Showing posts with label menapaki tahun liturgi. Show all posts
Showing posts with label menapaki tahun liturgi. Show all posts

Wednesday, May 19, 2010

PREFASI ROH KUDUS: PENTAKOSTA

OLEH: FRANSISKUS BORGIAS M.
TEOLOG DAN PENELITI CCRS
(Center for Cultural and Religious Studies)
FAKULTAS FILSAFAT UNPAR BANDUNG



Dalam TPE kita terdapat tiga Prefasi Roh Kudus. Masing-masing disebut Prefasi Roh Kudus I dan Prefasi Roh Kudus II, Prefasi Roh Kudus III. Kita mulai dengan melihat dan membahas Prefasi Roh Kudus I. Prefasi ini, menurut keterangan dalam rubrik buku TPE kita, dipakai pada Hari Raya Pentakosta. Maka fokusnya dan juga fokus refleksi ini ialah pada Hari Raya Pentakosta tersebut. Sudah ditekankan sejak baris-baris awal, dalam dan melalui Prefasi ini, Gereja menghaturkan puji syukur kepada Allah Bapa yang mahakudus, Allah yang kekal dan kuasa. Alasan yang dikemukakan untuk ucapan syukur itu ialah karena pada hari ini, yaitu Hari Raya Pentakosta, Allah memahkotai perayaan Paskah kita. Jadi, tersirat di sini suatu pandangan bahwa Hari Raya Pentakosta sesungguhnya adalah mahkota (puncak) dari perayaan Paskah. Pada peristiwa puncak ini, Allah Bapa mencurahkan Roh Kudus-Nya kepada umat manusia. Umat itu, dengan demikian, disatukan oleh Bapa dengan Putra Tunggal-Nya, dan sekaligus juga dengan itu mereka diangkat menjadi anak-anakNya.

Selanjutnya disinggung beberapa peran atau karya dari Roh Kudus itu. Secara khusus di sini disinggung mengenai peranan Roh Kudus yang melahirkan Gereja. Ya, Gereja memang lahir pada dan dengan peristiwa Pentakosta itu, sehingga boleh disebut gereja pentakostalis, suatu paham eklesiologis Pentakostalitas. Roh Kudus itu juga yang diyakini Gereja telah dan masih memperkenalkan (mewahyukan misteri Bapa kepada segala bangsa. Akhirnya, secara khusus disinggung juga mengenai peran Roh Kudus itu dalam mempersatukan aneka ragam bahasa dan muara dari ini semua (penyatuan aneka ragam bahasa) ialah pengakuan iman yang sama. Efek penyatuan bahasa itu ada pada tataran efek penyatuan iman yang sama. Saya menyebut hal ini efek teologis. Itulah beberapa pokok yang dapat kita tarik dari Prefasi Roh Kudus I.

Prefasi Roh Kudus II, menurut keterangan dalam rubriknya, boleh dipakai dalam Perayaan Ekaristi votif Roh Kudus. Seperti biasa setiap Prefasi pasti didahului dengan pernyataan puji dan syukur, maka tampak bahwa dalam bagian alasan untuk puji syukur itu, mula-mula disinggung dulu peristiwa misteri Kristologis, yaitu misteri kenaikan. Dikatakan di sana bahwa Kristus telah naik ke surga bahkan melampaui segala langit. Di sana Kristus duduk di sisi kanan Allah Bapa, seperti yang dipersaksikan dalam visiun atau penglihatan yang dialami Stefanus itu (bdk.Kis.8:56). Setelah disinggung mengenai peristiwa kenaikan itu, barulah disinggung mengenai peristiwa turunnya Roh Kudus. Seperti dikatakan dalam injil Yohanes, Roh Kudus baru turun setelah Yesus pergi. Itulah yang kita baca dalam wacana Yohanes ketika Yesus menjanjikan Penolong yang lain (Yoh.14:15-31). Kita mengharapkan hal itu, karena Kristus sendirilah yang telah menjanjikanNya kepada dan bagi kita. Setelah Kristus bertahta dalam tahta misteri Allah Trinitas mahakudus di surga, gereja pun menjadi sangat yakin bahwa Ia mengutus Roh Kudus; di sini dipakai bahasa yang tidak personal (impersonal), yaitu kata kerja mencurahkan. Roh Kudus itu dicurahkan ke dalam hati setiap orang yang telah diangkat oleh Bapa menjadi anak-anakNya. Itulah alasan penting dan paling fundamental untuk memuji Allah bersama para malaekatNya.

Prefasi Roh Kudus III, sebagaimana halnya Prefasi Roh Kudus II, boleh dipakai dalam Perayaan Ekaristi votif Roh Kudus. Pokok kebenaran iman dan paham teologis yang diwartakan di sini ialah keyakinan bahwa Roh Kudus membimbing Gereja. Gereja bersyukur kepada Allah Bapa karena setiap saat Ia memperhatikan keadaan segala makhluk. Itulah yang dalam bahasa resmi teologi disebut Penyelenggaraan Ilahi, atau Providentia Dei. Memang penyelenggeraan Allah itulah yang menjadi prasyarat hidup segala makhluk. Tanpa penyelenggaraan Allah, maka tidak mungkin ada kehidupan bagi segala makhluk di bumi dan alam semesta ini. Selain itu, gereja juga sangat yakin bahwa Allah Bapa membimbing para pemimpin Gereja dengan kebijaksanaan yang menakjubkan. Jadi, ada keyakinan yang tersirat di sini bahwa Allah membimbing Gereja melalui hikmat kebijaksanaan yang dicurahkan kepada para pemimpinnya, sebab hikmat itu memang berasal dari Allah, dan bahkan ia berada pada Allah juga sejak awal mula, sebagaimana disinggung dalam kitab Amsal (Ams.8:22-32; bdk.Kej.1:1; Yoh.1:1). Diyakini juga bahwa Allah Bapa menguatkan umatNya dengan daya kekuatan Roh Kudus. Lalu secara khusus disinggung mengenai karya Roh Kudus itu, yakni membina sikap takwa dan peka terhadap kehendakMu. Jadi, diyakini bahwa sikap takwa dan peka akan Allah adalah hasil karya Roh Kudus. Berkat tuntutan Roh Kudus kita yakin boleh berharap akan dua hal ini: Pertama, bila dalam hidup ini kita mengalami kerisauan, kita boleh berharap pada bantuan Allah; kedua, bila dalam hidup ini kita mengalami kegembiraan, ya, itu kesempatan bagi kita untuk jangan sampai takabur dan lupa diri, melainkan kita harus tahu mengucap syukur dan Roh Kudus juga mengingatkan kita akan dua hal tersebut. Jadi, walau ini adalah prefasi Roh Kudus, tetapi akhirnya hal ini juga bercorak Trinitarian karena mengingatkan akan keberadaan Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Allah Trinitas itulah, yang di dalam Kristus diagungkan oleh surga dan bumi bersama seluruh para malaekat, dalam lagu pujian liturgi abadi surgawi.

