Monday, March 17, 2008

Hidup Dari dan Berdasarkan Lingkaran Tahun Liturgi
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dalam perayaan ekaristi sore Minggu palma kemarin, saya mendapat beberapa ilham yang sangat penting untuk penyadaran akan tahun Liturgi. Tetapi sesungguhnya kesadaran itu sudah sangat lama hidup dalam diri saya; hanya kemarin itu semakin dipertajam lagi. Pertama-tama, mengenai judul seluruh program yang akan saya usahakan mulai dari untaian tulisan ini. Judul yang tiba-tiba muncul secara spontan ada beberapa variasi atau alternatif: ada judul sbb: "Sadar akan Tahun Liturgi." Atau judul "Hidup dengan Kesadaran akan Tahun Liturgi." Atau judul: "Hidup Berdasarkan atau dari Tahun Liturgi." Semuanya bagi saya sangat indah dan menarik. Ketiga variasi judul yang muncul ini saya rasa sangat penting dan bisa mewakili dan menggambarkan cita-cita dasar yang ingin saya raih dan wujudkan melalui untaian studi dan tulisan ini nanti.
Mengapa demikian? Itu tidak lain karena saya merasa bahwa hal ini bisa membantu untuk beberapa hal dan dalam beberapa hal. Pertama, upaya "penyadaran akan tahun liturgi" (liturgical year; ada yang mengistilahkannya lain: year of grace) dan akan "hidup berdasarkan tahun liturgi" itu, bisa membantu pembagian atau organisasi waktu kita (the organzation of time). Waktu kita ini mengalir begitu saja dari detik ke detik, baik itu dalam pandangan siklis akan waktu maupun dalam pandangan linear akan waktu, dan juga dalam pandangan spiral akan waktu (Filsafat waktu atau sejarah itu tidak akan diuraikan lebih lanjut di sini). Tanpa suatu interval dan jarak yang mentransendensi, eksistensi dan perjalanan waktu itu dapat menjadi sebuah jerat dan penjara yang membosankan, serba menghimpit dan bahkan bisa juga memuakkan dan mematikan. Maka waktu yang massive itu dibagi-bagi dalam penggal-penggal dan tonggak-tonggak tertentu dengan ditandai dengan ciri khasnya masing-masing (nanti akan didalami lebih lanjut ketika menguraikan bagian-bagian dari tahun liturgi itu). Kedua, upaya penyadaran ini juga dapat membantu proses pengudusan waktu (sanctification of time). Waktu itu sulit didefinisikan, tetapi kita hidup dalam waktu yang senantiasa mengalir datar begitu saja seperti arus air di sungai. Panta rei kai uden menei, demikian kata Heraklitos, filsuf dari Yunani klasik itu. Liturgi dengan pembagian-pembagian waktunya, dan dengan perayaannya yang khas dan unik dalam setiap kurun waktu, dapat membantu kita menguduskan waktu, dengan cara memakai waktu itu dalam rangka mengeksplisitkan dimensi vertikal dan transenden hidup kita. Bahwa kita adalah makhluk yang transeden, yang punggungnya tegak ke atas, ke arah yang vertikal. Liturgi membantu kita mewujudkan idealisme pengudusan waktu itu.
Ketiga, upaya penyadaran akan tahun liturgi itu juga dapat membantu proses pengudusan diri (self-sanctification). Dengan setia melaksanakan gerak transendensi dan arah vertikal eksistensi kita yang coba dibangkitkan dengan dan dalam liturgi itu, kiranya kita juga semakin sadar akan relasi dan ketergantungan kita pada yang mahatinggi. Kita didorong untuk selalu mensyukuri hidup kita. Liturgi membantu kita bisa menjadi orang yang saleh dalam hidup ini, yang menyadari bahwa hidup kita ini bersumber dan berpangkal sesuatu yang realitas yang mahatinggi. Keempat, upaya penyadaran itu juga dapat membantu proses pengudusan sosial (social-sanctification), sebab saya sangat yakin bahwa dengan semboyan ini: better liturgy, holier culture. Artinya, kalau liturgi dalam artian yang sangat luas dirayakan dan dipraktekkan dengan tepat, maka dari sana akan muncul sebuah kebudayaan dan peradaban yang suci, karena diwarnai dan dilatar belakangi oleh gerak transendensi dan vertikal manusia. Kelima, upaya penyadaran akan tahun liturgi juga bisa membantu diri saya sendiri dan umat (orang lain) untuk program pendidikan liturgis itu secara otodidak (tanpa melalui suatu institusi pendidikan formal apapun juga, melainkan hanya melalui praktek dan penghayatan yang terus menerus dari waktu ke waktu). Keenam, bersama dengan pendidikan liturgi, akan terbantu juga pendidikan informal teologi (theological training). Sebab liturgi adalah teologi dalam bentuk perayaan iman, dalam bentuk tanda, dalam bentuk simbol-simbol. Jadi, dengan merayakan liturgi orang akan semakin dalam dan luas juga pengetahuan teologisnya.
