup dalam iman, dan hidup dalam iman itu bagaikan meloncat ke dalam kegelapan. Masalahnya ialah kamu harus meloncat, tidak bisa lagi tinggal dan diam di sini. Harus ada keberanian untuk berserah. Tetapi kamu harus meloncat, kamu harus mengambil keputusan sekarang.” Begitu katanya lagi dengan sangat serius, mungkin karena melihat pancaran kegalauan di wajah saya. Lalu saya pamit.

Kemudian saya juga merenungkan bahwa sebenarnya sudah beberapa waktu lamanya saya telah merenung dalam hati bahwa saya sudah melatih diri dalam kaul ketaatan. Saya sudah mencoba belajar untuk taat, taat kepada aturan, taat kepada kesepakatan bersama, taat kepada para pemimpin. Saya merasa saya tidak bermasalah dengan soal ketaatan itu, entahlah nanti kalau saya sudah menjadi orang besar atau orang pintar dengan pendidikan yang lebih tinggi lagi, suatu peluang yang kiranya bisa saya dapatkan juga mengingat apa yang sudah saya capai sampai sejauh ini. Saya merasa saya mempunyai ranah dalam mana saya melatih diri untuk taat. Saya merasa ada “sekolah” bagi saya untuk belajar taat dan mempraktekkan ketaatan itu, walaupun tidak selalu mudah.

Saya juga merasa bahwa dengan kaul kemiskinan tidak ada masalah. Saya sudah belajar untuk hidup miskin, mencoba menerima hidup apa adanya, tanpa banyak menuntut ataupun memaksakan kehendak dan keinginan sendiri. Saya berusaha belajar dan mempelajari anggaran dasar ordo dan konstitusi dalam rangka untuk berusaha melaksanakanannya dan mentaatinya. Saya tidak pernah mengatakan bahwa saya sangat istimewa, tetapi saya berusaha. Pelajaran-pelajaran spiritualitas yang diberikan oleh para dedengkot spiritualitas fransiskan (CG sendiri, P.Alex, Mgr.Leo, almarhum P.Yan Laju), benar-benar menantang saya juga, terutama terkait dengan pertarungan antara kubu yang menghendaki “ad litteram sine glosa”, dan kubu yang menghendaki adaptasi-kompromi. Saya benar-benar mencoba mentaati nasihat santo Bonaventura, yang pada suatu saat dalam nasihat-nasihatnya kepada para suster berkata: Janganlah kamu belajar kesombongan pada sekolah kerendahan hati. Yang ia maksudkan dengan sekolah kerendahan hati ialah hidup membiara dengan monasterinya yang megah. Di dalam sekolah kerendahan hati itu, adalah haram hukumnya kalau orang belajar kesombongan dan menjadi sombong benaran juga pada akhirnya. Saya sungguh berjuang untuk itu, walaupun tidak selalu mudah. Harus saya akui saya jatuh bangun. (Bersambung)….

Sunday, May 10, 2020

ATG - “MEREBUT” TOKOH FRANSISKUS ASISI

Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen dan peneliti pada Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci Keuskupan Bandung.



Selama saya di Seminari Pius XII Kisol, saya belum pernah mendengar nama G.K.Chesterton dan nama besar lainnya, seperti Kardinal John Henry Newmann, Etienne Gilson, sekadar menyebut beberapa. Memang tidak perlu juga saya harus mengetahui nama-nama itu di tingkat itu. Tetapi waktu di Kisol saya banyak mengetahui nama santo-santa karena sering dibaca sebagai bacaan rohani. Misalnya, waktu di Seminari Kisol saya membaca tentang St.Fransiskus Asisi, St.Ignatius Loyola, St.Agustinus dari Hippo, St.Benediktus dari Nursia, St.Dominikus, dll. Saya juga menyebut beberapa santa, seperti Sta.Monika, Sta.Klara di Offreducio (Klara dari Asisi).

Tahun 1981 saya tamat dari Kisol. Lalu kami memutuskan, apakah berhenti ataukah terus ke seminari tinggi. Saya memutuskan untuk terus ke seminari tinggi, karena ingin menjadi imam. Saat itu ada lagu yang saya hafal sejak hari-hari pertama di Seminari. Sepotong syairnya berbunyi sbb: “…supaya aku menjadi, imam suci sejati, supaya aku menjadi imam suci sejati.” Itu lagu komunio yang terkait dengan Hati Kudus Yesus. Awalnya berbunyi sbb: “O hati imam Kristus sah, kembara hanya tegal jiwa… etc…” Bagian akhirnya, sudah dikutip. Syair itu terus bergema saat saya tamat, Hehehe... Setelah memutuskan untuk terus ke seminari tinggi, tinggal satu keputusan lagi yang harus diambil. Harus lanjut ke seminari tinggi mana. Dari pengenalan saya akan beberapa ordo dan kongregasi akhirnya saya memilih lanjut ke OFM. Saat itu kami bersama-sama beberapa teman: saya, Paskalis, Karel Jande. Kami tiga dari Kisol. Setelah tiba di Pagal kami bertemu dengan beberapa teman kelas: ada Peter Aman, ada Yosef Hambur, ada juga Heri Ngabut dan beberapa teman lainnya.

Di postulat OFM kami ada kelas pengenalan spiritualitas dan tradisi hidup fransiskan. Salah satu pembina kami waktu itu ialah Bapa Cypri Aur. Kelas beliaulah yang memperkenalkan saya dengan beberapa nama besar. Dalam kelas itu bapa Cypri meminta kami membaca buku Pater Dr.N.G.M. Van Doornik, MSC yang menulis disertasi tentang Fransiskus. Judulnya, FRANSISKUS, NABI BAGI MASA KINI. Buku itu sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh SEKAFI tahun 1976, dalam rangka merayakan 800 tahun gerakan Fransiskus Asisi yang dirayakan dalam beberapa event dan dengan beberapa moto menarik. Salah satu moto yang saya ingat ialah kaos-kaos sederhana fransiskan yang bertuliskan: Einfach Leben wie Franziscus.
Di postulant tidak mudah bagi sasya untuk memahami buku itu. Itu sebabnya di novisiat saya membaca buku itu lagi dengan tekun. Tidak mudah juga, terutama karena munculnya beberapa nama yang belum saya ketahui latar belakang mereka dan urusan mereka dengan bapa Serafik. Akhirnya, sesudah ceramah awal Oktober 1982, saya memberanikan diri lagi mendatangi pater CG di kamarnya dengan membawa van Doornik. “Mau tanya tentang ini Pater.” Dia ambil buku itu. “Hemmm… ini buku tidak mudah. Mau tanya apa?” “Saya bingung pater, karena ada beberapa nama yang ternyata Protestan, Paul Sabatier, Ernest Renan dan G.K.Chesterton, tetapi mereka omong tentang Fransiskus.” “Hehehe…. Fransiskus milik semua orang. Tetapi dua nama tadi memang mau “merebut” Fransiskus dan menjadikannya orang bebas dan kalau sudah bebas, dijadikan Protestan. Chesterton, itu Katolik, melawan mereka. Begitu. Van Doornik itu seperti dalang dalam buku ini. Mula-mula ia tampilkan Sabatier dan Renan, kemudian ia tampilkan Chesterton.” “Oh begitu.” Saya tertegun. “Sudah.” Kata pater lagi. Itu pertanda saya harus pulang. “Terima kasih pater,” kata saya sambil keluar.

Setelah penjelasan singkat pater CG akhirnya pemahaman saya semakin jelas. Nama besar sejarawan dan teolog protestan Perancis P.Sabatier. Juga nama besar filsuf, E.Renan. Juga Perancis. Kedua orang ini mempunyai agenda yang sama, mau melepaskan Fransiskus dari “cengkeraman” Gereja Katolik Roma, terlebih dari tahta suci kepausan. Klaim mereka tidak main-main. Terutama P.Sabatier, sebagai ahli sejarah dan teologi, mengatakan bahwa sebenarnya Fransiskus itu bukan Katolik. Ia adalah sosok pembaharu yang bergerak bebas di luar sistem lembaga, bertiup seperti hembusan angin ke mana saja ia mau dan dari mana saja ia datang. Nah, proses romanisasi, vatikanisasi, dan bahkan klerikalisasi Fransiskus Asisi terjadi mula-mula melalui Uskup Asisi, Guido, dan kemudian melalui Kardinal Hugolino yang berperan sebagai Cardinal Protector bagi gerakan Fransiskus. Kalau semua hal itu tidak ada, maka Fransiskus adalah orang bebas, di luar system, apalagi system Roma. Kira-kira begitu pendapat Sabatier yang didukung Renan. Itu sejauh yang saya tangkap dan pahami.

Berkaitan dengan klaim kedua pakar Protestan tersebut, muncul nama besar lain yaitu Gilbert Keith Chesterton. Dengan lantang suara Chesterton ini ditampilkan van Doornick dengan kurang lebih mengatakan bahwa Fransiskus, sejak dini adalah Katolik Roma. Atas kehendaknya sendiri, dan dengan tuntunan dan ilham Roh Kudus ia meminta bimbingan tahta suci, dalam bentuk Cardinal Protector agar tidak menyimpang. Adalah inisiatif Fransiskus sendiri yang dengan susah payah datang ke Roma (jalan kaki lho) untuk meminta tuntunan dan bimbingan. Hal itu sangat perlu mengingat saat itu ada banyak sekali gerakan kaum penitent yang mirip Fransiskus, tetapi membangkang dan karena itu menyimpang dari gereja Roma yang kudus. Salah satu kelompok yang terkenal ialah yang berasal dari Perancis selatan yaitu Kaum Albigensians (Cathari). Di Italia sendiri terkenallah Petrus Waldo yang mengawali gerakan “gereja” Waldensians yang bersamaan dengan gerakan Fransiskus merayakan 800 tahun beberapa tahun silam. Chesterton dengan gigih mengatakan Fransiskus adalah tokoh katolik sejati. Pendapat itu sejalan dengan banyak ahli fransiskanologi lainnya yang amat menekankan ketaatan Fransiskus kepada Bapa Suci. Kalau tiga abad kemudian, Ignatius dari Loyola juga mencanangkan ketaatan kepada Tahta Suci sebagai salah satu ciri khasnya, maka hal itu sudah diupayakan oleh Fransiskus atas kesadaran dan kemauannya sendiri untuk menempatkan seluruh hidup dan gerakannya dalam naungan dan dekapan jubah uskup sebagaimana disimbolkan dengan sangat baik oleh peristiwa di alun-alun Asisi, di mana saat Fransiskus menanggalkan semua busana bapanya, lalu ia dirangkul oleh uskup Guido dengan jubah kebesarannya sebagai uskup. Dengan itu Fransiskus berada di bawah tahta suci. Tidak bisa direbut oleh Sabatier dan Renan. Direbut dalam rangka untuk dijadikan protestan.

Di sini saya tiba-tiba teringat akan peristiwa di awal-awal kematian Fransiskus. Ada beberapa buku sumber riwayat hidup yang menceritakan bahwa jenazah Fransiskus pernah jadi rebutan antar kota agar dikuburkan di kota mereka. Tetapi akhirnya, Asisi, kota kelahirannya yang menang, dan ia memang lahir di sana, meninggal di sana, dan dimakamkan di sana, tetap dalam dekapan tahta suci, dalam dan melalui contoh teladan ketaatannya yang tidak terbantahkan kepada Roma, ROME SWEET HOME.

Wednesday, May 6, 2020

ATG: MENEBAK TULISAN TANGAN GROENEN

Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen dan Peneliti FAKULTAS FILSAFAT UNPAR, Bandung.




