Thursday, April 23, 2020

CATATAN TENTANG P. J. VERHEIJEN SVD: KATA, BAHASA, DAN KESADARAN EKOLOGIS BGN II

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Dosen dan peneliti Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung.


Pengantar
Kemarin sudah ditampilkan bagian pertama dari tulisan ini. Sekarang bagian kedua.


Witu, Werwitu
Pertama, kata Witu. Jujur saja, saya tidak tahu kata ini, apalagi sebagai nama rumput di Manggarai (dan Ende, sebagaimana diinformasikan P.Verheijen). Saya juga belum pernah mendengar tempat bernama Witu di Manggarai. Tetapi menurut studi linguistik-botani-biologi dari P.Verheijen, Witu adalah nama rumput yang hilang dalam pemakaian bahasa sehari-hari di Manggarai. Mungkin rumputnya masih ada, tetapi dewasa ini rumput itu disebut dengan nama lain. Sekarang orang Manggarai tidak tahu bahwa dulu ada rumput bernama Witu tetapi kini sudah punah. Secara fisik sudah tidak lagi ada bekasnya, tetapi eksistensinya terekam secara linguistik dalam bahasa. Tetapi P.J.Verheijen SVD bisa “menemukannya” lagi. Ia membuktikan bahwa dulu rumput itu pernah ada di Manggarai. Bagaimana caranya? Kita tahu bahwa P.Verheijen mengumpulkan banyak cerita rakyat Manggarai, menyusun kamus bahasa Manggarai, meneliti flora dan fauna Manggarai bersama P.Erwin Schmutz (Pater Erwin Schmutz, 1977-1980. Die Flora der Manggarai, 5 vols.). Kedua orang ini adalah pastor biasa, tetapi mempunyai perhatian khusus dalam bidang bahasa dan botani.

Dalam penelitian ini, P.Verheijen menemukan kata Manggarai berupa nama tempat (geographical names, toponym). Tetapi saat ia temukan, ia tidak tahu arti kata itu. Orang setempat pun tidak tahu artinya. Ada tempat bernama Liang Witu (North Riwu, Riwu Utara), juga Purang Witu (diduga di Todo). Ada juga nama tempat Werwitu (diduga di Lambaleda). Ada juga Liang Witu, artinya Gua Witu. Purang Witu artinya Kubangan Kerbau bernama Witu. Tetapi apa itu Werwitu? P.Verheijen, dalam studinya, menduga bahwa mungkin Werwitu itu aslinya Wae Witu. Tetapi dalam proses pengucapan singkat (the split of the tongue), lalu menjadi Werwitu. Jika ini benar maka Werwitu itu berarti Sungai Witu, atau tempat di dekat Sungai Witu.

Lalu dari mana dan atas dasar apa P.Verheijen yakin bahwa nama-nama itu aslinya adalah nama rerumputan? P.Verheijen menemukan hal itu lewat studi perbandingan linguistik (comparative linguistic) berdasarkan kunjungan risetnya ke beberapa daerah lain di luar Manggarai. P.Verheijen juga melakukan perjalanan keliling di beberapa tempat di Flores dalam rangka melakukan studi perbandingan linguistik. Di Ngadha dan Ende ia temukan kata Witu sebagai nama rumput (Latin: Saccharum spontaneum). Di East Sumba, rumput itu, selain disebut witu juga ada varian wicu, wucu, wusu. Di Sawu ada varian widu yang artinya ialah “rumput alang-alang” (Imperata cylindrica). Di Dawan, Eban di WTimor ada juga witu untuk nama rumput (Latin: Oplismenus sp..).

Atas dasar studi perbandingan itulah P.Verheijen menyimpulkan bahwa kata witu, yang tidak diketahui lagi artinya di Manggarai, tetapi yang tersimpan sebagai toponim di tempat lain, adalah nama rumput dulu di Manggarai dan kini hilang. Walau rumput itu punah, tetapi keberadaannya secara historis terekam dan bisa ditemukan kembali sebagai kosa kata NTT (tidak hanya di Manggarai). Kata itu, dalam artian asli, kini bisa ditemukan di tempat lain. Itulah keajaiban kata dan bahasa, yaitu menyimpan data historis masa silam. Berdasarkan rekaman kata Witu (sebagai nama tempat), kita bisa mengetahui bahwa di masa silam Manggarai, pernah ada sejenis rumput yang disebut Witu oleh orang setempat, dan kini hilang.