SELAMAT MENYONGSONG HARI RAYA PENTAKOSTA 2010


SIS B
CCRS FF UNPAR BANDUNG
15 Mei 2010

Saturday, April 3, 2010

MELEWATI KEGELAPAN MALAM

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Sekarang sudah Sabtu Suci. Sebentar lagi upacara malam Paskah akan tiba. Kebetulan saya mendapat tugas bernyanyi pada malam pukul 20.30, bersama Paduan Suara Kami Lucretia, salah satu paduan suara yang bagus di kota Bandung (dari Paroki Santo Martinus). Itulah Ekaristi Malam Paskah. Bagi kami warga Paroki Santo Martinus, Ekaristi malam ini sangat khusus karena ada 14 baptisan, ada 11 orang yang diterima dalam pangkuan persekutan Gereja Katolik, dan ada beberapa orang yang menerima Komuni pertama. Semuanya berlangsung dengan khikmat dan mengharukan.

Ya, setiap kali malam Paskah tiba aku selalu menantikan dengan penuh harap upacara lilin Paskah. Itu adalah sebuah kerinduan dan pengharapan yang sudah saya rasakan sejak aku masih kanak-kanak dan masih tetap hidup hingga aku sudah dewasa sekarang ini. Sekarang malam sudah gelap. Gereja sudah gelap. Umat yang hadir sangat banyak. Tetapi hening. Sebuah perpaduan yang indah: Gelap dan ada keheningan walau ada banyak umat yang hadir. Di depan gereja, yang ada hanya nyala api unggun, yang menurut tradisi liturgis lama harus dibuat dari api alam (lambang dari sebuah eksistensi baru, hidup baru, ciptaan baru). Dari api itulah akan diambil nyala untuk menyalakan lilin Paskah. Bagi saya upacara itu sangat mengesankan. Di tengah gelap malam itu lilin Paskah ditandai dengan lima paku, lambing lima luka Yesus sambil disebutkan beberapa gelar Kristologis: Alpha dan Omega.

Setelah itu diadakan perjalanan lilin Paskah melintasi gereja yang gelap. Bagi saya itu sangat indah. Sungguh sangat mengesankan. Sebuah simbolisme penuh makna. Yesus masuk, melintasi lembah maut, yang dilambangkan dengan kegelapan. Pada saat itulah imam yang membawa lilin Paskah itu menyanyikan lagu dengan lantang: Lumen Christi. Dan setiap kali dijawab umat Deo Gratias. Itu dinyanyikan tiga kali dan setiap kali dengan nada yang lebih tinggi, dengan nada-nada yang menaik. Bagi saya itu adalah perlambang gerak eksistensi transenden hidup manusia. Eksistensi transenden itu dilambangkan dengan bunyi, dengan suara, dengan nada, dengan suara manusia. Puncak atau wujud gerak transendensi itu ialah peristiwa kebangkitan, munculnya sebuah kehidupan baru. Setelah melintasi di dalam kegelapan, cahaya lilin itu mulai menyebar ke seluruh penjuru gereja yang gelap. Dari satu lilin utama, yaitu lilin Paskah, menjadi ratusan lilin (tergantung dari umat yang hadir) yang semuanya mulai bernyala. Sebuah pemandangan yang sangat indah. Akhirnya Gereja mulai menjadi terang lagi oleh nyala ratusan lilin yang dipegang oleh masing-masing umat yang hadir. Setelah itu lilin Paskah ditahtakan pada tiang mimbang yang telah disiapkan sebelumnya secara khusus. Paling baik, kalau tiang itu dihias dengan hiasan yang mewah, pokoknya harus luar biasa, harus istimewa, sebab pada Hari ini Tuhan bertindak, maka mari kita rayakan dengan gembira.

Lalu tampillah seorang penyanyi, yang akan menyanyikan Exultet, madah paskah itu. Madah Paskah itu adalah salah satu lagu yang paling aku sukai dalam hidupku, mulai ketika aku masih kecil sampai sekarang ini. Beberapa penggal awal lagu itu diakhiri dengan kata-kata berikut ini: Gemakanlah dengan bangga Paskah Raya. Lalu umat menyambung dengan sangat meriah dan semangat: Bersoraklah, nyanyikan lagu gembira, bagi Kristus, yang menebus kita, bersyukurlah kepada Allah, kita bangkit bersama Kristus. (Waktu saya kecil: Teks ini dimulai dengan kata-kata, “Tepuk tangan….”. Sebab salah satu ekspresi rasa sorak dan gembira ialah dengan menari-nari dan bertepuk tangan; di beberapa tempat teks seperti ini masih dipertahankan). Menarik sekali bahwa menurut lagu ini, yang kita rayakan bukan lagi hanya peristiwa kebangkitan Kristus saja, melainkan juga kebangkitan kita sendiri. Kita bangkit bersama Kristus. Kita tidak akan mati lagi. Kita mulai sebuah eksistensi baru. Itulah keyakinan iman kita: Kita dibangkitkan bersama dengan kebangkitan Kristus. Suatu saat aku mau mencoba secara khusus menelaah teologi yang terkandung dalam lagu itu. Semoga aku tidak lupa melakukan tugas dan niat yang suci ini.

Bandung, 03 April 2010.
Ditulis kembali sambil diperluas pada pagi 04 April 2010.
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Peneliti CCRS (Center for Cultural and Religious Studies) FF-UNPAR BANDUNG

Friday, April 2, 2010

EKSISTENSI SABTU SUCI

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Hari ini sudah Sabtu Suci. Jum’at Agung sudah lewat. Ia sudah menjadi hari kemarin. Ia sudah menjadi kenangan di dalam ingatan. Itu berarti sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus sudah berlalu. Ia sudah turun ke tempat penantian. Tetapi hari Minggu Paskah, Hari Kebangkitan masih akan datang besok. Ia masih di dalam sebuah penantian. Jadi, Sabtu Suci itu adalah sebuah situasi antara: sengsara dan maut sudah berlalu, tetapi cahaya optimism kebangkitan belum terjadi.

Adalah teolog Swiss yang bernama Hans Urs von Balthasar (yang dikagumi oleh Paus Benediktus XVI), yang mencoba mengangkat Sabtu Suci ini sebagai sebuah simbolisme untuk menyebut dan sekaligus mengibaratkan hidup orang Kristiani di dunia ini. Dalam bukunya Mysterium Pasquale, ia kurang lebih mengatakan bahwa hidup orang Kristiani itu paling baik dan paling tepat dilukiskan dengan memakai simbolisme Sabtu Suci itu, yaitu sebuah situasi antara. Orang Kristiani, menurut Balthasar, hidup dalam sebuah tegangan situasi antara. Mana situasi antara itu? Sengsara dan maut sudah lewat. Dan sekarang seluruh hidup kita disemangati oleh pengharapan akan cahaya kebangkitan dan hidup kekal di dalam dan bersama dengan Tuhan. Tetapi sedemikian kuatnya situasi pengharapan itu sehingga ia mampu mewarnai dan menyemangati seluruh hidup kita sekarang dan di sini. Bayang-bayang belenggu penderitaan, sengsara, dan maut sudah tidak lagi sangat menghimpit hidup dan kesadaran kita, karena total hidup kita kini seluruhnya berorientasi pada pengharapan.

