Showing posts with label nostalgia01. Show all posts
Showing posts with label nostalgia01. Show all posts

Monday, September 26, 2011

PUISI-PUISI JULI 2011

OLEH: FRANSISKUS BORGIAS M.


PADA AWAL MULA
Pada awal mula adalah bunyi, adalah fonem, adalah fonos, suara purba, aum, om, beresyit, kun faya kun, maka segala sesuatu pun mulai menjadi, mulai mengada, bahkan menjadi-jadi, dan mengada-ada. Itu awal mula ekses yang hanya bisa ditasi dengan menelusuri lagi etimologi. Ya, gerak kembali ke yang asali, ke yang awali. Sunyi. Berarti.

Lempong Lor, 18 Juli 2011.


AKU AKAN PERGI
Aku akan pergi menyusuri angin padang mencumbui ilalang dan berharap akan temui sunyi bengawan jati-diri di mana batu-batu menemani meditasi, nyepi dalam diri berlari menghindari ramai nan pekat sunyi tetap berarti kendati tiada angin sabana dan ilalang melengos bisu terbuai bisikan bayu nan biru.

Lempong Lor, 19 Juli 2011.


DI GEREJA
Di gereja kumelihat asap dupa, membumbung bebas memenuhi ruang suci, terbayang jiwaku, budiku, pikiranku yang rohani, yang bebas melayang, melanglang buana, karena ia adalah gambaran ilahi, hoc est imago dei.

Banteng, 24 Juli 2011.


DI GEREJA
Di gereja kumelihat asap dupa, membumbung bebas ke atas, terbayang sebuah misteri batianiah, dalam diriku, misteri doa yang benar, yang hanya bisa terucap berkat dorongan roh ilahi, yang sudi berdoa untukku, bahkan juga ketika aku tiada mampu berkata-kata, dan roh ilahi itu akan berdoa bagi kita dengan kata-kata yang tiada terucap.

Banteng, 24 Juli 2011.

Wednesday, January 14, 2009

PEMBELA ORANG SAKIT

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Seminari Kisol, pada paruh kedua tahun 70-an masih sebuah dusun terpencil. Bangunan ‘mewah’ hanya gedung seminari. Kalau di malam hari dilengkapi penerangan listrik, dari jam 6 sore sampai jam 11 malam. Sedangkan rumah penduduk di sekitar kebanyakan masih sederhana dan tanpa listrik. Begitu malam mendekat, semuanya jadi sunyi. Yang terdengar hanya bunyi margasatwa malam, burung, kodok, jengkrik, bahkan cacing tanah yang mungkin birahi di dalam kesepian dan kesendirian.

Maka kalau ada seminaris yang sakit, sesuatu yang tidak terhindarkan saat itu, karena malaria merupakan gangguan paling serius di daerah itu, ia akan terjeblos ke dalam kesendirian dan kesepian. Apalagi kalau dia sakit sendirian, artinya tidak ada satu atau dua seminaris lain yang sakit pada waktu yang sama. Ruang tidur adalah bangsal besar, bisa mencapai seratus meter dengan lebar sembilan atau sepuluh meter. Maka pengalaman sakit berarti pengalaman jatuh dalam kesendirian, hanya ditemani tiang-tiang tempat tidur yang sangat banyak dan terasa menyeramkan di malam hari. Tiang-tiang itu bak pepohonan di hutan, apalagi kalau listrik dipadamkan di beberapa bagian bangsal itu.

Kiranya pastor Pembina sadar akan hal itu. Maka ada tradisi bahwa ada tugas layanan pastoral yang dibentuk khusus untuk melayani orang sakit. Itulah yang disebut Pembela Orang Sakit. Sebenarnya ada dua kata Latin di balik istilah ini. Ada Advocata, artinya menjadi juru bicara bagi orang sakit. Ada Consolator, artinya penghibur. Memang itulah substansi pekerjaan para Pembela Orang Sakit itu. Pelayanan itu diserahkan kepada para siswa. Ada pemilihan khusus untuk petugas dan penanggung jawab, termasuk layanan ini. Kriteria orang yang dipilih adalah, orang itu harus orang pandai bercerita, pandai menghibur, bisa mengemong, berpenampilan dewasa, tanggung jawab. Ia juga harus pintar, dan pendoa. Maka tidak banyak orang yang lolos menjabati kedudukan penting ini. Sebab semuanya itu diperlukan untuk menghibur orang sakit. Tugas seperti ini tidak bisa dibilang gampang, sebab ia harus melayani. Kalau si sakit muntah-muntah, dia membersihkan embernya. Kalau si sakit muntah di lantai mereka mengepelnya. Kalau si sakit susah berjalan, mereka harus memapahnya ke WC, juga di malam hari.

Orang seperti ini biasanya agak boleh bebas keluar kelas pada saat belajar dengan alasan menjenguk orang sakit, berdoa bagi dan bersama mereka, membacakan cerita kudus untuk mereka. Ataupun sekedar mendengarkan cerita mereka. Sebab biasanya dalam pengalaman sakit orang cenderung jatuh ke dalam nostalgia dan mencoba mengulik nostalgia itu. Tetapi biasanya proses itu ternyata membawa dampak terapeutik juga. Memang tidak mudah mengemban tugas ini. Apalagi kalau ada siswa seminari yang jatuh sakit berat, sampai harus dimasukkan ruang isolasi (karantina). Pembela orang sakit harus terus dengan tekun melayani mereka. Biasanya mereka adalah satu tim yang terdiri dari beberapa orang. Diketuai siswa Senior (kelas III SMP), lalu ada anggota kelas II dan kaderisasi anggota baru dari Kelas I.

Di bawah koordinasi para Pembela senior, biasanya tugas bergilir. Nah di sinilah ada peluang para pembela yang nakal. Sebab tidak semuanya baik-baik. Mereka memang pandai, tetapi ada yang suka makan enak. Maka di situlah ada peluang bermain. Dia akan memesankan menu khusus ke dapur, yang seakan-akan diminta oleh si sakit, tetapi sesungguhnya, kalau menu itu datang, si sakit tidak menyukainya. Maka itulah yang akan menjadi jatah dia. Tentu dia berpesan kepada si sakit agar jangan menyentuh “rantangan” khusus itu, sebab itulah ransom sang pembela. Tentu ini penyimpangan. Ada pembela yang bisa menjadi gemuk karena praktek kurang ajar seperti ini. Sebab diam-diam, para pembela seperti ini selalu berharap agar ada orang sakit. Kalau ada yang sakit, memang itu “kerja” ekstra bagi mereka, tetapi itu juga peluang mendapat menu istimewa dengan cara manipulasi pesanan rantangan ke dapur. Yah, hidup ini ada-ada saja.


Thursday, December 11, 2008

GNOTI SEAUTON

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Kenalilah dirimu. Itulah nasihat dari Sokrates. Pengenalan diri adalah pangkal segalanya. Sejak awal kami di seminari kami diperkenalkan dengan sebuah latihan unik, mengenal diri, mencoba mengambil jarak dari diri, mengkritik diri. Sebagai alasan pastor pembimbing mengatakan bahwa salah satu tanda kedewasaan ialah kemampuan mengenal dan mengakui diri, dan kemampuan melakukan oto-kritik (self-criticism). Salah satu latihan ialah membayangkan diri di masa silam. Diri di masa silam itu, memang benar diriku, aku-ku. Tetapi ia sudah menjadi aku yang lain, yang berjarak dari aku kini, yang sekarang dan di sini, hic et nunc. Aku mencoba mengenalnya dari sini. Ini latihan unik: karena kita seakan menempatkan “boneka” kita dari masa silam, di hadapan aku yang kini sadar dan berpikir, bahkan karena berpikir maka aku ada, cogito ergo sum.

