Showing posts with label nostalgia. Show all posts
Showing posts with label nostalgia. Show all posts

Saturday, July 27, 2019

DISELAMATKAN RENHA ROSARY

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR, Bandung. Anggota LBI dan ISBI.


Tahun 2000 saya belajar teologi sistematik interkultural pada Fakultas Teologi Katholieke Universiteit Nijmegen, Netherlands. Tahun 2001 seorang imam muda dari kongregasi SSCC, juga ikut belajar teologi pada fakultas yang sama. Kami tinggal sama-sama di sebuah kolese yang disebut Nijmegen College yang terletak di Heemraadstraat 6, Brakenstein, Nijmegen. Pastor muda itu tidak lain adalah Romo Fransiskus Dedi Riberu SSCC. Kami semua biasa memanggilnya Romo Dedi Riberu. Beberapa tahun sebelum ia ditahbiskan menjadi imam, ia adalah salah satu mahasiswa saya pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Tetapi di Nijmegen, kami sama-sama berstatus sebagai mahasiswa S2. Pada saat itulah, apalagi kami tinggal pada Dormitory yang sama, maka kami sering ngobrol bersama-sama. Dan kami mengobrolkan tentang bermacam-macam hal.

Pada suatu hari kami ngobrol tentang kampung halaman kami masing-masing. Kebetulan kami berasal dari Pulau Flores. Hanya saya berasal dari Manggarai, yang terletak di ujung barat, sedangkan Romo Dedi berasal dari Flores Timur, persisnya dari Kota Larantuka, yang terletak di ujung timur. Nah saya ingat, pada saat itulah ia mulai menceritakan tentang kampung kecilnya di tepi laut yang terletak di kota Larantuka. Kota itu sendiri terletak di kaki sebuah gunung api purba, Illemandiri. Entah mengapa, cerita kami kemudian berfokus pada bencana alam banjir bandang yang terjadi pada tahun 1979 yang menimpa kota Larantuka. Peristiwa itu sendiri akhirnya dikenal dengan sebutan tragedi 27 Februari 1979. “Dua tujuh malam Rabu, Februari bulan itu. Tujuh sembilan yang kelabu, tak dapat kulupakan.” Begitulah kira-kira awal syair sebuah lagu pop yang pada masa itu mencoba mengisahkan peristiwa itu dalam sebuah syair lagu yang indah.

Rupanya peristiwa itu sangat berbekas dalam ingatan Romo Dedi, karena pada saat ia menceritakannya saya bahkan bisa merasakan bahwa memang dia sangat tersentuh. Tampak seperti ada sesuatu yang ia ingat dari peristiwa itu, sebab ia sangat emosional saat ia mengisahkannya kembali kepada saya. Sangat terasa bahwa ia tidak hanya mengisahkan kembali sebuah kisah di masa silam, melainkan seperti sedang menghadirkan lagi sekarang dan di sini sebuah trauma, sebuah tragedi. Entahlah mengapa. Pada tahap ini saya belum bisa memahami mengapa ia tampak seperti begitu terhanyut dalam alur ceritanya.

Saya sendiri pada waktu peristiwa itu terjadi sedang duduk di bangku kelas 1 SMA pada Seminari Pius XII Kisol. Peristiwa itu terjadi cukup jauh dari tempat kami. Hanya yang jelas bahwa peristiwa itu terjadi pada masa musim hujan, alias dureng (bahasa Manggarai), yaitu hujan yang berkepanjangan pada akhir bulan Februari.

Lalu Romo Dedi bertanya kepada saya: “Apa yang bapa tahu dan ingat tentang peristiwa itu?” Sejenak saya berpikir: “Saya hanya ingat cerita beberapa guru kami tentang kota Larantuka yang luluh lantak karena diterjang banjir bandang yang mahadahsyat.” Kemudian saya tambahkan: “Saya juga tahu beberapa hal dari laporan majalah HIDUP dan DIAN tentang kejadian yang mengerikan itu.”

Saat saya menyinggung nama kedua Majalah itu, khususnya menyinggung nama majalah HIDUP, Romo Dedi pun bertanya lebih lanjut kepada saya: “Apakah bapa baca juga di HIDUP tentang dua anak kecil yang ditemukan dalam keadaan selamat sedang terapung-apung jauh dari pantai di atas sebuah kasur?” Sekilas saya mencoba mengingat detail berita di HIDUP itu dulu, sebab sudah berlalu sangat lama, 1979 dan 2000. Dan samar-samar saya mengingatnya juga: “Ya, saya ingat. Dua anak kecil. Adik dan kakak. Selamat oleh Kasur. Katanya juga ada penampakan sosok perempuan penyelamat yang menyelamatkan mereka di atas kasur itu.”

