Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm).
Pengantar
Salah satu hiasan Paskah yang secara tradisional menarik perhatian kita semua ialah "telur paskah," lambang permulaan hidup baru; dari telur akan keluar hidup baru. Telur paskah ini menjadi paling favorit di kalangan anak-anak sekolah minggu kita. Ada pelbagai macam kreasi untuk menghias dan menampilkannya. Selain telur paskah kita juga mungkin sudah terbiasa dengan hiasan lain yaitu apa yang oleh sementara orang disebut "Gua Paskah." Tentang "gua paskah" itulah saya mau menulis komentar kecil dan ringan dalam dan melalui tulisan sederhana ini. Tentu di dalam konteks liturgi dalam artian yang paling ketat ada hiasan dan simbol lain yang lebih penting dan dahsyat lagi, yaitu Lilin Paskah, dan Api Baru (atau api alam). Belum lagi ditambah dengan bacaan-bacaan yang panjang (yang dalam liturgi lama terdiri atas 12 bacaan, karena memang malam paskah itu dulu adalah malam katekisasi bagi para calon baptis kita; jadi, oleh karena itu, seluruh program pendidikan iman dan teologi dipadatkan dalam bentuk satu upacara. Luar biasa). Belum lagi dengan Exultet yang semarak dan meriah itu. Pada Sabtu pagi di beberapa tempat ada ibadat yang disebut Lamentatio atau Ratapan dengan simbolisme lilin yang dipadamkan satu per satu (melambangkan perginya para murid) sampai hanya tinggal satu lilin saja di puncak segitiga (melambangkan Yesus yang ditinggalkan sendirikan oleh para Murid-Nya). Tetapi tulisan saya kali ini hanya dibatasi pada "Gua Paskah" saja.
Sesungguhnya kehadiran gua sebagai salah satu hiasan pada masa Paskah, bukan merupakan sesuatu yang sama sekali baru atau asing dalam pengalaman hidup dan kenangan iman saya. Sebab dulu sejak di seminari kecil Pius XII Kisol (di Flores Barat sana), seniman besar kami saat itu, P.Leo Perik SVD (almarhum) dan P.Frans Mido SVD, selalu menghias altar di Kapela seminari untuk Sabtu dan Minggu paskah dengan "gua kosong" (bahannya terbuat entah dari kain hitam, ataupun sambungan koran-koran bekas atau bekas sak semen yang dicat dengan warna batu cadas). Biasanya di atas atau di samping gua itu ditambahkan dengan gambar Yesus yang sudah bangkit (berukuran besar); dengan kebangkitan itu Ia telah mengalahkan maut. Juga biasanya ditambahkan dengan tulisan poster yang berbunyi sbb: Surrexit Christus Dominus Vere, Alleluya (Kristus Tuhan Sungguh Telah Bangkit Alleluia). Atau sebuah tulisan lain misalnya: Resurrexit sicut dixit, Alleluia (Ia bangkit seperti yang telah dikatakanNya; diambil dari doa Regina Caeli yang terkenal itu). Sebuah seruan yang tentu saja dilatar belakangi oleh ucapan malaekat di pintu makam kosong yang sudah terbuka kepada para perempuan yang pagi-pagi datang membawa minyak dan rempah-rempah untuk mengurapi jenazah Yesus (menurut tradisi sinoptik; lih.Mrk.16:1-8; Mat.28:1-10; Luk.24:1-12; sebab menurut tradisi Yohanes, pengurapan justeru sudah terjadi sebelum upacara pemakaman; lih.Yoh.19:38-42).
Memang ada juga yang menghiasi panti imam dengan gambar Yesus yang bangkit saja, tanpa memperlihatkan gua atau makam kosong yang telah ditinggalkannya di belakang tempat para pengikut Yesus dulu terbengong-bengong dan bertanya-tanya, bahkan ketakutan dan merasa ngeri menghadapi fenomena "orang hilang" dan bahkan mungkin "penghilangan orang secara paksa dan kekerasan" (Bdk.Mrk.16:1-8; Mat.28:1-10; Luk.24:1-12; Yoh.20:1-10). Mereka berhadapan secara langsung dengan dan mengalami "teror makam kosong," dan "teror misteri orang hilang." Mengingat semuanya itu, maka tradisi "gua paskah" itu sesungguhnya sangat hidup dalam ingatan saya, dan kiranya juga hidup dalam ingatan cukup banyak orang yang saya kira mempunyai pengalaman yang sama dengan saya.
