Ya, seminarium pulchrum, seminari yang indah, yang cantik. Semanarium memang harus indah agar menarik, dan terutama agar tempat itu bisa mendatangkan hidup bagi orang yang tinggal atau belajar di sana. Ia tidak boleh menjadi tempat sumpek atau menyesakkan.
Setelah beberapa lama belajar di seminari, terutama setelah mulai belajar Latin, saya akhirnya tahu bahwa kata seminari berasal dari seminarium, artinya persemaian. Kata seminarium sendiri terkait dengan kata lain, yaitu semen, artinya benih. Saat itu tiba-tiba muncul kesadaran baru dalam diri saya, karena terdorong sebuah pertanyaan reflektif ini: siapa atau apa benih yang ditanam atau ditaburkan di seminarium ini? Saya akhirnya tahu bahwa kami inilah, termasuk saya, yang dianggap benih-benih yang ditaburkan dalam seminarium, dalam tempat pembibitan (bukan penangkaran lho). Karena itu, kami disendirikan dan dipisahkan dari masyarakat lain, bahkan tragisnya juga dari keluarga masing-masing. Lalu kami dimasukkan ke dalam persemaian, agar bisa bertumbuh subur tanpa gangguan hama, atau tetumbuhan pengganggu lain, termasuk burung-burung di udara, dan ulat tanah. Sebuah seminarium harus bersih dari itu semua.
Indah memang. Tetapi lambat laun saya sadar bahwa ini sebuah konsep yang memunculkan rasa keterasingan dalam diri saya. Sebab dengan satu dan lain cara saya dicabut dari akar-akar kultural saya, lalu dimasukkan ke dalam sebuah sistem pendidikan Barat yang serba baru dan modern. Tidak ada yang aneh dan berbahaya dengan hal itu sebenarnya. Tetapi ada side-effect-nya yaitu tercerabut dari keluarga, dari kampung halaman, dari akar kultural asli. Sementara itu semua pelajaran di seminari diadopsi dari kurukulum modern yang cenderung tidak mengadopsi muatan lokal sama sekali.
Harus diakui bahwa ini memang sebuah konsep yang diwariskan dari pandangan teologi lama, yang berasal dari Konsili Trente, yang mempunyai pandangan negatif akan dunia, bahwa dunia ini adalah lembah tangisan, lacrimarum vale. Padahal Konsili Vatikan II sudah mempunyai pandangan baru dan positif.akan dunia ini. Dunia adalah medan perwahyuan kasih Allah. Warisan teologi lama itu juga mempunyai visi negatif akan keluarga dan hidup perkawinan, lebih eksplisit lagi akan seksualitas. Seksualitas erat terkait atau dicitrakan sebagai dosa. Padahal Vatikan II mempunyai visi positif akan keluarga sebagai gereja kecil (ecclesia minuscula kata Agustinus, ecclesia micra, kata Yohanes Chrysostomus). Warisan teologi lama itu juga mempunyai pandangan negatif akan masyarakat, yang dianggap penuh dosa. Padahal Vatikan II sudah mempunyai visi positif akan masyarakat, yaitu tempat manusia terlibat mengamalkan cinta di dunia ini.
Itu sebabnya saya sangat menghormati beberapa teman kelas, yang dalam beberapa kesempatan acara pesta di seminari selalu membawakan lagu-lagu (sanda, lagu yang mengiringi tarian kolektif pria) dalam bahasa Manggarai, dan juga membacakan puisi dalam bahasa Manggarai, juga misa inkulturatif. Atau membawakan dongeng dalam bahasa Manggarai, atau mengisahkan kembali anekdot Manggarai. Semuanya itu membantu kami, menukikkan kembali kepala dan hati ke dalam kemanggaraian kami agar tidak terlupakan. Sebab kalau orang terasing dari kulturnya, maka ia akan menjadi manusia kering, yang tidak mewarisi spiritualitas agama asli, dan yang terpenting lagi, ia bisa menjadi manusia yang mandul, kerdil. Betapa hal itu sangat mengerikan. Terasing.
No comments:
Post a Comment