Latihan lain ialah acara “periksa batin” – demikian tradisi seminari menyebutnya – yang dilakukan beberapa kali sehari. Pertama waktu Ekaristi pagi hari; saat itu kami mengaku dosa setelah terlebih dahulu memeriksa batin. Kedua, pada siang hari sesudah selesai pelajaran; saat itu ada acara periksa batin siang, sesaat sebelum makan. Biasanya didahului doa epiklesis, memohon turunnya Roh Kudus, agar kami berani menghadapi diri sendiri yang mungkin bopeng selama hari itu, entah dengan pikiran, perkataan, perbuatan, dan kelalaian. Periksa batin sianglah yang berat, karena dilakukan sesudah jam ngantuk di kelas, dan perut lapar, sementara dari kamar makan, angin membawa aroma makan siang. Bagi orang lapar, sekadar bayangan makanan yang tersedia pun terasa lezat, walau sesungguhnya makanan itu mungkin tidak selalu lezat, yang penting ada. Tetapi yang menggoda hidung kami pada saat seperti itu ialah makanan para pastor guru dan pembimbing kami yang jauh lebih baik gizinya, dan variasi menunya. Sudahlah. Saya kembali ke periksa batin itu. Acara periksa batin ketiga ialah pada malam menjelang tidur, dalam doa malam, Completorium, doa penutup. Saat itu ada juga periksa batin.

Dengan rutinitas harian seperti itu, kami serasa telanjang. Polos. Tabula rasa. Tetapi dalam pengalaman saya praksis itu hampir menjadi skrupelous. Orang mudah merasa bersalah, melihat banyak salah, mudah merasa berdosa. Mungkin hal itu ada baiknya juga secara moral, daripada kalau orang tidak punya rasa berdosa sama sekali. Hidup seakan seluruhnya ditandai mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa. Doa itu tidak berhenti di situ. Untuk mengatasi skrupel, biasanya saya dengan sadar mengucapkan bagian selanjutnya: Oleh karena itu saya mohon kepada santa perawan Maria, kepada para malaekat, dan orang kudus, dan kepada saudara sekalian.... Ini penting, sebab pengalaman rasa bersalah harus bermuara pada sikap rendah hati untuk bertobat di hadapan gereja. Ini luar biasa. Suatu upaya pengenalan diri yang bermuara pada pengenalan dosa, tetapi berlabuh dalam doa mohon ampunan. Kami merasa semakin menukuk ke kedalaman hati.

Setiap Jum’at pertama ada kesempatan mengaku dosa. Ini juga bagian dari latihan mengenal diri dengan bantuan bapa pengakuan. Bagi saya ini adalah latihan menjadi rendah hati, taat. Sebab setiap pengakuan disertai penitensi (hukuman, denda) atas dosa. Penitensi yang tergolong berat ialah jalan salib malam hari. Sebab itu berarti kita sendirian di kapel, gelap. Temaram. Seram. Di sini saya teringat akan teman, yang mendapat penitensi jalan salib: agar cepat selesai, ia berdiri pada setiap stasi jalan salib tidak labih dari 10 detik; di sana ia memandang gambar, lalu pindah ke gambar berikut. Jalan salib jadinya tidak lebih dari 140 detik. Tentu ada yang serius menjalani penitensi itu, bahkan sampai ke tingkat skrupel.

Bagaimana pun variasi pelaksanaan dan kesadaran akan semua latihan itu, semuanya membawa orang ke muara keberanian otokritik, yang dalam ilmu psikologi kepribadian diyakini sebagai tanda kematangan dan kedewasaan.


Thursday, November 13, 2008

CERITA ORANG KUDUS

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Setelah hampir setahun di Seminari, saya coba melakukan kilas balik. Dan saya pun sadar bahwa seluruh waktu hidup kami selama ini ditata sedemikian rupa sehingga terarah kepada pengembangan hidup rohani, hidup intelektual, dan kematangan pribadi. Semuanya ada waktunya, dan pada waktunya. Tidak bisa sembarangan. Ada waktu untuk tidur, ada waktu untuk bangun, ada waktu untuk studi, walau ada yang tidur waktu studi. Ada waktu untuk makan, ada waktu untuk menahan diri dari makan. Ada waktu untuk berdoa, ada waktu untuk bekerja, walau ada orang yang bisa bekerja sambil berdoa, mungkin tidak bisa sebaliknya, berdoa sambil bekerja. Ada tonggak vertikal teologis dalam hidup kami, artinya tonggak yang dengan sadar dan sengaja mengangkat kami ke atas, menatap kepada sang sumber hidup.

Salah satu kebiasaan yang turut membentuk hidup kami ialah apa yang disebut Bacaan Rohani. Bacaan Rohani adalah jam yang khusus disediakan kira-kira setengah jam, sebelum kompletorium. Biasanya kegiatan ini dilakukan dalam keheningan malam, diiringi bunyi margasatwa malam. Terdengar bunyi jengkrik yang mencoba memecah sunyi, atau mungkin rindu sunyi. Juga bunyi cacing tanah yang seram. Juga kodok yang birahi. Tercampur baur. Biasanya sesudah bacaan rohani itu dilanjutkan ibadat malam, completorium. Doa malam ini sangat berbekas dalam kenangan saya karena refrain kidung Simeon-nya yang khas: Dalam tanganMu ya Tuhan, kuserahkan hidupku. Juga antifon Maria yang berkumandang di akhir doa malam. Maria menjadi tempat berlabuh dalam mengarungi lautan malam. Maria menjadi stela maris, dan stela matutina.

Biasanya yang kami baca ialah Kitab Suci dan Riwayat Orang Kudus. Kitab Suci, entah kitab suci biasa, maupun kitab suci anak-anak dan bergambar. Biasanya prefek (pamong) seminari mengawasi kegiatan itu dengan mengamati apa yang dilakukan anak-anak. Setiap pamong ada kekhasannya. Di tengah malam kami bisa mencium bau rokok yang lengket pada pamong tertentu. Ada yang dikenal karena minyak rambutnya yang khas. Ada yang dikenal karena minyak wanginya yang khas. Ada yang dikenal karena bunyi sandal atau sepatunya di gang berubin di seminari. Kami diminta menghafal ayat-ayat atau bahkan perikopa tertentu, seperti sabda bahagia yang terkenal itu.

Tetapi yang tidak kulupakan ialah kewajiban membaca riwayat orang kudus. Lama kelamaan saya sadar bahwa aktifitas membaca hidup orang kudus adalah penyadaran akan Kitab Suci yang mengendap dalam hidup nyata. Sebab hidup orang kudus adalah kitab suci dalam pentas kehidupan nyata. Sehubungan ini ada ungkapan Latin yang terkenal: Verba vollant, exempla trahunt. Kata-kata cepat dilupakan, tetapi teladan hidup akan menarik dan menggerakkan orang. Ada versi lain dari ungkapan ini: verba vollent, exempla manet. Kata-kata cepat terlupakan, tetapi teladan hidup melekat dalam ingatan. Bagi saya itulah arti penting dari membaca riwayat hidup orang kudus. Saya ingat baik bahwa saat itu saya membaca si Marcelino kecil yang hidup dalam keriangan biara Fransiskan. Juga riwayat Fransiskus dari Asisi dan Clara. Juga Antonius dari Mesir, Martinus dari Tours, Gregorius Agung, Agustinus, para Martir Afrika Utara, dan Lyon. Martir Roma. Bahkan membaca juga orang kudus dari Kongo, Karolus Lwangwa, dari Korea Andreas Kim Tae Gon, Paulus Chong Hang Sang, dan Vietnam: Andreas Dung Lac, dll. Semuanya membekas kuat dalam diri saya, dalam imajinasi polos kekanak-kanakan saya. Ya, papan putih, tabula rasa, itu pun mulai terisi dengan goresan-goresan indah dari para martir itu.