Salah satu hiasan Paskah yang secara tradisional menarik perhatian kita semua ialah "telur paskah," lambang permulaan hidup baru; dari telur akan keluar hidup baru. Telur paskah ini menjadi paling favorit di kalangan anak-anak sekolah minggu kita. Ada pelbagai macam kreasi untuk menghias dan menampilkannya. Selain telur paskah kita juga mungkin sudah terbiasa dengan hiasan lain yaitu apa yang oleh sementara orang disebut "Gua Paskah." Tentang "gua paskah" itulah saya mau menulis komentar kecil dan ringan dalam dan melalui tulisan sederhana ini. Tentu di dalam konteks liturgi dalam artian yang paling ketat ada hiasan dan simbol lain yang lebih penting dan dahsyat lagi, yaitu Lilin Paskah, dan Api Baru (atau api alam). Belum lagi ditambah dengan bacaan-bacaan yang panjang (yang dalam liturgi lama terdiri atas 12 bacaan, karena memang malam paskah itu dulu adalah malam katekisasi bagi para calon baptis kita; jadi, oleh karena itu, seluruh program pendidikan iman dan teologi dipadatkan dalam bentuk satu upacara. Luar biasa). Belum lagi dengan Exultet yang semarak dan meriah itu. Pada Sabtu pagi di beberapa tempat ada ibadat yang disebut Lamentatio atau Ratapan dengan simbolisme lilin yang dipadamkan satu per satu (melambangkan perginya para murid) sampai hanya tinggal satu lilin saja di puncak segitiga (melambangkan Yesus yang ditinggalkan sendirikan oleh para Murid-Nya). Tetapi tulisan saya kali ini hanya dibatasi pada "Gua Paskah" saja.
Sesungguhnya kehadiran gua sebagai salah satu hiasan pada masa Paskah, bukan merupakan sesuatu yang sama sekali baru atau asing dalam pengalaman hidup dan kenangan iman saya. Sebab dulu sejak di seminari kecil Pius XII Kisol (di Flores Barat sana), seniman besar kami saat itu, P.Leo Perik SVD (almarhum) dan P.Frans Mido SVD, selalu menghias altar di Kapela seminari untuk Sabtu dan Minggu paskah dengan "gua kosong" (bahannya terbuat entah dari kain hitam, ataupun sambungan koran-koran bekas atau bekas sak semen yang dicat dengan warna batu cadas). Biasanya di atas atau di samping gua itu ditambahkan dengan gambar Yesus yang sudah bangkit (berukuran besar); dengan kebangkitan itu Ia telah mengalahkan maut. Juga biasanya ditambahkan dengan tulisan poster yang berbunyi sbb: Surrexit Christus Dominus Vere, Alleluya (Kristus Tuhan Sungguh Telah Bangkit Alleluia). Atau sebuah tulisan lain misalnya: Resurrexit sicut dixit, Alleluia (Ia bangkit seperti yang telah dikatakanNya; diambil dari doa Regina Caeli yang terkenal itu). Sebuah seruan yang tentu saja dilatar belakangi oleh ucapan malaekat di pintu makam kosong yang sudah terbuka kepada para perempuan yang pagi-pagi datang membawa minyak dan rempah-rempah untuk mengurapi jenazah Yesus (menurut tradisi sinoptik; lih.Mrk.16:1-8; Mat.28:1-10; Luk.24:1-12; sebab menurut tradisi Yohanes, pengurapan justeru sudah terjadi sebelum upacara pemakaman; lih.Yoh.19:38-42).
Memang ada juga yang menghiasi panti imam dengan gambar Yesus yang bangkit saja, tanpa memperlihatkan gua atau makam kosong yang telah ditinggalkannya di belakang tempat para pengikut Yesus dulu terbengong-bengong dan bertanya-tanya, bahkan ketakutan dan merasa ngeri menghadapi fenomena "orang hilang" dan bahkan mungkin "penghilangan orang secara paksa dan kekerasan" (Bdk.Mrk.16:1-8; Mat.28:1-10; Luk.24:1-12; Yoh.20:1-10). Mereka berhadapan secara langsung dengan dan mengalami "teror makam kosong," dan "teror misteri orang hilang." Mengingat semuanya itu, maka tradisi "gua paskah" itu sesungguhnya sangat hidup dalam ingatan saya, dan kiranya juga hidup dalam ingatan cukup banyak orang yang saya kira mempunyai pengalaman yang sama dengan saya.
"Gua Paskah" Elektrik
Kenangan yang sangat hidup itu, kini muncul kembali karena di beberapa tempat dewasa ini orang juga menghias altar dan panti imam dengan hiasan "gua paskah" berupa "makam kosong" pada perayaan paskah (sejak hari Sabtu sore). Saya mengalami hal ini terutama di paroki saya sendiri di Bandung, yakni Paroki St.Martinus, Margahayu, Lanud Sulaiman (bahkan lengkap dengan pintu elektrik yang bisa secara otomatis membuka pintu kubur itu dengan alat pemindai jauh. Biasanya pintu elektrik-otomatis ini akan diaktifkan ketika dalam Injil mulai dibacakan tentang warta kebangkitan Yesus dari alam maut; jadi, ini semacam drama singkat tentang adegan "detik-detik" kebangkitan). Beberapa teman mengatakan bahwa mereka melihat hal itu ditiru oleh paroki-paroki lain dalam kota Bandung; atau lebih baik ada juga gereja di beberapa paroki lain di Kota Bandung yang melakukan hal yang sama. Dan saya kira hal itu ada atau terjadi tidak hanya di Bandung saja. Di tempat lain, saya kira juga ada hal seperti itu. Misalnya, ketika saya berkunjung ke gereja stasi Porong, Sidoarjo, dua minggu sesudah paskah 2007 setahun yang lalu (dalam rangka pertemuan Komisi Kitab Suci se-regio Jawa); di sana saya menemukan dan melihat juga hiasan berupa "gua paskah" atau gua "makam kosong" itu menghiasi altar di gereja tersebut.