Saat saya sudah selesai mengemukakan sepenggal ingatan saya itu, Romo Dedi pun dengan cepat mengatakan: “Bapa, mungkin bapa tidak percaya ya.” Kemudian Romo Dedi terdiam sejenak. “Anak itu tidak lain adalah saya dan adik saya.” Mendengar pengakuan itu saya sontak terkejut dan mundur dari kursi dan meja tempat kami duduk. Hal itu terjadi karena saya merasa sedang berhadapan langsung dengan sebuah peristiwa mukjizat, yang memang sudah terjadi di masa silam, tetapi si subjek pengalaman itu, saat ini ada di depan mata saya, berhadapan langsung dengan saya, dan sedang bercerita kepada saya tentang hal itu. Saya merasa sedang berhadapan langsung dengan sebuah peristiwa mukjizat. Betapa tidak, di tengah banjir bandang yang menerjang di malam hari itu, konon dengan bunyi gemuruh yang sangat dahsyat dan mencengkam, ada dua anak kecil yang selamat di atas sebuah sekoci berupa kasur, yang dijaga seorang perempuan. Melihat reaksi saya seperti itu, Romo Dedi bertanya: “Mengapa Bapa begitu?” “Ya karena saya berhadapan dengan sebuah legenda hidup.” Terdiam sejenak. “Ya, ini sungguh-sungguh mengagumkan. Saya sangat terharu karena saya seperti sedang berhadapan langsung dengan sebuah bukti mukjizat.

Kemudian dengan nada haru dan penuh keyakinan, romo Dedi mengatakan kepada saya bahwa “Sosok Perempuan Penolong itu tidak lain adalah Bunda Maria, Renha Rosary.” Saya tidak bisa dan juga tidak mau menyanggahnya. Jelas itu adalah sebuah mukjizat. Sebuah kejadian ajaib. Dan berkat aksi drama penyelamatan itu, kedua anak itu pun selamat. Kakaknya, yaitu romo Dedi, sudah menjadi imam dari kongregasi SSCC. Dan ternyata anak yang satu lagi adalah adik perempuan Romo Dedi. Dan pada saat kami bercerita di Nijmegen, sang adik sedang menempuh pendidikan rohani untuk menjadi seorang biarawati. Kalau tidak salah saat itu ia mau menjadi seorang biarawati di Ordo para Dominikan.

Peristiwa itu konon sontak mengagetkan seluruh kota Larantuka. Mereka, setidaknya yang beragama Katolik, sudah lama yakin dan percaya bahwa kota mereka memiliki seorang pelindung, yaitu Bunda Maria, Ratu Rosari, atau yang lebih dikenal di sana dalam versi bahasa Portugis, Renha Rosari. Saya sangat yakin, juga berdasarkan kesaksian dari romo Dedi sendiri, peristiwa itu semakin memperkuat kepercayaan dan keyakinan mereka, apalagi ada sebuah Kapela yang memang dibaktikan kepada sang Bunda Ratu Rosari yang, secara sangat ajaib selamat dari terjangan banjir bandang tersebut. Secara alamiah seharusnya kapela itu ikut ambruk dan terhanyut. Tetapi tidak sama sekali. Ia tetap tegak berdiri di sana hingga sekarang. Diam-diam dalam hati saya berkata bahwa malam itu, sejenak sang Bunda meninggalkan Kapelanya dan menunjukkan aksinya sebagai bukti bahwa ia memang menjadi pelindung warga dan kota Larantuka, sebab ia bertindak menyelamatkan yang kecil, hina-dina, dan tidak berdaya sama sekali. Luar biasa. Trima kasih banyak Romo Dedi, atas sharing ingatan yang sangat mengagumkan dan meneguhkan itu.

Oh ya, Romo Dedi sendiri sekarang, menjadi pastor Paroki di Paroki Santo Gabriel, Sumber Sari Bandung. Ia menjadi pastor paroki setelah sekian lama ia mengabdi di rumah formasi SSCC, baik di Bandung, maupun di Yogya, bahkan sampai ke Hawaii dan California, Amerika Serikat. Dan sang adik sendiri, kemudian meninggalkan biara dan menjadi awam dan hidup berkeluarga dan tinggal di kota asalnya, Larantuka.

