Tuesday, April 22, 2008

Resensi Buku: Amazing Church - Gregory Baum

Judul Buku : Amazing Church. A Catholic Theologian Remember a Half-Century
of Change.
Pengarang : Gregory Baum
Penerbit : Novalis and Orbis Books, 2005
Halaman : 159.
Peninjau : Fransiskus Borgias M. (Lingkaran Pengkaji Buku FF-UNPAR)
************************************************************************

Pertanyaan pertama yang muncul secara spontan ketika membaca buku ini ialah: Mengapa Gregory Baum memakai ungkapan “Amazing Church” sebagai judul bukunya? Apanya sih yang “amazing”? Setelah selesai membaca buku ini dengan sangat tekun dan kritis akhirnya saya pun menyadari bahwa pernyataan ini adalah sebuah pernyataan teologis-eklesiologis yang keluar dari suatu pengamatan dan kesimpulan historis dan keterlibatan teologis yang sangat panjang dan mendalam dari sang teolog (Baum) itu sendiri. Gregory Baum mengeluarkan pernyataan ini setelah ia dengan tekun dan penuh komitmen teguh selama lebih dari empatpuluh tahunan mengamati dengan sangat seksama pelbagai aspek perkembangan yang terjadi dalam ajaran sosial gereja dan ajaran resmi para paus, paling tidak sejak abad kedelapan belas hingga dewasa ini. Dan dalam perkembangan historis itu, tampak sangat jelas bahwa ada perubahan besar dalam sikap dan pandangan gereja tadi, ke arah yang lebih baik dan lebih positif. Tampak jelas bahwa secara historis, Gereja, selalu membaharui diri dalam sikap dan pandangan teologisnya. Gregory membuktikan bahwa ternyata gereja itu tidak kaku, atau serba massive, walaupun hal itu terjadi lewat suatu perjuangan dan pergolakan yang teramat panjang dan penuh risiko. Maka benarlah diktum historis ini: ecclesia semper reformanda.
Gregory Baum mengamati bahwa ada suatu perkembangan evolutif dan positif dalam pandangan-pandangan etis dan teologis gereja (p.9). Baum sangat mengapresiasi pelbagai aspek dari perkembangan itu. Perkembangan evolutif itulah yang dalam pandangan Baum “...is truly amazing” (p.9). Singkatnya, dari kekaguman akan perkembangan historis inilah, akhirnya Baum sampai pada kesimpulan bahwa ternyata gereja secara historis berkembang secara mengagumkan, biarpun hal itu terjadi secara sangat perlahan-lahan (evolutif). Ya gereja itu luar biasa mengagumkan: Amazing Church. Gereja itu mengagumkan karena keberaniannya untuk membaca tanda-tanda jaman, terbuka terhadap tantangan tanda-tanda jaman itu, suatu keterbukaan yang pada akhirnya mengantarkan gereja ke suatu cakrawala pemahaman etis baru akan keberadaan dan kehadirannya di tengah-tengah dunia ini (p.9), dan terutama di tengah sesama manusia.
Menurut Gregory Baum, sebagaimana ia lukiskan dalam garis besar buku ini, ada lima poin pergeseran besar dalam ajaran sosial gereja dan ajaran resmi para paus selama ini. Pertama, perubahan besar dalam sikap dan penilaiannya tentang Hak Asazi Manusia. Gereja yang tadinya tidak melek dengan persoalan hak asazi, kini sangat melek dan bahkan menjadi benteng bagi hak asazi itu. Secara singkat ia melukiskan pergeseran paradigma kultural dan teologis dari Mirari vos ke Pacem in Terris yang akhirnya bermuara pada Gaudium et Spes dan Dignitatis Humanae.