Saya menganggap hal atau gejala ini sebagai sebuah inisiatif untuk membangun sebuah tradisi karya seni, katakanlah seni material, yang mudah-mudahan juga kelak akan bisa menghasilkan karya seni monumental. Dalam arti itu dan dengan harapan seperti itu, saya kira inisiatif dan kreatifitas itu adalah sesuatu yang baik-baik dan oke-oke saja. Jadi, tidak ada masalah sama sekali. Sebab menurut hemat saya, seni dan peradaban religius itu memang harus mengakar kuat-kuat dalam tradisi agar bisa membatin dan hidup dalam imajinasi kita, dalam benak dan kalbu kita, dalam pikiran kita dan kaum keturunan kita. Diharapkan bahwa dari sana karya seni yang mengalami proses internalisasi itu, bisa menggerakkan orang, menggerakkan daya khayal dan daya imajinasinya untuk berkreasi lebih lanjut, menghasilkan karya-karya seni lanjutan untuk generasi-generasi yang akan datang. Sebab dalam tradisi Katolik, kesenian itu sangat erat dikaitkan dengan liturgi. Maka sekali lagi, saya beranggapan bahwa seni yang material itu memang mutlak perlu. Sebab seni yang material itu bisa mempunyai daya dorong yang sangat kuat untuk membangun kultur dan peradaban religius tertentu.
Dan kita semua tahu bahwa kultur dan peradaban perlu untuk menyuburkan hidup dan jiwa, menghidupkan daya imajinasi, dan daya khayal anak-anak manusia. Tatkala seeorang yang berjiwa musik menikmati alunan musik ciptaan Bethooven, Bach, atau Haendel misalnya, maka dalam dirinya akan terbangun riak-riak gelombang melodi baru yang akan serta merta mendorongnya untuk mencipta dan menghasilkan kreasi-kreasi nada, dan melodia baru pula. Dengan itu, karya Bach, Beethoven, dan Haendel tadi mempunyai daya-kuasa untuk menggerakkan daya imajinasi dan kreasi seseorang untuk bisa menghasilkan atau paling tidak mereproduksi sesuatu karya seni baru di bidang musik. Begitu juga misalnya, seseorang seniman arsitektur yang sedang menikmati gedung arsitektur gaya gothik Katedral Jakarta misalnya, akan muncul daya dorong yang kuat dalam dirinya untuk menciptakan dan menghasilkan karya arsitektur baru seperti itu. Dengan cara itu, warisan kultural arsitektur lama mempunyai daya hidup untuk menghidupkan dan menghasilkan karya-karya arsitektur baru.
Maka harus dikatakan sekali lagi bahwa kultur dan peradaban itu perlu untuk menyuburkan hidup dan jiwa kita, menghidupkan imajinasi dan daya khayal kita. Saya sangat yakin bahwa hidup akan menjadi sangat kering kalau tidak ada kesenian, kalau tidak ada karya seni. Saya hampir tidak dapat membayangkan adanya suatu kehidupan tanpa kesenian seperti itu. Sebab kesenian adalah darah kehidupan. Seni adalah nafas kehidupan. Jadi, intuisi ke arah yang estetik itu adalah prasyarat untuk hidup. Bahkan estetika adalah puncak dari upaya pencarian manusia yang selalu rangkap tiga itu, yakni pencarian akan idealisme kebenaran (verum, veritas) yang bermuara pada logika, pencarian akan idealisme kebaikan (bonum, bonitas) yang berpuncak pada etika, dan pencarian akan idealisme keindahan (pulcher, pulchrum) yang berpuncak pada estetika. Dengan perlengkapan estetika ini, paling tidak kita ini bukan lagi hanya asal hidup saja, melainkan kita mengarungi suatu hidup yang bermakna lebih, hidup yang berkelimpahan kalau mau mengutip Yesus versi Yohanes (Yoh 10:10).