Bandung, 14 November 2008

Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm).


Monday, October 6, 2008

OUTSIDE OF MY WINDOW TODAY

By: EFBE@fransisbm (Fransiskus Borgias M)


Today

Outside of my window

I see the green leaves of a mango tree

Seems like waving their hands free

Waving to me sitting alone like in a monastery

Enjoy my own contemplation on nature

Yesterday

Outside of my window

I saw the wind flowing through the air

Helping the branches of the tree to wave

Move here and there

In a lovely manner like a banner

With a massages of peace, love, and care.

Today

Outside of my window

I hear the voice of a lonely bird.

No, it is not lonely, maybe.

It is in its total happiness and joy

Enjoy the morning sunrays

Bright and brilliant from the sky

Oh, what a wonderful morning contemplation

Seeing and listening to the voice of nature

Seeing and listening to the gesture of nature

Raising their own song of joy and praise

To the God Almighty,

offered from eternity to eternity.

And I am merely a second maybe

In such a long range of eternity.

And tomorrow

I do hope to see, to listen, and to enjoy

The voice of nature.

They offer to me a sense of happiness, joy,

And a glimpses of eternity

And also the portion of God’s glory

God Almighty.

Jl.Nias, No.2, Bandung, 07 Oktober 2008.


Wednesday, September 24, 2008

Bengawan Jati Diri

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Di dekat pastorannya, ada sebuah bukit batu karang yang kersang. Ada semak belukar yang mencoba bertahan hidup di dalam kekersangan di atas bukit karang itu. Ada gua-gua bebatuan kasar. Di sana pastor tua ini sering menghabiskan waktu senjanya dalam ketenangan mencari keheningan jiwa, keheningan hati sanubari. Di sana ia sering mengadakan perjalanan jiwa menuju ke keheningan bengawan jati diri, perjalanan jiwa kepada Allah, itinerarium mentis in Deum. Ada saat-saat di mana hatinya dilanda asap kabut keharuan dan kebingungan, kegelisahan dan kecemasan. Ada juga saat-saat di mana hatinya mengalami kecerahan. Di sana ia mencoba menembus awan-gemawan ketidak-tahuan menuju keheningan di seberang alam antah-berantah. Suasana gunung batu yang tenang itu memang sangat membantu dia.

Tetapi justru di dalam keheningan itulah, manusia semakin nyata berperang dalam dan dengan dirinya sendiri. Sesungguhnya manusia itu senantiasa berperang dengan dan dalam dirinya sendiri. Dalam keheningan, peperangan itu memprahara dan tiada jarang melahirkan sejuta petaka hitam. Perang adalah pertama-tama dan terutama perang dalam dan dengan diri sendiri. Perang dengan orang lain adalah dan hanyalah eksternalisasi (objektivikasi) perang dalam dan dengan diri sendiri. Perang dengan orang lain muncul manakala orang gagal mengatasi perang dengan dan dalam dirinya sendiri. Orang yang berhasil mengatasi perang dengan dan dalam diri sendiri, tiada akan pernah berperang dengan orang lain.

*****

Pada suatu senja. Di bukit itu. Matahari telah merayap di punggung bukit di ufuk barat. Rona merah telah melaburi seluruh semesta senjakala. Pesona abdi sang mentari bersama layar langit panggung semesta. Pastor tua memejamkan matanya untuk terbang melayang-layang menuju ke bengawan jati diri, terbang melampaui segala hiruk-pikuk gelora kehidupan ini. Dalam pejaman itu dilihatnya dan ditemukannya sebuah cermin dalam lubuk sanubarinya sendiri. Cermin itu begitu bening bagai tiada lagi cermin di sana. Dalam awang-awang kebeningan itu terpantul realitas secara sempurna tanpa cacat cela. Cermin itu menjadi bagaikan tonggak pedoman arah penuntun langkah baginya.

Tiba-tiba kabut yang berembun basah hinggap melekat pada permukaan cermin itu. Lalu pastor tua itu tersesat dalam kebingungan mencari dan mencari. Bahkan meraba-raba tidak tentu arah. Pastor tua itu menyadari bahwa perjalanan menuju keheningan bengawan jati diri, terasa sangat berat; ada selaksa prahara membadai, ada sejuta titian kerancuan menghadang. Tetapi untunglah ia bisa sampai pada keyakinan ini – dan itu untuk kesekian kalinya dalam tualangnya selama ini – bahwa keheningan itu adalah suatu harta yang sangat rapuh, yang senantiasa harus dicari dan dicari kembali dalam semak-semak belukar onak duri, setelah menghilang pergi bersama kabut uapan embun pagi.

Malam pun bertambah larut. Malam sejuta bayang lintang-pukang kisah petualangan pastor tua itu. Menjelang pagi ia pun berdoa, menuturkan segala kebingungan dan ketidak-tahuan pada Sang “Serba Jawaban Abadi” yang sekaligus merupakan “Sang Teka-teki Abadi” juga.

Katanya begini: “Semalam aku berjalan menembusi kekelaman malam, dalam perjalanan menuju ke bengawan mimpi-mimpi. Derap langkahku bahkan bisa sampai kudengar sendiri memecah keheningan malam. Di sisiku terdengar juga derap langkah mengiringi derap langkahku. Apakah itu gema? Apakah keheningan malam bisa memantulkan gema? Aku ragu dengan hal ini. Yang jelas ini bukan gema. Ini benar-benar derap langkah dari “Seseorang” dari alam seberang antah-berantah, mengiringi derap langkahku dari dalam kabut ketidak-tahuan.

Akupun sejenak berhenti dan bertanya:

“Siapakah kau itu, yang mengalir dan berjalan dalam kekelaman?”

Dan dari balik dinding kekelaman samar-samar kudengar ia menjawab dalam tutur bagai guntur,

“Ya, aku adalah aku yang ada.”

Kemudian ada sunyi lagi. Akupun mulai berjalan lagi. Dan ternyata dia itu juga mulai berjalan lagi. Sama-sama mencoba menembus kekelaman malam. Tetapi kini ia tiada lagi di sisiku, tetapi seolah-olah membuntuti aku.

Akupun bertanya lagi sembari melangkahkan kaki,

“Siapakah kau? Mengapa membuntuti aku?”

Dan dari dalam dinding-dinding kekelaman kamar-kamar kehidupoan, terdengar jawaban bagai gemburuh angina topan,

“Aku adalah kecemasan.” Kemudian lalu ada sunyi lagi.

Aku pun mulai berjalan lagi. Dia juga ternyata mulai berjalan lagi seolah-olah sekarang ia berjalan di depan aku, mendahului aku. Sama-sama dalam kekelaman malam.

“Siapakah kau?” tanyaku.

Dari dalam dinding-dinding kekelaman malam kamar-kamar kehidupan, terdengar jawaban teruntai bagai tembang-tembang serunai,

“Aku adalah kegembiraan!”

Lalu ada sunyi lagi. Dan aku pun berjalan lagi. Dia pun berjalan lagi. Sama-sama dalam kekelaman rongga-rongga malam hitam.

“Siapakah kau?” tanyaku lagi.

Dari dalam dinding-dinding kekelaman malam kamar-kamar kehidupan, terdengar jawaban membelai bagai nyiur melambai-lambai di tepi pantai keabadian,

“Aku adalah harapan!” Lalu ada sunyi lagi.

Aku berjalan lagi. Dia pun mulai berjalan lagi. Sama-sama dalam gulita. Gemanya kini terdengar lebih deras menggedor-gedor dinding-dinding kesunyian malam.

“Siapakah kau? Tanyaku.

“Aku adalah ketakutan dan keputus-asaan!” terdengar jawaban terlontar bagai topan dari lobagn empat penjuru bumi semesta.