(Cerita ini saya muat di Blog saya setelah beberapa malam lalu saya menceriterakannya di hadapan Pa Rafael dan Pa Vian di Restoran Pandan Wangi, Jalan Terusan Pasteur, Bandung).

Monday, February 18, 2019

MATI RAGA KUAT

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA



Sebelum memasuki masa novisiat saya hanya satu kali bertemu Pater Cletus. Hal itu terjadi di Biara Rivotorto Karot, Ruteng, Manggarai, Flores, NTT. Saat itu ia berada di Manggarai. Saya tidak tahu ia ke sana untuk apa. Biasanya memberi ret-ret kepada kelompok biarawan ataupun para imam di sana. Karena itu saya tidak begitu tahu banyak cara hidup beliau sehari-hari. Pada waktu itu saya sudah mengenal nama dan muka beliau karena ia sering menulis di majalah bulanan Rohani tentang banyak topik yang menarik dan menantang pembaca. Saya sudah membaca dia sejak masih di Seminari Kecil dan Seminari Menengah di Kisol, Manggarai Timur.

Pada waktu saya masuk novisiat di Papringan, Yogyakarta, saya baru melihat cara hidup Pater Cletus secara lebih dekat. Ternyata ia adalah orang dengan praksis hidup mati raga yang kuat dan berdisiplin. Pada pagi hari ia hanya makan satu tangkap roti, sebutir telor, satu tomat (kalau ada), segelas kopi hitam. Semula saya heran dan bertanya-tanya, kok Pater bisa bertahan sampai jam makan siang. Sebagai makan siang, yang saya lihat waktu itu ia hanya mengambil nasi paling banyak hanya tiga sendok makan. Begitu juga makan malam. Di kamarnya tidak ada snack. Hal itu bisa saya pastikan. Pada jaman kami dulu tidak/belum ada jam snack, pagi maupun sore (biasanya di tempat lain, jam 10 dan 16 sore). Saat itu dulu, sehari-hari tidak ada snack atau makanan ekstra. Kecuali pada hari-hari rekreasi. Saat itulah ada snack. Ia juga bermati raga dalam hal cara berpakaian. Setiap hari ia hanya memakai jubah. Di kamarnya tidak ada lemari pakaian. Hanya rak-rak buku. Ia mencuci sendiri jubahnya. Ia menjemur jubahnya di kusen jendela kamarnya. Begitu juga celana dalamnya. Pokoknya sangat sederhana.

Tetapi terkait dengan hal ini ada satu yang sangat menarik perhatian saya. Yaitu, walaupun dia sendiri ketat sekali dalam hal mati raga terutama soal makan, namun ia tidak pernah menuntut standar yang sama dari para saudara lain, terutama dari biarawan-biarawan yang masih muda-muda. Misalnya, ia tidak pernah menuntut orang lain dengan cara menyindir-nyindir orang lain agar mati raga seperti dirinya. Ia hanya menerapkan standar yang ketat itu bagi dirinya sendiri. Saat makan juga ia lebih banyak berdiam diri. Tidak banyak omong. Lebih banyak ia memandang keluar kamar makan, memperhatikan perilaku ayam dan burung-burung di pohon rambutan. Ia hanya akan berbicara kalau ada saudara yang bertanya atau mengajak dia berbicara. Itupun akan dijawab kalau ia merasa hal itu penting dan menarik. Kalau tidak ia hanya akan mengangkat bahu atau sekadar mengernyitkan alis matanya. Ia matiraga juga dalam soal bicara. Silentium magnum et strictum.

Lama sekali saya baru bisa memahami praksis diam ini. Pada tahun 1986, dalam sebuah ceramah para putera-puteri Fransiskus Asisi di biara Suster-suster Fransiskanes Palembang di Klepu, ia berbicara tentang saudara Egidius, salah seorang saudara dina di awal sejarah pergerakan Fransiskan. Menurut ceramah itu, konon bruder Egidius ini sering mengulang-ulang kalimat yang menjadi judul ceramah pater Cletus. Konon bruder Egidius mengatakan: “Bobobo, multo dico pocco vo.” Kira-kira begitulah bunyinya. Konon artinya ialah: Waduh, banyak bicara, tetapi sedikit berbuat atau bekerja. Bruder Egidius, dengan kalimat itu, mau menyindir para saudara yang menyembunyikan kemalasan dengan selubung banyak omong. Banyak omong dipakai sebagai pemaaf untuk kemalasan. Padahal banyak omong bisa membawa potensi berbohong juga. Walaupun tidak disangkal bahwa di dalam banyak bicara bisa terjadi proses penyingkapan dan penyataan makna. Tetapi yang paling banyak terjadi ialah hanya semacam usaha tipu-tipu, yakni omong banyak untuk menipu orang lain, menutupi kemalasan. Tentu ini jahat. Rupanya Pater Cletus mau menghindarkan hal seperti itu. Ia lebih banyak diam agar hati dan pikirannya terarah ke atas. Wow. Luar biasa.