Kenangan yang sangat hidup itu, kini muncul kembali karena di beberapa tempat dewasa ini orang juga menghias altar dan panti imam dengan hiasan "gua paskah" berupa "makam kosong" pada perayaan paskah (sejak hari Sabtu sore). Saya mengalami hal ini terutama di paroki saya sendiri di Bandung, yakni Paroki St.Martinus, Margahayu, Lanud Sulaiman (bahkan lengkap dengan pintu elektrik yang bisa secara otomatis membuka pintu kubur itu dengan alat pemindai jauh. Biasanya pintu elektrik-otomatis ini akan diaktifkan ketika dalam Injil mulai dibacakan tentang warta kebangkitan Yesus dari alam maut; jadi, ini semacam drama singkat tentang adegan "detik-detik" kebangkitan). Beberapa teman mengatakan bahwa mereka melihat hal itu ditiru oleh paroki-paroki lain dalam kota Bandung; atau lebih baik ada juga gereja di beberapa paroki lain di Kota Bandung yang melakukan hal yang sama. Dan saya kira hal itu ada atau terjadi tidak hanya di Bandung saja. Di tempat lain, saya kira juga ada hal seperti itu. Misalnya, ketika saya berkunjung ke gereja stasi Porong, Sidoarjo, dua minggu sesudah paskah 2007 setahun yang lalu (dalam rangka pertemuan Komisi Kitab Suci se-regio Jawa); di sana saya menemukan dan melihat juga hiasan berupa "gua paskah" atau gua "makam kosong" itu menghiasi altar di gereja tersebut.
Saya menganggap hal atau gejala ini sebagai sebuah inisiatif untuk membangun sebuah tradisi karya seni, katakanlah seni material, yang mudah-mudahan juga kelak akan bisa menghasilkan karya seni monumental. Dalam arti itu dan dengan harapan seperti itu, saya kira inisiatif dan kreatifitas itu adalah sesuatu yang baik-baik dan oke-oke saja. Jadi, tidak ada masalah sama sekali. Sebab menurut hemat saya, seni dan peradaban religius itu memang harus mengakar kuat-kuat dalam tradisi agar bisa membatin dan hidup dalam imajinasi kita, dalam benak dan kalbu kita, dalam pikiran kita dan kaum keturunan kita. Diharapkan bahwa dari sana karya seni yang mengalami proses internalisasi itu, bisa menggerakkan orang, menggerakkan daya khayal dan daya imajinasinya untuk berkreasi lebih lanjut, menghasilkan karya-karya seni lanjutan untuk generasi-generasi yang akan datang. Sebab dalam tradisi Katolik, kesenian itu sangat erat dikaitkan dengan liturgi. Maka sekali lagi, saya beranggapan bahwa seni yang material itu memang mutlak perlu. Sebab seni yang material itu bisa mempunyai daya dorong yang sangat kuat untuk membangun kultur dan peradaban religius tertentu.
Dan kita semua tahu bahwa kultur dan peradaban perlu untuk menyuburkan hidup dan jiwa, menghidupkan daya imajinasi, dan daya khayal anak-anak manusia. Tatkala seeorang yang berjiwa musik menikmati alunan musik ciptaan Bethooven, Bach, atau Haendel misalnya, maka dalam dirinya akan terbangun riak-riak gelombang melodi baru yang akan serta merta mendorongnya untuk mencipta dan menghasilkan kreasi-kreasi nada, dan melodia baru pula. Dengan itu, karya Bach, Beethoven, dan Haendel tadi mempunyai daya-kuasa untuk menggerakkan daya imajinasi dan kreasi seseorang untuk bisa menghasilkan atau paling tidak mereproduksi sesuatu karya seni baru di bidang musik. Begitu juga misalnya, seseorang seniman arsitektur yang sedang menikmati gedung arsitektur gaya gothik Katedral Jakarta misalnya, akan muncul daya dorong yang kuat dalam dirinya untuk menciptakan dan menghasilkan karya arsitektur baru seperti itu. Dengan cara itu, warisan kultural arsitektur lama mempunyai daya hidup untuk menghidupkan dan menghasilkan karya-karya arsitektur baru.
Maka harus dikatakan sekali lagi bahwa kultur dan peradaban itu perlu untuk menyuburkan hidup dan jiwa kita, menghidupkan imajinasi dan daya khayal kita. Saya sangat yakin bahwa hidup akan menjadi sangat kering kalau tidak ada kesenian, kalau tidak ada karya seni. Saya hampir tidak dapat membayangkan adanya suatu kehidupan tanpa kesenian seperti itu. Sebab kesenian adalah darah kehidupan. Seni adalah nafas kehidupan. Jadi, intuisi ke arah yang estetik itu adalah prasyarat untuk hidup. Bahkan estetika adalah puncak dari upaya pencarian manusia yang selalu rangkap tiga itu, yakni pencarian akan idealisme kebenaran (verum, veritas) yang bermuara pada logika, pencarian akan idealisme kebaikan (bonum, bonitas) yang berpuncak pada etika, dan pencarian akan idealisme keindahan (pulcher, pulchrum) yang berpuncak pada estetika. Dengan perlengkapan estetika ini, paling tidak kita ini bukan lagi hanya asal hidup saja, melainkan kita mengarungi suatu hidup yang bermakna lebih, hidup yang berkelimpahan kalau mau mengutip Yesus versi Yohanes (Yoh 10:10).
