Thursday, March 13, 2008

Oto Gerobak
Oleh:
EFBE@fransisbm

Dalam kegelapan malam, aku mendengar beberapa teman menangis karena rindu pada orang tua. Saya sendiri juga menangis. Itulah malam pertama kami tinggal di seminari. Sedih sekali rasanya; ini pengalaman pertama tinggal jauh dari papa dan mama, dari kampung halaman masa kecil. Aneh memang. Ruang memang masuk juga dalam endapan memori kita. Bukan hanya kita yang masuk ruang. Ruang juga memasuki kita. Itu sebabnya kita betah dalam satu ruang hidup, dalam satu Lebensraum, living space. Begitu kita jauh darinya, muncul rasa kangen yang aneh akan tempat, akan ruang. Terasa ada yang sedang dilepaskan dari kelengketannya dalam memori kita.
Malam ini aku merasakan hal itu secara amat tragis. Ruang keakraban itu telah menjadi masa silam. Malam ini aku mencoba tidur. Tetapi sebelum lelap datang kepalaku seperti bergoyang-goyang mengikuti irama terseok-seoknya oto gerobak (baca: truk) yang mengangkut kami tadi pagi dari Ruteng ke Kisol. Perjalanan sejauh 65 km itu memakan waktu 8 jam, karena jalan berlumpur, berlobang-lobang. Lebih tepat disebut kubangan kerbau daripada jalan oto. Malam ini aku teringat akan peristiwa tadi pagi di depan Katedral. Oto-oto gerobak sudah siap. Seorang senior berdiri di atas anak tangga katedral. Ia gagah, pintar dan percaya diri. Semua orang memandang dia. Dialah yang mengatur siswa seminari naik Truk. Satu per satu peti pakaian (ganti koper) kami naik truk. Sesudah itu satu per satu para siswa naik. Terbayang dalam hati sebentar lagi kami pergi. Papa pulang kampung berjalan kaki. Sedih membayangkan hal itu. Papa berjalan sendirian. Padahal kemarin saya menemani dia jalan kaki dari kampung sepanjang perjalanan hampir setengah hari.
Banyak juga para siswi SMP dan SMA di Ruteng yang ikut mengantar. Entah itu saudari para seminaris, atau "teman-teman" istimewa para seminaris (tabu disebut pacar). Bangga rasanya. Kemudian aku pun naik truk, setelah meminta berkat papaku. Aku coba menahan tangis dengan coba tertawa. Dan bisa. Ini sebuah proses pendewasaan dengan berjarak dari orang tua.
Satu per satu truk dihidupkan. Aku merasa mual karena bau bensin. Maklum, aku anak kampung. Sementara itu seorang senior berdiri di atas atap cabin truk dan mulai memberi aba-aba. Para senior menyanyikan mars Seminari Kisol. Lagu kebanggaan. Kami yang baru hanya mendengar, karena masih asing dengan syair lagu itu. Tetapi kami mulai ikut menghafalnya, baik syairnya maupun melodinya. "Ini kami siswa Pius XII, tegap dalam barisan, mengejar tujuan yang indah, pantang mundur selangkah. Semboyan bersama, Opus Iustitiae Pax, warisan kita semua, marilah tekun belajar, marilah giat bekerja, Pro ecclesia nostra et patria." Selesai dengan lagu itu para senior menyanyikan sebuah lagu dengan gaya jenaka dangdut reggae. Tetapi isinya juga memberi motivasi untuk berbakti dengan semangat tinggi. "Mulaiku mencari haluan angan hati, Kisol pun melambai, lambai memanggil. Kisol taman sari, Kisol medan bakti, tempatku belajar, siang dan malam. Gembira dan ria, tuntutlah tujuan, walaupun rintangan sering di jalan." Sebuah spirit kebanggaan mulai ditanamkan perlahan-lahan. Para pengantar terkagum-kagum mendengarnya.
Lalu satu per satu truk meninggalkan halaman Katedral, melewati jalan Katedral. Tampak di sana patung Hati Kudus Yesus. Sementara itu, papaku sudah hilang di tengah kerumunan para pengantar. Sedih. Tetapi tetap harus dijalani menuju seminari.
Nostalgia ini hanya sampai di sini karena selanjutnya, berlangsung dalam mimpi: papa sudah tiba di rumah dan menyampaikan dengan sedih perpisahannya dengan anaknya, kepada ibu yang sudah menunggu dua hari. Perlahan-lahan air mata ibuku menetes. Tiba-tiba aku bangun, dan mataku menangis juga. Aku sudah di seminari.....

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...