Pada tahun 1986-1987 merupakan tahun paling sulit dan berat dalam hidup saya sebagai seorang mahasiswa. Sebab pada kedua tahun itu kami, setidaknya itulah yang saya alami, harus menulis dua skripsi. Yang pertama, skripsi untuk BA Filsafat yang harus saya selesaikan dan serahkan di STF Driyarkara Jakarta. Pada saat itu, saya masih ingat dengan sangat baik, saya dibimbing oleh Pater Alex Lanur OFM. Saya menulis sebuah skripsi kecil dan sederhana dengan judul Ateisme dan Pembebasan. Walaupun itu sebuah skripsi yang kecil dan sederhana, tetapi tetap memerlukan dan mengerahkan energy dan pemikiran yang tidak sedikit, karena harus membaca beberapa buku, harus berdialog dalam proses pembimbingan dengan dosen pembimbing. Bahkan sempat saya hampir batalkan judul itu karena dikritik keras oleh pater Vicente yang saat itu menjadi pemimpin kami di biara Fransiskus Kramat. “Tema itu tidak cocok dengan hidup rohani”, begitu kata pater Vicente kepada saya memberi alasan. Saya mencoba membela diri dengan mengatakan bahwa topik itu sangat saya sukai. Tetapi ya, akhirnya, dengan bantuan pater Alex, saya boleh meneruskan menulis skripsi dengan tema itu. Belum lagi harus berjuang mengantre agar mendapat giliran mesin tik.

Terpaksa harus mengetik di malam hari agar tidak diganggu oleh teman lain yang juga membutuhkan jasa mesin tik itu. Tetapi masalahnya kalau ketik di malam hari, maka suara mesin tik itu akan terasa semakin nyaring di tengah kesunyian malam hari. Tetapi saya tidak pernah kehabisan akal. Biarpun ada cerita serem tentang ruang perpustakaan di biara Fransiskus di Kramat saya tidak takut. Dengan bekal sebungkus rokok gudang garam merah, saya melewatkan malam di sana. Untuk meredam bunyi mesin ketik, maka mesin ketik pun saya alas dengan bantal yang tebal. Bantal itu membantu meredam bunyi mesin tik sehingga tidak mengganggu teman-teman yang lain yang sedang tidur dan mungkin juga sedang bermimpi.

Setelah skripsi selesai saya serahkan ke tata usaha di STF. Dengan itu maka kami pun bisa mengikuti ujian. Puji Tuhan, saya lulus. Setelah tamat dari STF kami pindah ke Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta. Setelah mulai kuliah di sana, ternyata lagi-lagi kami semua diminta untuk menulis skripsi lagi sebagai syarat agar bisa pergi menjalankan Tahun Orientasi Pastoral. Nanti setelah selesai dan pulang dari program TOP kami bisa naik langsung ke persiapan untuk pendadaran Bachaloreat teologi. Mendengar cerita dan kesaksian para senior, serem rasanya mendengar dan membayangkan ujian pendadaran Bachaloreat teologi. Oleh karena itu kami sering memplesetkanya menjadi Bakalruwet teologi, teologi bakalruwet. Hehehehehe…. Dan memang dalam faktanya banyak juga teman yang pusing dan bingung karena keruwetan itu.

Nah pada saat akan menulis skripsi itu saya meminta Pater Cletus Groenen untuk menjadi pendamping dan pembimbing skripsi saya. Dan puji Tuhan, dia menyetujuinya. Judul skripsi saya itu ialah Praksis Perdamaian Fransiskus Asisi. Sebelumnya saya mengajukan judul Konsep Perdamaian Fransiskus Asisi. Tetapi Pater Groenen mengkritik judul itu. Menurut dia bahwa yang bisa kita telusuri hanya praksis hidup, bukan konsep. Praksis itu empiris. Konsep itu teoretikus. Dan Fransiskus bukan homo theoreticus. Kita berharap agar moga-moga via praksis, dengan menelusuri praksis akhirnya nanti kita bisa mencapai sebuah konsep, sebuah gagasan. Tidak terbalik. Akhirnya saya menerima saja pandangan beliau sebagai pembimbing. Tidak boleh membangkang dari awal. Hehehehe…. Nanti repot. Walaupun dalam hati saya ingin sekali mendebat beliau dengan mengatakan bahwa konsep yang ingin saya cari juga via penelusuran praksis hidup kok pater. Tetapi sudahlah. Saya diam saja. Daripada dia nanti ngambek, dan tidak mau lagi menjadi pembimbing saya. Eh ngambek. Belum pernah dengar sih cerita tentang itu.

Nah, di dalam proses diskusi dan bimbingan itulah saya mengalami sangat banyak kesulitan yang tidak mudah. Kesulitan yang paling sering saya alami ialah bahwa saya tidak mudah membaca tulisan tangan Pater Cletus. Ia menulis dengan cepat-cepat sehingga ada banyak huruf yang sudah tidak bisa dibaca lagi. Biasanya pater Cletus catatan koreksi dan catatan kritik yang panjang. Terima kasih untuk hal itu, sehingga saya bisa maju di dalam studi dan penelitian saya. Luar biasa membantu dan memperkaya saya. Catatan-catatan beliau membantu memperdalam eksplorasi saya.
Saya berpikir, daripada saya terus menerus mengganggu dia untuk tanyakan ini dan itu terkait dengan skripsi saya ini, maka saya memutuskan untuk mencoba menerka apa yang ia maksud dengan bentuk huruf-huruf tertentu. Kalau sudah ketemu cara baca yang kiranya saya anggap tepat, maka biasanya saya memberi koreksi atas tulisan tangan beliau lalu saya rekonstruksi ulang catatan kritis dia pada kertas lepas tersendiri. Ya, saya berusaha menerka dan menebak apa yang ia maksud dengan bentuk huruf-huruf tertentu. Saya harus mengakui bahwa hal itu sama sekali tidak mudah.

Dalam saat-saat seperti itu saya membayangkan seorang Bapa Tua yang membantu mengetikkan naskah-naskah tulisan tangan pater Groenen. Kalau bapa tua yang tinggal di mBener, Pingit itu tidak bisa membaca tulisan tangan pater Gronen, maka dia pasti mencoba menerka saja apa yang pater maksudkan. Sebab tidak mungkin bapa tua itu datang tiap hari untuk mengkonfirmasi huruf-huruf tertentu dengan bersepeda dari mBener. Maka langkah “menebak dan menerka” seperti itulah yang saya lakukan. Saya mencoba menerka dari pola huruf dan gerak tangannya. Dan puji Tuhan dalam cukup banyak kasus rasanya saya berhasil membaca atau menebak tulisan tangan dia.

Tetapi pada suatu hari saya menemukan sebuah catatan-catatan yang benar-benar kabur. Saya tidak bisa baca sama sekali. Saya benar-benar bingung. Berulang-ulang kali saya mencoba menerka dengan cara membandingkan dengan huruf-huruf dari bagian-bagian lain dari catatan-catatan dia, tetapi tetap saja tidak bisa. Maka tidak ada jalan dan cara lain. Selain harus datang ke kamar beliau, mengganggu kontemplasi dia di dalam buku-buku. Ya, akhirnya saya datang dengan berani mengetuk pintu kamarnya. Setelah masuk, saya sodorkan kepada dia: “Bagaimana bacanya tulisan yang ini Pater?” Saya menunjuk pada bagian tertentu. Dia mengambil kacamatanya dan mencoba membaca tulisan tangannya sendiri.

Jidatnya mengernyit. Tetapi ia berusaha. Akhirnya: “Ah Frans, saya juga tidak bisa baca lagi saya tulis apa ini?” Dia pun tertawa terbahak-bahak. Saya juga ikut tertawa. “Tetapi sekarang kamu tulis ya. Ini yang saya maksudkan dengan catatan di bagian ini.” Lalu ia diktekan. “Begitu.” Katanya setelah selesai. Saya lega. Lalu saya kembali ke kamarku. Ya hermeneutika imajinasi amat perlu. Bapa tua itu punya hal itu.

Saturday, May 2, 2020

ORANG KUDUS PROTESTAN VS ORANG KUDUS KATOLIK

Oleh: Fransiskus Borgias



Dua hari yang lalu, saya memposting di sini sebuah cerita yang pernah saya dengar dari Pater Nico Syukur Dister OFM, saat dulu masih di biara (eh aku pernah di biara soalnya, wkkkk... ga ada yang nanya ah... biarin... saya sendiri kok yang mau kasih tahu). Masih ada beberapa lagi cerita lucu-lucu yang saya dengar dari beliau, tentu saja di samping cerita-cerita yang serius. Tetapi saya masih mau menunda untuk menceritakannya.

Tetapi pada pagi hari ini, setelah pulang dari olah raga pagi, saya membuka HP ku dan langsung melihat ada WAG TERAS KRAMAT paling atas. Berarti WA yang masuk di sana paling baru. Maka saya langsung membukanya. Dan betul saja. Ternyata sejak kemarin dan tadi malam, para saudara OFM memposting beberapa video yang asyik-asyik, berupa rekaman beberapa lagu yang indah-indah.

Dan pagi ini, dalam rangka Minggu panggilan, mereka menampilkan sebuah video yang benar-benar mengagumkan dan mengharukan bagi saya. Mereka mewawancarai kesaksian pengalaman panggilan hidup pater Nico Dister. Wow... saya senang sekali. Saya bisa melihat pater Nico dalam keadaan sehat-sehat, segar dan selalu gembira dan optimis. Saya bisa mendengar suaranya yang khas dan sangat berwibawa. Walau hanya bisa melihat dan mendengar melalui video, tetapi saya sudah merasa sangat senang luar biasa.

Karena itu saya pun memutuskan untuk tidak lagi menunda-nunda menceritakan cerita yang pernah saya dengar dulu waktu di postulan Pagal tahun 1981 saat pater Nico datang memberi rekoleksi kepada kami di sana. Begini ceritanya.

Di Jerman sana ada dua orang yang bersahabat erat satu sama lain, walaupun mereka berbeda gereja, beda agama. Yang satu pendeta protestan, yang lain seorang imam Katolik. Mereka sama-sama punya jenggot yang lepat. Sebagai orang Jerman mereka juga punya hobby yang sama, minum bir dengan gelas besar-besar dan berbusa-busa, sampai nyangkut di jangkut Harun gitulah...

Pada suatu hari mereka sedang minum bir berdua. Pada saat minum Bir itu, tiba-tiba pendeta protestan itu berkata: "Hai pater, biarpun dalam gereja Katolik ada banyak orang kudus, tetap saja kami orang Protestan mempunyai orang kudus jauh lebih banyak."

Dengan tenang pater itu menjawab: "Saya tidak yakin begitu ah." "Kalau tidak percaya," kata pendeta itu, "mari kita buktikan saja." Tanpa ragu pastor itu menerima tantangan itu. "Tetapi bagaimana cara membuktikannya?" tanya pastor itu. "Gampang kok." Jawab pendeta itu. "Kita sebut satu persatu nama orang kudus kita masing-masing, dan satu nama orang kudus, satu jenggot dicabut." "Oke" jawab pastor itu mantap. Hemmmm satu jenggot untuk satu nama orang kudus. Gumam pastor itu dalam hati.

Lalu mereka gambling untuk menentukan siapa yang dicabut duluan. Ternyata bapa pendeta menang. Jadi dia yang duluan menyebut daftar orang kudusnya dan mencabut jenggot bapa pastor. Pastor itu pun duduk dengan tenang menantikan saat-saat derita itu. Bapak pendeta masuk ke dalam untuk mengambil Alkitab. Lalu dia mulai membuka dari Kitab Kejadian. Pokoknya semua nama yang ada dalam kitab suci, karena ada dalam kitab suci, walaupun mereka pendosa, ya sudah orang kudus semuanya.

"Adam, Hawa," dua jenggot copot. "Kain, Habel." empat. Kain, itu tadi, walau pendosa, pembunuh, ia orang kudus karena namanya ada dalam Kitab Suci. Begitu seterusnya, sesudah kitab Kejadian, lalu Keluaran, pokoknya selesai Perjanjian Lama. Pada saat selesai PL, bapa pastor sempat memegang jenggotnya yang sudah menipis. Ia sempat cemas juga, nanti jenggotnaya habis di pertengahan PB. Tetapi ia menguatkan hati. Lalu masuk ke dalam Perjanjian Baru. Nama-nama tokoh Perjanjian Lama di dalam silsilah Yesus disebut kembali karena muncul dalam daftar baru. Beres dari Matius sampai Wahyu. Begitu selesai kitab Wahyu, bapa pendeta berkata, "sudah selesai. Tidak habis sih, tetapi sudah sangat tipis jenggotmu." Bapa pendeta merasa bakal menang karena ia merasa jenggotanya lebih tebal.