Itulah sebabnya Kisah Kisah Sengsara Jum’at Agung kemarin harus diambil dari injil Yohanes, sebab kisah sengsara yang ada di sana adalah kisah sengsara yang mulia, yang lebih diwarnai oleh percikan-percikan cahaya kebangkitan dan kemuliaan daripada oleh kegelapan maut itu sendiri.

Dari kemarin saya sudah menulis tentang lamentasi. Maka saya berencana mau menulis syair lagu-lagu lamentasi berdasarkan perspektif pengharapan dan kebangkitan itu. Mungkin dalam rangka itu saya akan berusaha mencari dan menggali simbolisme-simbolisme dan analogi alam sebagai ilustrasi untuk syair-syair lagu itu. Saya hanya berharap, semoga saya bisa berhasil di dalam mewujud-nyatakan hal itu. Niat ini saya kuatkan dalam hati saya, agar syair lagu-lagu lamentasi untuk Sabtu Suci sedikit berbeda atau dibedakan dari syair dua hari terdahulu. Mengapa harus berbeda? Karena ini sebuah situasi antara, sebuah situasi penantian dan situasi pengharapan. Memang cahaya kebangkitan belum terjadi, tetapi sebentar lagi ia akan terjadi. Dan bayang-bayang bahwa hal itu sebentar lagi akan terjadi, kiranya harus membawa suasana penghayatan yang lain bagi ibadat dan syair lagu-lagu lamentasi itu.

Bandung, 03 April 2010
Fransiskus Borgias M.

LAMENTASI JUM'AT AGUNG

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Aku mau, pada pagi hari ini, sebelum jalan salib, mengadakan ibadat Lamentasi. Tetapi itu tidak mungkin aku lakukan karena hal itu tidak banyak dikenal umat. Maka saya mau mengadakan ibadat lamentasi itu dengan mencoba menuliskan sesuatu tentang hal ini di Blog dan Facebook saya. Inti Ibadat Lamentasi itu sesungguhnya ada tiga. Pertama, mengenang sengsara Tuhan kita Yesus Kristus. Pekan Suci juga dikenal dengan sebutan lainyaitu Pekan Sengsara, sebab dalam seluruh pekan ini kita diajak oleh bunda Gereja untuk mengenangkan sengsara Tuhan. Kedua, sesungguhnya dengan mengenang, gereja sekaligus juga mengundang kita semua untuk ikut serta merasakan sedikit pedih dan perihnya sengsara Tuhan itu. Yang pertama, saya sebut saja memoria. Sedangkan yang kedua, saya sebut saja partisipasi. Ketiga, dengan ibadat ini kita mengingatkan diri kita sendiri akan dosa-dosa kita. Semoga akhirnya kita bisa menjadi sadar bahwa ternyata dosa-dosa kita itu mempunyai efek yang sangat dahsyat jahat dan negerinya. Tidak hanya dulu. Bahkan sekarang pun kebenaran itu tetap berlaku sama juga.

Tetapi bagaimana cara kita melakukan ibadat Lamentasi itu? Intinya adalah pengenangan dramati dengan memainkan simbolisasi cahaya lilin yang dipadukan dengan syair-syair dan nada-nada lagu ratapan (lamentasi). Dalam rangka itu harus ada atau dibuat sebuah kaki lilin berbentuk segitiga. Pada masing-masing kedua sisi segitiga sama kali itu dipasang enam buah lilin. Ada juga yang memasang duabelas lilin. Di puncaknya ada satu lilin utama. Kalau bisa, lilin utama di puncak segitiga itu harus lebih besar. Jadi, jumlah total lilin bisa 13 atau 25. Sebaiknya 13 saja, sebab itu menggambarkan jumlah dari pada murid bersama Yesus. Tetapi kalau 25 itulah kelipatan dari jumlah duabelas murid. Waktu pemadaman lilin biasanya yang berjumlah 25 lilin ini dipadamkan dua-dua.

Seperti sudah dikatakan sebelumnya, seluruh upacara adalah terdiri atas nyanyian-nyanyian. Ada refrain utama ulangan yang diselingi dengan ayat-ayat. Setiap sesudah ayat-ayat tertentu satu atau dua lilin dipadamkan. Itu adalah simbol dari perginya para murid satu per satu, meninggalkan Yesus sendirian dalam duka, derita, sengsara dan mautNya. Bahkan si murid yang ditunjuk sebagai batu karang pun akhirnya menyangkal Yesus juga. Dramatisasi pemadaman ini diharapkan mengingatkan kita akan diri kita sendiri yang selalu ada kemungkinan untuk tidak setia pada iman, setia pada tuhan kita Yesus Kristus. Selalu ada kemungkinan yang sangat nyata bagi kita untuk berdosa dan dengan itu kita menjauhkan diri dari Tuhan.

Setelah semua lilin samping dipadamkan semua ayat lamentasi pun sudah selesai. Dengan itu upacara lamentasi juga selesai. Lilin di puncak segitiga itu dibiarkan bernyala sendirian dan itu melambangkan Tuhan Yesus yang mencoba berkanjang dan berjuang di dalam penderitaan dan kesusahanNya. Ya, kita semua tahu bahwa Yesus sendirian di taman Getsemani, menanggung duka dan deritaNya. Itulah yang mau dipentaskan dengan lilin yang bernyala sendirian itu. Lilin itu baru dipadamkan di luar upacara, alias setelah upacara itu selesai.

SIS B
PENELITI CCRS (Center for Cultural and Religious Studies) FF-UNPAR BANDUNG
Bandung, 03 April 2010

RINDU LAMENTASI KAMIS PUTIH

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Setiap kali Kamis Putih datang, saya selalu merindukan Ibadat Lamentasi. Ibadat ini sangat biasa kami lakukan di Flores selama trihari suci. Biasanya ibadat itu dilakukan pagi hari hari. Pada masa Sekolah Dasar, hal itu sering kami lakukan di Paroki. Kebetulan tempat bapa saya mengajar adalah pusat Paroki. Pastor Parokinya adalah Pastor SVD dari Hungaria yang pandai menyanyi dan betul memberi perhatian pada kesemarakan liturgi lewat cara perayaan dan pembawaannya. Waktu di masa Sekolah Dasar itu, saya ingat dengan baik bahwa teks ibadat Lamentasi itu diambil dari Kitab Ratapan, dari mana nama ibadat itu berasal, Lamentatio (Latin), artinya ratapan. Saya ingat baik bahwa seluruh teks itu dibawakan dengan dinyanyikan. Saat itu, teksnya tersedia dalam tiga bahasa: Latin, Indonesia, Manggarai. Pernah beberapa kali saya dengar para guru SD menyanyikan versi Latin itu ketika aku masih kecil. Aku terkesima dan terpesona mendengar syair lagu yang bunyinya indah walau asing, karena tidak dalam bahasa ibuku. Tetapi terasa indah. Entah mengapa? Para guru itu membawakannya dengan kelompok paduan suara yang dibentuk untuk itu. Mereka menyanyikan hal itu dengan penuh semangat dan penghayatan. Sebagai anak kecil saya merasakan hal itu ada pada mereka, terpancar dari wajah dan bahkan suara mereka.