Beberapa Catatan Biblis-Teologis
Tentu inisiatif dan kreatifitas membangun "gua paskah" atau "makam kosong" itu sungguh diilhami oleh pelukisan dalam kitab suci itu sendiri mengenai makam kosong, sebuah makam yang biasanya dipahat pada dinding cadas, atau batu karang. Dan menurut kesaksian Mateus, pintunya ditutup dengan sebuah batu besar dan dijaga dengan ketat supaya tidak terjadi pencurian jenazah. Jadi, dalam artian itu, karya seni "gua paskah" atau "makam kosong" itu mempunyai landasan alkibiah juga. Keempat injil memberi kesaksian tentang hal itu. Sebab pada pagi-pagi buta hari minggu paskah kaum perempuan yang akan pergi mengurapi jenazah Yesus, pertama kalinya berhadapan dan mengalami fakta "makam kosong" yang sudah terbuka itu (lihat Luk.24:1-2; Mat.28:1-10; Luk.24:1-12; Mrk.16:1-8).
Tetapi, yang menjadi soal kita ialah bahwa dalam keempat injil itu sendiri, pelukisan mengenai fakta makam kosong itu ternyata tidak dijadikan sebagai titik fokus dari kisah misteri dan pengalaman akan kebangkitan Tuhan. Mungkin itu juga sebabnya Paulus tidak pernah memusatkan perhatian pada fakta makam kosong itu, melainkan ia langsung bersaksi tentang pengalaman akan perjumpaan dengan Tuhan yang Bangkit dan Hidup. Kiranya hal itu tidak sangat mengherankan, sebab titik fokus seluruh misteri iman akan kebangkitan ialah rangkaian kisah penampakan yang secara alur dan porsi kisah jauh lebih besar dan lebih banyak porsinya dari pada kisah pelukisan mengenai makam kosong itu. Dari delapan ayat dalam Markus misalnya, ia hanya memberi satu ayat saja untuk pelukisan mengenai makam kosong itu (yakni ayat 4). Atau dari sepuluh ayat dalam Injil Mateus misalnya, ia hanya memberi satu ayat saja untuk pelukisan mengenai makam kosong, itu pun penggal terakhir dari ayat 6. Atau dari duabelas ayat dalam Injil Lukas, ia hanya memberi satu ayat saja untuk pelukisan mengenai fakta makam kosong yakni ayat 3 saja. Atau dari sepuluh ayat dalam injil Yohanes, ia hanya memberi satu ayat saja yaitu ayat 2: Tuhan sudah diambil orang dari kubur itu.
Sekali lagi, hal itu tidak usah mengherankan, sebab memang fokus injil-injil ialah mencoba melukiskan efek peristiwa kebangkitan itu sendiri dalam rupa rangkaian kisah-kisah penampakan. Menurut hemat saya, itulah sebabnya, porsi kisah penampakan sangat besar, sedangkan porsi pelukisan mengenai fakta "makam kosong" sangat sedikit. Dengan pergeseran fokus sebagaimana disiratkan dalam penjatahan porsi kisah ini, kiranya tampak jelas bahwa kisah rangkaian penampakan melampaui fakta makam kosong. Porsi kisah itu kiranya sangat jelas menyarankan bahwa pengalaman kebangkitan dalam rangkaian penampakan jauh lebih penting dari pada fakta makam kosong.
Menurut hemat saya, fakta makam kosong hanya titik tolak awal saja untuk kisah penampakan dan pengalaman akan kebangkitan Tuhan sendiri. Dengan berkisah secara panjang lebar mengenai penampakan kebangkitan, seakan-akan para penginjil mau mengatakan bahwa fakta makam kosong itu sudah ditinggalkan di belakang dan menjadi tidak relevan lagi. Apa yang menjadi relevan sekarang dan di sini ialah kisah tentang efek perjumpaan dengan Tuhan Yesus yang menampakkan diri atas seluruh hidup dan diri para muridNya. Itulah fokus injil.
Tentu inisiatif dan kreatifitas membangun "gua paskah" atau "makam kosong" itu sungguh diilhami oleh pelukisan dalam kitab suci itu sendiri mengenai makam kosong, sebuah makam yang biasanya dipahat pada dinding cadas, atau batu karang. Dan menurut kesaksian Mateus, pintunya ditutup dengan sebuah batu besar dan dijaga dengan ketat supaya tidak terjadi pencurian jenazah. Jadi, dalam artian itu, karya seni "gua paskah" atau "makam kosong" itu mempunyai landasan alkibiah juga. Keempat injil memberi kesaksian tentang hal itu. Sebab pada pagi-pagi buta hari minggu paskah kaum perempuan yang akan pergi mengurapi jenazah Yesus, pertama kalinya berhadapan dan mengalami fakta "makam kosong" yang sudah terbuka itu (lihat Luk.24:1-2; Mat.28:1-10; Luk.24:1-12; Mrk.16:1-8).
