Saturday, April 3, 2010

MELEWATI KEGELAPAN MALAM

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Sekarang sudah Sabtu Suci. Sebentar lagi upacara malam Paskah akan tiba. Kebetulan saya mendapat tugas bernyanyi pada malam pukul 20.30, bersama Paduan Suara Kami Lucretia, salah satu paduan suara yang bagus di kota Bandung (dari Paroki Santo Martinus). Itulah Ekaristi Malam Paskah. Bagi kami warga Paroki Santo Martinus, Ekaristi malam ini sangat khusus karena ada 14 baptisan, ada 11 orang yang diterima dalam pangkuan persekutan Gereja Katolik, dan ada beberapa orang yang menerima Komuni pertama. Semuanya berlangsung dengan khikmat dan mengharukan.

Ya, setiap kali malam Paskah tiba aku selalu menantikan dengan penuh harap upacara lilin Paskah. Itu adalah sebuah kerinduan dan pengharapan yang sudah saya rasakan sejak aku masih kanak-kanak dan masih tetap hidup hingga aku sudah dewasa sekarang ini. Sekarang malam sudah gelap. Gereja sudah gelap. Umat yang hadir sangat banyak. Tetapi hening. Sebuah perpaduan yang indah: Gelap dan ada keheningan walau ada banyak umat yang hadir. Di depan gereja, yang ada hanya nyala api unggun, yang menurut tradisi liturgis lama harus dibuat dari api alam (lambang dari sebuah eksistensi baru, hidup baru, ciptaan baru). Dari api itulah akan diambil nyala untuk menyalakan lilin Paskah. Bagi saya upacara itu sangat mengesankan. Di tengah gelap malam itu lilin Paskah ditandai dengan lima paku, lambing lima luka Yesus sambil disebutkan beberapa gelar Kristologis: Alpha dan Omega.

Setelah itu diadakan perjalanan lilin Paskah melintasi gereja yang gelap. Bagi saya itu sangat indah. Sungguh sangat mengesankan. Sebuah simbolisme penuh makna. Yesus masuk, melintasi lembah maut, yang dilambangkan dengan kegelapan. Pada saat itulah imam yang membawa lilin Paskah itu menyanyikan lagu dengan lantang: Lumen Christi. Dan setiap kali dijawab umat Deo Gratias. Itu dinyanyikan tiga kali dan setiap kali dengan nada yang lebih tinggi, dengan nada-nada yang menaik. Bagi saya itu adalah perlambang gerak eksistensi transenden hidup manusia. Eksistensi transenden itu dilambangkan dengan bunyi, dengan suara, dengan nada, dengan suara manusia. Puncak atau wujud gerak transendensi itu ialah peristiwa kebangkitan, munculnya sebuah kehidupan baru. Setelah melintasi di dalam kegelapan, cahaya lilin itu mulai menyebar ke seluruh penjuru gereja yang gelap. Dari satu lilin utama, yaitu lilin Paskah, menjadi ratusan lilin (tergantung dari umat yang hadir) yang semuanya mulai bernyala. Sebuah pemandangan yang sangat indah. Akhirnya Gereja mulai menjadi terang lagi oleh nyala ratusan lilin yang dipegang oleh masing-masing umat yang hadir. Setelah itu lilin Paskah ditahtakan pada tiang mimbang yang telah disiapkan sebelumnya secara khusus. Paling baik, kalau tiang itu dihias dengan hiasan yang mewah, pokoknya harus luar biasa, harus istimewa, sebab pada Hari ini Tuhan bertindak, maka mari kita rayakan dengan gembira.

Lalu tampillah seorang penyanyi, yang akan menyanyikan Exultet, madah paskah itu. Madah Paskah itu adalah salah satu lagu yang paling aku sukai dalam hidupku, mulai ketika aku masih kecil sampai sekarang ini. Beberapa penggal awal lagu itu diakhiri dengan kata-kata berikut ini: Gemakanlah dengan bangga Paskah Raya. Lalu umat menyambung dengan sangat meriah dan semangat: Bersoraklah, nyanyikan lagu gembira, bagi Kristus, yang menebus kita, bersyukurlah kepada Allah, kita bangkit bersama Kristus. (Waktu saya kecil: Teks ini dimulai dengan kata-kata, “Tepuk tangan….”. Sebab salah satu ekspresi rasa sorak dan gembira ialah dengan menari-nari dan bertepuk tangan; di beberapa tempat teks seperti ini masih dipertahankan). Menarik sekali bahwa menurut lagu ini, yang kita rayakan bukan lagi hanya peristiwa kebangkitan Kristus saja, melainkan juga kebangkitan kita sendiri. Kita bangkit bersama Kristus. Kita tidak akan mati lagi. Kita mulai sebuah eksistensi baru. Itulah keyakinan iman kita: Kita dibangkitkan bersama dengan kebangkitan Kristus. Suatu saat aku mau mencoba secara khusus menelaah teologi yang terkandung dalam lagu itu. Semoga aku tidak lupa melakukan tugas dan niat yang suci ini.

Bandung, 03 April 2010.
Ditulis kembali sambil diperluas pada pagi 04 April 2010.
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Peneliti CCRS (Center for Cultural and Religious Studies) FF-UNPAR BANDUNG

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...