Pernah juga ketika masih kecil saya mendengar lagu lamentasi itu dalam bahasa Indonesia. Tetapi yang paling aku ingat ialah teks lagu itu dalam bahasa Manggarai. Beginilah pengantarnya: Wangkan tilir di Yeremias propheta. Artinya: Inilah permulaan ratapan nabi Yeremia. Kemudian dalam perkembangannya kata propheta itu diterjemahkan menjadi nabi nggeluk, yang artinya,nabi kudus, sehingga seluruh teks pembuka itu ada dalam bahasa Manggarai. Sungguh luar biasa dan mengagumkan. Refrein tetapnya (ayat ulangan) setelah pembuka itu ialah berupa seruan kepada Yerusalem agar bertobat. Beginilah kira-kira bunyinya: Yerusalem, Yerusalem, kole one agu Mori Kraeng de hau. (Yerusalem, Yerusalem, kembalilah pada Tuhan Allahmu). Pengantar dan refrain ayat ulangan itu masih saya ingat dengan sangat baik sampai sekarang. Sayang saya lupa syair-syair solois-nya yang sangat indah dalam teks terjemahan Manggarainya. Saya berniat mencari lagi naskah yang sangat berharga ini.

Ketika sudah masuk di Seminari Pius XII Kisol, teks lagu lamentasi sudah agak lain. Fokus refleksi adalah dosa kita yang aktual saat ini: Dosaku, dosaku, betapa kejinya, jiwa, pulanglah, pulanglah, pulang kepada Tuhanmu. Atau versi lain: Jahatlah dosamu manusia, jahatlah dosamu manusia, pulanglah, pulanglah kau pada Tuhanmu. Jadi, fokusnya ialah dosa kita yang nyata saat ini dan di sini. Kita diajak untuk menyadari keji dan jahatnya dosa kita. Beberapa syair solo, diambil dari adengan Injil: Tercekik antara pedihnya luka-luka, pada tubuh dan jiwa. Dahagaku menjadi-jadi, Aku diberi minum empedu dan cuka. NyawaKu tiada disayangi, dengan pedih aku dibuang, dan dihitung, di antara penjahat. Itulah beberapa potong syair yang masih saya ingat.

Ya, aku rindu akan itu semua sekarang ini. Semoga suatu saat saya bersama teman-teman bisa memperkenalkan ibadat yang indah ini ke beberapa tempat di Bandung ini. Itu menjadi keinginan dan harapan saya.

SIS B
PENELITI CCRS (Center for Cultural and Religious Studies) FF-UNPAR BANDUNG
01 APRIL 2010
Diketik kembali hari ini 02 April 2010

Sunday, April 6, 2008

Sadar Tahun Liturgi: Dari Altar ke Pasar
Oleh: Fransiskus Borgias M (
EFBE@fransisbm)

Beberapa waktu lalu saya sudah mempostingkan sebuah artikel pendek mengenai tema yang sama, "Sadar akan tahun liturgi." Masih dalam rangka "Hidup dari dan berdasarkan kesadarakan akan Tahun Liturgi," di sini saya mencoba melakukan kilas balik dalam riwayat dan pengalaman hidup saya sendiri selama ini. Hasilnya, saya sudah menyadari akan keberadaan tahun liturgi itu sejak masih sangat kecil. Beginilah ceritanya. Saya sudah menjadi ajuda (itulah istilah di tempat saya dulu untuk putera altar atau misdinar) sejak kelas satu SD. Alasannya sederhana dan praktis saja. SD saya dulu terletak di pusat Paroki. Jadi, setiap hari ada misa (tentu kalau Pastor tidak melakukan perjalanan patroli ke stasi-stasi yang jauh). Pada saat itu, saya adalah anak laki-laki tertua dari para guru yang ada di kompleks sekolah di dekat dan di sekitar gereja paroki itu. Anak para guru lain masih kecil-kecil. Maka pastor paroki kami (yang adalah orang dari Hongaria sana), tidak mempunyai pilihan lain, selain mengandalkan saya untuk menjadi misdinar walau saya belum banyak mengerti dan belum menerima komuni pertama lagi. Maka saya pun menjadi misdinar sejak masih sangat kecil.
Dan saya masih ingat dengan sangat baik bahwa keterlibatan dalam liturgi ekaristi (waktu itu masih imam masih membelakangi umat ala pra-konsili Vatikan II, jadi misa ala Trente, tetapi sudah memakai bahasa Indonesia; ya begitulah di pedalaman, padahal waktu itu Vatikan II sudah berlalu tiga tahunan) itulah yang menyebabkan saya mulai tahu dan sadar akan liturgi, dan dalam konteks tulisan singkat ini, akan Tahun liturgi (liturgical year). Pada saat itu saya sudah sadar bahwa dalam liturgi kita ada banyak sekali hal yang istimewa dan sangat bermutu tinggi dan karena itu mampu menjadi sumber ilham untuk hidup harian kita, dari hari ke hari. Saya juga sudah sadar bahwa seluruh perayaan liturgi kita diatur menurut pembagian waktu.
Percikan-percikan pengalaman awal itu semakin dipertajam dan diperdalam lagi ketika, tamat sekolah dasar, saya lulus test masuk ke SMP seminari Pius XII Kisol. Di sana saya semakin sadar bahwa lingkaran tahun liturgi itu adalah sebuah lingkaran yang terus menerus berulang-ulang secara berkala (Tahun A, Tahun B, Tahun C). Saya kira itulah sebabnya disebut lingkaran. Itulah juga sebabnya lingkaran tahun liturgi itu bisa menjadi menjadi semacam sekolah iman, sekolah pendidikan kitab suci, dan sekolah pendidikan tradisi, sebagaimana yang baru-baru ini dikatakan oleh Scott Hahn dalam bukunya itu, Reasons to Believe itu.
Saya merasa program penyadaran akan lingkaran tahun liturgi ini bisa membantu proses awamisasi doa. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa awam tidak berdoa. Saya hanya mau mengatakan bahwa dulu dalam sejarah gereja ada gerakan yang disebut monastisisme. Nah, penyadaran akan lingkaran tahun liturgi ini dimaksudkan untuk melawan gerak monastisasi doa dan terutama kesalehan. Dalam rangka itu saya pun mengajukan pertanyaan kritis: Apa atau mana jalannya? Ya, jalannya tidak lain dan tidak bukan ialah lewat penyadaran terus menerus akan lingkaran tahun liturgi itu. Mengikuti dan menghayati tahun liturgi itu adalah sebuah proses pendidikan iman; mengikuti liturgi menurut dinamika lingkaran tahun liturgi tidak lain merupakan proses pendidikan iman secara berkelanjutan. Dan pendidikan iman saya yakin, akan berdampak juga secara moral dan secara sosial. Maka transformasi kesadaran berliturgis, bagi saya akan berdampak secara moral dan sosial.
Saya tidak termasuk orang yang dengan gampangan menaruh curiga terhadap liturgi, seakan-akan kesibukan kita berliturgi hanya membuat kita sibuk di sekitar altar saja, dan dengan itu kita lalu lupa akan atau cenderung mengabaikan pasar. Menurut pandangan saya hal itu sama sekali tidak seperti itu. Bagi saya, komitmen yang mendalam akan altar, juga akan memanggil kita secara etis untuk terlibat di pasar. Apalagi kalau kita berbicara tentang sakramen Ekaristi. Keterlibatan kita dalam perayaan ekaristi, berarti kita dipanggil untuk menjadi bersaudara, saling mengampuni, berupaya membangun cinta kasih, dan kepekaan akan kehadiran orang lain, dan kepekaan akan keadilan. Bukankah itu semua adalah nilai-nilai yang dibangun di dalam dan melalui perayaan Ekaristi? Dan bukankah itu semua nilai-nilai yang sangat laku dan sangat diafirmasi juga di pasar?
Jadi, dengan kata lain, sudah sangat jelas kiranya bahwa keterlibatan di altar tidak menjauhkan atau mengasingkan kita dari pasar. Malahan menurut saya, semakin kita dekat dan akrab dengan altar, semakin kita pun akrab dan dekat dengan pasar, dan membuat keterlibatan kita di pasar adalah keterlibatan yang khas-unik, justeru karena keterlibatan, diwarnai, dipengaruhi dan dilatarbelakangi oleh aura kesucian altar, oleh percikan-percikan sinyal-sinyal transendensi.

