Saturday, December 8, 2018

PAULUS DAN TERANCAMNYA BISNIS DEMETRIUS

Oleh: EFBE Ndungwelarunu


Pagi itu Demetrius berdiri di depan tokonya. Ia merasakan ada yang aneh. Mula-mula ia tidak begitu menyadarinya. Beberapa saat kemudian. Untuk pertama kalinya ia sadar bahwa tokonya semakin sepi pengunjung. Ia mulai cemas dengan hal itu. Sepi pembeli berarti mati produksi. Tidak ada penghasilan. Itu berari kemiskinan, kelaparan, kematian. Ia ingat bahwa di belakang tokonya ada bengkel tempat dia membuat kerajinan perak. Yang paling banyak dibuat adalah kuil-kuilan mini Dewi Artemis, pujaan kota Efesus. Kuil itu dan patung Dewi Artemis berdiri megah di alun-alun kota. Bengkel Demetrius hanya membuat miniaturnya untuk kenang-kenangan dan perhiasan devosional di rumah pribadi. Di bengkel itu ia memiliki beberapa pengrajin dan pekerja. Bengkel itu, berikut pengrajinnya hanya bisa hidup karena ramainya toko penjualan di depan. Sekarang toko itu sepi. Ia terbayang akan nasib para pengrajin dan tukangnya. Suram sekali.

*****
Demetrius pun berpikir keras mencari penyebab semua ini. Ia teringat Paulus. Nama Paulus akhir-akhir ini sangat terkenal di sekitar Efesus dan juga kota Efesus. Berkat kotbah dan pengajaran serta mukijzatnya, banyak orang bertobat dan mengubah jalan hidup dari kekafiran kepada iman. Kitab-kitab sihir ditinggalkan. Bahkan ada yang dibakar. Demetrius belum pernah bertemu Paulus. Tetapi ia pernah mendengar ajaran baru yang dibawanya. Ia menjadikan Paulus “Kambing Hitam.” Lalu ia mengumpulkan karyawannya. Ia hasut mereka.

Demetrius sadar bahwa kalau ia mengangkat isu krisis ekonomi, mungkin mereka tidak marah. Maka ia mengangkat isu agama yang bisa mengobok emosi massa. Mulailah ia berpidato: “Saudara-saudara, kamu tahu, bahwa kemakmuran kita adalah hasil perusahaan ini! Sekarang kamu sendiri melihat dan mendengar, bagaimana Paulus, bukan saja di Efesus, tetapi juga hampir di seluruh Asia telah membujuk dan menyesatkan banyak orang dengan mengatakan, bahwa apa yang dibuat oleh tangan manusia bukanlah dewa.” Saat itu mereka membelalak. Demetrius lanjutkan: “Dengan jalan demikian bukan saja perusahaan kita berada dalam bahaya untuk dihina orang, tetapi juga kuil Artemis, dewa besar itu, berada dalam bahaya akan kehilangan artinya. Dan Artemis sendiri, Artemis yang disembah oleh seluruh Asia dan seluruh dunia yang beradab, akan kehilangan kebesarannya.” Demetrius mengkaitkan masalah itu dengan nasib usahanya. Ia samakan nasib perusahaannya dengan nasib Artemis. Nasib Artemis akan suram, padahal kita menjual miniatur kuil Artemis. Kalau Artemis suram, maka suram juga nasib kita. Perusahaan ini akan dilecehkan. Dewi Artemis juga akan dilecehkan. Demetrius mengangkat isu agama yang sensitif di kota itu.

*****
Mendengar pidato Demetrius itu, maka massa yang mendengarnya marah. Mereka berseru mengagungkan nama sang Dewi: Hidup Artemis, Hidup Artemis, Hidup Efesus, Hidup Efesus, Hidup Artemis. Pekik suara mereka memenuhi seluruh kota itu. Gema suara mereka ditanggapi warga kota. Kota itu pun menjadi rusuh. Massa semakin banyak berkumpul di toko Demetrius. Dari sana mereka berarak sambil berteriak ke gedung kesenian. Mereka ingin mengadili Paulus. Tetapi mereka tidak menemukan dia. Yang mereka temukan adalah dua teman perjalanan Paulus yang berasal dari Makedonia. Mereka adalah Gayus dan Aristarkhus. Massa mau mengadili kedua orang itu.

Menyadari bahaya yang menimpa keduanya, Paulus ingin masuk ke tengah gerombolan massa tersebut untuk menjelaskan perkaranya. Tetapi niat itu dicegah beberapa pihak. Semula Paulus ngotot dan mendesak. Tetapi beberapa pembesar kota yang bersahabat membujuk dia agar tenang dalam persembunyian. Paulus tetap ngotot. Namun akhirnya ia mengalah setelah mendapat jaminan mereka, bahwa mereka akan mencari jalan keluar dari krisis kerusuhan kota itu.

Situasi sangat gawat. Kalau Paulus masuk ia akan menjadi sasaran empuk kemarahan massa itu yang omong tidak karu-karuan. Mereka meneriakkan hal-hal yang berbeda. Tidak jelas. Bahkan ada juga yang tidak tahu untuk apa mereka berkumpul di tempat itu. Yang penting, ikut arus ramai sambil berteriak. Saat itu ada seseorang, bernama Aleksander. Ia mencoba memberi penjelasan tentang apa yang terjadi. Tetapi karena orang banyak itu tahu bahwa dia orang Yahudi, mereka tidak mau mendengarkan kesaksiannya. Padahal orang Yahudi di kota itu, mau memakai kesempatan itu untuk menjatuhkan Paulus. Untunglah massa itu tidak mendengarkan Aleksander. Mereka bahkan berteriak selama dua jam menyerukan pekik pemuliaan dewi Artemis: “Hidup Artemis, Hidup Efesus.”

*****
Melihat itu, panitera kota pun turun tangan. Ia tempuh jalan aman dan nyaman. Ia memuja selangit Efesus dan penduduknya. Ia memuji Penduduk Efesus sebagai orang yang paling setia mengabdi Dewi Artemis mahabesar, yang patungnya turun dari langit. Saat mendengar kata-kata itu, mereka diam. Ia meminta agar penduduk Efesus berpikir jernih. Ia mengatakan bahwa kedua orang ini tidak bersalah. Mereka tidak merampok kuil Dewi Artemis. Mereka tidak menghujat sang Dewi. Mereka semua terdiam. Kalau Demetrius dan orangnya ada masalah dengan kedua orang ini, hendaknya menempuh jalur hukum. Jangan memakai pengadilan jalanan. “Kita harus memakai pengadilan rakyat yang sah. Jika tidak kita akan dituduh membuat kegaduhan dan huru-hara pada hari ini. Padahal kita tidak punya alasan kuat untuk kumpul massa yang banyak dan rusuh ini. Kita tidak dapat membenarkan kumpulan rusuh dan kacau ini.”

Mendengar itu, gerombolan massa itu pun bubar dengan tertib.

(cerpen dibuat berdasarkan Kis 19:21-40).

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...