Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)
Sudah hampir sebulan saya tinggal di seminari. Gejolak rasa rindu akibat home-sick, yang sering menyebabkan orang ingin berjalan mundur dan pulang, sudah mulai mereda. Maka kini mulai terasa sebuah langkah baru: orientasi ke depan, bersama teman (semuanya laki-laki; ya, ini sebuah konstruksi yang terasa artifisial kalau saya renungkan kembali dari saat ini), bersama guru, para pastor, frater, bapa asrama dan asistennya, terutama bersama tempat dan ruang, alam sekitar, termasuk pepohonan, hutan dan semak, bahkan rerumputan ilalang yang selalu indah dirayu angin senja. Tetapi seorang seminaris tidak boleh (paling tidak, itulah yang dikatakan kepada kami saat itu) melangkah terlalu jauh melewati batas-batas imajinasi dan fantasi yang sesungguhnya alami dan manusiawi itu. Sebab di seberang sungai fantasi dan imajinasi itu selalu ada godaan yang bisa berbahaya. Dan tentang ruang-hidup itulah saya mempunyai catatan khusus. Sebab apa yang ada dan terjadi dalam ruang hidup itu selama ini mulai lengket dalam hati saya.
Saya ingat tadi sore, terdengar bunyi burung-burung senja yang aneh-aneh. Tidak lama sesudah itu, sesudah hari mulai temaram, mulai terdengar bunyi burung-burung malam. Saya memang berasal dari pedesaan, tetapi kampung masa kecilku jauh dari hutan. Di seminari ini aku mendengar bunyi burung-burung yang aneh-aneh. Seperti bunyi burung dalam dongeng nenekku, yang ditampilkan oleh nenekku dalam gaya onomatope yang melampaui batas daya tiru imajinasi dan fantasiku. Pokoknya, serem sekali. Tidak terdengar bunyi teknologi. Tidak ada tv, tidak ada radio. Hiburan kami hanyalah buku-buku (itupun buku rohani; siswa smp belum boleh membaca roman percintaan yang dalam rak perpustakaan seminari diberi label BB, jadi rak BB itu cukup dilirik dari jauh, tidak boleh didekati, nanti tergoda oleh godaan Hawa yang mulai mengangkat tangannya dan memetik buah terlarang), diri sendiri, kesunyian, dan mungkin Tuhan, yang kadang-kadang kita rasa bersembunyi terlalu jauh dalam relung-relung doa kita yang terasa pahit.
Sekarang, semua aktifitas sudah selesai. Doa malam sudah selesai, yang biasa ditutup dengan alunan alma redemptoris mater yang kini semakin mengalir otomatis dari bibirku juga di kamar mandi. Kini hanya tinggal diam, sunyi. Silentium magnum. Silentium strictum. Maka suara satwa malam terdengar bertalu-talu, langsung ke telinga. Malam makin larut, dan aku ternyata semakin dilanda sunyi dan sepi. Setiap kali aku berpikir bahwa inilah untuk pertama kalinya aku jauh dari orang tuaku, padahal sekarang sudah hampir sebulan sudah lewat dari perpisahan yang menyedihkan itu. Tetapi, anehnya, aku selalu merasa bahwa perpisahan itu baru saja berlalu. Mungkin kesunyian malam, menyebabkan kita terseret terlalu dekat ke pengalaman tragis. Mungkin.
Dan aku teringat juga, bahwa inilah untuk pertama kalinya aku tidur sendirian di tempat tidur yang sempit, ya, siswa seminari (kelak biarawan, ketika saya biarawan) tidak boleh tidur di tempat tidur lebar sebab nanti tergoda untuk mencari pasangan untuk mengisi “terror ruang kosong” di samping tempat tidur yang luas itu. Padahal di rumah aku tidur dengan adik-adikku, ramai berebut selimut, yang kadang-kadang di pagi hari sudah pesing karena diompoli adik paling kecil. Ya, di seminari aku belajar tidur sendirian. Memang kami harus belajar berbahagia dalam kesendirian dan sunyi. Tragis.
Di tengah itu semua, aku merasa kehilangan. Rasa rindu, yang seakan mau meraih kembali masa silam yang hilang, kini hanya tinggal menjadi kenangan. Rasa rindu itu mengaduk-aduk hati saya. Aku tidak tahu. Ya, ini yang namanya home sick itu. There is something interesting with home. Dan bunyi burung-burung malam itu semakin membuat saya rindu pada kenyamanan rumah, pada suara mendehem ayahku yang wibawanya seakan mampu mengatasi semua rasa serem di tengah malam kelam. (EFBE@fransisbm).
No comments:
Post a Comment