Tuesday, March 18, 2008

Alleluia Paskah
Oleh:
EFBE@fransisbm

Salah satu yang paling mencolok dalam praksis liturgis gereja Katolik ialah bahwa selama masa Pra-paskah (yaitu sejak Rabu Abu hingga Sabtu Malam Paskah), Alleluya tidak dibacakan, dinyanyikan atau didaraskan lagi. Semua liturgi berlangsung tanpa seruan Alleluya. Mungkin kita kurang begitu memperhatikan dan mengamati atau menyadarinya. Yang dimaksudkan ialah tidak diucapkannya Alleluia. Alleluya ditunda selama masa prapaskah atau puasa dan pantang itu. Baru akan dinyanyikan atau diucapkan lagi sejak malam Paskah. Muncul pertanyaan mengapa liturgi menetapkan seperti ini? Apa dasar biblis dan teologisnya? Itulah yang mau dijawab dan diuraikan dalam tulisan singkat dan sederhana ini?
Selama Ekaristi sang Raja suci, tatkala masuk dengan mulia dalam pembacaan Injil, tidak lagi disalami dengan seruan Alleluya yang bernada pesta-ria itu. Seruan Alleluia penuh sukacita dan sorak-sorai itu juga tidak diucapkan dalam delapan jam doa resmi gereja. Sebagai gantinya yang dipakai ialah seruan lain: "Terpujilah Kristus Tuhan, Raja mulia dan kekal!" Tentu pada dirinya sendiri, ini adalah ucapan yang indah; tetapi ia hanya pengganti sementara, yaitu sesuatu yang memungkinkan kita menduga apa yang Gereja maksudkan dengan seruan yang digantikannya itu sekarang dan di sini.
Apa arti Alleluia itu? Ungkapan itu berasal dari kata Ibrani, Hallelu-Yah, artinya "Pujilah Yahweh" atau "Pujilah Tuhan." Tetapi dalam perkembangan pemakaiannya ia kehilangan makna harfiah dalam etimologi itu. Bahkan hal itu sudah terjadi dalam Perjanjian Lama juga. Ia menjadi pekik sukacita dan sorak-sorai umum yang tidak serta-merta mengingatkan orang akan Yahweh, padahal Yah itu singkatan Yahweh: "Haleluya. Bernyanyilah mereka semua dengan berkata: Terpujilah Allah yang meninggikan engkau untuk selama-lamanya" (Tob.13:18). Dalam artian ini orang Kristiani perdana menerima kata itu dan memakainya sebagai nanyian sukacita, nyanyian surga, nyanyian kebangkitan. Hal ini mengendap dalam lapisan tertua liturgi; berabad-abad sudah berlalu hal itu sudah terucapkan terus menerus dari mulut orang Kristiani. Hal itu terus diucapkan, dinyanyikan hingga akhir jaman. Masih akan diteruskan lagi dalam liturgi abadi di surga, Yerusalem surgawi (Why 19:6).
Pada masa awal Kristianitas purba Alleluia dipakai sebagai seruan penutup doa pribadi. Umat beriman mendoakannya di rumah. Petani menyanyikan, mengucapkannya sambil membajak di ladang. Para tukang mengucapkannya di bengkel kerja mereka. Pelaut juga tidak ketinggalan. Mereka bernyanyi: Mari kita mulai mendayung dengan bernyanyi Alleluia. Bahkan bagi tentara Kristiani kata itu berfungsi sebagai pekik pertempuran. Orang Kristiani perdana memakai ungkapan "Alleluia, Tuhan sudah bangkit," untuk saling menyalami pada Minggu Paskah pagi. Bahkan orang mati juga dimakamkan dengan ucapan dan nada Alleluia itu. Dengan iman, apa yang diharapkan dalam kebangkitan menekankan Alleluia yang diucapkan pada sebuah makam terbuka.
Tetapi konteks paling utama dan istimewa untuk Alleluia ialah liturgi. Hingga masa Santo Gregorius Agung Alleluia hanya dibatasi pada Paskah, yaitu sebagai seruan utama kebangkitan. Pada masa sekarang ia menyertai jiwa yang percaya melewati seluruh tahun dan mencirikan hidup Kristiani dengan meterai sukacita, kebangkitan, dan kepercayaan akan kemenangan. Gereja menyanyikan atau mengucapkannya berulang kali, misalnya, pada permulaan masing-masing doa ofisi (delapan kali sehari), dan juga sebagai bait pengantar Injil dalam Ekaristi. Contoh terakhir ini, boleh disamakan dengan pekik seorang bentara pada saat masuknya Kristus dalam Injil. Ini dianggap sebagai kidung-kidung paling kaya dan paling indah dalam Liturgi Roma.
Hanya pada masa Puasa saja, yaitu masa-masa yang dibaktikan secara khusus untuk melakukan silih tapa atas dosa, gereja menahan diri dari menyanyikan pekik sukacita ini; bukannya tanpa perasaan gereja menghentikan sementara kebiasaan yang sangat melekat kuat dalam hatinya ini. Seperti halnya kepada seorang teman karib, Bunda Gereja mengucapkan selamat tinggal kepada kekasihnya yang tercinta yaitu seruan sukacita Alleluia itu pada hari Sabtu sebelum Minggu Septuagesima, yaitu ketika pada akhir Verpers seruan itu dinyanyikan sebanyak dua kali sesudah Benedicamus Domino dan paduan suara pun memberi tanggapan dengan pengulangan mengikuti Deo gratias.
Di masa silam, Prapaskah dibandingkan dengan tujuhpuluh tahun pembuangan Israel. Itulah saat untuk menderita demi silih atas dosa. Durandus, ahli liturgi abad pertengahan, mengatakan, "Kita berhenti mengucapkan Alleluia, yaitu nyanyian yang dinyanyikan para malaekat, karena kita dijauhkan atau disingkirkan dari persekutuan para malaekat karena dosa Adam. Di Babilon hidup kita di dunia ini kita duduk di tepi sungai, sambil menangis ketika kita teringat Sion. Sebab sebagaimana anak-anak Israel di tanah asing itu menggantungkan kecapi mereka di pohon gandarusa, demikian kita juga harus melupakan nyanyian Alleluia itu dalam masa dukacita, masa silih atas dosa, dan masa kepahitan dan kepedihan hati." (Mzm.137). Dalam beberapa gereja ada upacara penting yang menyertai Alleluia terakhir. Durandus memberitahukan kepada kita, "Kita berpisah dari dia sebagaimana dari seorang teman baik, yaitu dia yang kita rangkul dan kecup bibirnya, keningnya, dan tangan sebelum ia pergi melakukan perjalanan jauh dan lama."
Dewasa ini, pada Vesper pertama Minggu Septuagesima, kita menyanyikan Alleluia untuk terakhir kali. Semoga pesannya masih tetap terukir dalam hati kita – kita adalah umat yang sudah bangkit, umat surgawi, umat yang bersukacita. Karena baptis kita adalah bangsa yang bangkit – jangan membiarkan diri anda mati karena dosa. Kita adalah warga surga; kaki kita menyentuh tanah, tetapi hati kita berada bersama Kristus di tempat tinggi. Tanda hidup Kristiani sejati ialah semangat yang hidup dan penuh gembira dan sukacita. Seperti matahari, seorang Kristiani memancarkan cahaya dan kehangatan, hidup dan sukacita. Marilah kita melakukan upaya yang nyata untuk menjadi bersukacita dan bersorak-sorai. Jangan sampai perilaku kita dicemari dosa, oleh humor yang tidak sehat dan watak buruk. Dengan sukacita di dalam hati kita, kita harus membawa sukacita kepada orang lain. Kehadiran kita harus menjadi kehadiran yang membawa dan memancarkan sukacita. Alleluia yang diucapkan Gereja setiap hari (kecuali Prapaskah) mewartakan kotbah agung ini tentang kehidupan.
Makna Pengosongan Altar pada Kamis Putih
Oleh:
EFBE@fransisbm