Kedua, perubahan dalam pandangan teologis mengenai kehadiran Allah di dunia ini. Kehadiran Allah itu tidak lagi dibatasi pada cakupan batas-batas gereja institusional saja, melainkan hadir dalam dunia. Inilah yang dalam teologi disebut sebagai the ubiquity of God’s presence. Perubahan ini erat terkait dengan pemahaman antropologi-teologi baru bahwa dalam diri semua manusia ada dimensi transenden yang mampu menanggapi komunikasi diri dari Allah. Itulah dimensi transendental manusia: bahwa manusia selalu terarah ke atas, terbuka kepada firman yang berasal dari atas, suatu kondisi yang menyebabkan Karl Rahner (karena dipengaruhi oleh sang mentor teologinya Eric Pyrzwara, Jean Danielou, dll) berkata bahwa manusia adalah sang pendengar firman, the hearer of the word, hoerer des Wortes.
Ketiga, perubahan dalam perlakuan terhadap orang miskin, yang dipadatkan dalam rumusan terkenal dari teologi pembebasan, preferential option for the poor. Berkat insight teologis yang sangat penting dan mendasar dari teologi pembebasan di Amerika Latin, akhirnya gereja berani merangkul dan membela orang miskin. Sebab ada keyakinan historis dan teologis bahwa kalau gereja hanya merangkul orang kaya, maka di sana, dalam kehangatan rangkulan itu, sama sekali tidak ada tempat bagi orang miskin. Orang miskin serta merta akan tersingkirkan ke dalam jurang alienasi yang menyedihkan. Tetapi kalau gereja merangkul orang miskin, maka di sana, di dalam kehangatan dan kemesraan rangkulan itu, pasti selalu ada tempat dan ruang bagi orang kaya. Ini suatu perubahan besar dan mendasar dalam pemahaman etis gereja sehubungan dengan relasi dan keterlibatan sosialnya. Erat terkait dengan poin ini ialah mengenai masalah lingkungan hidup. Walau Baum tidak menyebut nama Leonardo Boff dalam buku ini, tetapi kiranya buku Boff dari tahun 90-an (Cry of the Earth Cry of the Poor) dengan tepat memadatkan pandangan teologis Baum dalam bagian ini: yaitu bahwa tangis bumi adalah tangis orang miskin. Bahwa yang paling rentan menjadi korban dalam krisis ekologi ialah orang miskin. Juga memantulkan pandangan Paul F.Knitter bahwa krisis bumi ini adalah tanggung jawab semua agama sebagaimana ia tuangkan dalam bukunya One Earth Many Religion itu. Pada gilirannya, Knitter dan Boff dilatar belakangi oleh sebuah diktum teologis dari E.Schillebeeckx bahwa extra mundum nulla salus.
Keempat, perubahan dalam sikap politik gereja, yang tidak lagi anti politik melainkan terlibat dalam politik dengan memperjuangkan suatu masyarakat yang ditandai oleh kultur perdamaian (hal ini dianggap sebagai antitesis terhadap Huntington dengan teori the clash of civilization-nya itu, p.10). Dua milenium sudah berlalu. Dan sekarang kita sudah memasuki milenium ketiga. Kalau kedua milenium terdahulu, kehidupan manusia ditandai oleh kultur kekerasan, maka gereja menyerukan agar dalam milenium ketiga ini kita bersama-sama mencoba membangun kultur perdamaian. Berbeda dengan tesis Samuel Huntington yang menyiratkan adanya perbenturan peradaban (the clash of civilization), gereja terutama melalui Yohanes Paulus II, menyerukan justru the culture of peace dan the culture of love. Dan hal itu bisa dibangun, bisa diupayakan, kendati segala kesulitan dan tantangannya yang memang tidak kecil. Tetapi tetap ada harapan, sebagaimana disiratkan oleh Paus Benediktus XVI dalam ensikliknya yang terbaru itu.
Kelima, perubahan dalam sikap religius gereja, yang ditandai dengan sikap dan pandangan serta penilaian yang positif akan adanya dan kehadiran agama-agama lain di dunia ini. Setelah sekian lama gereja berkutat dalam sikap eksklusifisme, lewat perkembangan sejarah dan pelbagai macam perubahan (ajaran filsafat, etika, politik dan juga teologis) akhirnya lambat-lambat laun gereja bergeser ke paham inklusifisme. Tetapi dewasa ini orang semakin menyuarakan agar orang melangkah terus ke arah pluralisme dan menikmati sukacita akan fakta pluralisme religius itu, walau ini bukan merupakan suatu hal yang serba gampang. Ada pergeseran besar dari eklesiosentrisme, ke kristosentrisme, ke teosentrisme, bahkan pneumasentrisme, dan soteriosentrisme, yang mudah-mudahan bisa menghantar orang kepada keterbukaan akan basileia tou theou, sebagaimana yang sering diucapkan dalam doa Bapa Kami itu: datanglah kerajaanMu dan jadilah kehendakMu.
