Salah satu yang paling mencolok dalam praksis liturgis gereja Katolik ialah bahwa selama masa Pra-paskah (yaitu sejak Rabu Abu hingga Sabtu Malam Paskah), Alleluya tidak dibacakan, dinyanyikan atau didaraskan lagi. Semua liturgi berlangsung tanpa seruan Alleluya. Mungkin kita kurang begitu memperhatikan dan mengamati atau menyadarinya. Yang dimaksudkan ialah tidak diucapkannya Alleluia. Alleluya ditunda selama masa prapaskah atau puasa dan pantang itu. Baru akan dinyanyikan atau diucapkan lagi sejak malam Paskah. Muncul pertanyaan mengapa liturgi menetapkan seperti ini? Apa dasar biblis dan teologisnya? Itulah yang mau dijawab dan diuraikan dalam tulisan singkat dan sederhana ini?
Selama Ekaristi sang Raja suci, tatkala masuk dengan mulia dalam pembacaan Injil, tidak lagi disalami dengan seruan Alleluya yang bernada pesta-ria itu. Seruan Alleluia penuh sukacita dan sorak-sorai itu juga tidak diucapkan dalam delapan jam doa resmi gereja. Sebagai gantinya yang dipakai ialah seruan lain: "Terpujilah Kristus Tuhan, Raja mulia dan kekal!" Tentu pada dirinya sendiri, ini adalah ucapan yang indah; tetapi ia hanya pengganti sementara, yaitu sesuatu yang memungkinkan kita menduga apa yang Gereja maksudkan dengan seruan yang digantikannya itu sekarang dan di sini.
Apa arti Alleluia itu? Ungkapan itu berasal dari kata Ibrani, Hallelu-Yah, artinya "Pujilah Yahweh" atau "Pujilah Tuhan." Tetapi dalam perkembangan pemakaiannya ia kehilangan makna harfiah dalam etimologi itu. Bahkan hal itu sudah terjadi dalam Perjanjian Lama juga. Ia menjadi pekik sukacita dan sorak-sorai umum yang tidak serta-merta mengingatkan orang akan Yahweh, padahal Yah itu singkatan Yahweh: "Haleluya. Bernyanyilah mereka semua dengan berkata: Terpujilah Allah yang meninggikan engkau untuk selama-lamanya" (Tob.13:18). Dalam artian ini orang Kristiani perdana menerima kata itu dan memakainya sebagai nanyian sukacita, nyanyian surga, nyanyian kebangkitan. Hal ini mengendap dalam lapisan tertua liturgi; berabad-abad sudah berlalu hal itu sudah terucapkan terus menerus dari mulut orang Kristiani. Hal itu terus diucapkan, dinyanyikan hingga akhir jaman. Masih akan diteruskan lagi dalam liturgi abadi di surga, Yerusalem surgawi (Why 19:6).
Pada masa awal Kristianitas purba Alleluia dipakai sebagai seruan penutup doa pribadi. Umat beriman mendoakannya di rumah. Petani menyanyikan, mengucapkannya sambil membajak di ladang. Para tukang mengucapkannya di bengkel kerja mereka. Pelaut juga tidak ketinggalan. Mereka bernyanyi: Mari kita mulai mendayung dengan bernyanyi Alleluia. Bahkan bagi tentara Kristiani kata itu berfungsi sebagai pekik pertempuran. Orang Kristiani perdana memakai ungkapan "Alleluia, Tuhan sudah bangkit," untuk saling menyalami pada Minggu Paskah pagi. Bahkan orang mati juga dimakamkan dengan ucapan dan nada Alleluia itu. Dengan iman, apa yang diharapkan dalam kebangkitan menekankan Alleluia yang diucapkan pada sebuah makam terbuka.
Tetapi konteks paling utama dan istimewa untuk Alleluia ialah liturgi. Hingga masa Santo Gregorius Agung Alleluia hanya dibatasi pada Paskah, yaitu sebagai seruan utama kebangkitan. Pada masa sekarang ia menyertai jiwa yang percaya melewati seluruh tahun dan mencirikan hidup Kristiani dengan meterai sukacita, kebangkitan, dan kepercayaan akan kemenangan. Gereja menyanyikan atau mengucapkannya berulang kali, misalnya, pada permulaan masing-masing doa ofisi (delapan kali sehari), dan juga sebagai bait pengantar Injil dalam Ekaristi. Contoh terakhir ini, boleh disamakan dengan pekik seorang bentara pada saat masuknya Kristus dalam Injil. Ini dianggap sebagai kidung-kidung paling kaya dan paling indah dalam Liturgi Roma.
