Tuesday, March 18, 2008

Makna Pengosongan Altar pada Kamis Putih
Oleh:
EFBE@fransisbm

Salah satu untaian upacara suci yang menarik perhatian pada Kamis Putih ialah pengosongan altar. Menjelang selesai upacara imam (dibantu diakon, subdiakon, putera altar), melepaskan semua kain penutup altar dan hiasan yang ada (bunga, lilin). Altar dibiarkan dalam keadaan "telanjang," menjadi sekadar meja biasa menurut bahannya. Apa makna upacara ini? Upacara ini menandakan bahwa Korban suci untuk sementara ditunda (ditiadakan). Altar harus "telanjang," sampai kita bisa lagi mempersembahkan perayaan/korban Ekaristi, sampai Mempelai Gereja suci bangkit, dan menjadi Pemenang atas maut dan dosa. Saat ini, ketika kita melakukan upacara unik ini, Mempelai itu sudah diserahkan ke tangan para musuhNya, yaitu orang Yahudi.
Kita tahu dari kitab suci (dan dari jalan salib yang kita ikuti tiap Jum’at selama prapaskah dalam perhentian kesebelas), pakaian Yesus ditanggalkan oleh orang Yahudi. Yesus ditelanjangi, persis seperti kita saat ini menelanjangi altar. Jadi, kita sekaligus teringat akan peristiwa penelanjangan Yesus di muka umum. Hal itu adalah penghinaan terhadap-Nya. Penghinaan seperti itu biasa dilakukan atas pengacau, pemberontak, apalagi kalau mereka berasal dari kalangan pinggiran, kaum yang tidak diperhitungkan. Itu sebabnya, mazmur yang dipakai untuk didaraskan pada upacara ratapan (baik dipakai dalam tuguran) ialah mazmur 21. Dalam mazmur itu, Pemazmur (yang dalam pembacaan Kristiani, ialah Kristus) berbicara tentang tentara Roma yang membagi-bagi pakaianNya, dan membuang undi atas jubahNya. Salah satu ayat Mazmur ini diucapkan Yesus dari salib ketika ia mengalami kesepian maut, merasa ditinggalkan: Eli, Eli lama sabhaktani?
Setelah altar utama dikosongkan, altar lain yang dipakai dalam misa harian juga dikosongkan. Semua altar harus kosong. Ekaristi untuk sementara ditangguhkan. Dalam ruang gereja harus benar-benar diciptakan suasana sunyi, kosong, seperti rumah kosong yang baru ditinggalkan: ada suasana serem, bahkan orang bisa merasakan suasana kematian, karena tidak ada lagi jejak manusia di dalamnya. Efek itulah yang mau diciptakan di sini. Tabernakel harus kosong dan dibiarkan terbuka. Tamu agung tidak ada di sana lagi. Begitu juga lampu altar: harus padam, sebab ia tidak menandakan apa-apa lagi. Sibori harus dipindahkan ke sakristi dan ditaruh bersama di tempat di mana Tubuh Tuhan untuk sementara disimpan (harus tempat layak). Ini semua ada maknanya: kemuliaan dan keagungan Tuhan telah pergi berdiam bahkan "bersembunyi" ke tempat suci yang misterius. Kalau kita masuk ke sana, kita harus masuk dengan hormat, dengan diam, menunduk sopan, sikap sesal, sikap rendah hati seperti orang yang merasa tidak layak masuk ke tempat mulia (seperti si pemungut cukai yang berdoa di Bait Allah itu).
Di beberapa gereja di tempat lain di dunia ini, ada kebiasaan, di mana upacara pengosongan dilanjutkan dengan mencuci altar dengan anggur dan air, yang dipercikkan dengan bunga karang ke altar itu. (Tidak dicuci semua, hanya pars pro toto). Upacara ini tidak lagi dilaksanakan di pelbagai tempat di dunia ini. Konon masih dijalankan di Basilika Santo Petrus di Roma. Upacara itu adalah penghormatan terhadap Tuhan kita, sebagai balasan terhadap kerendahan hatiNya yang sudi turun membasuh kaki muridNya. Makna upacara ini dijelaskan dengan sangat baik oleh beberapa teolog. Misalnya Santo Isidorus dari Sevilla (De ecclesiasticis Offiis, lib.I. cap.xxviii) dan Santo Eligius, uskup Noyon (Homily viii. De caena Domini).

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...