Lalu tiba giliran bapa pastor. Bapa pendeta duduk tenang. Menunggu saat penderitaan itu. Karena sama-sama punya alkitab yang sama, pastor itu juga membuka kitab itu. membaca nama-nama itu satu per satu. Dari Kejadian sampai Maleakhi. Sampai di situ, bapa pendeta tetap senyum optimis karena jenggotnya masih tebal. "Sabar bapa pendeta. Saya tidak langsung ke PB lho seperti anda. Saya masih punya 9 kitab dalam daftar Deuterokanonika." Bapa pendeta mau protes, tidak bisa karena memang itulah kitab orang Katolik. Maka mulai cemaslah bapa pendeta.

Setelah selesai Deuterokanonika, barulah bapa Pastor masuk ke dalam PB, dari Matius sampai Wahyu. Saat sudah selesai surat-surat Paulus, bapa pendeta sempat meraba-raba jenggotnya dan masih ada alasan sedikit untuk optimis menang sampai di finis akhir kitab Wahyu.

Begitu sampai di nama terakhir dalam kitab Wahyu, bapa pendeta sudah mulai menampakkan senyum sumringah karena merasa bakal menang. Ia melihat di cermin, jenggot dia masih lebih banyak dari sisa jenggot bapa pastor. Tetapi bapa pendeta salah sangka. Tanpa disangka-sangka, selesai daftar Alkitab, bapa pastor mengambil kalender Liturgi. "Bapa pendeta, setiap hari dalam penanggalan liturgi kami, ada masing-masing orang kudusnya yang dirayakan, dipestakan, ataupun sekadar diperingati.

Bapa pendeta mau protes, tetapi tidak bisa karena dia tahu memang begitulah liturgi orang Katolik. Bapa pastor muali sebut satu persatu nama orang kudus mulai dari tanggal 1 Januari sampai 31 Januari. Lalu Februari, lalu Maret, Lalu April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober. Saat memasuki Oktober, bapa pastor membaca nama-nama santo-santa itu secara perlahan-lahan untuk menciptakan situasi dramatis. Akhirnya sampai pada tanggal 31 Oktober. Di tanggal itu, jenggot bapa pendeta sudah tinggal sedikit di ujung dagunya yang memang sengaja dicabut seperti itu oleh bapa pastor sehingga tampak seperti jenggot kambing.

Begitu memasuki tanggal 1 November, jenggot yang sisa sedikit itu, dipegang sekaligus oleh bapa pastor. Sambil berkata: "Pesta Segala Orang Kudus," jregggg.... cabut sekaligus, tidak bersisa. "Nah, bapa pendeta, bapa lihat sendirikan, baru tanggal 1 November jenggot bapa sudah habis. Saya belum sampai tanggal 31 Desember lho." Dengan muka mesem, akhirnya bapa pendeta ngaku kalah. ternyata orang kudus dalam gereja katolik jauh lebih banyak. hahahahahaha.... tertawalah... jangan ada yang murka... gereja dan menggereja juga harus penuh tawa dan canda juga dalam relasi antara pastor dan pendeta... hehehehe....

Saturday, April 25, 2020

TRAGEDI TAMBANG

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen dan peneliti pada Fakultas Filsafat UNPAR Bandung.




Sudah seminggu belakangan ini saya menayangkan tulisan tentang dua misionaris SVD (J.Verheijen dan E.Schmutz) yang meneliti flora dan fauna Manggarai. Mereka merekam keindahan flora-fauna Manggarai dalam hasil penelitian mereka. Sekarang keindahan itu terancam. Hari-hari ini ketenangan orang Manggarai diaspora terusik karena terdengar kabar dari kampung halaman bahwa punggung bumi pulau kecil itu akan terancam oleh alat-alat garuk dan bor raksasa yang ganas dari perusahaan-perusahaan tambang. Beberapa kelompok aktifis anti-tambang seperti JPIC-OFM Indonesia dan JPIC lain di Manggarai Raya, mulai bereaksi dengan menyuarakan suara mereka. Inilah suara saya yang bukan siapa-siapa. Tetapi saya merasa perlu bersuara agar ancaman itu tidak terjadi.

Ketika menulis artikel singkat terkait hal ini tiba-tiba saya teringat sebuah pengalaman beberapa tahun silam pada tanggal 24 April 2013, saat sedang menempuh pendidikan doctoral di ICRS-Yogyakarta. Saat itu saya mengikuti rangkaian kuliah di Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) tentang persoalan agama dan fenomena serta fakta kemiskinan. Selesai kuliah, saya mengunjungi toko buku koperasi mahasiswa. Di sana saya temukan buku kecil. Judulnya menarik: Datang, Gali, Pergi, suntingan Eko Teguh Paripurna dan Siti Maemunah (Penerbit Intrans-press publishing, 2012). Dua minggu sesudah itu, saya menonton acara televisi tentang tragedi pencemaran lingkungan akibat tambang mangan di Timor. Debu tambang itu berbahaya bagi kesehatan nafas manusia, terutama anak-anak. Juga berbahaya bagi binatang (fauna), dan tetumbuhan (flora).

Yang menarik dari buku itu adalah tiga kata kerja pada judulnya: Datang, Gali, Pergi. Ketiganya bukan kata-kata kosong, yang tidak mengandung makna atau tidak menyiratkan kesadaran moral jangka panjang dari subjek pelakunya. Para penambang ataupun pemodal (jejaring kapital dan kapitalisme lokal-global) datang ke lokasi tambang. Lalu ada yang menggali. Sebuah percampuran aneh antara pemodal dan buruh yang saling membutuhkan tetapi juga terjadi relasi asimetris karena pemilik modal menindas buruh. Mereka datang entah dari mana; tidak ada yang mengundang; mungkin diundang penguasa yang bersikap praktis dan pragmatis. Mereka datang dengan nafsu merengkuh dan merenggut dan dilengkapi perlengkapan menakutkan dan membungkam orang kecil, lemah dan tidak berdaya.

Setelah tiba, mereka menggali (kata kerja kedua). Itu berarti mengeruk, melubangi, mengebor, menggusur, merusak, merangsek ke punggung dan perut bumi. Ia tidak peduli akibat ekologis dari tindakan penggalian dan pengerukan itu. Para penggali yang diawasi mandor tidak peduli suara protes para aktifis dan pejuang lingkungan hidup. Mereka menyewa orang bayaran (preman) untuk menindas dan mengintimidasi aktifis pembela lingkungan hidup. Dengan bantuan orang bayaran tersebut, para penggali bisa bekerja aman, jauh dari segala gangguan. Hasilnya? Muncul lobang-lobang raksasa. Hutan dan humus tanah tergerus, rusak, dan musnah. Pada musim kering penggalian itu menghasilkan debu tebal menjulang tinggi. Pada musim hujan, ia menjadi lumpur atau becek. Lalu banjir mengancam.

Setelah menemukan yang mereka cari, mereka pergi begitu saja membawa hasil galian. Mungkin selama proses penggalian itu mereka sudah diam-diam mengekspor. Mereka tidak menetap di sana, karena apa yang ia cari hanya tersedia dalam jumlah terbatas dan tidak terbarukan dan tidak berkelanjutan. Biasanya yang mereka cari itu ada dekat permukaan bumi. Maka mudah ditemukan, dan setelah ditemukan mereka kabur begitu saja. Tragisnya lagi, mereka tidak pernah kembali. Orang seperti itu tidak peduli pada punggung dan rahim bumi yang mereka hancurkan dengan nafsu. Hasil galian mereka bawa pergi ke tempat lain; tidak tersisa apa pun bagi orang setempat yang merana tinggal di sana dalam krisis kemanusiaan dan tragedi kemiskinan. Serba suram. Sulit bangkit kembali setelah alam dan lingkungan mereka dilukai dan dirusak dengan ngeri. Begitulah potret suram proses penutupan lobang tambang di Indonesia dan juga di seluruh dunia. Ada yang tidak ditutup sama sekali sehingga menjadi danau kawah. Itu yang terjadi, misalnya bekas-bekas lobang tambang timah (biliton) di Belitung dan Bangka itu.

Saya kembali lagi ke buku itu. Di cover belakang buku itu ada kutipan menarik. Itu adalah ilustrasi yang tepat bagi sikap etis pelaku tambang di manapun di dunia ini. Katanya sbb: “Do not flush. Be like the mining industry and let some one else clean up your waste.” Kalimat ini diambil dari WC. Biasanya setelah membuang air, kita harus membersihkannya agar pemakai berikut tidak jijik. Itu kewajiban yang sangat biasa. Kenyamanan pemakai berikut menjadi tanggung-jawab kita untuk menjaminnya.

Berbeda dengan etika toilet umum itu, kutipan tadi menasihatkan agar kita tidak usah menyiram WC (flush). Begitulah perilaku industri tambang. Mereka pergi begitu saja dan memaksa orang lain membersihkan kotoran dia. Ini kurang ajar, tidak sopan, kotor dan jelek. Tetapi itu yang dilakukan pelaku tambang di mana-mana pun di dunia ini. Kalimat sarkasme di atas tadi diambil dari Montana (USA). Di sana ada duapuluh ribu lobang tambang yang ditinggalkan begitu saja. Lobang-lobang itu kini mengeluarkan gas beracun yang berbahaya. Kini warga yang harus bertanggung-jawab atas hancur dan rusaknya lingkungan hidup. Penggali dan pemodal sudah pergi dan tidak akan kembali. Mereka kabur entah ke mana. Dari situ tampak bahwa mereka tidak membawa kemakmuran sama sekali bagi penduduk setempat. Mereka hanya membawa lobang-lobang menganga yang mengeluarkan gas-gas beracun yang ngeri. Mereka membawa derita bagi penduduk setempat, akibat rusaknya lingkungan hidup, “rumah kediaman” mereka. Orang luarlah yang menimpakan hal itu atas mereka, sementara mereka tidak berdaya menolaknya ataupun menghindar dari hal itu. Tragis. Itu sebabnya Boff mengatakan bahwa tangis bumi adalah tangis orang miskin (cry of the earth, cry of the poor) (Orbis Books 1997).

Setelah menyadari dampak buruk kegiatan pertambangan, maka jangan pernah lagi membiarkan mereka datang, apalagi menggali dan melubangi punggung bumi. Jika hal itu terjadi, pasti mereka akan segera pergi begitu mendapat apa yang mereka inginkan. Mereka akan pergi menggali di tempat lain. Tragedi tambang adalah tragedi bumi, juga tragedi kemanusiaan. Di hadapan kedua tragedi ini kita tidak dapat lagi berdiam diri, bersikap pasif. Sudah jelas bahwa mereka adalah perusak, mereka adalah penghancur kehidupan, mereka adalah pembunuh berdarah dingin. Karena itu, kita harus menghentikan mereka, sekarang ini juga, demi keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan.


Friday, April 24, 2020

CATATAN TENTANG P. J. VERHEIJEN SVD: KATA, BAHASA, DAN KESADARAN EKOLOGIS (BGN III, HABIS)

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen dan peneliti Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung.




Pengantar:
Kemarin sudah ditampilkan potongan kedua dari tulisan ini. Dua hari sebelumnya, ditampilkan bagian pertama. Pada Hari ini saya menayangkan bagian terakhir dari tiga tulisan ini. Dengan ini, catatan saya tentang Fauna Manggarai, berdasarkan jasa besar dan hebat kedua misionaris SVD di atas tadi sudah selesai. Semoga nanti pada kesempatan lain saya masih bisa menampilkan catatan dan hasil studi saya yang lain, STUDIA MANGGARAIANA.



Terep (Teureup, Citeureup?)
Saya juga mau berbicara tentang pohon Terep. Pohon ini dulu dikenal orang Manggarai dengan nama lain. Saya mengenal kata Terep sebagai nama pohon, setelah saya ke Sunda dan menemukan di sana ada tempat bernama ce-Terep dan itu dikaitkan dengan pohon, Terep. Ketika masih di Manggarai dulu, di Cibal, ada kampung Terep, tetapi saya tidak tahu bahwa Terep itu dulunya nama Pohon. Menurut P.Verheijen Terep (kluwih, sukun) tumbuh di Manggarai pada ketinggian antara 100-700m dpl. (Verheijen 1984:34). Biji kluwih atau sukun ini di Manggarai dulu disangrai (cero, sero) dan dimakan. Biji sangat lezat seperti kacang tanah atau biji jambu mete. Getah pohonnya dipakai untuk macam-macam kegunaan seperti menjerat burung (roku), menguatkan sambungan balok rumah. Yang paling banyak digunakan ialah kulit pohon itu. Kulit yang besar dipakai untuk membuat langkok (joreng, cecer), wadah raksasa (berbentuk melingkar, berdiameter minimal satu setengah meter) untuk menyimpan padi. Di beberapa tempat seperti Matawae (Mw?), kulit pohon ini dipakai untuk membungkus (rokot) mayat. Di beberapa tempat untuk pakaian dan tali. Kulit pohon diolah menjadi pewarna alami dalam tenun tradisional (Erb 1999:22;60, footnote no.4).