Hanya pada masa Puasa saja, yaitu masa-masa yang dibaktikan secara khusus untuk melakukan silih tapa atas dosa, gereja menahan diri dari menyanyikan pekik sukacita ini; bukannya tanpa perasaan gereja menghentikan sementara kebiasaan yang sangat melekat kuat dalam hatinya ini. Seperti halnya kepada seorang teman karib, Bunda Gereja mengucapkan selamat tinggal kepada kekasihnya yang tercinta yaitu seruan sukacita Alleluia itu pada hari Sabtu sebelum Minggu Septuagesima, yaitu ketika pada akhir Verpers seruan itu dinyanyikan sebanyak dua kali sesudah Benedicamus Domino dan paduan suara pun memberi tanggapan dengan pengulangan mengikuti Deo gratias.
Di masa silam, Prapaskah dibandingkan dengan tujuhpuluh tahun pembuangan Israel. Itulah saat untuk menderita demi silih atas dosa. Durandus, ahli liturgi abad pertengahan, mengatakan, "Kita berhenti mengucapkan Alleluia, yaitu nyanyian yang dinyanyikan para malaekat, karena kita dijauhkan atau disingkirkan dari persekutuan para malaekat karena dosa Adam. Di Babilon hidup kita di dunia ini kita duduk di tepi sungai, sambil menangis ketika kita teringat Sion. Sebab sebagaimana anak-anak Israel di tanah asing itu menggantungkan kecapi mereka di pohon gandarusa, demikian kita juga harus melupakan nyanyian Alleluia itu dalam masa dukacita, masa silih atas dosa, dan masa kepahitan dan kepedihan hati." (Mzm.137). Dalam beberapa gereja ada upacara penting yang menyertai Alleluia terakhir. Durandus memberitahukan kepada kita, "Kita berpisah dari dia sebagaimana dari seorang teman baik, yaitu dia yang kita rangkul dan kecup bibirnya, keningnya, dan tangan sebelum ia pergi melakukan perjalanan jauh dan lama."
Dewasa ini, pada Vesper pertama Minggu Septuagesima, kita menyanyikan Alleluia untuk terakhir kali. Semoga pesannya masih tetap terukir dalam hati kita – kita adalah umat yang sudah bangkit, umat surgawi, umat yang bersukacita. Karena baptis kita adalah bangsa yang bangkit – jangan membiarkan diri anda mati karena dosa. Kita adalah warga surga; kaki kita menyentuh tanah, tetapi hati kita berada bersama Kristus di tempat tinggi. Tanda hidup Kristiani sejati ialah semangat yang hidup dan penuh gembira dan sukacita. Seperti matahari, seorang Kristiani memancarkan cahaya dan kehangatan, hidup dan sukacita. Marilah kita melakukan upaya yang nyata untuk menjadi bersukacita dan bersorak-sorai. Jangan sampai perilaku kita dicemari dosa, oleh humor yang tidak sehat dan watak buruk. Dengan sukacita di dalam hati kita, kita harus membawa sukacita kepada orang lain. Kehadiran kita harus menjadi kehadiran yang membawa dan memancarkan sukacita. Alleluia yang diucapkan Gereja setiap hari (kecuali Prapaskah) mewartakan kotbah agung ini tentang kehidupan.
Selama Ekaristi sang Raja suci, tatkala masuk dengan mulia dalam pembacaan Injil, tidak lagi disalami dengan seruan Alleluya yang bernada pesta-ria itu. Seruan Alleluia penuh sukacita dan sorak-sorai itu juga tidak diucapkan dalam delapan jam doa resmi gereja. Sebagai gantinya yang dipakai ialah seruan lain: "Terpujilah Kristus Tuhan, Raja mulia dan kekal!" Tentu pada dirinya sendiri, ini adalah ucapan yang indah; tetapi ia hanya pengganti sementara, yaitu sesuatu yang memungkinkan kita menduga apa yang Gereja maksudkan dengan seruan yang digantikannya itu sekarang dan di sini.
Apa arti Alleluia itu? Ungkapan itu berasal dari kata Ibrani, Hallelu-Yah, artinya "Pujilah Yahweh" atau "Pujilah Tuhan." Tetapi dalam perkembangan pemakaiannya ia kehilangan makna harfiah dalam etimologi itu. Bahkan hal itu sudah terjadi dalam Perjanjian Lama juga. Ia menjadi pekik sukacita dan sorak-sorai umum yang tidak serta-merta mengingatkan orang akan Yahweh, padahal Yah itu singkatan Yahweh: "Haleluya. Bernyanyilah mereka semua dengan berkata: Terpujilah Allah yang meninggikan engkau untuk selama-lamanya" (Tob.13:18). Dalam artian ini orang Kristiani perdana menerima kata itu dan memakainya sebagai nanyian sukacita, nyanyian surga, nyanyian kebangkitan. Hal ini mengendap dalam lapisan tertua liturgi; berabad-abad sudah berlalu hal itu sudah terucapkan terus menerus dari mulut orang Kristiani. Hal itu terus diucapkan, dinyanyikan hingga akhir jaman. Masih akan diteruskan lagi dalam liturgi abadi di surga, Yerusalem surgawi (Why 19:6).
