Friday, April 24, 2020

CATATAN TENTANG P. J. VERHEIJEN SVD: KATA, BAHASA, DAN KESADARAN EKOLOGIS (BGN III, HABIS)

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen dan peneliti Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung.




Pengantar:
Kemarin sudah ditampilkan potongan kedua dari tulisan ini. Dua hari sebelumnya, ditampilkan bagian pertama. Pada Hari ini saya menayangkan bagian terakhir dari tiga tulisan ini. Dengan ini, catatan saya tentang Fauna Manggarai, berdasarkan jasa besar dan hebat kedua misionaris SVD di atas tadi sudah selesai. Semoga nanti pada kesempatan lain saya masih bisa menampilkan catatan dan hasil studi saya yang lain, STUDIA MANGGARAIANA.



Terep (Teureup, Citeureup?)
Saya juga mau berbicara tentang pohon Terep. Pohon ini dulu dikenal orang Manggarai dengan nama lain. Saya mengenal kata Terep sebagai nama pohon, setelah saya ke Sunda dan menemukan di sana ada tempat bernama ce-Terep dan itu dikaitkan dengan pohon, Terep. Ketika masih di Manggarai dulu, di Cibal, ada kampung Terep, tetapi saya tidak tahu bahwa Terep itu dulunya nama Pohon. Menurut P.Verheijen Terep (kluwih, sukun) tumbuh di Manggarai pada ketinggian antara 100-700m dpl. (Verheijen 1984:34). Biji kluwih atau sukun ini di Manggarai dulu disangrai (cero, sero) dan dimakan. Biji sangat lezat seperti kacang tanah atau biji jambu mete. Getah pohonnya dipakai untuk macam-macam kegunaan seperti menjerat burung (roku), menguatkan sambungan balok rumah. Yang paling banyak digunakan ialah kulit pohon itu. Kulit yang besar dipakai untuk membuat langkok (joreng, cecer), wadah raksasa (berbentuk melingkar, berdiameter minimal satu setengah meter) untuk menyimpan padi. Di beberapa tempat seperti Matawae (Mw?), kulit pohon ini dipakai untuk membungkus (rokot) mayat. Di beberapa tempat untuk pakaian dan tali. Kulit pohon diolah menjadi pewarna alami dalam tenun tradisional (Erb 1999:22;60, footnote no.4).

Tetapi kini di Manggarai pohon ini dikenal dengan nama Lale. Lale ini diabadikan sebagai nama lain untuk Manggarai. Mungkin itu nama asli Manggarai, Nusa Lale, Pulau Lale (Nunca, Nuca Lale; disebut seperti itu karena dulu di sana ada banyak lale; Verheijen 1967:393). Tetapi karena di beberapa tempat, misalnya di Cibal, ada kampung Terep, bagi P.Verheijen, itu adalah bukti historis memadai bahwa dulu kata Terep ini juga pernah dikenal di Manggarai. Kata/nama terep (teureup) inilah yang paling banyak dikenal di beberapa kawasan Nusantara ini (Erb 1999:60). Hanya Manggarai saja, kata Erb, yang memakai kata Lale untuk pohon yang di Nusantara disebut Terep. Hanya tetap menjadi misteri besar ialah mengapa dan bagaimana kata/nama Terep itu hilang di Manggarai sebagai nama pohon lalu diganti Lale.

Beberapa kemungkinan penjelasan hipotetis. Pertama, mungkin Lale adalah nama bawaan suku pendatang (imigrant). Lalu nama itu menjadi nama tempat seperti Lale Lombong dekat Perang, Deket dan Pana. Memang di tempat itu tumbuh Lale, walaupun kini terancam punah karena kayunya ditebang, sebab kayunya kuat dan keras. Jika penjelasan ini diterima maka diandaikan bahwa para pendatang itu pasti berasal dari tempat jauh yang tidak memakai Terep untuk menyebut pohon tadi, tetapi memakai Lale. Tetapi hipotesis ini sulit dibuktikan, kalau diselidiki dari mana asal-usul imigran itu, sehingga mereka tidak mengenal Terep, melainkan hanya mengenal Lale, padahal Terep dipakai di seluruh nusantara. Kedua, mungkin aslinya di banyak tempat nama pohon itu Terep, tetapi karena di tempat itu Terep punah maka orang tidak lagi mengenalnya. Sebagai gantinya orang mengenal Lale apalagi Lale itu diabadikan menjadi Nusa Lale, sehingga nama ini menjadi lebih populer dari pada Terep dalam pemakaian sehari-hari orang Manggarai dan juga dalam ingatan kolektif historis mereka.