Taman Kopo Indah, Februari 2019.

Sunday, February 17, 2019

SANG PEROKOK BERAT

Oleh: Fransiskus Borgias M.



Pater Groenen adalah perokok berat. Ia bagaikan kereta api batubara. Tiada saat tanpa ngepul asap. Selalu ngepul, kecuali saat doa, makan, dan tidur. Di luar itu ia selalu ngepul. Ngajar di depan mahasiswa pun ia ngelinting rokok dan ngepul.

Tentang hal ini ada beberapa cerita kenangan lucu dan kesaksian. Ada yang dikisahkan orang lain. Ada yang saya tahu sendiri. Yang saya tahu sendiri ialah beberapa cerita berikut ini.

Pertama, misalnya, karena ia perokok berat maka jubahnya banyak lubang kecil bekas api rokok yang jatuh. Terkesan seperti ventilasi pada jubah hitam itu. Kebanyakan di daerah bawah perut bagian depan tengah. Saya baru tahu mengapa begitu dan di situ. Ternyata karena saat ia baca buku di kamarnya, ia duduk bersila di atas kursi. Saya tahu ini karena saya melihatnya saat ke kamarnya untuk bimbingan rohani dan konsultasi beberapa masalah teologi. Saat baca buku dengan gaya duduk seperti itu, tentu ada percikan tembakau bernyala jatuh di atas jubahnya yang tidak ia sadari.

Kedua, saya tahu dari beberapa teman yang menceritakan pengalaman seorang bruder Papua, Bruder Yosef Tebai ofm. Konon awal tahun 80-an, Pater Cletus sakit. Untuk itu ia harus dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih. Karena sakit maka dia tidak boleh merokok. Tetapi saat itu, orang lain yang berkunjung atau berjaga boleh merokok dalam kompleks Rumah Sakit bahkan dalam kamar. Sekarang hal itu dilarang keras. Memang harus begitu. Saya dukung. Karena itu, Pater Cletus merasa senang kalau ia dijaga Bruder Yosef Tebai. Bahkan kalau bisa Bruder itulah yang menjaga dia. Mengapa? Inilah yang lucu. Kalau bruder itu menunggui dia, maka ia akan meminta Bruder itu untuk ngelinting rokok dan dinyalakan. Lalu nanti dialah yang isap rokok itu. Tetapi begitu ada suster atau bruder perawat atau dokter jaga yang datang ke kamar dia, maka cepat-cepat dia serahkan rokok itu kepada Bruder. Dan bruder Yosef pun berlagak seakan-akan dialah yang rokok, dan bukan pater Cletus. Kalau mereka sudah pergi maka ia akan meminta kembali rokok tadi dan tentu bruder Yosef menyerahkan rokok tersebut. Pantasan batuknya sangat keras dan tampak sangat parah.

Ketiga, ini adalah sesuatu yang saya tahu dan alami sendiri. Kalau ia memimpin ekaristi di kapel biara, saat ia mengucapkan salam pembuka “Tuhan sertamu” itu, saat mana imam biasanya merentangkan tangannya, maka tampak jelas bahwa jempolnya dijepit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Kedua tangannya, kiri dan kanan, dua-duanya begitu. Mungkin itu adalah karena efek dari status sebagai perokok berat, sehingga jari telunjuk dan jari tengah selalu diganjal batang rokok. Tetapi saat perayaan ekaristi, batang tokok itu tidak ada. Saya bayangkan betapa saat-saat seperti itu sangat rawan bagi dia. Karena batang rokok tidak ada di tangan, maka terpaksa batang rokok itu digantikan dengan jempolnya sendiri yang dalam hal ini berfungsi sebagai semacam rokok lintingan. Mungkin bagi dia hal itu tidak menjadi masalah. Tetapi bagi para frater yang adalah orang Indonesia, hal itu menjadi sebuah masalah serius dan lucu.