Tetapi, yang menjadi soal kita ialah bahwa dalam keempat injil itu sendiri, pelukisan mengenai fakta makam kosong itu ternyata tidak dijadikan sebagai titik fokus dari kisah misteri dan pengalaman akan kebangkitan Tuhan. Mungkin itu juga sebabnya Paulus tidak pernah memusatkan perhatian pada fakta makam kosong itu, melainkan ia langsung bersaksi tentang pengalaman akan perjumpaan dengan Tuhan yang Bangkit dan Hidup. Kiranya hal itu tidak sangat mengherankan, sebab titik fokus seluruh misteri iman akan kebangkitan ialah rangkaian kisah penampakan yang secara alur dan porsi kisah jauh lebih besar dan lebih banyak porsinya dari pada kisah pelukisan mengenai makam kosong itu. Dari delapan ayat dalam Markus misalnya, ia hanya memberi satu ayat saja untuk pelukisan mengenai makam kosong itu (yakni ayat 4). Atau dari sepuluh ayat dalam Injil Mateus misalnya, ia hanya memberi satu ayat saja untuk pelukisan mengenai makam kosong, itu pun penggal terakhir dari ayat 6. Atau dari duabelas ayat dalam Injil Lukas, ia hanya memberi satu ayat saja untuk pelukisan mengenai fakta makam kosong yakni ayat 3 saja. Atau dari sepuluh ayat dalam injil Yohanes, ia hanya memberi satu ayat saja yaitu ayat 2: Tuhan sudah diambil orang dari kubur itu.
Sekali lagi, hal itu tidak usah mengherankan, sebab memang fokus injil-injil ialah mencoba melukiskan efek peristiwa kebangkitan itu sendiri dalam rupa rangkaian kisah-kisah penampakan. Menurut hemat saya, itulah sebabnya, porsi kisah penampakan sangat besar, sedangkan porsi pelukisan mengenai fakta "makam kosong" sangat sedikit. Dengan pergeseran fokus sebagaimana disiratkan dalam penjatahan porsi kisah ini, kiranya tampak jelas bahwa kisah rangkaian penampakan melampaui fakta makam kosong. Porsi kisah itu kiranya sangat jelas menyarankan bahwa pengalaman kebangkitan dalam rangkaian penampakan jauh lebih penting dari pada fakta makam kosong.
Menurut hemat saya, fakta makam kosong hanya titik tolak awal saja untuk kisah penampakan dan pengalaman akan kebangkitan Tuhan sendiri. Dengan berkisah secara panjang lebar mengenai penampakan kebangkitan, seakan-akan para penginjil mau mengatakan bahwa fakta makam kosong itu sudah ditinggalkan di belakang dan menjadi tidak relevan lagi. Apa yang menjadi relevan sekarang dan di sini ialah kisah tentang efek perjumpaan dengan Tuhan Yesus yang menampakkan diri atas seluruh hidup dan diri para muridNya. Itulah fokus injil.
Sebuah Kecemasan Teologis
Oleh karena itu, mengangkat "makam kosong" dan "gua paskah" sebagai salah satu hiasan masa paskah kita, jangan sampai menghidupkan kembali debat tentang "makam kosong" itu yang memang pernah muncul ke permukaan dalam sejarah teologi dan terutama Kristologi alkitabiah. Padahal pelukisan fakta "makam kosong" itu tidak dimaksudkan demikian oleh injil-injil. Kalau kita mengangkat kembali fakta "makam kosong" itu, jangan sampai akan timbul kesan bahwa seakan-akan iman Kristiani itu dilandaskan di atas fakta makam kosong belaka. Sebab sekali lagi, dalam sejarah teologi dan eksegese, hal ini pernah sangat hidup dan menjadi salah satu poin serangan dari kaum non Kristiani kepada orang-orang beriman Kristiani.
Inti serangan itu ialah: iman kalian itu bermula dari makam kosong belaka. Atau Iman kalian itu hanya berlandaskan makam kosong saja. Padahal sesungguhnya tidak demikianlah halnya atau duduk perkaranya. Sebab iman Kristiani itu dilandaskan pada pengalaman perjumpaan para murid dengan Yesus yang mereka rasakan dan alami sebagai sudah bangkit dengan sungguh. Jadi, yang dicemaskan di sini ialah bahwa seni paskah ini bisa saja disalahgunakan lagi dalam perkembangan diskusi teologis-kristologis dan kesenian selanjutnya.
Tetapi, saya kira ketakutan dan kecemasan itu terlalu berlebih-lebihan juga. Sebab bagaimanapun juga fakta "makam kosong" itu tidak dapat kita abaikan begitu saja dari dalam alkitab. Sebab ia (makam kosong itu) memang ada di sana; ia dilukiskan dengan sangat jelas di sana. Kita tidak dapat berbuat seolah-olah ia tidak ada di sana. Kalau kita mau menutup-nutupnya, jangan-jangan kita justeru mau menghapus tidak hanya salah satu iota saja dari kitab suci melainkan mau menghapus sebuah episode besar. Jadi, walaupun fakta "makam kosong" itu bagi kita bukanlah bukti satu-satunya yang kuat bagi iman akan kebangkitan, namun fakta "makam kosong" itu adalah evidensi (petunjuk bukti) yang kuat akan kebangkitan.