Salah satu untaian upacara suci yang menarik perhatian pada Kamis Putih ialah pengosongan altar. Menjelang selesai upacara imam (dibantu diakon, subdiakon, putera altar), melepaskan semua kain penutup altar dan hiasan yang ada (bunga, lilin). Altar dibiarkan dalam keadaan "telanjang," menjadi sekadar meja biasa menurut bahannya. Apa makna upacara ini? Upacara ini menandakan bahwa Korban suci untuk sementara ditunda (ditiadakan). Altar harus "telanjang," sampai kita bisa lagi mempersembahkan perayaan/korban Ekaristi, sampai Mempelai Gereja suci bangkit, dan menjadi Pemenang atas maut dan dosa. Saat ini, ketika kita melakukan upacara unik ini, Mempelai itu sudah diserahkan ke tangan para musuhNya, yaitu orang Yahudi.
Kita tahu dari kitab suci (dan dari jalan salib yang kita ikuti tiap Jum’at selama prapaskah dalam perhentian kesebelas), pakaian Yesus ditanggalkan oleh orang Yahudi. Yesus ditelanjangi, persis seperti kita saat ini menelanjangi altar. Jadi, kita sekaligus teringat akan peristiwa penelanjangan Yesus di muka umum. Hal itu adalah penghinaan terhadap-Nya. Penghinaan seperti itu biasa dilakukan atas pengacau, pemberontak, apalagi kalau mereka berasal dari kalangan pinggiran, kaum yang tidak diperhitungkan. Itu sebabnya, mazmur yang dipakai untuk didaraskan pada upacara ratapan (baik dipakai dalam tuguran) ialah mazmur 21. Dalam mazmur itu, Pemazmur (yang dalam pembacaan Kristiani, ialah Kristus) berbicara tentang tentara Roma yang membagi-bagi pakaianNya, dan membuang undi atas jubahNya. Salah satu ayat Mazmur ini diucapkan Yesus dari salib ketika ia mengalami kesepian maut, merasa ditinggalkan: Eli, Eli lama sabhaktani?
Setelah altar utama dikosongkan, altar lain yang dipakai dalam misa harian juga dikosongkan. Semua altar harus kosong. Ekaristi untuk sementara ditangguhkan. Dalam ruang gereja harus benar-benar diciptakan suasana sunyi, kosong, seperti rumah kosong yang baru ditinggalkan: ada suasana serem, bahkan orang bisa merasakan suasana kematian, karena tidak ada lagi jejak manusia di dalamnya. Efek itulah yang mau diciptakan di sini. Tabernakel harus kosong dan dibiarkan terbuka. Tamu agung tidak ada di sana lagi. Begitu juga lampu altar: harus padam, sebab ia tidak menandakan apa-apa lagi. Sibori harus dipindahkan ke sakristi dan ditaruh bersama di tempat di mana Tubuh Tuhan untuk sementara disimpan (harus tempat layak). Ini semua ada maknanya: kemuliaan dan keagungan Tuhan telah pergi berdiam bahkan "bersembunyi" ke tempat suci yang misterius. Kalau kita masuk ke sana, kita harus masuk dengan hormat, dengan diam, menunduk sopan, sikap sesal, sikap rendah hati seperti orang yang merasa tidak layak masuk ke tempat mulia (seperti si pemungut cukai yang berdoa di Bait Allah itu).
Di beberapa gereja di tempat lain di dunia ini, ada kebiasaan, di mana upacara pengosongan dilanjutkan dengan mencuci altar dengan anggur dan air, yang dipercikkan dengan bunga karang ke altar itu. (Tidak dicuci semua, hanya pars pro toto). Upacara ini tidak lagi dilaksanakan di pelbagai tempat di dunia ini. Konon masih dijalankan di Basilika Santo Petrus di Roma. Upacara itu adalah penghormatan terhadap Tuhan kita, sebagai balasan terhadap kerendahan hatiNya yang sudi turun membasuh kaki muridNya. Makna upacara ini dijelaskan dengan sangat baik oleh beberapa teolog. Misalnya Santo Isidorus dari Sevilla (De ecclesiasticis Offiis, lib.I. cap.xxviii) dan Santo Eligius, uskup Noyon (Homily viii. De caena Domini).