Akhirnya, masih tentang kebiasaan dia ini, saya juga mendapat cerita dari anggota LBI tahun 70-an sampai 80an akhir. Konon tidak segan-segan ia meminta rapat rutin LBI dihentikan sejenak, agar dia bisa mengisap rokok. Saat istirahat itulah dia merokok. Mungkin karena biasanya mereka merokok dalam ruangan tertutup. Mungkin juga karena ada peserta pertemuan yang tidak merokok. Karena itu, maka peraturan rokok diberlakukan dengan ketat. Sangatlah tepat jika kita juluki dia sebagai ahli Taurat (karena dia adalah seorang ahli Kitab Suci), juga bisa dijuluki imam Bait Allah (karena ia selalu menghaturkan kurban bakaran, kurban asap, kurban dupa, asap yang keluar menyembul dari rokoknya).


Kopo, Februari 2019.

Saturday, February 16, 2019

SELALU BERJUBAH HITAM

Oleh: Fransiskus Borgias M.



Salah satu ciri khas pater Cletus Groenen ialah bahwa ia selalu mengenakan jubah kerahibannya. Tidak pernah ia tampil tanpa jubah di ruang publik. Ia benar-benar sosok seorang rahib atau biarawan sejati yang patut dijadikan teladan bagi gereja. Pater Cletus tidak pernah terlibat tanpa jubah di muka umum. Ia selalu berjubah. Itulah jubah hitam kekhasan dan kesayangannya. Memang ia benar-benar orang yang hidupnya sangat sederhana. Bahkan juga terkesan apa adanya. Orangnya dan cara hidupnya sungguh sederhana. Einfach Leben wie Franziskuz, kata sebuah tulisan di dada Kaus oblong yang banyak dikenakan para Fransiskan akhir tahun 70an dan awal 80an. Walaupun di atas tadi, sudah dikatakan bahwa ia selalu berjubah, namun demikian saya juga pernah melihat dia mengenakan pakaian sipil biasa. Hal itu pernah saya saksikan satu kali saat saya masih berada di tahun novisiat di Bitora Jl.Legi 7, Papringan Yogyakarta. Bitora itu sendiri adalah singkatan dari Biara Santo Bonaventura. Konon singkatan itu lahir sebagai bandingan Kolsani, markas para Yesuit di Kota Baru (Kolese Santo Ignatius).

Selain pada masa novisiat, masih beberapa kali juga saya melihatnya saat saya menjalani tahun sebagai mahasiswa teologi di tempat yang sama (tahun 1986-1989). Hal yang amat menarik ialah, ternyata setelah kami amati, hal itu terjadi pada hari yang sama, yaitu saat ia merayakan hari ulang tahun. Pada hari yang sangat istimewa itu, pater Groenen (begitu ia dikenal oleh umat dan mahasiswanya) tampak mengenakan busana sipil. Bajunya biasanya kemeja lengan panjang, berwarna biru sangat muda (cenderung ke arah putih kalau di bawah sorot lampu malam). Baju itu dipadu dengan celana panjang dari bahan kain berwarna hitam. Tampak tersetrika halus dan rapih. Pada kesempatan mengenakan busana seperti itu, ia tampak sangat ramping. Biasanya lengan bajunya tidak digulung. Bajunya dimasukkan ke dalam celana dengan ikat pinggang. Jangan-jangan itu juga sebuah pinjaman, karena sehari-hari ikat pinggang itu tidak ada (tidak kelihatan) di kamarnya. Diam-diam kami para frater berbisik-bisik: Waduh, ternyata ganteng juga pater Cletus kalau ia mengenakan busana sipil. Bentuk badannya langsing dan tinggi.

Seperti sudah dikatakan tadi, ia mengenakan pakaian sipil itu saat ia merayakan hari ulang tahun. Saat itu akan datang sebuah mobil, semacam Carry ataupun Combi. Biasanya mobil itu tiba di biara pukul setengah tujuh malam, pas sebelum jam makam malam tiba. Kami juga sudah hafal mobil itu. Itu mobil dari Kolsani, milik para romo Yesuit. Sebab OFM di Papringan saat itu tidak ada apa-apa. Telepon tidak ada, televisi juga tidak ada, apalagi sebangsa mobil (karena mobil itu barang istimewa, kira-kira semewah seperti kuda pada jaman Fransiskus Asisi dulu, sehingga ia melarang para saudara untuk naik barang mewah tersebut). Yang ada di Papringan hanya sepeda dan motor. Motor untuk para romo dan yang sudah kaul kekal. Untuk para frater hanya tersedia sepeda saja.