Lesem, Lecem, Leseng, Leceng
Selain kata Witu, P.Verheijen juga menemukan nama pohon buah-buahan yang kini tidak ada lagi di Manggarai. Tetapi namanya tetap disimpan sebagai nama tempat (toponim, geographical name), yaitu persisnya sebagai nama Kampung. Yang dimaksud ialah Lesem atau Lecem yang terletak di Cibal Utara. Saya harus mengakui bahwa saya tidak tahu jenis pohon Lecem atau Leseng ini. Yang saya tahu hanya bahwa itu adalah nama kampung di Cibal utara. Lecem adalah pohon buah-buahan liar di hutan, tidak dibudi-dayakan (Latin: Spondias malayana). Di Manggarai Barat dan Komodo pohon ini dikenal dengan nama leseng (Kmd: Komodo?); di Mw (Matawae?) pohon ini dikenal dengan nama Leceng. Tetapi dalam Kamus Manggarai P.Verheijen, tidak ada kata Lecem. Yang ada hanya Letjeng (Leceng): nama buah yang asam (kecut) (Verheijen 1967:278).

Di tempat lain kata itu sudah tidak lagi dikenal sebagai nama pohon melainkan sebagai nama tempat atau kampung (toponim, geographical name). Misalnya di Patjar (Pacar) dan di Riung barat ada kampung bernama Lesem dan di Cibal ada kampung bernama Lecem. Menurut P.Verheijen, saat ia bertanya tentang arti kata Lecem ini di Cibal atau di Riung, tidak ada lagi orang setempat yang tahu arti lecem/lesem/leceng itu dalam bahasa lokal. Orang juga tidak mengenal pohon Lecem atau Lesem. Tetapi P.Verheijen tidak ragu menyimpulkan bahwa nama pohon ini dulu pernah dipakai di tempat-tempat tadi ketika pohon itu masih hidup di sana. Bahkan kampung itu diberi nama demikian karena dulu di sana pernah tumbuh pohon Lesem. Untuk memastikan hal ini, masih harus dipelajari dengan teliti cara dan pola pemberian nama tempat dalam tradisi Manggarai. Salah satu polanya ialah dengan mengaitkan tempat itu dengan pohon atau rumput apa yang tumbuh di atasnya. Pasti ada cara lain seperti penjelasan mitologis, atau penjelasan berdasarkan nama tokoh yang pernah berperan dalam sejarah masa silam tempat tertentu.

Jadi eksistensi pohon itu diabadikan dalam nama tempat (geographical names, toponym) (Verheijen, 1984:37). Dalam catatan kaki P.Verheijen mengatakan bahwa tidak lama sesudah kebingungan awali itu, di kampung Lecem Cibal Utara, ada orang yang kemudian mengaku bahwa dia mengenal pohon Lecem itu. Bagi Verheijen, klaim pengenalan itu tidak mengubah kenyataan bahwa pohon itu sudah tidak ada lagi dalam fakta, juga tidak ada lagi bahkan dalam ingatan kolektif komunitas; eksistensi historisnya sekarang hanya terekam sebagai toponym belaka. Ia juga tambahkan informasi penting bahwa di Cibal ada kampung bernama Teni, tetapi tidak ada seorang pun di sana yang tahu bahwa teni itu adalah nama tumbuhan kategori umbi-umbian (tuberous plant). Walau di Cibal khususnya di Teni, orang tidak mengenal lagi teni sebagai umbi, tetapi Teni sebagai nama umbi masih dikenal di South Lamba-Leda (Verheijen 1984:78). Atas dasar temuan linguistitik perbandingan di Lamba-Leda itulah, Verheijen bisa memastikan mengenai arti Teni itu juga di tempat lain, termasuk di Cibal. (Bersambung...)