Tetapi kedua penjelasan hipotetik ini belum bisa menyingkap misteri perubahan dari Terep ke Lale, karena hanya Manggarai yang mengenal Lale, sementara tempat lain tidak. Boleh jadi, Lale adalah kata asli Manggarai, bukan bawaan imigran. Jika ini benar, mungkin kita harus memikirkan ulang mengenai hipotesis asal-usul sebagian suku Manggarai yang konon berasal dari luar. Boleh jadi nama Lale itu berasal dari orang Manggarai “asli” yang tidak berasal dari luar, melainkan sudah ada di sana sejak purbakala. Entahlah. Semoga di masa depan, dengan studi perbandingan linguistik historis yang jauh lebih baik kiranya ada peneliti muda Manggarai yang bisa menyingkapkan hal ini. Dalam kasus Terep ini kita temukan fakta bahwa kata dan bahasa mampu merekam data dan fakta historis masa silam.


The Angry Earth: Sebuah konklusi ekologis
Di atas ada studi singkat atas fenomena kata atau nama tempat di Manggarai, yang merupakan nama tumbuhan (pohon dan rumput). Kini tumbuhan itu tidak ada lagi (witu dan lesem) atau nama itu lebih populer dikenal dengan nama lain (terep). Selama ini aktifitas ekonomis Manggarai, selain pertanian dan peternakan skala kecil, hanya berdagang. Hasil bumi dan alam diambil untuk perdagangan dan konsumsi sehari-hari. Skala dampak ekologis dari aktifitas itu tidak seberapa, walaupun tetap ada dampak ekologis. Mungkin dulu di Manggarai ada cendana, haju benge (Hemo 1987/88:35-36). Tetapi kini pohon itu punah karena eksploitasi sebagai side efek dari perdagangan internasional yang merambah ke kawasan Nusa Tenggara itu (Parimartha 2013; Pelras 2006; Toda 1999; Erb 1999).

Bayangkan kalau aktifitas ekonomis itu adalah eksplorasi tambang yang brutal. Berapa yang terancam punah? Kiranya yang punah bukan hanya flora dan fauna. Juga manusia. Sebab manusia hidup bersama Flora dan Fauna. Manusia adalah bagian utuh dari flora dan fauna. Kalau flora dan fauna musnah manusia pun punah juga. Tinggal tunggu waktu. Itu sebabnya saya ingatkan kita akan kesadaran ekologis baru. Saya berharap agar nama-nama pohon dan rerumputan yang kini hilang, tetapi yang kini tersimpan dalam daya rekam bahasa, bisa membangkitkan kesadaran ekologis kita.

Rekaman linguistik itu menyimpan bencana historis di masa silam. Diharapkan rekaman itu, bisa membangkitkan kesadaran kita akan bencana ekologis di masa yang akan datang jika kita tidak berhati-hati merawat Ibu Bumi. Dalam ritual kesuburan asli Manggarai, bumi disebut Ende Wa (Ibu di Bawah, bumi dan segala isinya) dengan pasangan Ema Eta (Bapa di Atas, langit, matahari) (Verheijen 1991:41-42; Erb 1999:22; Borgias 2016). Jika kita tidak perlakukan Ende Wa dengan baik, Ema Eta akan marah dan mendatangkan bencana ekologis bagi semua makhluk yang lahir dari rahim pertiwi ini, seperti disarankan Anthony Oliver-Smith and Susanna M.Hoffman (editor), yang menerbitkan The Angry Earth (Bumi Murka). Bumi tidak hanya marah. Menurut L.Boff, Bumi juga menangis. Tangis bumi, tangis orang Miskin. Cry of Earth, Cry of the Poor. Mari kita menjaga jangan sampai Bunda Bumi, menangis dan marah kepada kita. Kita yakin, sebagaimana dikidungkan Fransiskus dalam Gita Sang Surya-nya yang terkenal itu, Ibu Bumi yang memberi kita makan dan kehidupan dengan menumbuhkan pelbagai tumbuhan. Jika ibu bumi rusak, maka rusaklah sumber makanan, sumber hidup kita. Betapa itu menyeramkan. (Habis).

2 comments:

gabyofm said...

Klo "lale" , kata asli org manggarai, mungkin perlu tanya org di Liang Bua,klo mereka ini kita anggap sebagai org manggarai asli, 🤣🤣 sekedar koment. Betul membangkitkan kesadaran ekologis

canticumsolis said...

Iyo tuang Gaby...
pertama-tama trima kasih atas kesediaannya untuk menulis komentar di sini...
kedua, nanti kita tunggu diskusi teman-teman yang lain di sini, maupun di facebook dan juga terutama di beberapa wag... trima kasih banyak sekali lagi...
salam damai....

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...