Upacara Pembasuhan Kaki

Upacara Pembasuhan Kaki
Oleh:
EFBE@fransisbm

Setelah Yesus membasuh kaki para muridNya, Ia berkata: "Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu? Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu." (Yoh.13:12-15). Makna kata-kata ini ialah, kita harus melakukan karya layanan dan kasih persaudaraan terhadap satu sama lain, mengikuti teladan sang Guru. Itulah arti rohani teks itu. Tetapi kita juga harus melaksanakan secara harfiah teladan agung Guru dan Penyelamat kita. Gereja selama ini melakukan kebiasaan itu yaitu membasuh kaki. Ini menjadi salah satu upacara menarik perhatian Kamis Putih, apalagi ketika perayaan itu ditayangkan ke seluruh dunia termasuk ke Indonesia.
Dulu pada gereja awal, hal itu dilakukan harfiah setiap hari. St.Paulus, ketika menyebut sifat-sifat yang harus ada pada seorang janda Kristiani, memasukkan sifat rendah hati yang tampak dalam tindakan membasuh kaki para orang kudus (1Tim.5:10), yaitu kaki kaum beriman. Dalam hidup Yesus, pembasuhan itu disinggung. Ketika Yesus masuk ke rumah seorang Yahudi dan makan di sana, Ia didatangi perempuan yang membasuh kakiNya dengan air mata dan minyak wangi dan menyekanya dengan rambut. Tindakan kasih ini dilakukan pada jaman kemartiran. Bahkan masih dilakukan pada masa yang lebih kemudian. Kisah Para Orang Kudus dari enam abad pertama, dan homili dan tulisan para Bapa Suci, banyak menyinggung kebiasaan ini. Sesudah kurun waktu awal mula itu, cinta kasih menjadi dingin, dan cara pelaksanaan dan perwujudan yang khusus dari kasih ini terbatas di biara-biara. Namun, dari waktu ke waktu, hal itu masih dilakukan juga. Kadang-kadang kita masih baca tentang para raja dan ratu yang melakukan dan memberikan teladan kerendahan hati ini. Raja suci Robertus dari Perancis, Santo Louis, biasanya membasuh kaki orang miskin. Ratu suci St.Margaret dari Skotlandia, dan Santa Elizabeth dari Hongaria, juga melakukan hal yang sama.
Gereja, yang yakin bahwa ia harus melakukan hal ini karena diteladankan oleh sang Guru (teladan mengandung imperatif), memperkenalkan praksis dan tindakan kerendahan hati ini dalam liturgi, dan dengan itu hingga kini gereja memberikan pelajaran agung di hadapan anak-anaknya. Di setiap gereja besar, imam menghormati kerendahan hati sang Penyelamat. Penghormatan itu dilakukan dengan merayakan dan mengenang kembali perbuatan itu dalam upacara pembasuhan kaki. Para uskup di seluruh dunia mengikuti teladan yang sama yang diperintahkan kepada mereka oleh Paus, yang melakukan upacara ini di Vatikan. Jadi, para pejabat tinggi gereja, juga saat ini, mau membasuh kaki orang kecil, orang miskin, dan memberi mereka sedekah berlimpah.
Dalam upacara tiruan itu, kedua belas rasul diganti dengan duabelas orang miskin yang, menurut praktek kebiasaan umum, dipilih secara khusus untuk upacara ini. Tetapi Paus membasuh kaki tigabelas imam. Mengapa tigabelas? Ada dua penjelasan. Pertama, angka itu menggambarkan jumlah lengkap para rasul, yang tiga belas orang. Kita tahu St.Matias dipilih menggantikan Yudas (sehingga angka itu menjadi 12). Tuhan sendiri, setelah naik ke surga, memanggil Paulus menjadi rasul. Di meja perjamuan akhir dulu ada tigabelas orang lalu tinggal duabelas karena Yudas pergi meninggalkan perjamuan itu. Nanti setelah Yudas bunuh diri, ia diganti Matias. Setelah Yesus naik ke surga, muncul Paulus. Itu penjelasan pertama.
Kedua, diajukan dan didukung oleh Paus Benediktus XIV, yang sangat terpelajar itu (De Festis, D.N.J.C., Lib.I.cap.vi. no.57). Konon angka tigabelas itu dipilih untuk menunjuk ke mukjizat yang dikisahkan dalam riwayat hidup St.Gregorius Agung. Paus suci ini setiap hari biasa membasuh kaki duabelas orang miskin. Sesudah itu ia mengundang mereka makan satu meja dengan dia. Pada suatu hari, muncul tamu ketigabelas: tamu itu adalah malaekat, yang diutus Allah, agar Ia boleh hadir di sana untuk melihat dan menguji dan bersaksi perihal betapa indah dan berkenanNya Ia kepada teladan kasih dan kerendahan hati sang abdinya ini.
Upacara pembasuhan kaki ini dikenal dengan sebutan Mandatum, yang diambil dari kata pertama dari teks Latin injil Yoh.13:34: Mandatum novum do vobis. Setelah Diakon atau Lektor menyanyikan Injil pada Misa Kamis Putih, imam menanggalkan pakaian misanya, mengambil kain lap, lalu membungkuk, berlutut, dan mulai membasuh kaki orang yang dipilih untuk upacara itu. Lalu ia mencium kaki kanan masing-masing orang itu setelah dibasuh. Sementara itu paduan suara mendaraskan Mandatum novum do vobis (Yoh.13:34). Lalu paduan suara menyanyikan lagu pujian yang penuh gairah dan semangat cinta kasih persaudaraan yang dilambangkan dan diungkapkan dalam simbol pembasuhan kaki: Ubi charitas, et amor, Deus ibi est.

