Wednesday, January 14, 2009

MENDALAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 36

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Tanpa terasa kita sudah melewati Mzm 35. Saya anggap inilah angka aman pertama dalam petualangan bersama kita menjelajahi spiritualitas mazmur. Marilah kita bersama berdoa lagi, agar bisa mencapai angka aman kedua. Angka aman kedua itu saya tetapkan di Mzm 70. Dulu saya ingin menetapkan angka aman itu pada level desimal, tetapi itu tidak spektakuler. Pernah terpikir untuk memilih 25 tetapi dinilai belum memadai. Maka saya naikkan ke 35. Puji Tuhan, angka aman itu sudah tercapai. Saya berharap agar ziarah mazmur ini berguna bagi pembaca. Sebab kebergunaan itulah yang menjadi bekal dan daya dorong untuk bersama-sama melangkah maju.

Kini kita coba merenungkan dan mendalami Mzm 36. Saya bagi tiga. Ayat 1-5, 6-10, dan 11-13. Uraian selanjutnya akan mengikuti tonggak ini. Dalam ayat 1-5 ada pelukisan amat menarik mengenai fenomenologi moralitas manusia. Di sana dilukiskan adanya gejala moralitas yang bisa menjadi bejat karena orang tidak lagi takut akan Allah. Jadi, takut akan Allah merupakan prasyarat moral yang baik. Kalau orang tidak lagi takut akan Allah, maka pasti moralitas orang itu bejat. Ia tidak takut berbuat jahat, korupsi, berbuat mesum, dll. Dengan jelas mazmur ini mengatakan bahwa kalau orang tidak takut akan Allah, maka dosa (personifikasi) akan berkoar-koar dalam hatinya. Yang terdengar dalam hatinya, bukan lagi suara Allah atau bisikan Roh Kudus, melainkan bisikan setan, roh jahat, roh kuda. Dari hati akan membual keluar, tampak dalam perbuatan. Kalau sudah sampai pada level perbuatan, maka orang itu akan didapati bersalah. Kalau bersalah, tentu ada risiko dibenci orang (ay 3). Biasanya dosa dari dalam hati membual keluar lewat mulut. Maka omongan orang itu menjadi jahat dan penuh tipu daya. Jika demikian, maka akan hilanglah perilaku bijaksana dan keinginan berbuat baik dari dalam dia. Ia akan merancang kejahatan justru di tempat yang seharusnya beristirahat. Hasilnya ada dua: ia akan menempuh jalan yang tidak baik, dan tidak bisa lagi menolak apa yang jahat. Itu terjadi, karena lama kelamaan ia tidak bisa lagi membedakan mana yang jahat dan mana yang baik. Ia menjadi rabun moral dan suara hati. Ia menderita myopia moral.

Dalam penggal kedua, ay 6-10, si pemazmur bicara tentang teologi. Penggal pertama tadi adalah fenomenologi antropologi orang jahat. Dalam wacana teologis ini, pemazmur memuji kasih setia Allah. Ia mengagungkan keadilan dan hukum Allah. Ia juga memuji kasih setia Allah yang menjadi sumber dan naungan hidup. Keempat hal itu (kasih, keadilan, hukum dan kasih setia), menjadi penjamin hidup untuk semua. Keempat hal itu menjadi prasyarat hidup dalam Allah. Dengan bahasa manusiawi hidup itu dilukiskan dengan ungkapan lemak yang mengenyangkan dan air yang menyegarkan. Ya, Allah adalah sumber hidup. Seperti kata lagu: Tuhan, sumber hidupku (lagu kesukaan koordinator koor kita). Sumber hayat dikaitkan dengan terang. Terang Allah menjadi sumber hidup. Seperti teknologi peternakan ayam: hangat, terang, air, dan makanan. Juga teknologi inkubator bagi bayi premature. Setelah kita hidup, karena terang Allah, barulah kita bisa, dengan mata kepala, melihat terang. Terang pertama, terang Allah, adalah prasyarat hidup. Terang kedua, terang fisik yang bisa dilihat dengan mata. Ya, In lumine tuo, videbimus lumen. Kita akrab dengan kalimat ini: Inilah moto Uskup kita terdahulu.

Dalam penggal ayat terakhir, 11-13, ia memanjatkan permohonan. Ini antropologi lagi. Tetapi kali ini ia memohon doa bagi orang yang mengenal Allah dan keadilanNya. Ia berharap agar ia yang mengenal Allah jangan sampai ditindas dan diusir oleh orang yang congkak hati dan fasik. Karena mampu berkanjang di dalam Allah, maka ia bisa bertahan hidup, bahkan bisa melihat kesudahan nasib orang jahat itu. Kesudahan mereka ialah kejatuhan, terhempas, dan mati (tidak bangun lagi). Jadi, struktur dasar mazmur ini ialah bingkai antropologi, teologi, antropologi. Teologi ada di tengah, dibingkai antropologi. Teologi menjadi pusat, menjadi sentrum. Ya, memang seharusnya demikian, Allah menjadi pusat hidup, dasar pengharapan kita. Akhirnya Allahlah yang menjadi agen pengadilan bagi semua, termasuk orang fasik.


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...