Sekali lagi, buku ini melukiskan perubahan sikap dan pandangan etis-teologis gereja dalam lima poin pokok perkembangan. Dan atas dasar itu, secara historis kita dapat berharap bahwa di masa depan masih akan ada perubahan-perubahan lain yang tidak terduga-duga, yang datang dari ilham Roh Kudus yang senantiasa berbicara dalam dan melalui tanda-tanda jaman yang ada.
Menyadari semua perkembangan positif ini, akhirnya Baum mau memperkenalkan sebuah istilah atau sebutan baru bagi wajah gereja dalam dunia modern ini. Ia memakai sebuah ungkapan dalam bahasa Perancis le catholicisme solidaire (p.11). Sebuah ungkapan yang tidak mudah untuk diterjemahkan. Tetapi kiranya dapat diterjemahakan menjadi katolik yang belarasa. Yaitu belarasa terhadap orang-orang yang menjadi korban, baik itu korban pelanggaran HAM, korban kultur kekerasan, korban dalam diri orang miskin, korban dalam wajah orang-orang yang beragama lain, korban krisis ekologis, korban lingkungan hidup. Pokoknya, Baum menghendaki gereja sebagai umat Allah yang terdiri atas “Orang Kristen yang mendengarkan Allah yang sedang berbicara dalam sejarah, menaruh perhatian penuh akan dunia, sadar akan kondisi keberdosaannya, tetapi sekaligus bersyukur karena Yesus, sang pangeran perdamaian, yang dalam kerendahan hatiNya ingin untuk dihormati dengan cinta dan hormat yang kita perlihatkan kepada semua saudara dan saudarinya.” (Bdk.Mat.25:31-40). (p.22).
Ini sebuah buku yang mengulas perkembangan ajaran sosial gereja dan para paus dengan sangat singkat, padat, dan ringan. Uraiannya tidak sangat bertele-tele. Ia memakai bahasa Inggris yang sangat ringan. Ini tanda kematangan seorang teolog yang sudah berusia 80-an tetapi masih tetap aktif menuangkan ide-idenya secara luar biasa cemerlang. Dengan membaca buku ini, anda seakan-akan diberi kesempatan berdiri di atas sebuah tonggak besar di tengah lautan ajaran sosial gereja yang tradisinya sudah sangat panjang, dan kadang-kadang bisa bertentangan satu sama lain, karena sifat kontekstualnya pada jaman dan kebudayaannya sendiri. Maka pasti akan berguna bagi para mahasiswa teologi, para pastor, para pejuang dan aktifis ham, dan juga para dosen teologi, terutama yang menggeluti ajaran-ajaran sosial gereja, maupun teologi keselamatan kontekstual (bukan dogmatik, biblis).
“Kekurangan” buku ini, sebagaimana diakui sendiri oleh Baum (p.10), ialah tidak adanya suatu penelusuran pastoral praktis yang keluar dari atau dibuat berdasarkan semua pergeseran besar ini. Tetapi saya kira, sebagai sebuah buku pada dirinya sendiri ia sudah lengkap. Maka saya menulis “kekurangan” itu dalam tanda petik. Sebab saya yakin sekali bahwa mengenai kekurangan “pastoral” ini mungkin perlu penulis lain untuk menuliskannya. Siapa tahu itu adalah tantangan buat anda, buat saya, buat kita semua. Itulah salah satu ciri buku ilmiah: menantang orang untuk melangkah lebih lanjut. Dan Baum sudah melakukan hal itu, menantang kita melalui bukunya ini.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...