Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
Seminari Kisol, pada paruh kedua tahun 70-an masih sebuah dusun terpencil. Bangunan ‘mewah’ hanya gedung seminari. Kalau di malam hari dilengkapi penerangan listrik, dari jam 6 sore sampai jam 11 malam. Sedangkan rumah penduduk di sekitar kebanyakan masih sederhana dan tanpa listrik. Begitu malam mendekat, semuanya jadi sunyi. Yang terdengar hanya bunyi margasatwa malam, burung, kodok, jengkrik, bahkan cacing tanah yang mungkin birahi di dalam kesepian dan kesendirian.
Maka kalau ada seminaris yang sakit, sesuatu yang tidak terhindarkan saat itu, karena malaria merupakan gangguan paling serius di daerah itu, ia akan terjeblos ke dalam kesendirian dan kesepian. Apalagi kalau dia sakit sendirian, artinya tidak ada satu atau dua seminaris lain yang sakit pada waktu yang sama. Ruang tidur adalah bangsal besar, bisa mencapai seratus meter dengan lebar sembilan atau sepuluh meter. Maka pengalaman sakit berarti pengalaman jatuh dalam kesendirian, hanya ditemani tiang-tiang tempat tidur yang sangat banyak dan terasa menyeramkan di malam hari. Tiang-tiang itu bak pepohonan di hutan, apalagi kalau listrik dipadamkan di beberapa bagian bangsal itu.
Kiranya pastor Pembina sadar akan hal itu. Maka ada tradisi bahwa ada tugas layanan pastoral yang dibentuk khusus untuk melayani orang sakit. Itulah yang disebut Pembela Orang Sakit. Sebenarnya ada dua kata Latin di balik istilah ini. Ada Advocata, artinya menjadi juru bicara bagi orang sakit. Ada Consolator, artinya penghibur. Memang itulah substansi pekerjaan para Pembela Orang Sakit itu. Pelayanan itu diserahkan kepada para siswa. Ada pemilihan khusus untuk petugas dan penanggung jawab, termasuk layanan ini. Kriteria orang yang dipilih adalah, orang itu harus orang pandai bercerita, pandai menghibur, bisa mengemong, berpenampilan dewasa, tanggung jawab. Ia juga harus pintar, dan pendoa. Maka tidak banyak orang yang lolos menjabati kedudukan penting ini. Sebab semuanya itu diperlukan untuk menghibur orang sakit. Tugas seperti ini tidak bisa dibilang gampang, sebab ia harus melayani. Kalau si sakit muntah-muntah, dia membersihkan embernya. Kalau si sakit muntah di lantai mereka mengepelnya. Kalau si sakit susah berjalan, mereka harus memapahnya ke WC, juga di malam hari.
Orang seperti ini biasanya agak boleh bebas keluar kelas pada saat belajar dengan alasan menjenguk orang sakit, berdoa bagi dan bersama mereka, membacakan cerita kudus untuk mereka. Ataupun sekedar mendengarkan cerita mereka. Sebab biasanya dalam pengalaman sakit orang cenderung jatuh ke dalam nostalgia dan mencoba mengulik nostalgia itu. Tetapi biasanya proses itu ternyata membawa dampak terapeutik juga. Memang tidak mudah mengemban tugas ini. Apalagi kalau ada siswa seminari yang jatuh sakit berat, sampai harus dimasukkan ruang isolasi (karantina). Pembela orang sakit harus terus dengan tekun melayani mereka. Biasanya mereka adalah satu tim yang terdiri dari beberapa orang. Diketuai siswa Senior (kelas III SMP), lalu ada anggota kelas II dan kaderisasi anggota baru dari Kelas I.
Di bawah koordinasi para Pembela senior, biasanya tugas bergilir. Nah di sinilah ada peluang para pembela yang nakal. Sebab tidak semuanya baik-baik. Mereka memang pandai, tetapi ada yang suka makan enak. Maka di situlah ada peluang bermain. Dia akan memesankan menu khusus ke dapur, yang seakan-akan diminta oleh si sakit, tetapi sesungguhnya, kalau menu itu datang, si sakit tidak menyukainya. Maka itulah yang akan menjadi jatah dia. Tentu dia berpesan kepada si sakit agar jangan menyentuh “rantangan” khusus itu, sebab itulah ransom sang pembela. Tentu ini penyimpangan. Ada pembela yang bisa menjadi gemuk karena praktek kurang ajar seperti ini. Sebab diam-diam, para pembela seperti ini selalu berharap agar ada orang sakit. Kalau ada yang sakit, memang itu “kerja” ekstra bagi mereka, tetapi itu juga peluang mendapat menu istimewa dengan cara manipulasi pesanan rantangan ke dapur. Yah, hidup ini ada-ada saja.
No comments:
Post a Comment