Tetapi kini di Manggarai pohon ini dikenal dengan nama Lale. Lale ini diabadikan sebagai nama lain untuk Manggarai. Mungkin itu nama asli Manggarai, Nusa Lale, Pulau Lale (Nunca, Nuca Lale; disebut seperti itu karena dulu di sana ada banyak lale; Verheijen 1967:393). Tetapi karena di beberapa tempat, misalnya di Cibal, ada kampung Terep, bagi P.Verheijen, itu adalah bukti historis memadai bahwa dulu kata Terep ini juga pernah dikenal di Manggarai. Kata/nama terep (teureup) inilah yang paling banyak dikenal di beberapa kawasan Nusantara ini (Erb 1999:60). Hanya Manggarai saja, kata Erb, yang memakai kata Lale untuk pohon yang di Nusantara disebut Terep. Hanya tetap menjadi misteri besar ialah mengapa dan bagaimana kata/nama Terep itu hilang di Manggarai sebagai nama pohon lalu diganti Lale.

Beberapa kemungkinan penjelasan hipotetis. Pertama, mungkin Lale adalah nama bawaan suku pendatang (imigrant). Lalu nama itu menjadi nama tempat seperti Lale Lombong dekat Perang, Deket dan Pana. Memang di tempat itu tumbuh Lale, walaupun kini terancam punah karena kayunya ditebang, sebab kayunya kuat dan keras. Jika penjelasan ini diterima maka diandaikan bahwa para pendatang itu pasti berasal dari tempat jauh yang tidak memakai Terep untuk menyebut pohon tadi, tetapi memakai Lale. Tetapi hipotesis ini sulit dibuktikan, kalau diselidiki dari mana asal-usul imigran itu, sehingga mereka tidak mengenal Terep, melainkan hanya mengenal Lale, padahal Terep dipakai di seluruh nusantara. Kedua, mungkin aslinya di banyak tempat nama pohon itu Terep, tetapi karena di tempat itu Terep punah maka orang tidak lagi mengenalnya. Sebagai gantinya orang mengenal Lale apalagi Lale itu diabadikan menjadi Nusa Lale, sehingga nama ini menjadi lebih populer dari pada Terep dalam pemakaian sehari-hari orang Manggarai dan juga dalam ingatan kolektif historis mereka.

Tetapi kedua penjelasan hipotetik ini belum bisa menyingkap misteri perubahan dari Terep ke Lale, karena hanya Manggarai yang mengenal Lale, sementara tempat lain tidak. Boleh jadi, Lale adalah kata asli Manggarai, bukan bawaan imigran. Jika ini benar, mungkin kita harus memikirkan ulang mengenai hipotesis asal-usul sebagian suku Manggarai yang konon berasal dari luar. Boleh jadi nama Lale itu berasal dari orang Manggarai “asli” yang tidak berasal dari luar, melainkan sudah ada di sana sejak purbakala. Entahlah. Semoga di masa depan, dengan studi perbandingan linguistik historis yang jauh lebih baik kiranya ada peneliti muda Manggarai yang bisa menyingkapkan hal ini. Dalam kasus Terep ini kita temukan fakta bahwa kata dan bahasa mampu merekam data dan fakta historis masa silam.


The Angry Earth: Sebuah konklusi ekologis
Di atas ada studi singkat atas fenomena kata atau nama tempat di Manggarai, yang merupakan nama tumbuhan (pohon dan rumput). Kini tumbuhan itu tidak ada lagi (witu dan lesem) atau nama itu lebih populer dikenal dengan nama lain (terep). Selama ini aktifitas ekonomis Manggarai, selain pertanian dan peternakan skala kecil, hanya berdagang. Hasil bumi dan alam diambil untuk perdagangan dan konsumsi sehari-hari. Skala dampak ekologis dari aktifitas itu tidak seberapa, walaupun tetap ada dampak ekologis. Mungkin dulu di Manggarai ada cendana, haju benge (Hemo 1987/88:35-36). Tetapi kini pohon itu punah karena eksploitasi sebagai side efek dari perdagangan internasional yang merambah ke kawasan Nusa Tenggara itu (Parimartha 2013; Pelras 2006; Toda 1999; Erb 1999).

Bayangkan kalau aktifitas ekonomis itu adalah eksplorasi tambang yang brutal. Berapa yang terancam punah? Kiranya yang punah bukan hanya flora dan fauna. Juga manusia. Sebab manusia hidup bersama Flora dan Fauna. Manusia adalah bagian utuh dari flora dan fauna. Kalau flora dan fauna musnah manusia pun punah juga. Tinggal tunggu waktu. Itu sebabnya saya ingatkan kita akan kesadaran ekologis baru. Saya berharap agar nama-nama pohon dan rerumputan yang kini hilang, tetapi yang kini tersimpan dalam daya rekam bahasa, bisa membangkitkan kesadaran ekologis kita.

Rekaman linguistik itu menyimpan bencana historis di masa silam. Diharapkan rekaman itu, bisa membangkitkan kesadaran kita akan bencana ekologis di masa yang akan datang jika kita tidak berhati-hati merawat Ibu Bumi. Dalam ritual kesuburan asli Manggarai, bumi disebut Ende Wa (Ibu di Bawah, bumi dan segala isinya) dengan pasangan Ema Eta (Bapa di Atas, langit, matahari) (Verheijen 1991:41-42; Erb 1999:22; Borgias 2016). Jika kita tidak perlakukan Ende Wa dengan baik, Ema Eta akan marah dan mendatangkan bencana ekologis bagi semua makhluk yang lahir dari rahim pertiwi ini, seperti disarankan Anthony Oliver-Smith and Susanna M.Hoffman (editor), yang menerbitkan The Angry Earth (Bumi Murka). Bumi tidak hanya marah. Menurut L.Boff, Bumi juga menangis. Tangis bumi, tangis orang Miskin. Cry of Earth, Cry of the Poor. Mari kita menjaga jangan sampai Bunda Bumi, menangis dan marah kepada kita. Kita yakin, sebagaimana dikidungkan Fransiskus dalam Gita Sang Surya-nya yang terkenal itu, Ibu Bumi yang memberi kita makan dan kehidupan dengan menumbuhkan pelbagai tumbuhan. Jika ibu bumi rusak, maka rusaklah sumber makanan, sumber hidup kita. Betapa itu menyeramkan. (Habis).

Thursday, April 23, 2020

CATATAN TENTANG P. J. VERHEIJEN SVD: KATA, BAHASA, DAN KESADARAN EKOLOGIS BGN II

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Dosen dan peneliti Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung.


Pengantar
Kemarin sudah ditampilkan bagian pertama dari tulisan ini. Sekarang bagian kedua.


Witu, Werwitu
Pertama, kata Witu. Jujur saja, saya tidak tahu kata ini, apalagi sebagai nama rumput di Manggarai (dan Ende, sebagaimana diinformasikan P.Verheijen). Saya juga belum pernah mendengar tempat bernama Witu di Manggarai. Tetapi menurut studi linguistik-botani-biologi dari P.Verheijen, Witu adalah nama rumput yang hilang dalam pemakaian bahasa sehari-hari di Manggarai. Mungkin rumputnya masih ada, tetapi dewasa ini rumput itu disebut dengan nama lain. Sekarang orang Manggarai tidak tahu bahwa dulu ada rumput bernama Witu tetapi kini sudah punah. Secara fisik sudah tidak lagi ada bekasnya, tetapi eksistensinya terekam secara linguistik dalam bahasa. Tetapi P.J.Verheijen SVD bisa “menemukannya” lagi. Ia membuktikan bahwa dulu rumput itu pernah ada di Manggarai. Bagaimana caranya? Kita tahu bahwa P.Verheijen mengumpulkan banyak cerita rakyat Manggarai, menyusun kamus bahasa Manggarai, meneliti flora dan fauna Manggarai bersama P.Erwin Schmutz (Pater Erwin Schmutz, 1977-1980. Die Flora der Manggarai, 5 vols.). Kedua orang ini adalah pastor biasa, tetapi mempunyai perhatian khusus dalam bidang bahasa dan botani.

Dalam penelitian ini, P.Verheijen menemukan kata Manggarai berupa nama tempat (geographical names, toponym). Tetapi saat ia temukan, ia tidak tahu arti kata itu. Orang setempat pun tidak tahu artinya. Ada tempat bernama Liang Witu (North Riwu, Riwu Utara), juga Purang Witu (diduga di Todo). Ada juga nama tempat Werwitu (diduga di Lambaleda). Ada juga Liang Witu, artinya Gua Witu. Purang Witu artinya Kubangan Kerbau bernama Witu. Tetapi apa itu Werwitu? P.Verheijen, dalam studinya, menduga bahwa mungkin Werwitu itu aslinya Wae Witu. Tetapi dalam proses pengucapan singkat (the split of the tongue), lalu menjadi Werwitu. Jika ini benar maka Werwitu itu berarti Sungai Witu, atau tempat di dekat Sungai Witu.

Lalu dari mana dan atas dasar apa P.Verheijen yakin bahwa nama-nama itu aslinya adalah nama rerumputan? P.Verheijen menemukan hal itu lewat studi perbandingan linguistik (comparative linguistic) berdasarkan kunjungan risetnya ke beberapa daerah lain di luar Manggarai. P.Verheijen juga melakukan perjalanan keliling di beberapa tempat di Flores dalam rangka melakukan studi perbandingan linguistik. Di Ngadha dan Ende ia temukan kata Witu sebagai nama rumput (Latin: Saccharum spontaneum). Di East Sumba, rumput itu, selain disebut witu juga ada varian wicu, wucu, wusu. Di Sawu ada varian widu yang artinya ialah “rumput alang-alang” (Imperata cylindrica). Di Dawan, Eban di WTimor ada juga witu untuk nama rumput (Latin: Oplismenus sp..).

Atas dasar studi perbandingan itulah P.Verheijen menyimpulkan bahwa kata witu, yang tidak diketahui lagi artinya di Manggarai, tetapi yang tersimpan sebagai toponim di tempat lain, adalah nama rumput dulu di Manggarai dan kini hilang. Walau rumput itu punah, tetapi keberadaannya secara historis terekam dan bisa ditemukan kembali sebagai kosa kata NTT (tidak hanya di Manggarai). Kata itu, dalam artian asli, kini bisa ditemukan di tempat lain. Itulah keajaiban kata dan bahasa, yaitu menyimpan data historis masa silam. Berdasarkan rekaman kata Witu (sebagai nama tempat), kita bisa mengetahui bahwa di masa silam Manggarai, pernah ada sejenis rumput yang disebut Witu oleh orang setempat, dan kini hilang.


Lesem, Lecem, Leseng, Leceng
Selain kata Witu, P.Verheijen juga menemukan nama pohon buah-buahan yang kini tidak ada lagi di Manggarai. Tetapi namanya tetap disimpan sebagai nama tempat (toponim, geographical name), yaitu persisnya sebagai nama Kampung. Yang dimaksud ialah Lesem atau Lecem yang terletak di Cibal Utara. Saya harus mengakui bahwa saya tidak tahu jenis pohon Lecem atau Leseng ini. Yang saya tahu hanya bahwa itu adalah nama kampung di Cibal utara. Lecem adalah pohon buah-buahan liar di hutan, tidak dibudi-dayakan (Latin: Spondias malayana). Di Manggarai Barat dan Komodo pohon ini dikenal dengan nama leseng (Kmd: Komodo?); di Mw (Matawae?) pohon ini dikenal dengan nama Leceng. Tetapi dalam Kamus Manggarai P.Verheijen, tidak ada kata Lecem. Yang ada hanya Letjeng (Leceng): nama buah yang asam (kecut) (Verheijen 1967:278).

