Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)
Kenalilah dirimu. Itulah nasihat dari Sokrates. Pengenalan diri adalah pangkal segalanya. Sejak awal kami di seminari kami diperkenalkan dengan sebuah latihan unik, mengenal diri, mencoba mengambil jarak dari diri, mengkritik diri. Sebagai alasan pastor pembimbing mengatakan bahwa salah satu tanda kedewasaan ialah kemampuan mengenal dan mengakui diri, dan kemampuan melakukan oto-kritik (self-criticism). Salah satu latihan ialah membayangkan diri di masa silam. Diri di masa silam itu, memang benar diriku, aku-ku. Tetapi ia sudah menjadi aku yang lain, yang berjarak dari aku kini, yang sekarang dan di sini, hic et nunc. Aku mencoba mengenalnya dari sini. Ini latihan unik: karena kita seakan menempatkan “boneka” kita dari masa silam, di hadapan aku yang kini sadar dan berpikir, bahkan karena berpikir maka aku ada, cogito ergo sum.
Latihan lain ialah acara “periksa batin” – demikian tradisi seminari menyebutnya – yang dilakukan beberapa kali sehari. Pertama waktu Ekaristi pagi hari; saat itu kami mengaku dosa setelah terlebih dahulu memeriksa batin. Kedua, pada siang hari sesudah selesai pelajaran; saat itu ada acara periksa batin siang, sesaat sebelum makan. Biasanya didahului doa epiklesis, memohon turunnya Roh Kudus, agar kami berani menghadapi diri sendiri yang mungkin bopeng selama hari itu, entah dengan pikiran, perkataan, perbuatan, dan kelalaian. Periksa batin sianglah yang berat, karena dilakukan sesudah jam ngantuk di kelas, dan perut lapar, sementara dari kamar makan, angin membawa aroma makan siang. Bagi orang lapar, sekadar bayangan makanan yang tersedia pun terasa lezat, walau sesungguhnya makanan itu mungkin tidak selalu lezat, yang penting ada. Tetapi yang menggoda hidung kami pada saat seperti itu ialah makanan para pastor guru dan pembimbing kami yang jauh lebih baik gizinya, dan variasi menunya. Sudahlah. Saya kembali ke periksa batin itu. Acara periksa batin ketiga ialah pada malam menjelang tidur, dalam doa malam, Completorium, doa penutup. Saat itu ada juga periksa batin.
Dengan rutinitas harian seperti itu, kami serasa telanjang. Polos. Tabula rasa. Tetapi dalam pengalaman saya praksis itu hampir menjadi skrupelous. Orang mudah merasa bersalah, melihat banyak salah, mudah merasa berdosa. Mungkin hal itu ada baiknya juga secara moral, daripada kalau orang tidak punya rasa berdosa sama sekali. Hidup seakan seluruhnya ditandai mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa. Doa itu tidak berhenti di situ. Untuk mengatasi skrupel, biasanya saya dengan sadar mengucapkan bagian selanjutnya: Oleh karena itu saya mohon kepada santa perawan Maria, kepada para malaekat, dan orang kudus, dan kepada saudara sekalian.... Ini penting, sebab pengalaman rasa bersalah harus bermuara pada sikap rendah hati untuk bertobat di hadapan gereja. Ini luar biasa. Suatu upaya pengenalan diri yang bermuara pada pengenalan dosa, tetapi berlabuh dalam doa mohon ampunan. Kami merasa semakin menukuk ke kedalaman hati.
Setiap Jum’at pertama ada kesempatan mengaku dosa. Ini juga bagian dari latihan mengenal diri dengan bantuan bapa pengakuan. Bagi saya ini adalah latihan menjadi rendah hati, taat. Sebab setiap pengakuan disertai penitensi (hukuman, denda) atas dosa. Penitensi yang tergolong berat ialah jalan salib malam hari. Sebab itu berarti kita sendirian di kapel, gelap. Temaram. Seram. Di sini saya teringat akan teman, yang mendapat penitensi jalan salib: agar cepat selesai, ia berdiri pada setiap stasi jalan salib tidak labih dari 10 detik; di sana ia memandang gambar, lalu pindah ke gambar berikut. Jalan salib jadinya tidak lebih dari 140 detik. Tentu ada yang serius menjalani penitensi itu, bahkan sampai ke tingkat skrupel.
Bagaimana pun variasi pelaksanaan dan kesadaran akan semua latihan itu, semuanya membawa orang ke muara keberanian otokritik, yang dalam ilmu psikologi kepribadian diyakini sebagai tanda kematangan dan kedewasaan.
No comments:
Post a Comment