Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)
Dalam kesunyian dan ketenangan rekoleksi, saya seolah bisa melihat diri sendiri seperti dalam cermin. Semua serba gamblang. Itu awal pengenalan diri, awal kemampuan mengkritik diri, menertawakan diri. Salah satu hal yang paling menggoda saat seperti ini ialah kecenderungan untuk membunuh sunyi dengan suara kita. Tetapi pembimbing mengatakan bahwa pada kesempatan sunyi dan hening seperti itu kita harus berusaha mendengarkan suara alam dan margasatwa. Misalnya, suara angin, gesekan dedaunan ilalang, suara kodok, jangkrik, belalang, burung, dll. Pembimbing mengatakan bahwa itu semua suara purba, yang jauh lebih tua dari suara manusia. Dibandingkan dengan suara alam dan margasatwa itu, suara manusia sangat muda usia. Karena manusia muncul paling belakangan dalam sejarah alam semesta ini.
Seorang ilmuwan astronomi mengambil metafora kalender. Begini katanya: Kalau usia alam semesta ini dipadatkan menjadi satu tahun, maka makhluk hidup paling pertama yang bukan manusia, muncul sekitar April-Mei. Makhluk yang lebih berkembang muncul sekitar Juni. Binatang bertulang punggung muncul sekitar bulan Agustus atau September. Sekitar Oktober baru mulai muncul homo-erectus. Homo sapiens baru mulai muncul tiga menit terakhir menjelang akhir tahun. Tetapi sayangnya, suara manusia itu paling angkuh menindas semua suara lain. Padahal jauh sebelum manusia memuji Allah Pencipta, segala makhluk lain sudah memujiNya dengan cara mereka sendiri. Sebab kalau benar kata pemazmur dalam Perjanjian Lama bahwa alam semesta memuji Pencipta dengan keberadaannya, maka suara merekalah yang paling pertama memuji Allah.
Tetapi dewasa ini, suara mereka semua ditindas oleh suara manusia, dengan teknologi yang canggih dan angkuh. Seharusnya kita belajar puji-pujian Allah dari mereka. Kita jangan menyetop suara mereka. Kita jangan menindas suara mereka. Sebab mereka adalah suara asli dalam memuji Allah Mahatinggi. Dengan kesadaran itu, saya pun mencoba mendengarkan bunyi kodok dan jangkrik di kegelapan rahim malam.
Kebetulan saat itu, saya membaca buku kecil tentang Fransiskus dari Asisi. Orang ini menuntun saya kepada alam, tetapi dari alam meloncat menuju kepada Tuhan. Ia mengajak saya melihat rembulan yang cantik. Malam itu memang bulan sangat cantik. Tetapi tidak ada kenangan indah dalam kalbu saya dengan bulan cantik itu. Mungkin karena kekosongan itulah maka saya bisa merasakan ajakan Fransiskus Asisi untuk memuji Allah lewat saudari rembulan. Terpujilah Engkau Tuhanku karena saudari rembulan. Dan ajaib sekali, ketika saya menggumamkan puisi kosmis itu, tampak dalam imajinasi religiusku, bulan itu tersenyum, seakan-akan sudi mengajar saya cara memuji Allah dengan seluruh keberadaan kita apa adanya. Sebab Tuhan mencintai dan mendengarkan saya apa adanya, tanpa harus mengada-ada. Aku pun sangat puas dengan kesadaran itu.
No comments:
Post a Comment