Di tempat lain kata itu sudah tidak lagi dikenal sebagai nama pohon melainkan sebagai nama tempat atau kampung (toponim, geographical name). Misalnya di Patjar (Pacar) dan di Riung barat ada kampung bernama Lesem dan di Cibal ada kampung bernama Lecem. Menurut P.Verheijen, saat ia bertanya tentang arti kata Lecem ini di Cibal atau di Riung, tidak ada lagi orang setempat yang tahu arti lecem/lesem/leceng itu dalam bahasa lokal. Orang juga tidak mengenal pohon Lecem atau Lesem. Tetapi P.Verheijen tidak ragu menyimpulkan bahwa nama pohon ini dulu pernah dipakai di tempat-tempat tadi ketika pohon itu masih hidup di sana. Bahkan kampung itu diberi nama demikian karena dulu di sana pernah tumbuh pohon Lesem. Untuk memastikan hal ini, masih harus dipelajari dengan teliti cara dan pola pemberian nama tempat dalam tradisi Manggarai. Salah satu polanya ialah dengan mengaitkan tempat itu dengan pohon atau rumput apa yang tumbuh di atasnya. Pasti ada cara lain seperti penjelasan mitologis, atau penjelasan berdasarkan nama tokoh yang pernah berperan dalam sejarah masa silam tempat tertentu.

Jadi eksistensi pohon itu diabadikan dalam nama tempat (geographical names, toponym) (Verheijen, 1984:37). Dalam catatan kaki P.Verheijen mengatakan bahwa tidak lama sesudah kebingungan awali itu, di kampung Lecem Cibal Utara, ada orang yang kemudian mengaku bahwa dia mengenal pohon Lecem itu. Bagi Verheijen, klaim pengenalan itu tidak mengubah kenyataan bahwa pohon itu sudah tidak ada lagi dalam fakta, juga tidak ada lagi bahkan dalam ingatan kolektif komunitas; eksistensi historisnya sekarang hanya terekam sebagai toponym belaka. Ia juga tambahkan informasi penting bahwa di Cibal ada kampung bernama Teni, tetapi tidak ada seorang pun di sana yang tahu bahwa teni itu adalah nama tumbuhan kategori umbi-umbian (tuberous plant). Walau di Cibal khususnya di Teni, orang tidak mengenal lagi teni sebagai umbi, tetapi Teni sebagai nama umbi masih dikenal di South Lamba-Leda (Verheijen 1984:78). Atas dasar temuan linguistitik perbandingan di Lamba-Leda itulah, Verheijen bisa memastikan mengenai arti Teni itu juga di tempat lain, termasuk di Cibal. (Bersambung...)

Wednesday, April 22, 2020

CATATAN TENTANG P. J. VERHEIJEN SVD: KATA, BAHASA, DAN KESADARAN EKOLOGIS

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Dosen dan peneliti Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung.



Pengantar Singkat:
Tahun 2017 saya pernah menulis artikel panjang yang saya terbitkan di Academia. Apa yang saya sajikan di sini hanya ringkasan ringan dari artikel tersebut.


Mungkin kita menganggap remeh studi dan riset linguistik para ahli linguistik karena kita tidak tahu apa yang mereka kerjakan. Kita tidak menyadari kegunaan dan aplikasi praktis dari studi mereka. Tetapi kita tidak dapat menyepelekan penelitian linguistik itu. Penelitian inipun bisa menghasilkan temuan cemerlang, yang bisa memberi sumbangan terhadap ilmu, kebudayan, dan kemanusiaan.

Misalnya hasil penelitian linguistik P.Jilis Verheijen SVD di Manggarai. Walau dia “hanya” pastor misionaris dan bukan ahli linguistik, tetapi dia telah melakukan penelitian terhadap bahasa Manggarai. Bagi orang yang menaruh minat besar terhadap antropologi, studi pater Verheijen itu amat penting. Berdasarkan studi beliau tentang nama tetumbuhan di Manggarai, muncul kamus nama tetumbuhan (Verheijen 1982). Kita dapat menemukan dua kategori temuan ajaib. Pertama, kita menemukan nama kuno dari tetumbuhan tertentu karena kini kata itu tidak dipakai lagi sebagai nama tetumbuhan, melainkan hanya sebagai nama tempat (toponim). Kedua, kita juga dapat menyingkapkan nama tetumbuhan yang diduga punah, tetapi kini masih dilestarikan sebagai nama tempat ataupun nama kampung tertentu. Contoh-contoh akan diberikan pada waktunya nanti.


Rekam Jejak Masa Silam Dalam Bahasa
Hal itu mungkin terjadi karena kata Pater Verheijen dalam bahasa-bahasa tersimpan sejumlah data historis masa silam yang bisa menyingkapkan misteri masa silam itu bagi masa kini dan masa depan (1982:34). Kita bisa temukan dalam “rekaman” linguistik itu nama tetumbuhan yang kini tidak lagi digunakan orang karena ada nama baru yang lebih popular. Tetapi popularitas nama baru itu tidak menggusur nama lama, nama arkais tadi. Dalam konteks bahasa yang tidak tertulis seperti Manggarai, proses kehilangan seperti itu hanya dapat ditunjukkan dengan beberapa contoh. Semuanya masih sangat terbatas. Tetapi dari yang terbatas itu, kita masih bisa menyingkapkan masa silam dengan baik.

Munandjar Widiyatmoko, dalam Cendana, dan Dinamika Masyarakat Nusa Tenggara Timur (2014:3-4) mengatakan bahwa dulu cendana tumbuh di sebagian besar pulau utama NTT (Flores, Sumba, Timor, Alor). Cendana dikenal dengan pelbagai nama. Di Manggarai disebut haju benge (Hemo 1987/1988:38). Tetapi akibat perdagangan internasional, kayu itu punah dari beberapa pulau utama di NTT. Kini hanya tersisa di Timor sehingga dewasa ini hanya Timor yang dikenal sebagai pulau Cendana. Sedangkan pulau lain (Flores, Sumba, Alor) hanya tinggal kenangan historis masa silam. Peristiwa kepunahan dalam sejarah masa silam NTT, tidak hanya menimpa Cendana saja. Masih ada cukup banyak jenis tetumbuhan, pepohonan lain yang sudah mengalami nasib yang sama, hanya mungkin belum terungkapkan dalam sebuah penelitian, maupun dokumentasi tertulis. Hal ini masuk akal karena NTT, menurut Parimartha (2002:181-255;363-364), berada di jalur perdagangan laut internasional sejak dahulu hingga kini. Cendana punah dari beberapa pulau NTT karena efek perdagangan internasional tersebut. Banyak orang datang mencarinya, menebangnya dan mengangkutnya untuk dipasarkan di pasar internasional, dengan meninggalkan di belakang pulau-pulau tandus, hamparan sabana dan stepa kering kerontang. Belum lagi kita perhitungkan persoalan lain seperti perubahan musim ekstrem, maupun bencana alam seperti letusan gunung berapi, seperti letusan Tambora tahun 1815 yang terkenal itu (Boers 1995:37-60), dan juga letusan gunung lain, yang sangat banyak di kawasan itu, sehingga orang mengenalnya juga dengan sebutan Ring of Fire (Cincin Api). Untuk menguak semuanya itu dibutuhkan studi mendalam.

Dalam tulisan ini, saya menelusuri nama tiga tetumbuhan di Manggarai. Dari ketiga nama tersebut ada dua pohon (haju) dan satu rumput (remang). Ketiganya ialah Lecem, Terep, Witu. Dalam uraian ini, saya mulai dengan rumput (remang Witu). Sesudah itu saya mengulas pohon (haju Lecem, Terep).

Tuesday, April 21, 2020

PATER ERWIN SCHMUTZ: SELAMAT DARI PREDATOR MANUSKRIP (BAGIAN III)

Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen dan Peneliti Senior pada Fakultas Filsafat UNPAR Bandung.



Dalam tulisan bagian pertama saya sudah singgung bahwa Pater Erwin mempunyai sebuah manuskrip setebal 800an halaman. Dan ditulis dalam Bahasa Jerman. Beberapa tahun silam, saya pernah membuat sebuah diskusi dan komunikasi singkat dengan dua orang. Yaitu Tarsis Hurmali dan seorang peneliti muda di Hutan Lindung Mbeliling, Ari Samsung. Dari percakapan itulah saya mendapat beberapa informasi berharga. Pertama informasi tentang kegiatan pater Erwin dan Pater Verheijen dan asisten local mereka, yang sedang merekam bunyi burung di hutan Mbeliling. Bahkan ada foto dokumentasi dari aktifitas itu di mana pater Erwin sedang memegang sebuah recorder kecil di tangannya dan sedang memberi perhatian serius kepada bunyi itu. Saya tidak punya hak untuk menampilkan foto itu di sini. Maafkan saya. Kedua, saya juga mendapat informasi tentang judul kumpulan catatan Pater Erwin dalam Bahasa Jerman: Die Flora der Manggarai, 1977-1980. Benar-benar luar biasa. Ketiga, dalam bagian kedua dari tulisan ini kemarin saya sudah menyinggung nama sebuah pohon yang ada di hutan Mbeliling. Pohon itu sangat tinggi menjulang. Namanya, ialah Sympetalandra schmutzii. Nah, saya lupa, entah siapa yang meng-attach foto pohon itu dalam dialog segitiga kami. Yang jelas dalam dialog di yahoo mail itu, saya dikirimi foto pohon itu. Saya juga tidak punya hak menampilkan gambar foto itu di sini. Yang jelas ada juga informasi dalam dialog itu, bahwa foto pohon itu diambil dari cover belakang sebuah buku yang melakukan semacam aktifitas konservasi hutan di Mbeliling. Kalua tidak salah judul buku itu juga menarik sekali: Searching for a Future. Luar biasa.

Dokumen setebal 800 halaman itu adalah sebuah warisan manuskrip yang sangat berharga bagi Manggarai khususnya, maupun bagi khasanah ilmu pengetahuan pada umumnya. Semoga semua dokumen itu masih selamat. Saya katakan demikian, karena ternyata semua dokumen hasil catatan-catatan bapa Uskup Wilhelmus van Bekkum sekarang ini sudah hilang, sudah tidak ada lagi. Hal itu konon yang menyebabkan bapa uskup emeritus itu menjadi sangat berputus-asa dan juga sangat marah. Walaupun saya bukan siapa-siapanya sang YM Bapa Uskup, saya pun menjadi sangat marah tatkala tahu bahwa ternyata di Manggarai bergentayangan apa yang saya sebut para “predator manuskrip”. Saya sungguh berharap bahwa dokumen pater Erwin itu tidak jatuh ke tangan para predator manuskrip seperti itu agar tidak mengalami nasib seperti semua manuskrip yang sudah dihasilkan oleh Bapa Uskup dan sekarang sudah tidak berbekas lagi.

Terkait semua manuskrip dari bapa Uskup memang ada beberapa versi cerita dan penjelasan, seperti halnya ada beberapa versi cerita dan penjelasan tentang mengapa ia tiba-tiba diganti sebagai uskup Ruteng pada waktu itu. Tetapi di sini, saya tidak mau berbicara banyak tentang hal yang terakhir ini, karena saya ini bukanlah siapa-siapa. Saya hanyalah seorang umat biasa saja. Tetapi saya mau berbicara tentang hilangnya pelbagai manuskrip beliau yang telah ia hasilkan dengan susah payah, dengan suatu kerja keras yang berkepanjangan. Apa yang sesungguhnya terjadi atau menimpa manuskrip-manuskrip itu? Ada yang mengatakan saat bapa uskup sejenak keluar dari Manggarai sesudah ia turun tahta, ada orang (entah siapa dia) yang katanya membuka kamar bapa uskup dan kemudian mengambil semua manuskrip beliau yang sesungguhnya sudah ia simpan dengan rapih dalam sebuah peti dokumen, lalu membakar semuanya sehingga tidak lagi berbekas sama sekali.