Dialog itu berlangsung hingga pagi hari. Pribadi di dalam kekelaman itu berturut-turut menyebut dan memperkenalkan dirinya sebagai kebingungan, ketidak-tahuan, ketamakan, nafsu, keserakahan, pengendalian diri, sopan-santun, kerendahan hati, dan sejuta keutamaan dan selaksa ketamakan. Pribadi di dalam kabut kelam pagi itu adalah pribadi sejuta nama diri, yang masing-masing berjuang untuk menang dalam dan di atas manusia-manusia.

*****

Menjelang pagi, ayampun berkokok tiga kali. Aku masih juga berjalan dan berjalan. Ia masih juga berjalan dan berjalan. Sama-sama dalam gelap gulita.

“Mengapa kau masih juga berjalan dan berjalan?” tanyaku lagi karena akuj tidak tahan juga.

Dia menjawab, “Hemmmmm…… sesungguhnya aku adalah sejuta bayang angan-angan dari dirimu sendiri yang tiada terlihat dan terdengar olehmu, tiada dapat terlepas darimu laksana bayang-bayang hitam di kakimu di kala siang; aku menyertaimu dalam ziarah menuju keheningan bengawan jati diri, demi pemurnianmu, demi pematanganmu, agar kau laik berjumpa dengan sang keheningan Abadi dalam ingatanmu yang sunyi.

Maka marilah kita berjalan lagi, tanpa bertanya, tanpa mengumpat, tanpa mencaci maki, sebab akan tiba saatnya kau akan sendirian melayang-layang terbang di dalam keabadiaan, meninggalkan sejuta bayang-bayangmu yang kini bergelora menyertaimu; dan kami akan kembali ke bumi menyertai ziarah-ziarah baru menuju ke keheningan bengawan jati diri, menuju istana di alam ketidak-tahuan, alam antah berantah, di seberang tatapan netra.

Ketahuilah, ada orang yang tiada mengikuti dirinya sendiri di dalam ziarah kehidupan ini, melainkan mengikuti kami sejuta bayang-bayangnya, menuju ke lembah ngarai keterampasan dan keterhempasan; dan terjerembablah mereka dalam jurang putus asa abadi. Di ada ada kegelapan, ada ratap tangis dan kertak gigi. Tumbuh sejuta dendam mengutuk diri sendiri. Tetapi ada keengganan menyiksa diri sendiri. Ada yang mencoba berusaha bangkit, tetapi mengulangi kembali alur-alur yang sama menuju tubir-tubir kekelaman yang tiada terperikan lagi.

*****

Sinar pagipun masuk ke mulut gua tempat sang pastor tua itu bersemadi. Ia bangun dan keluar ke mulut gua itu. Di sana sinar pagi menyilaukan matanya. Sempat terucap doa ini dibibirnya,

“Tuhan, di manakah aku? Di tubir gelapkah? Sedang melayang-layangkah aku dalam alam keabadian bengawan jagti diri?” Lalu ada sunyi.

Dari lembah sungai di kaki bukit, terdengar kicauan murai menyalami fajar pagi. Indah sekali. Kicauan itu dirasakannya bagai sejuta pujian, lagu kemenangan bagi dirinya dalam petualangannya. Pastor tua itu tersenyum, untuk memulai kembali petualangannya, petualangan yang baru, sebab keheningan adalah harta rapuh, yang senantiasa harus dicari kembali dalam semak belukar onak duri, setelah kabut berembun basah memudarinya dalam pagi dingin musim-musim kemarau nan teramat panjang.

Parangtritis Yogyakarta Selatan, 31 Juli 1989.

Fransiskus Borgias M.

Monday, September 15, 2008

The Mystery of the Mountain Top (IV)

By: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

(22-11-97):

After a few while of natural reflection,

I thought then

that was the secret

and the mystery of the Mountain top.

All was serene and peacefull

on that wild and precarious mountainside

because everything merely was,

yes just because everything merely was.

Everything was precious

just because they simply were.

What a life witness,

what a lesson for life.

There on the mountain top,

no bush had to justify its being there

for example

by “working” harder than the other bushes.

It simply was.

It simply grew

with its own inner life and rhythm

and lifted its little-short branches

towards the sky

imagined from the time of immemorial

a dwelling place of eternal high God,

yes toward the sky

they are lifted their “hands” and

their “eyes,”

in an everlasting praise,

in a never ending prayer.

I learn something a very important lesson

from that mountain tiny jonquil.

Yes,

that very little flower at my feet felt no jealousy at all

that I was taller or maybe monstrous

and could move about at will,

while it was only rooted in that one spot of ground

for all its existence.

But why then did man

endlessly strive hard to be what he was not

and count his own worth in terms of his success?

Here I had a dream of humanity.

And in my dream

I wished that every human being were an inner man,

were a mountain man,

were a man of inner soul

so that they could look at this mountain jonquil –

and it simply was -

yes it simply was

and could see everything,

and especially himself.

Thanks a lot

oh tiny mountain jonquil

cause you have taught me

an important lesson for my life.

A simple life

just because of the fact

that I am.


The Mystery of the Mountain Top

By: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

(22-11-97):

After a few while of natural reflection,

I thought then

that was the secret

and the mystery of the Mountain top.

All was serene and peacefull

on that wild and precarious mountainside

because everything merely was,

yes just because everything merely was.

Everything was precious

just because they simply were.

What a life witness,

what a lesson for life.

There on the mountain top,

no bush had to justify its being there

for example

by “working” harder than the other bushes.

It simply was.

It simply grew

with its own inner life and rhythm

and lifted its little-short branches

towards the sky

imagined from the time of immemorial

a dwelling place of eternal high God,

yes toward the sky

they are lifted their “hands” and

their “eyes,”

in an everlasting praise,

in a never ending prayer.

I learn something a very important lesson

from that mountain tiny jonquil.

Yes,

that very little flower at my feet felt no jealousy at all

that I was taller or maybe monstrous

and could move about at will,

while it was only rooted in that one spot of ground

for all its existence.

But why then did man

endlessly strive hard to be what he was not

and count his own worth in terms of his success?

Here I had a dream of humanity.

And in my dream

I wished that every human being were an inner man,

were a mountain man,

were a man of inner soul

so that they could look at this mountain jonquil –

and it simply was -

yes it simply was

and could see everything,

and especially himself.

Thanks a lot

oh tiny mountain jonquil

cause you have taught me

an important lesson for my life.

A simple life

just because of the fact

that I am.


And It Simply Was (III)

By: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)


(20-11-97):

On that morning, after a few while of personal reflection,

I looked down to the rock

upon which I stood;

and there

upon the rock

I saw a certain tiny mountain jonquil

as if “looking up at” me,

smiling – what a beautiful smile -

and whispering some misteryous messages.

At that time

for a little while

I forgot the majesty of the mountain top

and the beautiful valley

full of breathtaking and brilliant Edelweiss,

because

I was really concentrating on the delicate,

and trembling beauty

of this single mountain flower.

What a lovely flower,

beauty in it simplicity,

beauty in its mysterius natural unchained melody.

Yes, it simply “stood” or existed there

in the freedom of the mountain top morning fresh air

glorifying majestic God with its whole existence,

it seemed so total in its praise.

I know its existence was so brief,

fragile and vulnerable.

And in my religious-devotional sense (sensus religiosus)

I thought that its very existence

was certainly an act of praise

as every man’s life should be.

Yes, it stood there calmly.

It stood there silently.

And it did not worry about

what it would accomplish in life or

what it would leave behind.

Nor did it fear for its own brief

and vulnerable existence.

It simply was.

Yes, it simply was.

What a happyness,

what a beauty.

And then I wondered:

How much more should man

be a witness to the glory of simply existing?

He would live forever.