Ketujuh, pendalaman dan penghayatan liturgi lewat penyadaran akan tahun liturgi pada gilirannya akan membantu pendidikan kitab suci (biblical apostolate training). Mengapa? Sebab yang kira rayakan dalam liturgi tidak lain dan tidak bukan ialah Kitab Suci. Dengan mendengarkan bacaan-bacaan dari kitab suci kita dibawa masuk ke dalam kitab suci, dan menjadi kenal serta akrab dengan kitab suci itu sendiri. Singkatnya, seluruh waktu kita ditata dalam ruang suci (sacred space), dalam kesadaran akan kehadiran dari yang suci, kehadiran dari yang kudus. Waktu dan ruang tidak lagi hanya sesuatu yang serba profan saja. Jadi, seluruh tahun liturgi menjadi sebuah kurikulum pendidikan hidup doa dan kesalehan. Maka saya pun berani sekali lagi berkata dengan lantang bahwa "better liturgy, holier culture." Semakin baik orang menyadari dan menghayati keindahan tahun liturgi dan perayaan liturgi dan pada gilirannya bisa hidup dari dan berdasarkan pengaturan tahun liturgi itu, maka kebudayaan akan menjadi lebih baik dan lebih suci. Itulah yang menjadi keyakinan dasar saya di sini.
Mungkin akan ada sementara kalangan yang mengajukan pertanyaan kritis berikut ini: Bagaimana dengan kritik bahwa hal itu (menukik ke dalam liturgi) bisa bermuara pada atau memunculkan sikap fanatisme sempit dan bahkan ekstremisme yang bringas? Juga bisa memunculkan sikap mental yang sempit dan picik, hanya berkutat di sekitar altar saja, tanpa mempedulikan pasar, meminjam istilah dari almarhum Uskup Bandung. Tentu saja ada bahaya seperti itu. Ada kecenderungan untuk jatuh ke dalam bahaya seperti itu. Hal itu tidak bisa disangkal sepenuhnya. Tetapi menurut hemat saya hal itu bisa dicegah dengan pendidikan moral dan cinta kasih (hal itu bagian dari pendidikan moral, tetapi juga secara tidak langsung diupayakan dalam pendidikan liturgi), lewat penekanan pada kebajikan-kebajikan dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Liturgi harus mengarah ke sini. Liturgi yang mengarah kepada atau menebar kebencian, tidak pantas untuk dirayakan dan dihidupi. Oleh karena itu, liturgi adalah demi cinta akan kemanusiaan baik itu kemanusiaan universal maupun individu, yaitu manusia kongkret di sekitar kita. Kemanusiaan jangan sampai dikorbankan oleh liturgi. Liturgi jangan sampai terjerembab ke dalam rasa anti-humanisme. Liturgi seperti itu sekali lagi tidak pantas dihidupi. Liturgi harus menyuburkan cinta kasih dan kepekaan, dan toleransi. Tidak boleh ke arah sikap benci, iri, dan cemburu. Kalau ini yang muncul, jangan sampai seruan Allah lewat nabi Amos dulu: aku benci akan korban bakaran dan korban sembelihanmu (liturgi Perjanjian Lama) akan diulang lagi untuk kita sekarang: Aku benci akan ketekunanmu melayani gereja, kalau ternyata hal itu tidak menyuburkan cinta dalam dirimu.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...