Aksi seperti inilah yang saya sebut dengan istilah aksi predator manuskrip, entah siapa pun orangnya, dan apa pun motivasi yang ada di belakangnya, atau bahkan siapa pun yang menyuruhnya bahkan mungkin juga menyewanya. Aksi pembakaran manuskrip seperti itu, kalua dilator-belakangi oleh ketidak-tahuan, maka saya anggap orang itu benar-benar orang bodoh. Kalau dilatar-belakangi oleh suatu niat jahat tertentu, saya mengatakan itu adalah aksi premanisme atas manuskrip, aksi premanisme terhadap sebuah hasil karya intelektual, hasil karya pemikiran. Itu sebabnya, sekali lagi saya sangat berharap agar dokumen dari pater Erwin tidak jatuh ke tangan para predator manuskrip seperti itu, agar kelak dokumen itu bisa menjadi warisan sejarah dan kultural Manggarai yang sangat penting dan berharga yang bisa menjadi sumbangan yang sangat penting dan berharga bagi cerita masa silam Manggarai.

Sejujurnya saya sendiri, hingga saat ini, belum pernah sempat melihat dokumen manuskrip pater Erwin itu. Dua kali saya sudah datang ke provinsialat SVD di Ruteng. Pada tahun 2013 saya pernah menghadap romo provincial SVD di Ruteng (Pater Servulus Isak SVD) untuk meminta ijin resmi dari pimpinan SVD Ruteng untuk bisa memakai teks Manggarai Teks sebagai salah satu basis sumber untuk pengerjaan disertasi saya (sebagaimana yang ditetapkan oleh Pater Verheijen sendiri pada bagian pengantar dari masing-masing dokumen tersebut). Tetapi sayangnya, pada waktu itu saya tidak sempat menanyakan hal itu (saya lupa menanyakannya karena kami sibuk membicarakan hal yang lain). Lalu pada tahun 2017 sekali lagi saya menghadap pater provincial SVD di Ruteng (Pater Joseph Masan Toron SVD). Kali ini saya datang untuk melaporkan bahwa saya sudah berhasil menyelesaikan studi saya dan sebagai buktinya saya menyerahkan salah satu eksemplar dari disertasi saya untuk diserahkan kepada SVD Ruteng dan dimasukkan ke dalam perpustakaan SVD (sebab hal ini juga diminta dengan jelas oleh Pater Jilis Verheijen sendiri). Tetapi lagi-lagi saya lupa menanyakan keberadaan dokumen manuskrip pater Erwin itu di perpustakaan SVD di Ruteng.

Tetapi saya sungguh-sungguh berharap bahwa manuskrip itu ada di Ruteng dan disimpan dengan baik dan tidak jatuh ke tangan para predator. Kalau tidak ada di Ruteng semoga ada sebuah lembaga internasional lain (semoga ada juga lembaga nasional, seperti yang menerbitkan jurnal NUSA di Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, yang beberapa edisinya pernah menerbitkan beberapa catatan dari Pater Verheijen sendiri) yang menyelamatkan dan menyimpan semua dokumen itu.

Saat melakukan sandwich program di Georgetown University di Washington DC, saya menemukan sebuah buku dari pater Verheijen tentang kamus nama tetumbuhan di Manggarai. Kamus itu diterbitkan di Australian National University (sebagai bagian utuh dari proyek studi Pasifik Selatan, Melanesia dan Polinesia). Pada saat itu saya diam-diam berharap semoga dokumen pater Erwin itu sudah selamat tiba di sana juga. Oh iya saya juga sudah pernah mendengar bahwa pater Erwin melewatkan masa tuanya di rumah SVD di salah satu kota di benua Kanguru tersebut, hanya saya lupa nama kotanya yang persis, mungkin di Sdyney. Syukur juga jika sudah ada juga yang membuat semacam studi dan kajian kritis atasnya. Tetapi hingga saat ini, sejauh pengetahuan saya, belum ada kajian kritis tentang hal itu. Setidaknya, hingga sekarang saya belum berhasil mendapatkannya. (selesai)

Monday, April 20, 2020

PATER ERWIN: MENELITI FLORA DAN FAUNA MANGGARAI (BAGIAN II)

Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen dan Peneliti Senior pada Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung



Itulah sebabnya Pater Erwin secara luas diakui kepakarannya di bidang botani (walau pater sendiri sering sekali menyebut dirinya “an amateur botanist”). Begini kata P.J.Verheijen (kolega SVD) tentang dia: “...Erwin Schmutz, who has by now developed into an undisputed authority on Florinese flora” (p.3). Dalam kapasitas seperti itu, P.Erwin ikut membantu dalam proses menulis kamus nama tumbuhan Manggarai yang ditulis P.J.Verhejen. Dalam kamus ini, khusus dalam bagian Taxonomi Manggarai (ada Manggaraian-taxonomy, yang mulai dari bahasa biologi internasional) ada lima kolom. Kolom I: the Manggarai “classifiers”. Kolom II: the Manggarai names. Kolom III: the abbreviations of the find-spots. Kolom IV: the herbarium numbers. Kolom V: the Latin scientific nomenclature. Kolom ketiga menurut P.J.Verheijen, sebagian besar merupakan sumbangan P.Erwin: “One only has to take a look at the third column in the first list to recognize how prominent a share he took in the work” (p.3). Begitulah cara P.Verheijen mengakui peran dan kontribusi beliau dalam proses menulis buku itu.

Tetapi apa arti penting Kolom III ini dalam buku P.Verheijen? Arti pentingnya terletak dalam fakta bahwa Kolom III itu menunjukkan di mana tetumbuhan itu ada atau ditemukan di Manggarai. Biasanya yang disebut ialah wilayah ke-dalu-an, walau ada tetumbuhan yang tumbuh lintas ke-dalu-an. Untuk mengetahui hal itu, P.Erwin berkeliling seluruh Manggarai atau mereka dibantu oleh beberapa orang setempat. Itu sebabnya nama-nama mereka juga disebut lengkap dalam buku itu dan diakui peran dan jasanya (p.5). Ada juga bantuan dan koreksi langsung P.Erwin kepada P.Verheijen yang tidak lupa diakui dengan rendah hati oleh pater Verheijen juga: “In addition to direct contributions he gave me valuable advice and made corrections on various points” (p.3).

Konon ada tumbuhan yang baru ditemukan P.Erwin di hutan Sano Nggoang (hutan lindung Mbeliling). Dan pada saat itu tumbuhan itu belum ada nama Latinnya dalam kamus biologi internasional. Maka tumbuhan itu diberi nama Latin dan di belakangnya diberi penanda spesifikasi “schmutzii.” Jika besok lusa para pembaca sekalian ketemu dengan nama ini dalam buku/kamus biologi, nah itulah nama P.Erwin. Dalam kamus P.Verheijen yang disinggung di atas belum terdaftar. Maklumlah, kamus P.Verheijen terbit 1982, dan pengakuan itu terjadi sesudahnya. Mereka bisa berbuat begini karena mempunyai jaringan yang luas dan kuat juga secara finansial. Misalnya beliau didukung oleh botanical-studies dari Universitas Leiden (Belanda), dan juga bagian riset dan pengembangan Kebun Raya Bogor.

Kesaksian Verheijen: “Botanically speaking, the area is highly interesting. There are rainforest, monsoon forests, secondary forests, vast grassy plains both in dry and rainy areas” (p.1). Yang dimaksud dengan “vast grassy plains” ialah pumpuk (curculigo orchioides, p.57). Ini adalah sesuatu yang khas, unik, dan menarik kata P.Verheijen. Kini fenomena pumpuk itu menghilang karena reboisasi di mana-mana. Dalam kolom ketiga disebutkan finding-spot untuk pumpuk ialah Rego dan Pacar, padahal faktanya pumpuk dulu ada di mana-mana di Manggarai. Mungkin di kedua tempat tadi lebih luas daripada di tempat lain. Misalnya, di SDK Ketang (Lelak) dulu ada pumpuk yang besar. Begitu juga di Bung, Nte’er (Barat Norang), Pa’ang Lembor, di Ngkor. Dewasa ini sebagian besar “pumpuk” itu hilang karena kawasan pumpuk penuh pepohonan (baik yang ditanam manusia maupun yang tumbuh secara alami). Sejalan dengan menghilangnya pumpuk itu karena reboisasi dan ledakan penduduk, maka mungkin lama-lama kata pumpuk itu juga akan hilang dari perbendaharaan kosa kata bahasa Manggarai. Mungkin anak-anak Manggarai yang lahir di atas tahun 90-an sudah tidak tahu lagi kata pumpuk itu. tetapi syukurlah kata pumpuk itu sudah terselamatkan dalam kamus bahasa Manggarai yang merupakan salah satu hasil karya monumental dari Pater Verheijen.

P.Erwin mengabadikan namanya pada beberapa tumbuhan dan hal itu diakui dunia botani-biologi internasional. Pertama, ia memakai namanya pada pohon Narep (Naret) yang ditemukan di hutan Mbeliling. Pohon itu diabadikan dengan nama biologi-botani Sympetalandra schmutzii. Kata terakhir schmutzii ini berasal dari nama beliau, Schmutz (Verheijen, 1982:46). Kedua, ia juga memberi namanya pada pohon yang di Manggarai dikenal dengan nama Giro-Keker, atau Keker II, atau Keker Rona, yang ditemukan di Ruteng dan diabadikan dengan nama Saurauia schmutzii (Verheijen, 1982:22, 27, 122). Pohon ini ada dua jenis. Karena jenis pertama sudah diberi nama P.Erwin, maka jenis kedua diberi nama Latin dengan tambahan nama P.Verheijen, sehingga menjadi Saurauia verheijenii (1982:22; 122). Ketiga, pohon yang oleh orang setempat dikenal dengan sebutan Anak-Watu I. Pohon ini ditemukan di Mata wae, dan diberi nama biologi Diospyros schmutzii (Verheijen, 1982:12). Keempat, ia juga memberi namanya pada pohon yang disebut Lawar III, yang ditemukan di Matawae, sehingga nama Latin-nya ialah Eleaocarpus Schmutzii (Verheijen 1982:34). Pohon ini juga dikenal dengan nama Rangga-Po (Verheijen 1982:97). Tumbuhan tadi ada juga varian lain yang dikenal dengan nama Lawar-Koe, yang ditemukan di Matawae, diberi nama Latin Eleaocarpus Verheijenii (Verheijen 1982:97). Nama P.Verheijen juga bisa ditemukan pada nama Latin untuk tumbuhan Tempul-rona, yang ditemukan di Matawae, Kempo. Tumbuhan ini dalam kamus botani diberi nama Saurauia cf.verheijenii (Verheijen 1982:69).

Tidak hanya mengabadikan nama diri. P.Erwin sebagai peneliti juga mengabadikan nama SVD pada tumbuhan yang ditemukannya dan belum ada nama ilmiah Latinnya dalam kamus biologi internasional. Misalnya pohon yang di Manggarai dikenal dengan nama Lando-Rata II, yang ditemukan di Matawae. Tumbuhan ini diberi nama ilmiah Latin Hybanthus enneaspermus var.verbi-divini (Verheijen, 1982:33). Lando-Rata I, yang ditemukan di Wontong dan Berit oleh P.Erwin, juga dikenal dengan sebutan Mundung-Kuse (Verheijen 1982:33) dan diberi nama Latin ada tiga: Muntung-Kuse I (ditemukan di Denge), yang juga dikenal dengan varian Wae di Lelak, Eurya (Verheijen 1982:72), Muntung-Kuse II yaitu Polygonum (Verheijen 1982:45), Muntung-Kuse III (ditemukan di Todo), Clethra Canescens var.Canescens (Verheijen 1982:45).

Ada juga tetumbuhan yang diabadikan dengan memakai nama tempat ditemukannya tumbuhan tersebut. Di daerah Ruteng ada pohon yang bernama Piras IV, dari koleksi v, dengan nama Latin-ilmiah Elaeocarpus Rutengii (Verheijen 1982:6). Jadi, lumayan, setidaknya dalam kamus botani-biologi internasional kini ada nama kota Ruteng yang juga diabadikan. Selain itu ada juga yang diabadikan dengan nama pulau Flores. Nama ini dikenakan pada tumbuhan yang disebut Sasang-Manuk II, yang ditemukan di Matawae. Nama ilmiah-Latin botaninya ialah Urobotrya floresensis (Verheijen 1982:64). Pemakaian nama pulau Flores ini sangat penting sebab sebelumnya sudah ada pulau Timor, Sumba, dan Sumbawa, dan Jawa, dst., yang dipakai pada nama tumbuhan. (Bersambung…) (Bahan dasar untuk bagian ini ditulis di perpustakaan Georgetown University, Washington DC, di mana saya menemukan beberapa buku dari Pater Verheijen yang saya singgung dalam tulisan ini).