His existence alone was enough,

and he was glorious in himself,

in its simple existence,

itself apart from any work he may produce

or any life he may engender.

But man had to learn that liberating truth

by meeting God in his own core,

in his own heart,

in his own inner heart.

Yes, to be sure,

God’s love and acceptance of him

made possible

his own self-love and self-acceptance.

Because God has promised that

“I will never forget you My people.

I have carved you on the palm of My hand,

I will never forget you,

I will not leave you orphan,

I will never forget My own.”

What a wonderful promise.


Morning Has Broken (II)

By: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

(18-11-97):

Oh there are a lot of

insensitive individual arround me.

They are hollow person,

never go deeper in their reflection of life.

And because they never went deep enough inward,

what they found every day and every time was only themselves;

and of course in that meeting

they began to worry too much,

to worry almost about everything;

worry about their lives,

about their future,

even about their own past,

what they would leave behind for others to remember.

They stay on the surface level only.

And in that surface level,

they only saw their own mortality and fragility

as human being.

As a consequence of it

they were frightened at the brevity

and seeming futility of living.

They are afraif of the fact that

ars longa, vita brevis,

that the life of the individual is so short

compared to the perennial life and existence

of the art.

I was thinking of all these kind of people

as I stood steadily

atop the mountain Gunung Gede

while gazing upon the breathtaking

and wonderful panorama of the mountain slopes

and morning sunlight.

Everything was wonderful.

And “Morning has broken.”

I remembered this song sung by Cat Stephens,

a certain song

taken from the natural Celtic spirituality.

And I like that song very much

Especially when I am on a mountain top

like this morning.

While I sing it with my inner voice,

I saw the smile

of the mountain top of gunung Pangrango

Behind the morning misty sunrays.

How great Thou are

Oh Lord,

the Creator of everything.


Listening to the Voice of Nature (I)

By: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

(16-11-97):

I write this lirical-prose

only in retrospect to

what I have experienced in the past.

Thirteen years ago

I climbed up the mountain Gunung Gede,

together with my friends.

There are a lot of things I remembered

when I pondered upon

that exotic experience

of the circumstances of the mountain top.

First of all,

for me this climbing up

was similar to the journey inwards.

Because while climbing up

everything actually seemed to bring me

towards the inner part of myself.

It is a certain journey into the soul.

At the very moment,

while listening to the Voice of Nature,

I too listened to the voice of my innerself,

the voice of my mythic past.

It seemed to me that

by climbing up a physical mountain,

I climbed up also a certain “spiritual” mountain,

the “mountain” in my inner self,

the “mountain” in my heart.

At that time

I remembered those people

who never made such a journey,

a journey inwards

a journey into the inner self.

For sure,

I had seen them all my life

as a young man (student).

And I could easily recognise them

by their insensitivity,

yes by their insensitivity,

insensitivity to their own inner voice,

insensitivity to the voice of Nature,

insensitivity to the voice of the other,

and even insensitivity to the voice of the Greater Other,

Ganz Andere,

that is God Himself.

Yes really, insensitivity,

I think,

was a very serious and critical problem

in human being’s relationship.

Therefore I was very sad

if I remembered such phenomenon.

But what was saddest to me

was the worry and concern of those

who never descended far or deeper enough

into themselves to find that serene center

where they would meet and listen

to the other

and to themselves.

And this was the very reason

of the insensitivity

I have just mentioned above.


Tuesday, September 9, 2008

Seminarium Pulchrum

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Ya, seminarium pulchrum, seminari yang indah, yang cantik. Semanarium memang harus indah agar menarik, dan terutama agar tempat itu bisa mendatangkan hidup bagi orang yang tinggal atau belajar di sana. Ia tidak boleh menjadi tempat sumpek atau menyesakkan.

Setelah beberapa lama belajar di seminari, terutama setelah mulai belajar Latin, saya akhirnya tahu bahwa kata seminari berasal dari seminarium, artinya persemaian. Kata seminarium sendiri terkait dengan kata lain, yaitu semen, artinya benih. Saat itu tiba-tiba muncul kesadaran baru dalam diri saya, karena terdorong sebuah pertanyaan reflektif ini: siapa atau apa benih yang ditanam atau ditaburkan di seminarium ini? Saya akhirnya tahu bahwa kami inilah, termasuk saya, yang dianggap benih-benih yang ditaburkan dalam seminarium, dalam tempat pembibitan (bukan penangkaran lho). Karena itu, kami disendirikan dan dipisahkan dari masyarakat lain, bahkan tragisnya juga dari keluarga masing-masing. Lalu kami dimasukkan ke dalam persemaian, agar bisa bertumbuh subur tanpa gangguan hama, atau tetumbuhan pengganggu lain, termasuk burung-burung di udara, dan ulat tanah. Sebuah seminarium harus bersih dari itu semua.

Indah memang. Tetapi lambat laun saya sadar bahwa ini sebuah konsep yang memunculkan rasa keterasingan dalam diri saya. Sebab dengan satu dan lain cara saya dicabut dari akar-akar kultural saya, lalu dimasukkan ke dalam sebuah sistem pendidikan Barat yang serba baru dan modern. Tidak ada yang aneh dan berbahaya dengan hal itu sebenarnya. Tetapi ada side-effect-nya yaitu tercerabut dari keluarga, dari kampung halaman, dari akar kultural asli. Sementara itu semua pelajaran di seminari diadopsi dari kurukulum modern yang cenderung tidak mengadopsi muatan lokal sama sekali.

Harus diakui bahwa ini memang sebuah konsep yang diwariskan dari pandangan teologi lama, yang berasal dari Konsili Trente, yang mempunyai pandangan negatif akan dunia, bahwa dunia ini adalah lembah tangisan, lacrimarum vale. Padahal Konsili Vatikan II sudah mempunyai pandangan baru dan positif.akan dunia ini. Dunia adalah medan perwahyuan kasih Allah. Warisan teologi lama itu juga mempunyai visi negatif akan keluarga dan hidup perkawinan, lebih eksplisit lagi akan seksualitas. Seksualitas erat terkait atau dicitrakan sebagai dosa. Padahal Vatikan II mempunyai visi positif akan keluarga sebagai gereja kecil (ecclesia minuscula kata Agustinus, ecclesia micra, kata Yohanes Chrysostomus). Warisan teologi lama itu juga mempunyai pandangan negatif akan masyarakat, yang dianggap penuh dosa. Padahal Vatikan II sudah mempunyai visi positif akan masyarakat, yaitu tempat manusia terlibat mengamalkan cinta di dunia ini.

Itu sebabnya saya sangat menghormati beberapa teman kelas, yang dalam beberapa kesempatan acara pesta di seminari selalu membawakan lagu-lagu (sanda, lagu yang mengiringi tarian kolektif pria) dalam bahasa Manggarai, dan juga membacakan puisi dalam bahasa Manggarai, juga misa inkulturatif. Atau membawakan dongeng dalam bahasa Manggarai, atau mengisahkan kembali anekdot Manggarai. Semuanya itu membantu kami, menukikkan kembali kepala dan hati ke dalam kemanggaraian kami agar tidak terlupakan. Sebab kalau orang terasing dari kulturnya, maka ia akan menjadi manusia kering, yang tidak mewarisi spiritualitas agama asli, dan yang terpenting lagi, ia bisa menjadi manusia yang mandul, kerdil. Betapa hal itu sangat mengerikan. Terasing.


