Wednesday, April 22, 2020

CATATAN TENTANG P. J. VERHEIJEN SVD: KATA, BAHASA, DAN KESADARAN EKOLOGIS

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Dosen dan peneliti Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung.



Pengantar Singkat:
Tahun 2017 saya pernah menulis artikel panjang yang saya terbitkan di Academia. Apa yang saya sajikan di sini hanya ringkasan ringan dari artikel tersebut.


Mungkin kita menganggap remeh studi dan riset linguistik para ahli linguistik karena kita tidak tahu apa yang mereka kerjakan. Kita tidak menyadari kegunaan dan aplikasi praktis dari studi mereka. Tetapi kita tidak dapat menyepelekan penelitian linguistik itu. Penelitian inipun bisa menghasilkan temuan cemerlang, yang bisa memberi sumbangan terhadap ilmu, kebudayan, dan kemanusiaan.

Misalnya hasil penelitian linguistik P.Jilis Verheijen SVD di Manggarai. Walau dia “hanya” pastor misionaris dan bukan ahli linguistik, tetapi dia telah melakukan penelitian terhadap bahasa Manggarai. Bagi orang yang menaruh minat besar terhadap antropologi, studi pater Verheijen itu amat penting. Berdasarkan studi beliau tentang nama tetumbuhan di Manggarai, muncul kamus nama tetumbuhan (Verheijen 1982). Kita dapat menemukan dua kategori temuan ajaib. Pertama, kita menemukan nama kuno dari tetumbuhan tertentu karena kini kata itu tidak dipakai lagi sebagai nama tetumbuhan, melainkan hanya sebagai nama tempat (toponim). Kedua, kita juga dapat menyingkapkan nama tetumbuhan yang diduga punah, tetapi kini masih dilestarikan sebagai nama tempat ataupun nama kampung tertentu. Contoh-contoh akan diberikan pada waktunya nanti.


Rekam Jejak Masa Silam Dalam Bahasa
Hal itu mungkin terjadi karena kata Pater Verheijen dalam bahasa-bahasa tersimpan sejumlah data historis masa silam yang bisa menyingkapkan misteri masa silam itu bagi masa kini dan masa depan (1982:34). Kita bisa temukan dalam “rekaman” linguistik itu nama tetumbuhan yang kini tidak lagi digunakan orang karena ada nama baru yang lebih popular. Tetapi popularitas nama baru itu tidak menggusur nama lama, nama arkais tadi. Dalam konteks bahasa yang tidak tertulis seperti Manggarai, proses kehilangan seperti itu hanya dapat ditunjukkan dengan beberapa contoh. Semuanya masih sangat terbatas. Tetapi dari yang terbatas itu, kita masih bisa menyingkapkan masa silam dengan baik.

Munandjar Widiyatmoko, dalam Cendana, dan Dinamika Masyarakat Nusa Tenggara Timur (2014:3-4) mengatakan bahwa dulu cendana tumbuh di sebagian besar pulau utama NTT (Flores, Sumba, Timor, Alor). Cendana dikenal dengan pelbagai nama. Di Manggarai disebut haju benge (Hemo 1987/1988:38). Tetapi akibat perdagangan internasional, kayu itu punah dari beberapa pulau utama di NTT. Kini hanya tersisa di Timor sehingga dewasa ini hanya Timor yang dikenal sebagai pulau Cendana. Sedangkan pulau lain (Flores, Sumba, Alor) hanya tinggal kenangan historis masa silam. Peristiwa kepunahan dalam sejarah masa silam NTT, tidak hanya menimpa Cendana saja. Masih ada cukup banyak jenis tetumbuhan, pepohonan lain yang sudah mengalami nasib yang sama, hanya mungkin belum terungkapkan dalam sebuah penelitian, maupun dokumentasi tertulis. Hal ini masuk akal karena NTT, menurut Parimartha (2002:181-255;363-364), berada di jalur perdagangan laut internasional sejak dahulu hingga kini. Cendana punah dari beberapa pulau NTT karena efek perdagangan internasional tersebut. Banyak orang datang mencarinya, menebangnya dan mengangkutnya untuk dipasarkan di pasar internasional, dengan meninggalkan di belakang pulau-pulau tandus, hamparan sabana dan stepa kering kerontang. Belum lagi kita perhitungkan persoalan lain seperti perubahan musim ekstrem, maupun bencana alam seperti letusan gunung berapi, seperti letusan Tambora tahun 1815 yang terkenal itu (Boers 1995:37-60), dan juga letusan gunung lain, yang sangat banyak di kawasan itu, sehingga orang mengenalnya juga dengan sebutan Ring of Fire (Cincin Api). Untuk menguak semuanya itu dibutuhkan studi mendalam.

Dalam tulisan ini, saya menelusuri nama tiga tetumbuhan di Manggarai. Dari ketiga nama tersebut ada dua pohon (haju) dan satu rumput (remang). Ketiganya ialah Lecem, Terep, Witu. Dalam uraian ini, saya mulai dengan rumput (remang Witu). Sesudah itu saya mengulas pohon (haju Lecem, Terep).

4 comments:

Unknown said...

OH YA...
INI BAGIAN PERTAMA, DARI TIGA TULISAN...
SEMOGA BERGUNA BAGI PARA PEMBACA SEKALIAN...

ELJEBARU said...

Tabe ee tuang... Neka rabo, cala manga koe dokumentasi gambar/foto Haju Lecem, Haju Terep, agu Remang Witu, situn one ite?
Agu gereng kin laku tulisan ho wa ee tuang. Terima kasih krn SANGAT MENCERAHKAN. Terima kasih, Tabe

"Dalam tulisan ini, saya menelusuri nama tiga tetumbuhan di Manggarai. Dari ketiga nama tersebut ada dua pohon (haju) dan satu rumput (remang). Ketiganya ialah Lecem, Terep, Witu. Dalam uraian ini, saya mulai dengan rumput (remang Witu). Sesudah itu saya mengulas pohon (haju Lecem, Terep)."

Unknown said...

Neka Rabo ge...
Saya justru tidak punya gambar atau foto-fotonya e...
Dari studi saya ini, saya justru mau mengatakan bahwa...
pohon-pohon itu sekarang terutama remang witu dan haju lecem, sudah tidak ada lagi...
Yang mungkin masih ada ialah Terep, tetapi dgn nama lain, LALE...

Diang agu cesua saya akan omong tentang lecem dan lale itu...
tabe ga...

Unknown said...

Oh ya, di kamus pater Verheijen pun tidak ada gambar atau fotonya...
saya tidak tahu apakah ada di manuskrip de pater Erwin...
tulisan saya ini hanya mau mengatakan,
pohon dan rumputnya sudah tidak ada,
hanya tinggal nama saja yang terekam dalam bahasa...

tae data tua danong ga...
mbate taka ngasangd kali ga...
bo taran ga, mora gi, mempo gi...
kecuali Terep, yaitu haju Lale tadi... cala bae lite haju Lale... ye...
dari mana NUSA LALE berasal... hehehehehe...

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...