Wednesday, December 10, 2008

MENDALAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 35

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Mazmur ini cukup panjang, mencapai 28 ayat. Saya mau membaginya sbb: ayat 1-8; ayat 9-10; ayat 11-16; ayat 17-26; ayat 27-28. Saya mau menjelaskannya berdasarkan penggalan ini. Ayat 1-8 masih dapat dibagi menjadi dua bagian lagi. Dalam ayat 1-3 kita membaca bagaimana pemazmur memohon kepada Allah agar Ia sudi bertindak demi si pemazmur. Dalam konteks ini, ia tidak segan memakai bahasa metafor perang. Pemazmur yakin, jika Allah sudah bertindak (seperti yang diharapkan dalam 1-3), maka para lawan akan kalah, tunduk dan malu; bahkan mereka bisa mendapat celaka yang antara lain bisa didatangkan Malaekat Tuhan (ayat 4-8).

Dalam ayat 9-10, ia mengkontraskan nasib dan pengalaman hidupnya dengan para lawan yang celaka yang dilukiskannya dalam bagian terdahulu. Di sini pemazmur mencoba melukiskan pengalamannya yang bersukacita karena tindakan shalom Allah. Di sini terasa juga sebuah metafor yang kuat dari binatang buas. Si pemazmur membayangkan diri sebagai sisa-sisa tulang yang masih diluputkan Allah dari mulut pemangsa, sehingga tulang itupun secara personifikasi bisa mengungkapkan pujian kepada Allah secara retoris: “Ya, TUHAN, siapakah yang seperti Engkau....dst.”

Dalam ayat 11-16 kita melihat bagaimana pemazmur berusaha melukiskan pelbagai macam perbuatan jahat para lawan yang jahat. Antara lain kejahatan mereka ialah: kesaksian palu (11), tidak tahu berterima kasih (12). Dua pengalaman ini terasa menyakitkan dalam relasi sosial. Padahal pemazmur selama ini sudah bersolider dengan mereka. Ketika mereka sakit, pemazmur ikut berduka (ay13-14); tetapi ketika pemazmur itu jatuh, malah ia disoraki (ay.15-16). Si pemazmur merasa bahwa ini tidak benar, ini adalah tidak adil dan tidak pada tempatnya dalam suatu relasi dan pergaulan sosial.

Karena itu, dalam kumpulan ayat berikutnya yang cukup panjang, yaitu ayat 17-26, pemazmur sampai berani bertanya kepada Tuhan. Inti pertanyaannya ialah, sampai kapan Tuhan akan berdiam diri? Atau sampai kapan Tuhan “seakan-akan membiarkan” semuanya itu terjadi? (Ini sebuah kejahatan yang dalam terminologi hukum dan hak asasi modern disebut kejahatan dengan pembiaran, crime by omition atau pengabaian). Di dalam pahitnya penderitaan dan rasa sakit yang dialaminya, pemazmur meminta agar ia dilindungi dari orang-orang jahat. Menarik bahwa ayat 18 ditempatkan pada awal penggalan, sehingga pemazmur memberi kesan bahwa ia mau memuji Allah juga di tengah kesesakan yang ia alami. Sesudah penegasan bahwa ia tetap mau memuji Allah juga dalam kesesakan, barulah ia mengajukan permohonan lebih lanjut. Ia meminta agar musuh-musuhnya tidak bersukacita atas kemalangannya (ayat 20-21). Dalam ayat 22 ia meminta Allah agar segera bertindak. Jangan lagi berlambat. Tema itu diteruskan hingga ke bagian akhir ayat 26, tetapi dengan memakai bahasa ungkapan berlainan (variatif).

Semuanya ini bermuara pada penggal terakhir, 27-28. Dalam bagian puncak yang menjadi mahkota mazmur ini, pemazmur sekali lagi mengungkapkan keyakinan teologisnya, bahwa jika semua tindakan Allah sudah terjadi (dilakukan), maka ia berharap bahwa orang yang melihat semua tindakan atau perbuatan Allah akan bersukacita. Pada gilirannya mereka terdorong untuk memuji dan memuliakan Allah.


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...