Dalam alur kisah para penginjil, mereka tidak hanya sekadar melukiskan fakta makam kosong itu pada tempatnya yang ada sekarang ini. Melainkan ada maksud tertentu, yaitu sebagai salah satu "alat" pembuktian dini akan pengalaman kebangkitan Tuhan. Sebab dalam alam pemikiran Yahudi pada saat itu, bangkit berarti sama dengan fakta bahwa seseorang itu tidak lagi ada di antara orang mati. Bagi mereka bangkit berarti sama dengan fakta bahwa orang tidak lagi ada di dunia orang mati, orang tidak lagi berada di sheol. Dan kalau orang itu sudah tidak ada lagi di sheol, di dunia orang mati, berarti kini ia ada di dunia orang yang hidup. Dan itu tidak lain dan tidak bukan ialah kebangkitan. Bangkit berarti berada di antara orang-orang yang hidup.
Oleh karena itu, mengangkat "makam kosong" dan "gua paskah" sebagai salah satu hiasan masa paskah kita, jangan sampai menghidupkan kembali debat tentang "makam kosong" itu yang memang pernah muncul ke permukaan dalam sejarah teologi dan terutama Kristologi alkitabiah. Padahal pelukisan fakta "makam kosong" itu tidak dimaksudkan demikian oleh injil-injil. Kalau kita mengangkat kembali fakta "makam kosong" itu, jangan sampai akan timbul kesan bahwa seakan-akan iman Kristiani itu dilandaskan di atas fakta makam kosong belaka. Sebab sekali lagi, dalam sejarah teologi dan eksegese, hal ini pernah sangat hidup dan menjadi salah satu poin serangan dari kaum non Kristiani kepada orang-orang beriman Kristiani.
Inti serangan itu ialah: iman kalian itu bermula dari makam kosong belaka. Atau Iman kalian itu hanya berlandaskan makam kosong saja. Padahal sesungguhnya tidak demikianlah halnya atau duduk perkaranya. Sebab iman Kristiani itu dilandaskan pada pengalaman perjumpaan para murid dengan Yesus yang mereka rasakan dan alami sebagai sudah bangkit dengan sungguh. Jadi, yang dicemaskan di sini ialah bahwa seni paskah ini bisa saja disalahgunakan lagi dalam perkembangan diskusi teologis-kristologis dan kesenian selanjutnya.
Tetapi, saya kira ketakutan dan kecemasan itu terlalu berlebih-lebihan juga. Sebab bagaimanapun juga fakta "makam kosong" itu tidak dapat kita abaikan begitu saja dari dalam alkitab. Sebab ia (makam kosong itu) memang ada di sana; ia dilukiskan dengan sangat jelas di sana. Kita tidak dapat berbuat seolah-olah ia tidak ada di sana. Kalau kita mau menutup-nutupnya, jangan-jangan kita justeru mau menghapus tidak hanya salah satu iota saja dari kitab suci melainkan mau menghapus sebuah episode besar. Jadi, walaupun fakta "makam kosong" itu bagi kita bukanlah bukti satu-satunya yang kuat bagi iman akan kebangkitan, namun fakta "makam kosong" itu adalah evidensi (petunjuk bukti) yang kuat akan kebangkitan.
Dalam alur kisah para penginjil, mereka tidak hanya sekadar melukiskan fakta makam kosong itu pada tempatnya yang ada sekarang ini. Melainkan ada maksud tertentu, yaitu sebagai salah satu "alat" pembuktian dini akan pengalaman kebangkitan Tuhan. Sebab dalam alam pemikiran Yahudi pada saat itu, bangkit berarti sama dengan fakta bahwa seseorang itu tidak lagi ada di antara orang mati. Bagi mereka bangkit berarti sama dengan fakta bahwa orang tidak lagi ada di dunia orang mati, orang tidak lagi berada di sheol. Dan kalau orang itu sudah tidak ada lagi di sheol, di dunia orang mati, berarti kini ia ada di dunia orang yang hidup. Dan itu tidak lain dan tidak bukan ialah kebangkitan. Bangkit berarti berada di antara orang-orang yang hidup.
Epilog: Sebuah Pilihan Bermakna Ganda
Jadi, menurut hemat saya, pilihan karya seni untuk mengangkat "makam kosong" atau "gua paskah" sebagai objeknya bisa mempunyai makna ganda. Bahkan bisa juga dikatakan bahwa fakta "makam kosong" yang diangkat ke dalam karya seni, bisa bermakna ganda. Pertama, fakta makam kosong itu bisa mengingatkan kita akan makam kosong itu sendiri dulu sebagaimana telah dialami para pengikut perempuan dan maupun para murid-murid Yesus sendiri yang datang mengecek apa yang sesungguhnya telah terjadi di sana. Dengan demikian, segi ini membawa kita kembali ke masa silam, bahkan ia mengikat kenangan dan ingatan kita akan fakta makam kosong itu sendiri.
