Sunday, April 6, 2008

Bapa Ampunilah Mereka….
Oleh: Fransiskus Borgias M (
EFBE@fransisbm)

Dalam untaian renungan masa puasa (pra-paskah) silam, saya tiba-tiba teringat akan salah satu teks yang sangat penting dan terkenal dalam Injil Lukas, yaitu teks yang termuat dalam Luk.23:34. Teks ini saya anggap sangat penting karena ini adalah salah satu dari tujuh ucapan terakhir dari Tuhan Kita Yesus Kristus dari atas salib. Secara tradisional memang ada devosi khusus di kalangan Katolik dan Ortodoks Yunani yang berkembang akan salib dan terutama akan Dia yang tersalibkan itu dan lebih khusus lagi akan ucapan-ucapanNya dari atas salib itu. Ada banyak penulis di bidang teologi, spiritualitas dan hidup rohani yang mencoba menggali arti penting ketujuh ucapan itu. Ketujuh ucapan itu (dikutip menurut urutan dalam Injil) masing-masing adalah: 1) Eli, Eli, lema sabhaktani? (Mat.27:46). 2) Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat (Luk.23:34). 3) Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus (Luk.23:43). 4) Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku (Luk.23:46). 5). Ibu, inilah anakmu. Inilah Ibumu (Yoh.19:26-27). 6) Aku haus (Yoh.19:28). 7) Sudah selesai (Yoh.19:30).
Secara khusus teks Lukas 23:34 ini juga saya anggap sangat penting karena dalam teks inilah juga terkandung salah satu teologi perdamaian dan pendamaian ala Lukas; di sini terkandung semacam pasifisme Lukas. Dalam teks ini Lukas menampilkan Yesus sebagai seorang tokoh yang masih mampu berdoa memohon pengampunan dari Bapa atas orang-orang yang menghukum diriNya. Dan bagi saya hal ini adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Hal ini terasa sangat mencolok karena ucapan ini adalah sebuah warta damai dan warta pengampunan yang terasa sangat paradoksal, justru karena ia diwartakan dari atas salib, artinya dari dalam konteks penderitaan yang mengerikan dan bahkan bayang-bayang ancaman maut. Jadi, dari dalam konteks penderitaan dan bahkan sakratul maut Yesus menebar warta damai dan pengampunan itu. Hal itu terasa sangat berbeda dari refleksi pendamaian yang dikembangkan oleh teolog seperti Robert Schreiter (dalam bukunya Ministry of Reconciliation) itu, yang memberi fokus terutama pada peristiwa paskah. Berbeda dengan tendensi itu, Lukas justeru berangkat dari konteks sengsara dan wafat. Sedangkan Robert Schreiter berangkat dari konteks sukacita kebangkitan walau masih tetap berada dalam bayang-bayang dan kengerian negatifitas sengsara dan maut. Dengan kata lain, Robert Schreiter merefleksikan tema rekonsiliasi dari konteks pasca kebangkitan. Sedangkan Lukas mewartakan hal itu dari konteks pra-kebangkitan, artinya dari konteks sengsara. Itulah segi paradoksalnya.
Hanya perlu segera disadari bahwa teks ini dalam PB-Lukas versi Terjemahan Baru, diberi dalam tanda kurung siku. Artinya, dalam teks yang lebih tua ucapan tadi tidak atau belum ada atau ditemukan. Hal itu berarti, teks ini adalah sebuah sisipan di kemudian hari, atau paling tidak merupakan hasil dari suatu proses dan upaya penulisan kembali, yang menghasilkan semacam penafsiran ulang dan pemahaman baru atas teks yang lama. Dan itu berarti, teks itu adalah hasil refleksi lanjutan dari komunitas Kristiani pasca kebangkitan yang mencoba melihat kembali ke belakang ke pengalaman yang mengerikan itu (negativitas salib), dan akhirnya mereka sampai kepada daya pengampunan dan pendamaian yang membebaskan tetapi justeru dari dalam kerangkeng penderitaan itu sendiri. Proses penulisan kembali atau penulisan ulang itu adalah sesuatu yang serba biasa-biasa saja. Sebab memang seluruh proses seperti ini berada dalam dan sekaligus menghasilkan apa yang oleh Hans Georg Gadamer disebut sebagai lingkaran hermeneutik itu. Terus terang saja, cukup lama saya terkejut dengan Perjanjian Baru Terjemahan Baru (edisi revisi) ini. Saya berusaha mencari penjelasan mengenai hal ini.
Dan saya baru mendapat suatu pencerahan dan jalan keluar ketika saya sedang menerjemahkan sebuah buku terbaru dari Karen Armstrong: Gospel, A Biography. Saya menerjemahkan karya ini atas pesanan dari penerbit Mizan Bandung. Menurut Armstrong, proses seperti ini adalah sesuatu yang sangat biasa pada masa gereja awal (juga termasuk dalam Perjanjian Lama). Sebelum Kitab Suci mencapai proses final dalam bentuk kanonisasi, orang atau satu kelompok jemaat tetap merasa bebas untuk memperlakukan teks menurut kepentingan dan pemahaman mereka. Mereka bebas untuk menambahkan sesuatu ke dalam teks itu, bahkan juga mengurangi sesuatu dari dalam teks itu. Yang jelas ini bukan sebuah salah kutip atau misquoting seperti yang dituduhkan oleh sementara kalangan itu (sebagaimana digembar-gemborkan oleh pengarang buku Misquoting Jesus itu). Melainkan ini adalah sebuah tafsir dinamis dari satu kelompok jemaat tertentu. Ini adalah sebuah tafsir eksistensial dari mereka. Ini adalah proses pengkayaan makna sebagai hasil dari proses distansiasi satu teks tertentu dalam perjalanan sejarah (seperti dikatakan oleh Gadamer dan Ricoeur itu). Ini adalah sebuah pesher exegetis tertentu. Dan hal itu (perubahan-perubahan tadi) sudah mengendap dalam tradisi dan karena itu diakui suci, dan berwibawa juga. Jadi, di sini tidak ada kesesatan. Ini bukanlah kesesatan.
Maka dengan latar belakang ini, saya pun yakin bahwa teks Lukas 23:34 yaang sedang direnungkan di sini adalah hasil refleksi dan tafsir dari jemaat Kristen awal, atas seluruh peristiwa dasar iman mereka, yaitu wafat dan kebangkitan Yesus. Sebab dalam konteks penghayatan imajinatif iman umat, peristiwa dasar (foundational event) itu, tidak lagi sekadar peristiwa telanjang, tanpa makna, melainkan justeru semakin padat, dan dalam maknanya, karena diperkaya dalam proses distansiasi terus menerus. Setelah menyadari itu, saya pun bisa menerima teks ini tetap sebagai teks kitab suci yang sah dan berwibawa walau Perjanjian Baru versi Terjemahan Baru telah memutuskan untuk memasukkan hal itu ke dalam kurung siku.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...