Sunday, April 19, 2020

MENGENAL KARYA P.ERWIN SCHMUTZ SVD (BAGIAN I) Sebuah Catatan Kecil

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias, MA.
Peneliti dan dosen Fakultas Filsafat UNPAR Bandung


Dr.Karel Steenbrink (profesor misiologi Universitas Utrecht, Netherlands) pernah berkata, dalam bukunya Orang-orang Katolik di Indonesia 2, bahwa ada “tiga-raksasa” misionaris SVD yang sangat berjasa dalam bidang antropologi, etnologi, linguistik, dan agama asli di NTT. Dua di antaranya bekerja di Flores, dan satu bekerja di Timor. Yang di Flores ialah P.Paul Arndt SVD yang mendalami antropologi budaya (ragawi) mulai dari Bajawa ke timur (Ende, Maumere, Larantuka, hingga ke pulau-pulau kecil sebelah timur). P.Arndt menghasilkan beberapa karya besar. Beberapa di antaranya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan (kalau tidak salah) oleh Pusat Penelitian Antropologi SVD Chandraditya, Ledalero, Maumere, Flores, NTT.

Yang kedua ialah P.J.Verheijen SVD yang bekerja di Manggarai dan mendalami Manggarai (budaya, bahasa, antroplogi, kepercayaan asli). Dia tiba di Manggarai tahun 1936. Beliau juga sudah menghasilkan banyak karya monumental tentang Manggarai. Antara lain ia menerbitkan Kamus Bahasa Manggarai-Indonesia dan Indonesia-Manggarai dan buku tentang sistem kepercayaan asli Manggarai, dan Manggarai Text (17 jilid). Yang ketiga ialah P.Bernard Vroklage SVD, yang bekerja di Timor yang menghasilkan karya ilmiah tentang Timor (Steenbrink 2006/2:300-301). Di Timor, orang ini melakukan banyak penelitian antropologis-etnologis tentang sistem kepecayaan asli di sana.

Sedemikian besarnya jasa para raksasa misionaris ini, sehingga antropolog dan misiolog/teolog di kemudian hari yang meneliti NTT tidak mungkin mengabaikan nama-nama para misionaris agung ini sebab mereka sudah menghasilkan banyak karya penting tentang wilayah itu. Itulah yang disadari oleh A.Molnar (1997, 2000), M.Erb (1986, 1999), C.Allerton (2002, 2013), M.Moeliono (2000), G.Forth (1987), J.Fox (1988), P.Webb (1986, 1990), P.Ph.Tule SVD (2004), J.Hoskins (1993, 1998), E.Woga (1994), Dami N.Toda (1999), Robert Lawang (1999), Marsel Robot (2008), Fransiska Widyawati (2013), dll. Itu hanya beberapa nama. Pasti masih ada nama peneliti NTT lainnya yang luput dari pengamatan saya. Mereka pasti berurusan dengan tiga raksasa tadi. Betapa besar jasa mereka bagi peneliti masa kini di NTT. Saya sendiri, saat merampungkan studi, berutang budi pada P.J.Verheijen dan Uskup van Bekkum. Mereka menyumbang banyak gagasan/pemikiran bagi saya dalam proses penulisan disertasi tentang Manggarai.

Dengan mengikuti pola kategorisasi K.Steenbrink tadi, saya pun berpendapat bahwa ada “empat raksasa” misionaris SVD yang bekerja di dan sangat berjasa bagi Manggarai Raya. Keempat orang itu ialah sbb: 1). P.Jilis Verheijen SVD, 2). Uskup Wilhelmus van Bekkum SVD, 3). P.Adolf Burger SVD, dan akhirnya 4). P.Erwin Schmutz SVD. (NB: Sesungguhnya ada misionaris lain yang juga harus saya sebut namanya. Ia berasal dari kalangan OFM. Namanya P.Vicente Kunrath OFM. Pater Vicente ini juga adalah seorang yang menaruh minat yang sangat besar akan hidup dan kebudayaan orang Manggarai. seperti halnya ketiga tokoh di atas tadi, Pater Vicente pun mempunyai banyak catatan tulisan tangan tentang Manggarai. Hanya sayang belum ada yang diterbitkan. Mungkin juga tidak ada lagi catatan-catatan beliau tentang Manggarai yang masih selamat. Tetapi saya sungguh tahu bahwa ia rajin mencatat). Apa kehebatan dan kebesaran orang-orang ini sehingga patut dikenang dan ditulis? Itulah yang ingin saya bahas dalam untaian tulisan singkat dan sederhana ini. Di sini saya hanya mau mulai dengan mengulas tentang P.Erwin Schmutz. Saya berharap semoga pada kesempatan lain saya akan sempat membuat ulasan singkat juga tentang ketiga tokoh yang lainnya.

Siapa orang ini? Mungkin tidak banyak orang Manggarai yang mengenal dia, apalagi anak-anak Manggarai generasi 90an kemari (milenials), barangkali dengan kekecualian mereka yang berasal dari Manggarai Barat. Sejauh saya ketahui, sebagai pastor paroki ia mungkin kurang dikenal di bagian lain di Manggarai tetapi di Mabar ia dikenal luas, di banyak kalangan, juga di luar orang Katolik. Dia adalah pastor SVD. Ia datang ke Manggarai mungkin tidak lama sesudah PD II. Konon beliau adalah bekas tentara PD II yang bekerja di layanan medis militer Jerman. Selesai PD-II ia menjadi imam, sesuatu yang biasa pada waktu itu di daerah kantong Katolik Eropa. Tidak lama setelah itu ia diutus untuk bekerja sebagai misionaris SVD ke Manggarai. Sejauh saya ketahui ia banyak bertugas sebagai pastor paroki di Nunang. Ia sangat lama bekerja di Nunang. Oleh karena itu ia sangat akrab dengan Sano Nggoang dan hutan sekitarnya yang lebat, yaitu kawasan hutan lindung Mbeliling yang kini terkenal itu.

Sebagai mantan Pastor militer, ia orangnya berani dan tegas, bertampang cenderung galak, dengan sorot mata tajam menukik seperti rajawali, dengan alis mata lebat, yang seakan menyembunyikan tatapan bola mata biru dan bening. Tetapi sebenarnya ia adalah pastor yang ramah. Sebagai anggota militer yang memberi layanan medis, di pedalaman Nunang ia juga memberi layanan medis: Memberi obat-obatan dan menolong orang sakit bahkan juga ibu-ibu bersalin. Dalam hal ini ia termasuk kategori pemberani sejati (mungkin rada nekat juga). Tahun 80-an ia bekerja di paroki Rangga (Lembor). Cukup lama ia kerja di sana. Di Rangga itulah ia berkenalan dengan keluarga kami, terutama dengan ayah saya, seorang guru di SDK Rangga. Pastor Erwin juga dikenal sebagai perokok. Terkait hobinya ini, konon di pastoran Rangga ia pernah bercanda bahwa di sini ada asbak terbesar sedunia yaitu lantai.

Dalam riset lapangan saya di Perang akhir 2013, umat di Rangga, setelah mereka tahu bahwa saya adalah seorang peneliti kebudayaan (yang sedang meneliti dalam rangka menulis disertasi doktoral), berkata kepada saya demikian: Dulu pak Frans, Pater Erwin itu sering dijumpai di hutan-hutan. Kalau bertemu kita terkejut karena mengira dia “empo deghong”. Kalau ditanya, Pater cari apa? Dia menjawab: Cari lumut di hutan. Mereka (umat) mengaku bingung mendengar jawaban itu. Mereka tidak tahu tentang P.Erwin di luar tugas utamanya sebagai seorang pastor paroki. Umat hanya tahu bahwa ia adalah seorang pastor paroki. Di luar itu orang tidak tahu. Tetapi sebenarnya dia adalah seorang peneliti. Dan sebagai seorang peneliti ia meneliti botani dan biologi di daerah Mabar. Termasuk tumbuhan obat-obatan herbal. Apa hasilnya? Mengagumkan. Tentang hal itulah yang ingin saya sharingkan di dalam tulisan singkat ini. Hasil penelitiannya itu ia tulis, ia dokumentasikan dalam pelbagai catatan dan ketikan. Pater Verheijen dalam salah satu kesempatan menulis bahwa Pater Erwin mengumpulkan catatan penelitiannya sampai berjumlah 800an halaman. Semua ditulis dalam bahasa Jerman. Sesekali Pater Erwin juga mempublikasikan hasil penelitiannya, atau setidaknya ia mengkomunikasikan hasil risetnya kepada komunitas ilmuwan internasional. (Bersambung…)

Tuesday, April 14, 2020

BUNUH SEMUA LAKI-LAKI


Oleh: Fransiskus Borgias

Pengantar Singkat: Ini adalah sebuah catatan dari awal November 2017, yang saya angkat dari Buku Harian saya. Maka semua time reference yang ada di sini berasal dari kurun waktu itu.

***

Sejak seminggu belakangan ini beredar Video rekaman aksi demo kaum feminis radikal di Buenos Aires, yang menuntut Paus Fransiskus dibunuh, gereja Katolik dibubarkan, mereka juga melakukan aksi pembakaran patung Bunda Maria di depan sebuah Katedral, sementara itu, dan ini yang amat menarik, justru kelompok para lelaki yang membentuk pagar betis melindungi gereja, dan mereka melakukan perlawanan sambil berdoa Salam Maria dalam bahasa Spanyol. Sementara itu ada dua orang wanita telanjang dan berperilaku provokatif dan bahkan juga erotis.

Seorang teman di sebuah WAG bertanya: Ini fenomena apa yah? Secara singkat yang berkata: Ini adalah gerakan kaum feminis radikal yang menolak segala bentuk dominasi kaum pria (dominasi patriarki), dan gereja Katolik dipandang sebagai salah satu lambang dominasi itu. Kira-kira begitu. Itulah sebabnya serangan itu diarahkan kepada gereja katolik dan Paus sebagai representasi institusional dan bahkan personal dominasi itu. Di balik itu ada praktek hidup devosional kepada Bunda Maria, yang dituding selama berabad-abad telah melestarikan dominasi itu. Saya menduga ada unsur campur tangan negara adidaya yang non-katolik di belakang aksi ini, interventi yang mau menggoncang-goncang sendi-sendi dan sentrum Katolik di Amerika Latin, mulai dari negara asal sang Paus, yaitu Argentina. Begitulah kira-kira dugaan saya. Jadi, ada kekuatan duit kapitalis adidaya di sana. Semoga dugaan saya itu salah.

****

Setelah menonton video itu, saya tiba-tiba teringat akan sebuah buku novel rekaan yang saya beli pada tahun 1983 di sebuah toko buku di Yogya, kalau tidak salah toko buku Liberty. Judul buku itu ialah "Bunuh Semua Laki-laki." Itulah yang saya angkat menjadi judul tulisan saya kali ini. Buku itu diterbitkan oleh sebuah Penerbit, kalau tidak salah namanya juga Penerbit Liberty, Yogyakarta. Sayang sekali saya sudah lupa nama pengarangnya. Itu adalah sebuah buku terjemahan dari bahasa Inggris. Sayang juga bahwa buku itu sudah hilang dari koleksi buku-buku saya.

Ada pun ide pokok buku itu dapat diringkaskan berikut ini. Dalam sebuah kota, muncul sebuah kelompok wanita yang radikal, yang sangat tidak suka akan laki-laki. Mereka menolak dominasi kaum pria. Mereka menolak dunia yang sudah terlanjut dikuasai kaum pria. Maka muncullah sebuah ide liar di tengah-tengah mereka, untuk membayangkan satu dunia baru yang dikuasai kaum wanita, sebuah dunia yang terbalik dari ap ayang kini ada dan berlaku. Tetapi mereka juga sekaligus sangat sadar bahwa hal itu tidak akan dapat diwujudkan kalau struktur dunia laki-laki yang ada sekarang ini masih ada. Oleh karena itu, mereka mau membunuh semua laki-laki. Kalau semua laki-laki sudah mati, maka akan muncul sebuah tatanan dunia baru yang didominasi kaum perempuan. Nah dalam dunia yang baru itu nanti, para lelaki boleh dimunculkan lagi setelah beberapa waktu lamanya. Tetapi laki-laki yang muncul itu harus tunduk ada kuasa wanita.

