Friday, April 2, 2010

EKSISTENSI SABTU SUCI

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Hari ini sudah Sabtu Suci. Jum’at Agung sudah lewat. Ia sudah menjadi hari kemarin. Ia sudah menjadi kenangan di dalam ingatan. Itu berarti sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus sudah berlalu. Ia sudah turun ke tempat penantian. Tetapi hari Minggu Paskah, Hari Kebangkitan masih akan datang besok. Ia masih di dalam sebuah penantian. Jadi, Sabtu Suci itu adalah sebuah situasi antara: sengsara dan maut sudah berlalu, tetapi cahaya optimism kebangkitan belum terjadi.

Adalah teolog Swiss yang bernama Hans Urs von Balthasar (yang dikagumi oleh Paus Benediktus XVI), yang mencoba mengangkat Sabtu Suci ini sebagai sebuah simbolisme untuk menyebut dan sekaligus mengibaratkan hidup orang Kristiani di dunia ini. Dalam bukunya Mysterium Pasquale, ia kurang lebih mengatakan bahwa hidup orang Kristiani itu paling baik dan paling tepat dilukiskan dengan memakai simbolisme Sabtu Suci itu, yaitu sebuah situasi antara. Orang Kristiani, menurut Balthasar, hidup dalam sebuah tegangan situasi antara. Mana situasi antara itu? Sengsara dan maut sudah lewat. Dan sekarang seluruh hidup kita disemangati oleh pengharapan akan cahaya kebangkitan dan hidup kekal di dalam dan bersama dengan Tuhan. Tetapi sedemikian kuatnya situasi pengharapan itu sehingga ia mampu mewarnai dan menyemangati seluruh hidup kita sekarang dan di sini. Bayang-bayang belenggu penderitaan, sengsara, dan maut sudah tidak lagi sangat menghimpit hidup dan kesadaran kita, karena total hidup kita kini seluruhnya berorientasi pada pengharapan.

Itulah sebabnya Kisah Kisah Sengsara Jum’at Agung kemarin harus diambil dari injil Yohanes, sebab kisah sengsara yang ada di sana adalah kisah sengsara yang mulia, yang lebih diwarnai oleh percikan-percikan cahaya kebangkitan dan kemuliaan daripada oleh kegelapan maut itu sendiri.

Dari kemarin saya sudah menulis tentang lamentasi. Maka saya berencana mau menulis syair lagu-lagu lamentasi berdasarkan perspektif pengharapan dan kebangkitan itu. Mungkin dalam rangka itu saya akan berusaha mencari dan menggali simbolisme-simbolisme dan analogi alam sebagai ilustrasi untuk syair-syair lagu itu. Saya hanya berharap, semoga saya bisa berhasil di dalam mewujud-nyatakan hal itu. Niat ini saya kuatkan dalam hati saya, agar syair lagu-lagu lamentasi untuk Sabtu Suci sedikit berbeda atau dibedakan dari syair dua hari terdahulu. Mengapa harus berbeda? Karena ini sebuah situasi antara, sebuah situasi penantian dan situasi pengharapan. Memang cahaya kebangkitan belum terjadi, tetapi sebentar lagi ia akan terjadi. Dan bayang-bayang bahwa hal itu sebentar lagi akan terjadi, kiranya harus membawa suasana penghayatan yang lain bagi ibadat dan syair lagu-lagu lamentasi itu.

Bandung, 03 April 2010
Fransiskus Borgias M.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...