Pada masa awal Kristianitas purba Alleluia dipakai sebagai seruan penutup doa pribadi. Umat beriman mendoakannya di rumah. Petani menyanyikan, mengucapkannya sambil membajak di ladang. Para tukang mengucapkannya di bengkel kerja mereka. Pelaut juga tidak ketinggalan. Mereka bernyanyi: Mari kita mulai mendayung dengan bernyanyi Alleluia. Bahkan bagi tentara Kristiani kata itu berfungsi sebagai pekik pertempuran. Orang Kristiani perdana memakai ungkapan "Alleluia, Tuhan sudah bangkit," untuk saling menyalami pada Minggu Paskah pagi. Bahkan orang mati juga dimakamkan dengan ucapan dan nada Alleluia itu. Dengan iman, apa yang diharapkan dalam kebangkitan menekankan Alleluia yang diucapkan pada sebuah makam terbuka.
Tetapi konteks paling utama dan istimewa untuk Alleluia ialah liturgi. Hingga masa Santo Gregorius Agung Alleluia hanya dibatasi pada Paskah, yaitu sebagai seruan utama kebangkitan. Pada masa sekarang ia menyertai jiwa yang percaya melewati seluruh tahun dan mencirikan hidup Kristiani dengan meterai sukacita, kebangkitan, dan kepercayaan akan kemenangan. Gereja menyanyikan atau mengucapkannya berulang kali, misalnya, pada permulaan masing-masing doa ofisi (delapan kali sehari), dan juga sebagai bait pengantar Injil dalam Ekaristi. Contoh terakhir ini, boleh disamakan dengan pekik seorang bentara pada saat masuknya Kristus dalam Injil. Ini dianggap sebagai kidung-kidung paling kaya dan paling indah dalam Liturgi Roma.
Hanya pada masa Puasa saja, yaitu masa-masa yang dibaktikan secara khusus untuk melakukan silih tapa atas dosa, gereja menahan diri dari menyanyikan pekik sukacita ini; bukannya tanpa perasaan gereja menghentikan sementara kebiasaan yang sangat melekat kuat dalam hatinya ini. Seperti halnya kepada seorang teman karib, Bunda Gereja mengucapkan selamat tinggal kepada kekasihnya yang tercinta yaitu seruan sukacita Alleluia itu pada hari Sabtu sebelum Minggu Septuagesima, yaitu ketika pada akhir Verpers seruan itu dinyanyikan sebanyak dua kali sesudah Benedicamus Domino dan paduan suara pun memberi tanggapan dengan pengulangan mengikuti Deo gratias.
Di masa silam, Prapaskah dibandingkan dengan tujuhpuluh tahun pembuangan Israel. Itulah saat untuk menderita demi silih atas dosa. Durandus, ahli liturgi abad pertengahan, mengatakan, "Kita berhenti mengucapkan Alleluia, yaitu nyanyian yang dinyanyikan para malaekat, karena kita dijauhkan atau disingkirkan dari persekutuan para malaekat karena dosa Adam. Di Babilon hidup kita di dunia ini kita duduk di tepi sungai, sambil menangis ketika kita teringat Sion. Sebab sebagaimana anak-anak Israel di tanah asing itu menggantungkan kecapi mereka di pohon gandarusa, demikian kita juga harus melupakan nyanyian Alleluia itu dalam masa dukacita, masa silih atas dosa, dan masa kepahitan dan kepedihan hati." (Mzm.137). Dalam beberapa gereja ada upacara penting yang menyertai Alleluia terakhir. Durandus memberitahukan kepada kita, "Kita berpisah dari dia sebagaimana dari seorang teman baik, yaitu dia yang kita rangkul dan kecup bibirnya, keningnya, dan tangan sebelum ia pergi melakukan perjalanan jauh dan lama."
Dewasa ini, pada Vesper pertama Minggu Septuagesima, kita menyanyikan Alleluia untuk terakhir kali. Semoga pesannya masih tetap terukir dalam hati kita – kita adalah umat yang sudah bangkit, umat surgawi, umat yang bersukacita. Karena baptis kita adalah bangsa yang bangkit – jangan membiarkan diri anda mati karena dosa. Kita adalah warga surga; kaki kita menyentuh tanah, tetapi hati kita berada bersama Kristus di tempat tinggi. Tanda hidup Kristiani sejati ialah semangat yang hidup dan penuh gembira dan sukacita. Seperti matahari, seorang Kristiani memancarkan cahaya dan kehangatan, hidup dan sukacita. Marilah kita melakukan upaya yang nyata untuk menjadi bersukacita dan bersorak-sorai. Jangan sampai perilaku kita dicemari dosa, oleh humor yang tidak sehat dan watak buruk. Dengan sukacita di dalam hati kita, kita harus membawa sukacita kepada orang lain. Kehadiran kita harus menjadi kehadiran yang membawa dan memancarkan sukacita. Alleluia yang diucapkan Gereja setiap hari (kecuali Prapaskah) mewartakan kotbah agung ini tentang kehidupan.
No comments:
Post a Comment