Saturday, April 25, 2020

TRAGEDI TAMBANG

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen dan peneliti pada Fakultas Filsafat UNPAR Bandung.




Sudah seminggu belakangan ini saya menayangkan tulisan tentang dua misionaris SVD (J.Verheijen dan E.Schmutz) yang meneliti flora dan fauna Manggarai. Mereka merekam keindahan flora-fauna Manggarai dalam hasil penelitian mereka. Sekarang keindahan itu terancam. Hari-hari ini ketenangan orang Manggarai diaspora terusik karena terdengar kabar dari kampung halaman bahwa punggung bumi pulau kecil itu akan terancam oleh alat-alat garuk dan bor raksasa yang ganas dari perusahaan-perusahaan tambang. Beberapa kelompok aktifis anti-tambang seperti JPIC-OFM Indonesia dan JPIC lain di Manggarai Raya, mulai bereaksi dengan menyuarakan suara mereka. Inilah suara saya yang bukan siapa-siapa. Tetapi saya merasa perlu bersuara agar ancaman itu tidak terjadi.

Ketika menulis artikel singkat terkait hal ini tiba-tiba saya teringat sebuah pengalaman beberapa tahun silam pada tanggal 24 April 2013, saat sedang menempuh pendidikan doctoral di ICRS-Yogyakarta. Saat itu saya mengikuti rangkaian kuliah di Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) tentang persoalan agama dan fenomena serta fakta kemiskinan. Selesai kuliah, saya mengunjungi toko buku koperasi mahasiswa. Di sana saya temukan buku kecil. Judulnya menarik: Datang, Gali, Pergi, suntingan Eko Teguh Paripurna dan Siti Maemunah (Penerbit Intrans-press publishing, 2012). Dua minggu sesudah itu, saya menonton acara televisi tentang tragedi pencemaran lingkungan akibat tambang mangan di Timor. Debu tambang itu berbahaya bagi kesehatan nafas manusia, terutama anak-anak. Juga berbahaya bagi binatang (fauna), dan tetumbuhan (flora).

Yang menarik dari buku itu adalah tiga kata kerja pada judulnya: Datang, Gali, Pergi. Ketiganya bukan kata-kata kosong, yang tidak mengandung makna atau tidak menyiratkan kesadaran moral jangka panjang dari subjek pelakunya. Para penambang ataupun pemodal (jejaring kapital dan kapitalisme lokal-global) datang ke lokasi tambang. Lalu ada yang menggali. Sebuah percampuran aneh antara pemodal dan buruh yang saling membutuhkan tetapi juga terjadi relasi asimetris karena pemilik modal menindas buruh. Mereka datang entah dari mana; tidak ada yang mengundang; mungkin diundang penguasa yang bersikap praktis dan pragmatis. Mereka datang dengan nafsu merengkuh dan merenggut dan dilengkapi perlengkapan menakutkan dan membungkam orang kecil, lemah dan tidak berdaya.

Setelah tiba, mereka menggali (kata kerja kedua). Itu berarti mengeruk, melubangi, mengebor, menggusur, merusak, merangsek ke punggung dan perut bumi. Ia tidak peduli akibat ekologis dari tindakan penggalian dan pengerukan itu. Para penggali yang diawasi mandor tidak peduli suara protes para aktifis dan pejuang lingkungan hidup. Mereka menyewa orang bayaran (preman) untuk menindas dan mengintimidasi aktifis pembela lingkungan hidup. Dengan bantuan orang bayaran tersebut, para penggali bisa bekerja aman, jauh dari segala gangguan. Hasilnya? Muncul lobang-lobang raksasa. Hutan dan humus tanah tergerus, rusak, dan musnah. Pada musim kering penggalian itu menghasilkan debu tebal menjulang tinggi. Pada musim hujan, ia menjadi lumpur atau becek. Lalu banjir mengancam.