Wednesday, July 16, 2008

Pekan Suci Pertama di Seminari

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Masa prapaskah sudah berlalu. Sekarang kami memasuki pekan suci. Ada yang unik dalam masa empat puluh hari ini di seminari. Setiap hari Rabu mulai Rabu Abu dan Jum’at (sampai Ju’mat Agung) kami hanya makan nasi dan sayur. Itupun sayur hambar, karena tidak digarami. Itulah pantang bersama kami. Tentu ada yang diam-diam melanggar hal itu dengan cara mencairkan garam terlebih dahulu malam sebelumnya. Besoknya tinggal dibawa ke ruang makan dan direcikkan di atas nasi dan sayur sehingga bergaram lagi. Saya teringat akan kebiasaan ayah saya di kampung. Setiap hari Rabu dan Jum’at selama masa puasa dan pantang, kami makan siang dengan menu sama: nasi dan sayur tanpa garam. Kami menikmati hal itu, walau tidak enak. Terasa betul bahwa garam itu perlu dan penting bagi kita. Dalam kondisi seperti itu, menanti makan malam yang bergaram adalah suatu yang indah. Di situlah saya merasakan apa itu harapan.

Masa puasa dan pantang itu sudah lewat. Kami memasuki pekan suci. Kebetulan saya terpilih sebagai anggota tim decorator di seminari di bawah pimpinan seniman kami, Pater Leo Perik SVD. Tugas kami ialah menghias gereja dan ruang makan dengan hiasan khas minggu palma, Kamis Putih, Jum’at Agung (kami sebut Jum’at Besar), Sabtu Suci dan Minggu Paskah. Itu sebabnya hari-hari ini bagi para dekorator menjadi hari paling sibuk dan melelahkan. Tetapi semuanya indah dan nikmat. Tugas ini adalah sesuatu yang bergengsi di seminari, karena tidak semua orang bisa dan dipercayai melakukannya. Hanya orang yang mempunyai naluri dan intuisi seni saja yang dipilih. Kami menjadi kelompok elit di tengah para seminaris lain.

Dari rangkaian acara yang dilakukan selama pecan suci ada satu yang menyentuh perasaan saya. Yaitu, ibadat ratapan atau lamentatio. Sesungguhnya ini tidak serba baru dalam pengalaman saya, karena sejak di SD saya sudah biasa dengan ibadat ini. Karena SD kami terletak di pusat paroki, maka SD kamilah yang dipercayai untuk melaksanakan ibadat ratapan itu. Jadi, tidak serba baru. Hal yang baru ialah lagu-lagu yang dipakai. Ada perbedaan antara yang dipakai di SD dulu, dan yang dipakai di seminari. Tidak seluruhnya saya lukiskan di sini. Ada perbedaan mencolok. Dalam syair lagu-lagu ratapan di SD dulu sentrum ratapan ialah Yerusalem, simbol manusia beriman. Antara lain berbunyi sebagai berikut: “Yerusalem, Yerusalem, kembalilah kepada Tuhan Allahmu.” Sedangkan dalam syair lagu ratap di seminari sentrum ratapan ialah diri sendiri. Antara lain bunyinya ialah “Dosaku, dosaku, betapa kejinya, jiwa, pulanglah pulanglah pulanglah kepada Tuhanmu.”

Selain detail perbedaan itu tidak ada lagi perbedaan lain yang mendasar. Upacara simbolisme lilinnya sama. Ada tiga belas lilin yang dipasang pada sebuah segitiga. Satu lilin di puncak segitiga. Biasanya lebih besar dari lilin-lilin lain. Masing-masing enam lilin di sebelah kiri dan kanan segitiga. Setiap kali ayat-ayat ratapan selesai dinyanyikan, satu persatu lilin dipadamkan mulai dari yang paling bawah. Demikian seterusnya sampai tinggal hanya satu lilin bernyala di puncak segitiga. Itulah simbolisme Yesus ditinggalkan satu per satu oleh para muridNya, sehingga Ia menderita sendirian. Salah satu penggal syair ratapan itu berbunyi: “Aku sendirian, menanti nasib, sahabat-sahabatku telah pergi, aku tiada dipeduli. Musuh-musuh datang menjemput, jatuhlah aku ke tangan durhaka.”

Ibadat lamentatio itu dilaksanakan pada pagi hari mulai dari hari Kamis Putih, Jum’at Agung, dan Sabtu Suci. Saya selalu merasa terharu dan sedih mendengarkan puisi-puisi itu dinyanyikan apalagi kalau yang menyanyikan adalah “the angelic voice” dari para siswa seminari yang masih duduk di kelas satu SMP yang suaranya belum pecah karena puber, tetapi masih murni. Itulah suara-suara emas di seminari. Dalam paduan suara sejenis di seminari mereka membawakan suara-suara tinggi. Semuanya indah. Apalagi kalau mereka membawakannya dengan penuh penghayatan dam perasaan.

Yang jauh lebih menarik ialah bahwa di balik nada-nada sendu ratapan itu, sudah terbayang cahaya cemerlang kebangkitan. Nada-nada sendu kelabu tidak selamanya membungkus nurani kami dalam melankoli, melainkan fajar pagi yang merekah di Minggu Paskah sudah selalu memancar dari dalam hati kami. Itulah cahaya iman. Diam-diam kami sudah merasakan gema-gema nada-nada regina caeli yang seakan-akan sudah bernada ria abadi: Regina Caeli laetare Alleluia, Quia quem meruisti portare, Alleluia, Resurrexit sicut dixit, Alleluia, Ora pro nobis Deum.

Wednesday, June 18, 2008

Mendengarkan Suara Puji Alam

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Tanpa terasa kami sudah tiga bulan di seminari. Triwulan pertama sudah lewat. Kami masuk kelas I sebanyak 60 orang. Sesudah ujian triwulan pertama berkurang menjadi 50. 10 pulang karena tidak lulus saringan triwulan pertama. Kebanyakan jatuh dengan pelajaran yang ketat: Inggris, aljabar, agama Katolik. Kami mulai sekolah bulan Januari. Tiga bulan pertama berarti masuk prapaskah dan paskah. Menjelang Paskah, kami diberitahu bahwa ada rekoleksi. Sebagai siswa baru kami belum tahu apa itu. Itulah pengalaman pertama. Ketika waktunya tiba, kami tahu bahwa rekoleksi adalah masa tenang, sunyi dengan dibekali beberapa pelajaran rohani (spiritualitas). Kami diberitahu bahwa kami harus melewati rekoleksi itu dengan tenang. Kami harus berusaha bertemu dengan diri sendiri. Wah, kok bertemu dengan diri sendiri? Saya sulit membayangkannya saat itu. Tetapi lewat pendampingan pastor kami akhirnya tahu apa artinya bertemu dengan diri sendiri, mendengarkan suara hati sendiri. Ternyata diri kita di masa silam, mudah menjadi diri kita yang lain. Dengan demikian kita pun bisa berjarak dari diri sendiri. Maka saya pun berusaha melihat diri saya itu.

Dalam kesunyian dan ketenangan rekoleksi, saya seolah bisa melihat diri sendiri seperti dalam cermin. Semua serba gamblang. Itu awal pengenalan diri, awal kemampuan mengkritik diri, menertawakan diri. Salah satu hal yang paling menggoda saat seperti ini ialah kecenderungan untuk membunuh sunyi dengan suara kita. Tetapi pembimbing mengatakan bahwa pada kesempatan sunyi dan hening seperti itu kita harus berusaha mendengarkan suara alam dan margasatwa. Misalnya, suara angin, gesekan dedaunan ilalang, suara kodok, jangkrik, belalang, burung, dll. Pembimbing mengatakan bahwa itu semua suara purba, yang jauh lebih tua dari suara manusia. Dibandingkan dengan suara alam dan margasatwa itu, suara manusia sangat muda usia. Karena manusia muncul paling belakangan dalam sejarah alam semesta ini.