6 comments:

Anselmus Sahan said...

Werwitu mungkin berkaitan dengan nama hewan juga yaitu bitu, yang lakukan penggalian tanah (kaer), ayam hutan (rata) dan musang (ndamu), yg gunakan kukunya utk menyelamatkan manusia yg ada di dlm tanah dan tak bisa keluar. Ketiga5 binatang ini mampu menggali lubang dan menyelamatkan manusia. Itu terkait mitos nenek moyang saya. Karena itu, suku saya, Wajang yng berasal dari Wudi Cibal, pemali makan musang.
Nama pohon Lecem, masih ada bukti nyata di Lamba Leda Tengah, selitar Benteng Jawa. Kami sebut Lekem. Pohonnya keras dan buahnya enak jika dimakan. Prosesnya, buah Lekem yg sudah tua dibakar sampai kulitnya hangus lalu diambil biji lempeng di bagian dalam. Ada juga haju Lokom yang hanya tumbun di tanah berair atau rawa.

Masjon Kenedy said...

Mengenai pohon Lesem, Lecem.... di kampung saya Lidi-Torok Golo, ada nama yg mirip yakni LEKEM (E dibaca sepert pada kata BETHEL). Tapi rupa tumbuhan ini bukan pohon tatapi tumbuhan merambat dan bisa sangat tinggi sehingga susah diambil buahnya. Rasa dan warna buahnya: ada yang kuning dan merah kalau sudah masak. Akan terasa asam kalo belum masak benar dan manis sekali ketika sdh masak. Sy tdk tahu apakah masih ada .... biasanya tumbuh di daerah panas (biring) sekitar pantai jiga di padang (satar). Di area seputar Nangalanang terus ke arah barat menuju Iteng kemungkinan masih bisa di temukan. Apakah itu yg dimaksudkan?

Unknown said...

Pater Masjon...
terima kasih sudah ikut komentar di sini... Saya juga tidak tahu persis... tetapi dari pelbagai komentar di WAG, rupanya memang hal itu sama... ome sale Lembor dami, disebut Lekeng... tumbuh merambat, tetapi tumbuhan itu berupa tali merambat dan talinya kuat... kira-kira seperti wase ajo... persis sama seperti deskripsi dite hituy wuan e... kalau sudah matang, manis... dan kulitnya jadi merah... kalau masih belum matang kulitnya kuning... dan bisa terasa sepat juga... tabe ga...

Unknown said...

pa Anselmus...
terima kasih sudah ikut memberi komentar di sini... Saya juga tidak tahu persis... apakah sama seperti yang digambarkan di sini... beberapa teman juga di WAG memberi deskripsi yang kurang lebih mirip... dan di beberapa tempat masih bisa ditemukan... yang saya singgung dalam tulisan saya ialah bahwa di kampung yang bernama LECEM di cibal utara itu, walaupun namanya Lecem, orang sudah tidak tahu lagi LECEM itu. Karena itu pater Verheijen mengatakan, nama pohon itu hanya tersimpan dalam bentuk nama tempat, toponym, yaitu nama kampung, sedangkan pohonnya sendiri sudah tidak ada, atau orang sudah mengenalnya lagi... begitulah kira-kira... tabik saribu...

Anselmus Sahan said...

Saya baru dapat gambar buah Lekem dalam Bahasa Manggarai atau Koknaba dalam Bahasa Meto, bahasa harian orang Dawan di Pulau Timor. Gambar tersebut saya di WA kaka Frans.

canticumsolis said...

Pa Ansel....
Foto itu sudah saya terima. Terima kasih banyak. Foto itu akan saya simpan. Sebuah dokumentasi yang sangat berharga tentu saja. Tentu saya tidak akan pernah lupa kredit dite... saya belum sempat bagikan kepada teman-teman untuk meminta pendapat mereka tentang foto itu. Semoga buah itu yang dimaksudkan... tabe ga... luar biasa...

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...