Setelah menemukan yang mereka cari, mereka pergi begitu saja membawa hasil galian. Mungkin selama proses penggalian itu mereka sudah diam-diam mengekspor. Mereka tidak menetap di sana, karena apa yang ia cari hanya tersedia dalam jumlah terbatas dan tidak terbarukan dan tidak berkelanjutan. Biasanya yang mereka cari itu ada dekat permukaan bumi. Maka mudah ditemukan, dan setelah ditemukan mereka kabur begitu saja. Tragisnya lagi, mereka tidak pernah kembali. Orang seperti itu tidak peduli pada punggung dan rahim bumi yang mereka hancurkan dengan nafsu. Hasil galian mereka bawa pergi ke tempat lain; tidak tersisa apa pun bagi orang setempat yang merana tinggal di sana dalam krisis kemanusiaan dan tragedi kemiskinan. Serba suram. Sulit bangkit kembali setelah alam dan lingkungan mereka dilukai dan dirusak dengan ngeri. Begitulah potret suram proses penutupan lobang tambang di Indonesia dan juga di seluruh dunia. Ada yang tidak ditutup sama sekali sehingga menjadi danau kawah. Itu yang terjadi, misalnya bekas-bekas lobang tambang timah (biliton) di Belitung dan Bangka itu.

Saya kembali lagi ke buku itu. Di cover belakang buku itu ada kutipan menarik. Itu adalah ilustrasi yang tepat bagi sikap etis pelaku tambang di manapun di dunia ini. Katanya sbb: “Do not flush. Be like the mining industry and let some one else clean up your waste.” Kalimat ini diambil dari WC. Biasanya setelah membuang air, kita harus membersihkannya agar pemakai berikut tidak jijik. Itu kewajiban yang sangat biasa. Kenyamanan pemakai berikut menjadi tanggung-jawab kita untuk menjaminnya.

Berbeda dengan etika toilet umum itu, kutipan tadi menasihatkan agar kita tidak usah menyiram WC (flush). Begitulah perilaku industri tambang. Mereka pergi begitu saja dan memaksa orang lain membersihkan kotoran dia. Ini kurang ajar, tidak sopan, kotor dan jelek. Tetapi itu yang dilakukan pelaku tambang di mana-mana pun di dunia ini. Kalimat sarkasme di atas tadi diambil dari Montana (USA). Di sana ada duapuluh ribu lobang tambang yang ditinggalkan begitu saja. Lobang-lobang itu kini mengeluarkan gas beracun yang berbahaya. Kini warga yang harus bertanggung-jawab atas hancur dan rusaknya lingkungan hidup. Penggali dan pemodal sudah pergi dan tidak akan kembali. Mereka kabur entah ke mana. Dari situ tampak bahwa mereka tidak membawa kemakmuran sama sekali bagi penduduk setempat. Mereka hanya membawa lobang-lobang menganga yang mengeluarkan gas-gas beracun yang ngeri. Mereka membawa derita bagi penduduk setempat, akibat rusaknya lingkungan hidup, “rumah kediaman” mereka. Orang luarlah yang menimpakan hal itu atas mereka, sementara mereka tidak berdaya menolaknya ataupun menghindar dari hal itu. Tragis. Itu sebabnya Boff mengatakan bahwa tangis bumi adalah tangis orang miskin (cry of the earth, cry of the poor) (Orbis Books 1997).

Setelah menyadari dampak buruk kegiatan pertambangan, maka jangan pernah lagi membiarkan mereka datang, apalagi menggali dan melubangi punggung bumi. Jika hal itu terjadi, pasti mereka akan segera pergi begitu mendapat apa yang mereka inginkan. Mereka akan pergi menggali di tempat lain. Tragedi tambang adalah tragedi bumi, juga tragedi kemanusiaan. Di hadapan kedua tragedi ini kita tidak dapat lagi berdiam diri, bersikap pasif. Sudah jelas bahwa mereka adalah perusak, mereka adalah penghancur kehidupan, mereka adalah pembunuh berdarah dingin. Karena itu, kita harus menghentikan mereka, sekarang ini juga, demi keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan.


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...