Alma Redemptoris Mater
Oleh: EFBE@fransisbm
Oleh: EFBE@fransisbm
Kegelapan malam sudah mulai turun menyelimuti lembah yang sunyi di sekitar asrama seminari Kisol, tempat aku belajar dan berbakti, mulai hari ini dan seterusnya nanti. Maka aku pun serta merta dirundung kemurungan, dilanda sepi yang sulit aku mengerti. Ada relung-relung misteri dalam kesunyian alam dan diri. Itulah malam pertama aku masuk dan tinggal di asrama seminari Pius XII Kisol.
Rasa sunyi itu untuk sementara diselingi acara makan malam yang terasa sangat ramai karena bunyi piring dan sendok dan juga senda-gurau para siswa seminari. Setelah usai makan malam, aku kembali dirundung kemurungan, kesunyian dan kesepian. Kiranya itu tipikal pengalaman malam. Orang seakan-akan masuk ke dalam diri sendiri dan tiba-tiba dihantui rasa takut menghadapi diri sendiri dalam kesunyian.
Sekitar pukul 20.45, terdengar bunyi pluit seorang siswa seminari yang bertugas. Para senior kami mengatakan bahwa itulah acara doa malam. Itulah cara sosialisasi lisan aturan di seminari yang akan mulai kujalani hari ini dan seterusnya nanti. Lalu kami semua berjalan menuju ke kapela seminari. Di sana aku masuk dengan khusyuk. Ruangan berkubah tinggi. Ada tiang-tiang besar, ada bangku berjejer rapi, dan nun jauh di sana ada tabernakel dan lampu bernyala. Aku menunduk hormat. Aku coba berdoa pribadi.
Tidak lama berselang doa bersama dimulai. Itulah doa penutup, doa pelengkap, completorium. Dimulai dengan membaca doa dari buku doa, lalu ditutup dengan kidung Simeon yang terkenal itu. Aku tersentuh. Aku menikmati syair dan melodinya: Sekarang Tuhan, perkenankanlah hambaMu berpulang, dalam damai sejahtera menurut sabdaMu.
Kemudian ada hening yang cukup panjang. Peresapan. Kontemplasi. Silentium. Keheningan itu tiba-tiba dipecah oleh alunan harmonium yang sangat indah, yang belum pernah aku dengar. Maklum di gereja kami di kampung tidak ada harmonium seperti itu. Di sana semuanya serba sederhana, apa adanya, serba alami. Melodi yang dimainkan pun sangat indah. Ketika preludium-nya akan jatuh pada nada-nada isyarat bahwa lagu akan segera dimulai, maka para senior pun mulai bernyanyi. Malam itu, nyanyian tadi hanya dinyanyikan oleh para senior. Maklum nyanyian itu dalam bahasa Latin. Tetapi senior yang ada di belakangku menyodorkan buku nyanyian dengan halaman terbuka. Di sana kubaca judul, Alma Redemptoris Mater (Bunda Penebus Maharahim).
Para senior bernyanyi penuh semangat, mengalun, lembut, keras, meninggi, merendah. Indah sekali. Mereka menyanyi seakan mau menegaskan senioritas mereka di atas kami yang baru datang dari kampung dan belum tahu apa-apa. Tetapi, aku tidak mau ketinggalan. Bakat nyanyi yang ditanamkan ibu dan ayahku sejak kecil tidak kusia-siakan. Aku pun juga langsung menghafalkannya, baik melodi maupun syairnya: Alma Redemptoris Mater, quae pervia caeli porta manes, et stela maris, succure cadenti, surgere qui curat populo. Tu quae genuisti, natura mirante, tuum sanctum Genitorem; Virgo prius ac posterius, Gabrielis ab ore, sumens illud Ave, peccatorum misserere.
Sejak saat itu, teks lagu itu lengket seakan-akan terpatri dalam sanubariku hingga hari ini. Maka aku selalu menyanyikan lagu itu. Setiap kali aku menyanyikannya, ajaib sekali, dalam benak sanubariku, aku langsung teringat malam pertama itu, di seminari, di sebuah lembah sunyi, di Manggarai. Lagu itu menjadi kenangan abadi, yang menandai malam sunyi, dan suci, di seminari. Sebuah kidung mariologis yang sangat indah, yang tidak mungkin akan kulupakan selama hayat dikandung badan.