Seorang ilmuwan astronomi mengambil metafora kalender. Begini katanya: Kalau usia alam semesta ini dipadatkan menjadi satu tahun, maka makhluk hidup paling pertama yang bukan manusia, muncul sekitar April-Mei. Makhluk yang lebih berkembang muncul sekitar Juni. Binatang bertulang punggung muncul sekitar bulan Agustus atau September. Sekitar Oktober baru mulai muncul homo-erectus. Homo sapiens baru mulai muncul tiga menit terakhir menjelang akhir tahun. Tetapi sayangnya, suara manusia itu paling angkuh menindas semua suara lain. Padahal jauh sebelum manusia memuji Allah Pencipta, segala makhluk lain sudah memujiNya dengan cara mereka sendiri. Sebab kalau benar kata pemazmur dalam Perjanjian Lama bahwa alam semesta memuji Pencipta dengan keberadaannya, maka suara merekalah yang paling pertama memuji Allah.

Tetapi dewasa ini, suara mereka semua ditindas oleh suara manusia, dengan teknologi yang canggih dan angkuh. Seharusnya kita belajar puji-pujian Allah dari mereka. Kita jangan menyetop suara mereka. Kita jangan menindas suara mereka. Sebab mereka adalah suara asli dalam memuji Allah Mahatinggi. Dengan kesadaran itu, saya pun mencoba mendengarkan bunyi kodok dan jangkrik di kegelapan rahim malam.

Kebetulan saat itu, saya membaca buku kecil tentang Fransiskus dari Asisi. Orang ini menuntun saya kepada alam, tetapi dari alam meloncat menuju kepada Tuhan. Ia mengajak saya melihat rembulan yang cantik. Malam itu memang bulan sangat cantik. Tetapi tidak ada kenangan indah dalam kalbu saya dengan bulan cantik itu. Mungkin karena kekosongan itulah maka saya bisa merasakan ajakan Fransiskus Asisi untuk memuji Allah lewat saudari rembulan. Terpujilah Engkau Tuhanku karena saudari rembulan. Dan ajaib sekali, ketika saya menggumamkan puisi kosmis itu, tampak dalam imajinasi religiusku, bulan itu tersenyum, seakan-akan sudi mengajar saya cara memuji Allah dengan seluruh keberadaan kita apa adanya. Sebab Tuhan mencintai dan mendengarkan saya apa adanya, tanpa harus mengada-ada. Aku pun sangat puas dengan kesadaran itu.

Tuesday, April 15, 2008

Bunyi Burung Malam

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Sudah hampir sebulan saya tinggal di seminari. Gejolak rasa rindu akibat home-sick, yang sering menyebabkan orang ingin berjalan mundur dan pulang, sudah mulai mereda. Maka kini mulai terasa sebuah langkah baru: orientasi ke depan, bersama teman (semuanya laki-laki; ya, ini sebuah konstruksi yang terasa artifisial kalau saya renungkan kembali dari saat ini), bersama guru, para pastor, frater, bapa asrama dan asistennya, terutama bersama tempat dan ruang, alam sekitar, termasuk pepohonan, hutan dan semak, bahkan rerumputan ilalang yang selalu indah dirayu angin senja. Tetapi seorang seminaris tidak boleh (paling tidak, itulah yang dikatakan kepada kami saat itu) melangkah terlalu jauh melewati batas-batas imajinasi dan fantasi yang sesungguhnya alami dan manusiawi itu. Sebab di seberang sungai fantasi dan imajinasi itu selalu ada godaan yang bisa berbahaya. Dan tentang ruang-hidup itulah saya mempunyai catatan khusus. Sebab apa yang ada dan terjadi dalam ruang hidup itu selama ini mulai lengket dalam hati saya.
Saya ingat tadi sore, terdengar bunyi burung-burung senja yang aneh-aneh. Tidak lama sesudah itu, sesudah hari mulai temaram, mulai terdengar bunyi burung-burung malam. Saya memang berasal dari pedesaan, tetapi kampung masa kecilku jauh dari hutan. Di seminari ini aku mendengar bunyi burung-burung yang aneh-aneh. Seperti bunyi burung dalam dongeng nenekku, yang ditampilkan oleh nenekku dalam gaya onomatope yang melampaui batas daya tiru imajinasi dan fantasiku. Pokoknya, serem sekali. Tidak terdengar bunyi teknologi. Tidak ada tv, tidak ada radio. Hiburan kami hanyalah buku-buku (itupun buku rohani; siswa smp belum boleh membaca roman percintaan yang dalam rak perpustakaan seminari diberi label BB, jadi rak BB itu cukup dilirik dari jauh, tidak boleh didekati, nanti tergoda oleh godaan Hawa yang mulai mengangkat tangannya dan memetik buah terlarang), diri sendiri, kesunyian, dan mungkin Tuhan, yang kadang-kadang kita rasa bersembunyi terlalu jauh dalam relung-relung doa kita yang terasa pahit.
Sekarang, semua aktifitas sudah selesai. Doa malam sudah selesai, yang biasa ditutup dengan alunan alma redemptoris mater yang kini semakin mengalir otomatis dari bibirku juga di kamar mandi. Kini hanya tinggal diam, sunyi. Silentium magnum. Silentium strictum. Maka suara satwa malam terdengar bertalu-talu, langsung ke telinga. Malam makin larut, dan aku ternyata semakin dilanda sunyi dan sepi. Setiap kali aku berpikir bahwa inilah untuk pertama kalinya aku jauh dari orang tuaku, padahal sekarang sudah hampir sebulan sudah lewat dari perpisahan yang menyedihkan itu. Tetapi, anehnya, aku selalu merasa bahwa perpisahan itu baru saja berlalu. Mungkin kesunyian malam, menyebabkan kita terseret terlalu dekat ke pengalaman tragis. Mungkin.
Dan aku teringat juga, bahwa inilah untuk pertama kalinya aku tidur sendirian di tempat tidur yang sempit, ya, siswa seminari (kelak biarawan, ketika saya biarawan) tidak boleh tidur di tempat tidur lebar sebab nanti tergoda untuk mencari pasangan untuk mengisi “terror ruang kosong” di samping tempat tidur yang luas itu. Padahal di rumah aku tidur dengan adik-adikku, ramai berebut selimut, yang kadang-kadang di pagi hari sudah pesing karena diompoli adik paling kecil. Ya, di seminari aku belajar tidur sendirian. Memang kami harus belajar berbahagia dalam kesendirian dan sunyi. Tragis.
Di tengah itu semua, aku merasa kehilangan. Rasa rindu, yang seakan mau meraih kembali masa silam yang hilang, kini hanya tinggal menjadi kenangan. Rasa rindu itu mengaduk-aduk hati saya. Aku tidak tahu. Ya, ini yang namanya home sick itu. There is something interesting with home. Dan bunyi burung-burung malam itu semakin membuat saya rindu pada kenyamanan rumah, pada suara mendehem ayahku yang wibawanya seakan mampu mengatasi semua rasa serem di tengah malam kelam. (EFBE@fransisbm).