Kedua, makam kosong dan gua paskah itu serta merta mengingatkan kita akan hidup di seberang makam itu sendiri. Mungkin segi inilah yang harus sangat ditekankan dalam pendidikan katekese dan pastoral kesenian kita. Tetapi untuk dapat sampai ke sini butuh sebuah pendalaman yang sangat kuat dan intens dari sang seniman itu sendiri, dan butuh apresiasi yang sangat tinggi dan sangat bermutu dari pihak umat. Kalau kedua hal ini tidak terjadi, maka tetap ada bahaya besar bahwa "makam kosong" itu bisa saja disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab kepada gereja.
Tetapi akhirnya, pilihan ganda ini, betapa pun problematisnya, mengandung sebuah perbandingan yang sangat menarik perhatian juga. Sebab dengan kehadiarn gua atau makam kosong, maka kita pun mempunyai banyak gua: gua Maria, gua natal, dan "gua paskah." Memang seluruh untaian hidup Yesus sendiri dibingkai dan diuntai dengan dan di antara dua gua: pada bagian awalnya dimulai dengan "gua natal," dan pada bagian akhirnya ditutup dengan gua juga, yaitu "gua paskah," gua kebangkitan. Hanya saja gua natal itu berisi, sedangkan gua paskah itu kosong, sebab itu adalah sebuah makam kosong. Namun demikian, sebagaimana halnya "gua natal" itu mengandung proklamasi dan afirmasi sukacita iman (inkarnasi), demikian juga halnya "gua paskah" mengandung proklamasi dan afirmasi sukacita iman, yaitu fakta penebusan, fakta keselamatan, sesuatu yang mendatangkan sukacita besar tidak hanya di bumi melainkan juga di surga.
Saya kira itulah sebabnya seluruh masa paskah ditandai dengan doa atau nyanyian Regina Caeli yang indah dan terkenal itu (biasanya dipakai untuk menutup Ibadat Malam atau Completorium). Ada baiknya saya kutipkan di sini dalam versi Latinnya: Regina Caeli laetare, Alleluya. Quia quem meruisti portare, Alleluya. Resurrexit, sicut dixit, Alleluya. Ora pro nobis Deum, Alleluya.
Jadi, menurut hemat saya, pilihan karya seni untuk mengangkat "makam kosong" atau "gua paskah" sebagai objeknya bisa mempunyai makna ganda. Bahkan bisa juga dikatakan bahwa fakta "makam kosong" yang diangkat ke dalam karya seni, bisa bermakna ganda. Pertama, fakta makam kosong itu bisa mengingatkan kita akan makam kosong itu sendiri dulu sebagaimana telah dialami para pengikut perempuan dan maupun para murid-murid Yesus sendiri yang datang mengecek apa yang sesungguhnya telah terjadi di sana. Dengan demikian, segi ini membawa kita kembali ke masa silam, bahkan ia mengikat kenangan dan ingatan kita akan fakta makam kosong itu sendiri.
Kedua, makam kosong dan gua paskah itu serta merta mengingatkan kita akan hidup di seberang makam itu sendiri. Mungkin segi inilah yang harus sangat ditekankan dalam pendidikan katekese dan pastoral kesenian kita. Tetapi untuk dapat sampai ke sini butuh sebuah pendalaman yang sangat kuat dan intens dari sang seniman itu sendiri, dan butuh apresiasi yang sangat tinggi dan sangat bermutu dari pihak umat. Kalau kedua hal ini tidak terjadi, maka tetap ada bahaya besar bahwa "makam kosong" itu bisa saja disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab kepada gereja.
Tetapi akhirnya, pilihan ganda ini, betapa pun problematisnya, mengandung sebuah perbandingan yang sangat menarik perhatian juga. Sebab dengan kehadiarn gua atau makam kosong, maka kita pun mempunyai banyak gua: gua Maria, gua natal, dan "gua paskah." Memang seluruh untaian hidup Yesus sendiri dibingkai dan diuntai dengan dan di antara dua gua: pada bagian awalnya dimulai dengan "gua natal," dan pada bagian akhirnya ditutup dengan gua juga, yaitu "gua paskah," gua kebangkitan. Hanya saja gua natal itu berisi, sedangkan gua paskah itu kosong, sebab itu adalah sebuah makam kosong. Namun demikian, sebagaimana halnya "gua natal" itu mengandung proklamasi dan afirmasi sukacita iman (inkarnasi), demikian juga halnya "gua paskah" mengandung proklamasi dan afirmasi sukacita iman, yaitu fakta penebusan, fakta keselamatan, sesuatu yang mendatangkan sukacita besar tidak hanya di bumi melainkan juga di surga.
Saya kira itulah sebabnya seluruh masa paskah ditandai dengan doa atau nyanyian Regina Caeli yang indah dan terkenal itu (biasanya dipakai untuk menutup Ibadat Malam atau Completorium). Ada baiknya saya kutipkan di sini dalam versi Latinnya: Regina Caeli laetare, Alleluya. Quia quem meruisti portare, Alleluya. Resurrexit, sicut dixit, Alleluya. Ora pro nobis Deum, Alleluya.
No comments:
Post a Comment