Rasa sunyi itu untuk sementara diselingi acara makan malam yang terasa sangat ramai karena bunyi piring dan sendok dan juga senda-gurau para siswa seminari. Setelah usai makan malam, aku kembali dirundung kemurungan, kesunyian dan kesepian. Kiranya itu tipikal pengalaman malam. Orang seakan-akan masuk ke dalam diri sendiri dan tiba-tiba dihantui rasa takut menghadapi diri sendiri dalam kesunyian.
Sekitar pukul 20.45, terdengar bunyi pluit seorang siswa seminari yang bertugas. Para senior kami mengatakan bahwa itulah acara doa malam. Itulah cara sosialisasi lisan aturan di seminari yang akan mulai kujalani hari ini dan seterusnya nanti. Lalu kami semua berjalan menuju ke kapela seminari. Di sana aku masuk dengan khusyuk. Ruangan berkubah tinggi. Ada tiang-tiang besar, ada bangku berjejer rapi, dan nun jauh di sana ada tabernakel dan lampu bernyala. Aku menunduk hormat. Aku coba berdoa pribadi.
Tidak lama berselang doa bersama dimulai. Itulah doa penutup, doa pelengkap, completorium. Dimulai dengan membaca doa dari buku doa, lalu ditutup dengan kidung Simeon yang terkenal itu. Aku tersentuh. Aku menikmati syair dan melodinya: Sekarang Tuhan, perkenankanlah hambaMu berpulang, dalam damai sejahtera menurut sabdaMu.
Kemudian ada hening yang cukup panjang. Peresapan. Kontemplasi. Silentium. Keheningan itu tiba-tiba dipecah oleh alunan harmonium yang sangat indah, yang belum pernah aku dengar. Maklum di gereja kami di kampung tidak ada harmonium seperti itu. Di sana semuanya serba sederhana, apa adanya, serba alami. Melodi yang dimainkan pun sangat indah. Ketika preludium-nya akan jatuh pada nada-nada isyarat bahwa lagu akan segera dimulai, maka para senior pun mulai bernyanyi. Malam itu, nyanyian tadi hanya dinyanyikan oleh para senior. Maklum nyanyian itu dalam bahasa Latin. Tetapi senior yang ada di belakangku menyodorkan buku nyanyian dengan halaman terbuka. Di sana kubaca judul, Alma Redemptoris Mater (Bunda Penebus Maharahim).
Para senior bernyanyi penuh semangat, mengalun, lembut, keras, meninggi, merendah. Indah sekali. Mereka menyanyi seakan mau menegaskan senioritas mereka di atas kami yang baru datang dari kampung dan belum tahu apa-apa. Tetapi, aku tidak mau ketinggalan. Bakat nyanyi yang ditanamkan ibu dan ayahku sejak kecil tidak kusia-siakan. Aku pun juga langsung menghafalkannya, baik melodi maupun syairnya: Alma Redemptoris Mater, quae pervia caeli porta manes, et stela maris, succure cadenti, surgere qui curat populo. Tu quae genuisti, natura mirante, tuum sanctum Genitorem; Virgo prius ac posterius, Gabrielis ab ore, sumens illud Ave, peccatorum misserere.
Sejak saat itu, teks lagu itu lengket seakan-akan terpatri dalam sanubariku hingga hari ini. Maka aku selalu menyanyikan lagu itu. Setiap kali aku menyanyikannya, ajaib sekali, dalam benak sanubariku, aku langsung teringat malam pertama itu, di seminari, di sebuah lembah sunyi, di Manggarai. Lagu itu menjadi kenangan abadi, yang menandai malam sunyi, dan suci, di seminari. Sebuah kidung mariologis yang sangat indah, yang tidak mungkin akan kulupakan selama hayat dikandung badan.
No comments:
Post a Comment