Tuesday, March 18, 2008

Alma Redemptoris Mater
Oleh:
EFBE@fransisbm

Kegelapan malam sudah mulai turun menyelimuti lembah yang sunyi di sekitar asrama seminari Kisol, tempat aku belajar dan berbakti, mulai hari ini dan seterusnya nanti. Maka aku pun serta merta dirundung kemurungan, dilanda sepi yang sulit aku mengerti. Ada relung-relung misteri dalam kesunyian alam dan diri. Itulah malam pertama aku masuk dan tinggal di asrama seminari Pius XII Kisol.
Rasa sunyi itu untuk sementara diselingi acara makan malam yang terasa sangat ramai karena bunyi piring dan sendok dan juga senda-gurau para siswa seminari. Setelah usai makan malam, aku kembali dirundung kemurungan, kesunyian dan kesepian. Kiranya itu tipikal pengalaman malam. Orang seakan-akan masuk ke dalam diri sendiri dan tiba-tiba dihantui rasa takut menghadapi diri sendiri dalam kesunyian.
Sekitar pukul 20.45, terdengar bunyi pluit seorang siswa seminari yang bertugas. Para senior kami mengatakan bahwa itulah acara doa malam. Itulah cara sosialisasi lisan aturan di seminari yang akan mulai kujalani hari ini dan seterusnya nanti. Lalu kami semua berjalan menuju ke kapela seminari. Di sana aku masuk dengan khusyuk. Ruangan berkubah tinggi. Ada tiang-tiang besar, ada bangku berjejer rapi, dan nun jauh di sana ada tabernakel dan lampu bernyala. Aku menunduk hormat. Aku coba berdoa pribadi.
Tidak lama berselang doa bersama dimulai. Itulah doa penutup, doa pelengkap, completorium. Dimulai dengan membaca doa dari buku doa, lalu ditutup dengan kidung Simeon yang terkenal itu. Aku tersentuh. Aku menikmati syair dan melodinya: Sekarang Tuhan, perkenankanlah hambaMu berpulang, dalam damai sejahtera menurut sabdaMu.
Kemudian ada hening yang cukup panjang. Peresapan. Kontemplasi. Silentium. Keheningan itu tiba-tiba dipecah oleh alunan harmonium yang sangat indah, yang belum pernah aku dengar. Maklum di gereja kami di kampung tidak ada harmonium seperti itu. Di sana semuanya serba sederhana, apa adanya, serba alami. Melodi yang dimainkan pun sangat indah. Ketika preludium-nya akan jatuh pada nada-nada isyarat bahwa lagu akan segera dimulai, maka para senior pun mulai bernyanyi. Malam itu, nyanyian tadi hanya dinyanyikan oleh para senior. Maklum nyanyian itu dalam bahasa Latin. Tetapi senior yang ada di belakangku menyodorkan buku nyanyian dengan halaman terbuka. Di sana kubaca judul, Alma Redemptoris Mater (Bunda Penebus Maharahim).
Para senior bernyanyi penuh semangat, mengalun, lembut, keras, meninggi, merendah. Indah sekali. Mereka menyanyi seakan mau menegaskan senioritas mereka di atas kami yang baru datang dari kampung dan belum tahu apa-apa. Tetapi, aku tidak mau ketinggalan. Bakat nyanyi yang ditanamkan ibu dan ayahku sejak kecil tidak kusia-siakan. Aku pun juga langsung menghafalkannya, baik melodi maupun syairnya: Alma Redemptoris Mater, quae pervia caeli porta manes, et stela maris, succure cadenti, surgere qui curat populo. Tu quae genuisti, natura mirante, tuum sanctum Genitorem; Virgo prius ac posterius, Gabrielis ab ore, sumens illud Ave, peccatorum misserere.
Sejak saat itu, teks lagu itu lengket seakan-akan terpatri dalam sanubariku hingga hari ini. Maka aku selalu menyanyikan lagu itu. Setiap kali aku menyanyikannya, ajaib sekali, dalam benak sanubariku, aku langsung teringat malam pertama itu, di seminari, di sebuah lembah sunyi, di Manggarai. Lagu itu menjadi kenangan abadi, yang menandai malam sunyi, dan suci, di seminari. Sebuah kidung mariologis yang sangat indah, yang tidak mungkin akan kulupakan selama hayat dikandung badan.

Thursday, March 13, 2008

Oto Gerobak
Oleh:
EFBE@fransisbm

Dalam kegelapan malam, aku mendengar beberapa teman menangis karena rindu pada orang tua. Saya sendiri juga menangis. Itulah malam pertama kami tinggal di seminari. Sedih sekali rasanya; ini pengalaman pertama tinggal jauh dari papa dan mama, dari kampung halaman masa kecil. Aneh memang. Ruang memang masuk juga dalam endapan memori kita. Bukan hanya kita yang masuk ruang. Ruang juga memasuki kita. Itu sebabnya kita betah dalam satu ruang hidup, dalam satu Lebensraum, living space. Begitu kita jauh darinya, muncul rasa kangen yang aneh akan tempat, akan ruang. Terasa ada yang sedang dilepaskan dari kelengketannya dalam memori kita.
Malam ini aku merasakan hal itu secara amat tragis. Ruang keakraban itu telah menjadi masa silam. Malam ini aku mencoba tidur. Tetapi sebelum lelap datang kepalaku seperti bergoyang-goyang mengikuti irama terseok-seoknya oto gerobak (baca: truk) yang mengangkut kami tadi pagi dari Ruteng ke Kisol. Perjalanan sejauh 65 km itu memakan waktu 8 jam, karena jalan berlumpur, berlobang-lobang. Lebih tepat disebut kubangan kerbau daripada jalan oto. Malam ini aku teringat akan peristiwa tadi pagi di depan Katedral. Oto-oto gerobak sudah siap. Seorang senior berdiri di atas anak tangga katedral. Ia gagah, pintar dan percaya diri. Semua orang memandang dia. Dialah yang mengatur siswa seminari naik Truk. Satu per satu peti pakaian (ganti koper) kami naik truk. Sesudah itu satu per satu para siswa naik. Terbayang dalam hati sebentar lagi kami pergi. Papa pulang kampung berjalan kaki. Sedih membayangkan hal itu. Papa berjalan sendirian. Padahal kemarin saya menemani dia jalan kaki dari kampung sepanjang perjalanan hampir setengah hari.
Banyak juga para siswi SMP dan SMA di Ruteng yang ikut mengantar. Entah itu saudari para seminaris, atau "teman-teman" istimewa para seminaris (tabu disebut pacar). Bangga rasanya. Kemudian aku pun naik truk, setelah meminta berkat papaku. Aku coba menahan tangis dengan coba tertawa. Dan bisa. Ini sebuah proses pendewasaan dengan berjarak dari orang tua.
Satu per satu truk dihidupkan. Aku merasa mual karena bau bensin. Maklum, aku anak kampung. Sementara itu seorang senior berdiri di atas atap cabin truk dan mulai memberi aba-aba. Para senior menyanyikan mars Seminari Kisol. Lagu kebanggaan. Kami yang baru hanya mendengar, karena masih asing dengan syair lagu itu. Tetapi kami mulai ikut menghafalnya, baik syairnya maupun melodinya. "Ini kami siswa Pius XII, tegap dalam barisan, mengejar tujuan yang indah, pantang mundur selangkah. Semboyan bersama, Opus Iustitiae Pax, warisan kita semua, marilah tekun belajar, marilah giat bekerja, Pro ecclesia nostra et patria." Selesai dengan lagu itu para senior menyanyikan sebuah lagu dengan gaya jenaka dangdut reggae. Tetapi isinya juga memberi motivasi untuk berbakti dengan semangat tinggi. "Mulaiku mencari haluan angan hati, Kisol pun melambai, lambai memanggil. Kisol taman sari, Kisol medan bakti, tempatku belajar, siang dan malam. Gembira dan ria, tuntutlah tujuan, walaupun rintangan sering di jalan." Sebuah spirit kebanggaan mulai ditanamkan perlahan-lahan. Para pengantar terkagum-kagum mendengarnya.
Lalu satu per satu truk meninggalkan halaman Katedral, melewati jalan Katedral. Tampak di sana patung Hati Kudus Yesus. Sementara itu, papaku sudah hilang di tengah kerumunan para pengantar. Sedih. Tetapi tetap harus dijalani menuju seminari.
Nostalgia ini hanya sampai di sini karena selanjutnya, berlangsung dalam mimpi: papa sudah tiba di rumah dan menyampaikan dengan sedih perpisahannya dengan anaknya, kepada ibu yang sudah menunggu dua hari. Perlahan-lahan air mata ibuku menetes. Tiba-tiba aku bangun, dan mataku menangis juga. Aku sudah di seminari.....

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...