Monday, March 17, 2008

Hidup Dari dan Berdasarkan Lingkaran Tahun Liturgi
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dalam perayaan ekaristi sore Minggu palma kemarin, saya mendapat beberapa ilham yang sangat penting untuk penyadaran akan tahun Liturgi. Tetapi sesungguhnya kesadaran itu sudah sangat lama hidup dalam diri saya; hanya kemarin itu semakin dipertajam lagi. Pertama-tama, mengenai judul seluruh program yang akan saya usahakan mulai dari untaian tulisan ini. Judul yang tiba-tiba muncul secara spontan ada beberapa variasi atau alternatif: ada judul sbb: "Sadar akan Tahun Liturgi." Atau judul "Hidup dengan Kesadaran akan Tahun Liturgi." Atau judul: "Hidup Berdasarkan atau dari Tahun Liturgi." Semuanya bagi saya sangat indah dan menarik. Ketiga variasi judul yang muncul ini saya rasa sangat penting dan bisa mewakili dan menggambarkan cita-cita dasar yang ingin saya raih dan wujudkan melalui untaian studi dan tulisan ini nanti.
Mengapa demikian? Itu tidak lain karena saya merasa bahwa hal ini bisa membantu untuk beberapa hal dan dalam beberapa hal. Pertama, upaya "penyadaran akan tahun liturgi" (liturgical year; ada yang mengistilahkannya lain: year of grace) dan akan "hidup berdasarkan tahun liturgi" itu, bisa membantu pembagian atau organisasi waktu kita (the organzation of time). Waktu kita ini mengalir begitu saja dari detik ke detik, baik itu dalam pandangan siklis akan waktu maupun dalam pandangan linear akan waktu, dan juga dalam pandangan spiral akan waktu (Filsafat waktu atau sejarah itu tidak akan diuraikan lebih lanjut di sini). Tanpa suatu interval dan jarak yang mentransendensi, eksistensi dan perjalanan waktu itu dapat menjadi sebuah jerat dan penjara yang membosankan, serba menghimpit dan bahkan bisa juga memuakkan dan mematikan. Maka waktu yang massive itu dibagi-bagi dalam penggal-penggal dan tonggak-tonggak tertentu dengan ditandai dengan ciri khasnya masing-masing (nanti akan didalami lebih lanjut ketika menguraikan bagian-bagian dari tahun liturgi itu). Kedua, upaya penyadaran ini juga dapat membantu proses pengudusan waktu (sanctification of time). Waktu itu sulit didefinisikan, tetapi kita hidup dalam waktu yang senantiasa mengalir datar begitu saja seperti arus air di sungai. Panta rei kai uden menei, demikian kata Heraklitos, filsuf dari Yunani klasik itu. Liturgi dengan pembagian-pembagian waktunya, dan dengan perayaannya yang khas dan unik dalam setiap kurun waktu, dapat membantu kita menguduskan waktu, dengan cara memakai waktu itu dalam rangka mengeksplisitkan dimensi vertikal dan transenden hidup kita. Bahwa kita adalah makhluk yang transeden, yang punggungnya tegak ke atas, ke arah yang vertikal. Liturgi membantu kita mewujudkan idealisme pengudusan waktu itu.
Ketiga, upaya penyadaran akan tahun liturgi itu juga dapat membantu proses pengudusan diri (self-sanctification). Dengan setia melaksanakan gerak transendensi dan arah vertikal eksistensi kita yang coba dibangkitkan dengan dan dalam liturgi itu, kiranya kita juga semakin sadar akan relasi dan ketergantungan kita pada yang mahatinggi. Kita didorong untuk selalu mensyukuri hidup kita. Liturgi membantu kita bisa menjadi orang yang saleh dalam hidup ini, yang menyadari bahwa hidup kita ini bersumber dan berpangkal sesuatu yang realitas yang mahatinggi. Keempat, upaya penyadaran itu juga dapat membantu proses pengudusan sosial (social-sanctification), sebab saya sangat yakin bahwa dengan semboyan ini: better liturgy, holier culture. Artinya, kalau liturgi dalam artian yang sangat luas dirayakan dan dipraktekkan dengan tepat, maka dari sana akan muncul sebuah kebudayaan dan peradaban yang suci, karena diwarnai dan dilatar belakangi oleh gerak transendensi dan vertikal manusia. Kelima, upaya penyadaran akan tahun liturgi juga bisa membantu diri saya sendiri dan umat (orang lain) untuk program pendidikan liturgis itu secara otodidak (tanpa melalui suatu institusi pendidikan formal apapun juga, melainkan hanya melalui praktek dan penghayatan yang terus menerus dari waktu ke waktu). Keenam, bersama dengan pendidikan liturgi, akan terbantu juga pendidikan informal teologi (theological training). Sebab liturgi adalah teologi dalam bentuk perayaan iman, dalam bentuk tanda, dalam bentuk simbol-simbol. Jadi, dengan merayakan liturgi orang akan semakin dalam dan luas juga pengetahuan teologisnya.
Ketujuh, pendalaman dan penghayatan liturgi lewat penyadaran akan tahun liturgi pada gilirannya akan membantu pendidikan kitab suci (biblical apostolate training). Mengapa? Sebab yang kira rayakan dalam liturgi tidak lain dan tidak bukan ialah Kitab Suci. Dengan mendengarkan bacaan-bacaan dari kitab suci kita dibawa masuk ke dalam kitab suci, dan menjadi kenal serta akrab dengan kitab suci itu sendiri. Singkatnya, seluruh waktu kita ditata dalam ruang suci (sacred space), dalam kesadaran akan kehadiran dari yang suci, kehadiran dari yang kudus. Waktu dan ruang tidak lagi hanya sesuatu yang serba profan saja. Jadi, seluruh tahun liturgi menjadi sebuah kurikulum pendidikan hidup doa dan kesalehan. Maka saya pun berani sekali lagi berkata dengan lantang bahwa "better liturgy, holier culture." Semakin baik orang menyadari dan menghayati keindahan tahun liturgi dan perayaan liturgi dan pada gilirannya bisa hidup dari dan berdasarkan pengaturan tahun liturgi itu, maka kebudayaan akan menjadi lebih baik dan lebih suci. Itulah yang menjadi keyakinan dasar saya di sini.
Mungkin akan ada sementara kalangan yang mengajukan pertanyaan kritis berikut ini: Bagaimana dengan kritik bahwa hal itu (menukik ke dalam liturgi) bisa bermuara pada atau memunculkan sikap fanatisme sempit dan bahkan ekstremisme yang bringas? Juga bisa memunculkan sikap mental yang sempit dan picik, hanya berkutat di sekitar altar saja, tanpa mempedulikan pasar, meminjam istilah dari almarhum Uskup Bandung. Tentu saja ada bahaya seperti itu. Ada kecenderungan untuk jatuh ke dalam bahaya seperti itu. Hal itu tidak bisa disangkal sepenuhnya. Tetapi menurut hemat saya hal itu bisa dicegah dengan pendidikan moral dan cinta kasih (hal itu bagian dari pendidikan moral, tetapi juga secara tidak langsung diupayakan dalam pendidikan liturgi), lewat penekanan pada kebajikan-kebajikan dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Liturgi harus mengarah ke sini. Liturgi yang mengarah kepada atau menebar kebencian, tidak pantas untuk dirayakan dan dihidupi. Oleh karena itu, liturgi adalah demi cinta akan kemanusiaan baik itu kemanusiaan universal maupun individu, yaitu manusia kongkret di sekitar kita. Kemanusiaan jangan sampai dikorbankan oleh liturgi. Liturgi jangan sampai terjerembab ke dalam rasa anti-humanisme. Liturgi seperti itu sekali lagi tidak pantas dihidupi. Liturgi harus menyuburkan cinta kasih dan kepekaan, dan toleransi. Tidak boleh ke arah sikap benci, iri, dan cemburu. Kalau ini yang muncul, jangan sampai seruan Allah lewat nabi Amos dulu: aku benci akan korban bakaran dan korban sembelihanmu (liturgi Perjanjian Lama) akan diulang lagi untuk kita sekarang: Aku benci akan ketekunanmu melayani gereja, kalau ternyata hal itu tidak menyuburkan cinta dalam dirimu.

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...