Sunday, April 6, 2008

Sadar Tahun Liturgi: Dari Altar ke Pasar
Oleh: Fransiskus Borgias M (
EFBE@fransisbm)

Beberapa waktu lalu saya sudah mempostingkan sebuah artikel pendek mengenai tema yang sama, "Sadar akan tahun liturgi." Masih dalam rangka "Hidup dari dan berdasarkan kesadarakan akan Tahun Liturgi," di sini saya mencoba melakukan kilas balik dalam riwayat dan pengalaman hidup saya sendiri selama ini. Hasilnya, saya sudah menyadari akan keberadaan tahun liturgi itu sejak masih sangat kecil. Beginilah ceritanya. Saya sudah menjadi ajuda (itulah istilah di tempat saya dulu untuk putera altar atau misdinar) sejak kelas satu SD. Alasannya sederhana dan praktis saja. SD saya dulu terletak di pusat Paroki. Jadi, setiap hari ada misa (tentu kalau Pastor tidak melakukan perjalanan patroli ke stasi-stasi yang jauh). Pada saat itu, saya adalah anak laki-laki tertua dari para guru yang ada di kompleks sekolah di dekat dan di sekitar gereja paroki itu. Anak para guru lain masih kecil-kecil. Maka pastor paroki kami (yang adalah orang dari Hongaria sana), tidak mempunyai pilihan lain, selain mengandalkan saya untuk menjadi misdinar walau saya belum banyak mengerti dan belum menerima komuni pertama lagi. Maka saya pun menjadi misdinar sejak masih sangat kecil.
Dan saya masih ingat dengan sangat baik bahwa keterlibatan dalam liturgi ekaristi (waktu itu masih imam masih membelakangi umat ala pra-konsili Vatikan II, jadi misa ala Trente, tetapi sudah memakai bahasa Indonesia; ya begitulah di pedalaman, padahal waktu itu Vatikan II sudah berlalu tiga tahunan) itulah yang menyebabkan saya mulai tahu dan sadar akan liturgi, dan dalam konteks tulisan singkat ini, akan Tahun liturgi (liturgical year). Pada saat itu saya sudah sadar bahwa dalam liturgi kita ada banyak sekali hal yang istimewa dan sangat bermutu tinggi dan karena itu mampu menjadi sumber ilham untuk hidup harian kita, dari hari ke hari. Saya juga sudah sadar bahwa seluruh perayaan liturgi kita diatur menurut pembagian waktu.
Percikan-percikan pengalaman awal itu semakin dipertajam dan diperdalam lagi ketika, tamat sekolah dasar, saya lulus test masuk ke SMP seminari Pius XII Kisol. Di sana saya semakin sadar bahwa lingkaran tahun liturgi itu adalah sebuah lingkaran yang terus menerus berulang-ulang secara berkala (Tahun A, Tahun B, Tahun C). Saya kira itulah sebabnya disebut lingkaran. Itulah juga sebabnya lingkaran tahun liturgi itu bisa menjadi menjadi semacam sekolah iman, sekolah pendidikan kitab suci, dan sekolah pendidikan tradisi, sebagaimana yang baru-baru ini dikatakan oleh Scott Hahn dalam bukunya itu, Reasons to Believe itu.
Saya merasa program penyadaran akan lingkaran tahun liturgi ini bisa membantu proses awamisasi doa. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa awam tidak berdoa. Saya hanya mau mengatakan bahwa dulu dalam sejarah gereja ada gerakan yang disebut monastisisme. Nah, penyadaran akan lingkaran tahun liturgi ini dimaksudkan untuk melawan gerak monastisasi doa dan terutama kesalehan. Dalam rangka itu saya pun mengajukan pertanyaan kritis: Apa atau mana jalannya? Ya, jalannya tidak lain dan tidak bukan ialah lewat penyadaran terus menerus akan lingkaran tahun liturgi itu. Mengikuti dan menghayati tahun liturgi itu adalah sebuah proses pendidikan iman; mengikuti liturgi menurut dinamika lingkaran tahun liturgi tidak lain merupakan proses pendidikan iman secara berkelanjutan. Dan pendidikan iman saya yakin, akan berdampak juga secara moral dan secara sosial. Maka transformasi kesadaran berliturgis, bagi saya akan berdampak secara moral dan sosial.
Saya tidak termasuk orang yang dengan gampangan menaruh curiga terhadap liturgi, seakan-akan kesibukan kita berliturgi hanya membuat kita sibuk di sekitar altar saja, dan dengan itu kita lalu lupa akan atau cenderung mengabaikan pasar. Menurut pandangan saya hal itu sama sekali tidak seperti itu. Bagi saya, komitmen yang mendalam akan altar, juga akan memanggil kita secara etis untuk terlibat di pasar. Apalagi kalau kita berbicara tentang sakramen Ekaristi. Keterlibatan kita dalam perayaan ekaristi, berarti kita dipanggil untuk menjadi bersaudara, saling mengampuni, berupaya membangun cinta kasih, dan kepekaan akan kehadiran orang lain, dan kepekaan akan keadilan. Bukankah itu semua adalah nilai-nilai yang dibangun di dalam dan melalui perayaan Ekaristi? Dan bukankah itu semua nilai-nilai yang sangat laku dan sangat diafirmasi juga di pasar?
Jadi, dengan kata lain, sudah sangat jelas kiranya bahwa keterlibatan di altar tidak menjauhkan atau mengasingkan kita dari pasar. Malahan menurut saya, semakin kita dekat dan akrab dengan altar, semakin kita pun akrab dan dekat dengan pasar, dan membuat keterlibatan kita di pasar adalah keterlibatan yang khas-unik, justeru karena keterlibatan, diwarnai, dipengaruhi dan dilatarbelakangi oleh aura kesucian altar, oleh percikan-percikan sinyal-sinyal transendensi.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...