Sebagai persiapan ke arah itu maka mereka (kaum perempuan radikal tadi) membangun sebuah bank sperma untuk menampung sperma unggul dari kaum pria yang masih ada saat ini. Nanti kalau sudah mati semua laki-laki, maka dalam dunia baru, laki-laki akan dimunculkan lagi dari benih-benih bank sperma tersebut. Itulah langkah pertama. Persiapan ke arah sana digagas oleh seorang dokter perempuan yang sangat cerdas. Ia menciptakan sebuah zat Kimiawi yang ketika ditebarkan ke udara, akan mematikan semua pria, karena kaum pria itu berstruktur kromosom x-y. Paduan kromosom x-x (jadi, wanita) akan luput dan bisa bertahan hidup, tidak akan binasa karena zat kimia itu. Jadi ini adalah semacam program pembasmian kaum laki-laki. Tetapi hal itu harus dilakukan secara halus, tidak boleh kejam dan mencolok. Harus dengan cara ilmiah. Inilah langkah kedua. Langkah persiapan ketiga, ialah membentuk sebuah pasukan tentara perempuan, pasukan pamungkas. Mengapa?

Ternyata zat kimia yang disebut di atas tadi, tidak mampu mematikan kromosom x-y yang berdarah O. Nah, pasukan pamungkas perempuan yang dibentuk khusus tadi dimaksudkan untuk menghadapi mereka. Pasukan pamungkas ini dengan kekuatan senjata harus membasmi kaum pria (x-y) yang berdarah O. Itulah langkah terakhir. Sisa-sisa kaum pria yang berdarah O itu harus dibinasakan dengan kekuatan senjata.

***

Lalu tibalah hari H, hari murka yang mengerikan itu, Dies irae, dies illa. Dokter cerdas tadi dibantu oleh pasukan perempuan mulai menebarkan zat kimia itu di udara di dalam kota tempat mereka tinggal. Maka terjadilah hal yang amat mengerikan. Tiba-tiba semua laki-laki mati dengan gejala-gejala berikut ini. Mereka mengalami gejala sesak nafas, tubuh membengkak dan juga membiru. Lalu mati, dan terutama sekali mengering. Tubuh yang mati itu tidak membusuk, melainkan mengering. Sehingga tidak perlu dikuburkan, sebab tidak akan membusuk. Hanya mengering seperti kayu lalu musnah dan hilang begitu saja.

Pada saat itu kaum laki-laki pun mulai sadar akan adanya suatu keanehan di balik gejala ini. Suatu keanehan yang sengaja dirancang. Maka pria-pria yang masih bisa bertahan hidup pun berusaha mencari tahu apa penyebab dari semua ini. Tiba-tiba mereka juga sadar, berdasarkan data dari kota bahwa laki-laki yang bertahan hidup itu semuanya berdarah O. Oleh karena itu mereka pun membentuk pasukan bela diri. Sebab mereka melihat bahwa sudah mulai ada gejala kekerasan. Mereka memberi perlawanan. Demi survive. Mula-mula mereka sangat sulit melakukan perlawanan itu. Tetapi ada peluang juga.

Dokter perempuan yang cerdas tadi, sudah mengindoktrinasi pasukan pamungkas perempuannya agar membenci semua laki-laki dan harus berusaha melupaka semua laki-laki yang ada saat ini. Ia juga mengatakan bahwa kita bisa membangun dunia baru tanpa laki-laki. Kalau dunia baru kita nanti membutuhkan laki-laki, maka kita bisa memunculkan lagi mereka, lewat rekayasa genetika dari bank sperma yang sudah ada di Bank-bank mereka. Tetapi lelaki yang muncul nanti adalah laki-laki yang dikuasai perempuan, karena ia muncul di dunia yang sudah dikuasai dan diwarnai perempuan.

Tetapi rupanya indoktrinasi sang dokter gila itu tidak efektif mengikis rasa cinta, simpati dan empati semua anggota pasukan pamungkasnya. Ada satu orang perempuan anggota pasukan pamungkasnya yang sudah lama jatuh cinta pada seorang pria yang berdarah O. Cinta mereka sangat kuat. Bahkan juga tidak luntur oleh indoktrinasi sang dokter, maupun oleh bayangan akan dunia baru itu kelak, sebuah utopia, sekaligus sebuah eutopia. Nah perempuan anggota pasukan pamungkas inilah yang membocorkan rahasia gerakan kaum perempuan ini kepada kaum pria yang masih bertahan hidup, sehingga kaum pria mampu membangun rencana dan strategi perlawanan yang jitu.

Setelah rahasia mereka terbongkar, maka perlawanan pun diarahkan oleh kaum pria berdarah O itu langsung ke markas sang Dokter gila. Mereka berpikir, kalau sang dokter itu sudah mati, maka gerakan itu pun pasti mati. Indoktrinasi yang sudah ia tebarkan juga akan melemah. Dan memang betul demikian adanya. Dokter itu bisa dikalahkan dan mati. Maka gerakan itu pun mati. Kiranya, cerita fiksi, cerita rekaan ini hanya mau mengatakan bahwa tidak mungkin ada dunia tanpa pria dan wanita. Tidak mungkin wanita tanpa ada pria. Sekian.

Saturday, December 8, 2018

PAULUS DAN TERANCAMNYA BISNIS DEMETRIUS

Oleh: EFBE Ndungwelarunu


Pagi itu Demetrius berdiri di depan tokonya. Ia merasakan ada yang aneh. Mula-mula ia tidak begitu menyadarinya. Beberapa saat kemudian. Untuk pertama kalinya ia sadar bahwa tokonya semakin sepi pengunjung. Ia mulai cemas dengan hal itu. Sepi pembeli berarti mati produksi. Tidak ada penghasilan. Itu berari kemiskinan, kelaparan, kematian. Ia ingat bahwa di belakang tokonya ada bengkel tempat dia membuat kerajinan perak. Yang paling banyak dibuat adalah kuil-kuilan mini Dewi Artemis, pujaan kota Efesus. Kuil itu dan patung Dewi Artemis berdiri megah di alun-alun kota. Bengkel Demetrius hanya membuat miniaturnya untuk kenang-kenangan dan perhiasan devosional di rumah pribadi. Di bengkel itu ia memiliki beberapa pengrajin dan pekerja. Bengkel itu, berikut pengrajinnya hanya bisa hidup karena ramainya toko penjualan di depan. Sekarang toko itu sepi. Ia terbayang akan nasib para pengrajin dan tukangnya. Suram sekali.

*****
Demetrius pun berpikir keras mencari penyebab semua ini. Ia teringat Paulus. Nama Paulus akhir-akhir ini sangat terkenal di sekitar Efesus dan juga kota Efesus. Berkat kotbah dan pengajaran serta mukijzatnya, banyak orang bertobat dan mengubah jalan hidup dari kekafiran kepada iman. Kitab-kitab sihir ditinggalkan. Bahkan ada yang dibakar. Demetrius belum pernah bertemu Paulus. Tetapi ia pernah mendengar ajaran baru yang dibawanya. Ia menjadikan Paulus “Kambing Hitam.” Lalu ia mengumpulkan karyawannya. Ia hasut mereka.

Demetrius sadar bahwa kalau ia mengangkat isu krisis ekonomi, mungkin mereka tidak marah. Maka ia mengangkat isu agama yang bisa mengobok emosi massa. Mulailah ia berpidato: “Saudara-saudara, kamu tahu, bahwa kemakmuran kita adalah hasil perusahaan ini! Sekarang kamu sendiri melihat dan mendengar, bagaimana Paulus, bukan saja di Efesus, tetapi juga hampir di seluruh Asia telah membujuk dan menyesatkan banyak orang dengan mengatakan, bahwa apa yang dibuat oleh tangan manusia bukanlah dewa.” Saat itu mereka membelalak. Demetrius lanjutkan: “Dengan jalan demikian bukan saja perusahaan kita berada dalam bahaya untuk dihina orang, tetapi juga kuil Artemis, dewa besar itu, berada dalam bahaya akan kehilangan artinya. Dan Artemis sendiri, Artemis yang disembah oleh seluruh Asia dan seluruh dunia yang beradab, akan kehilangan kebesarannya.” Demetrius mengkaitkan masalah itu dengan nasib usahanya. Ia samakan nasib perusahaannya dengan nasib Artemis. Nasib Artemis akan suram, padahal kita menjual miniatur kuil Artemis. Kalau Artemis suram, maka suram juga nasib kita. Perusahaan ini akan dilecehkan. Dewi Artemis juga akan dilecehkan. Demetrius mengangkat isu agama yang sensitif di kota itu.

*****
Mendengar pidato Demetrius itu, maka massa yang mendengarnya marah. Mereka berseru mengagungkan nama sang Dewi: Hidup Artemis, Hidup Artemis, Hidup Efesus, Hidup Efesus, Hidup Artemis. Pekik suara mereka memenuhi seluruh kota itu. Gema suara mereka ditanggapi warga kota. Kota itu pun menjadi rusuh. Massa semakin banyak berkumpul di toko Demetrius. Dari sana mereka berarak sambil berteriak ke gedung kesenian. Mereka ingin mengadili Paulus. Tetapi mereka tidak menemukan dia. Yang mereka temukan adalah dua teman perjalanan Paulus yang berasal dari Makedonia. Mereka adalah Gayus dan Aristarkhus. Massa mau mengadili kedua orang itu.

Menyadari bahaya yang menimpa keduanya, Paulus ingin masuk ke tengah gerombolan massa tersebut untuk menjelaskan perkaranya. Tetapi niat itu dicegah beberapa pihak. Semula Paulus ngotot dan mendesak. Tetapi beberapa pembesar kota yang bersahabat membujuk dia agar tenang dalam persembunyian. Paulus tetap ngotot. Namun akhirnya ia mengalah setelah mendapat jaminan mereka, bahwa mereka akan mencari jalan keluar dari krisis kerusuhan kota itu.

Situasi sangat gawat. Kalau Paulus masuk ia akan menjadi sasaran empuk kemarahan massa itu yang omong tidak karu-karuan. Mereka meneriakkan hal-hal yang berbeda. Tidak jelas. Bahkan ada juga yang tidak tahu untuk apa mereka berkumpul di tempat itu. Yang penting, ikut arus ramai sambil berteriak. Saat itu ada seseorang, bernama Aleksander. Ia mencoba memberi penjelasan tentang apa yang terjadi. Tetapi karena orang banyak itu tahu bahwa dia orang Yahudi, mereka tidak mau mendengarkan kesaksiannya. Padahal orang Yahudi di kota itu, mau memakai kesempatan itu untuk menjatuhkan Paulus. Untunglah massa itu tidak mendengarkan Aleksander. Mereka bahkan berteriak selama dua jam menyerukan pekik pemuliaan dewi Artemis: “Hidup Artemis, Hidup Efesus.”

*****
Melihat itu, panitera kota pun turun tangan. Ia tempuh jalan aman dan nyaman. Ia memuja selangit Efesus dan penduduknya. Ia memuji Penduduk Efesus sebagai orang yang paling setia mengabdi Dewi Artemis mahabesar, yang patungnya turun dari langit. Saat mendengar kata-kata itu, mereka diam. Ia meminta agar penduduk Efesus berpikir jernih. Ia mengatakan bahwa kedua orang ini tidak bersalah. Mereka tidak merampok kuil Dewi Artemis. Mereka tidak menghujat sang Dewi. Mereka semua terdiam. Kalau Demetrius dan orangnya ada masalah dengan kedua orang ini, hendaknya menempuh jalur hukum. Jangan memakai pengadilan jalanan. “Kita harus memakai pengadilan rakyat yang sah. Jika tidak kita akan dituduh membuat kegaduhan dan huru-hara pada hari ini. Padahal kita tidak punya alasan kuat untuk kumpul massa yang banyak dan rusuh ini. Kita tidak dapat membenarkan kumpulan rusuh dan kacau ini.”

Mendengar itu, gerombolan massa itu pun bubar dengan tertib.

(cerpen dibuat berdasarkan Kis 19:21-40).

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...