Ternyata sopir dalam mobil yang datang itu tidak main-main juga. Dia adalah Pater Dr.Bernhard Kiesser SJ. Dia juga adalah dosen kami di Seminari Tinggi Kentungan Yogyakarta. Ia mengajar teologi Moral di Kentungan. Konon pater Kiesser ini, begitu ia dipanggil oleh umat dan para mahasiswa, adalah mahasiswa kesayangan pater Cletus sejak pater Kiesser masih belajar teologi di Kentungan. Hubungan itu tidak pernah berhenti. Dan hanya pater Kiesser sajalah yang bisa mengajak pater Cletus untuk makan keluar di restoran. Hanya pater Kiesser saja yang bisa meminta pater Cletus untuk mengenakan busana sipil. Sejauh saya tahu, pater minister propinsi OFM sekalipun saat itu tidak ada yang bisa meminta pater Cletus untuk mengenakan busana sipil. Hanya pater Kiesser yang bisa melakukan hal itu. Luar biasa. Itu karena ada sebuah hubungan yang sangat baik dan istimewa antara guru (yang Fransiskan) dan murid (yang Yesuit).

Bandung, Februari 2019

Saturday, February 9, 2019

MAMAKU KATHARINA

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA.



Mama Katharina adalah nama mamaku. Nama lengkapnya ialah Katharina Bubur. Katharina adalah nama baptisnya (nama permandian, atau ngasang cebong dalam bahasa Manggarai). Sedangkan Bubur adalah namanya yang sebenarnya sebagai orang Manggarai. Dalam bahasa Manggarai nama belakang itu biasanya disebut “ngasang tu’ung” (terjemahannya, nama yang sebenarnya; tetapi itu bukan berarti bahwa nama baptis itu bukan nama yang sebenarnya. Itu juga nama yang sebenarnya. Itu sebuah persoalan rumit yang tidak akan bisa dibahas tuntas dalam tulisan singkat ini). Walaupun namanya Bubur, tetapi anehnya, dan ini sangat menarik perhatian saya sejak kecil dulu, ia mempunyai nama kecil (ngasang koe, alit) Buet. Nama kecil Buet ini, atau alonim dalam bahasa antropologi budayanya, rupanya dibuat berdasarkan sebuah nama yang terdaftar saat ia masuk sekolah dasar di SDK Waemata. Konon pada saat itu ia terdaftar (atau lebih baik didaftarkan) sebagai Bubut. Dari nama Bubut inilah muncul alonim (ngasang koe) Buet. Dan nama Buet inilah yang akhirnya kami hafal dan sangat ingat melekat dalam kalbu kami anak-anak dan juga para cucunya.

Tetapi dulu pada waktu saya masih di SD, saya pernah dilanda rasa malu karena nama ibuku adalah Bubur. Memang dalam bahasa Manggarai, kata bubur itu sepertinya tidak ada artinya. Tetapi dalam bahasa Indonesia, Bubur itu artinya ya bubur. Seperti dalam kata pepatah itu: nasi sudah jadi bubur. Dan bubur dalam bahasa Manggarai adalah lebo. Terkadang saya sedikit menyesali mengapa kakek dan nenek saya memilih nama Bubur untuk puteri tunggal mereka yang cantik itu. Saya tidak habis pikir mengapa mereka memilih nama itu untuk anak perempuan mereka satu-satunya (bahkan anak satu-satunya juga).

Sampai tiba pada suatu saat. Saya menyebutnya, saat perwahyuan. Entah bagaimana dalam sebuah pembicaraan di rumah kami di Ketang. Pada suatu sore hari ema tu’a Lando (ema Alung, kami tidak tahu namanya, tetapi Alung adalah nama isterinya, ende-tua Alung) datang berkunjung ke rumah. Biasanya kalau dia datang bertamu (lejong) kami ngobrol macam-macam hal. Sampai pada suatu saat kami berbicara tentang nama orang-orang Manggarai. Pada kesempatan itulah saya sempat melontarkan rasa tidak senang saya pada kakek dan nenek saya di Wol karena mereka sudah memberi nama Bubur kepada ibu saya. Ema tu’a Lando itu kemudian menatap saya dengan sangat serius. Ia lalu mengatakan bahwa tidak seharusnya kamu memiliki perasaan seperti itu kepada kedua kakek dan nenekmu di Wol. Dengan sedikit rasa kesal saya merajuk dan merengek untuk meyakinkan ema tu’a Alung mengenai sikap dan pendapat saya tadi. Saya mengatakan kepada dia bahwa saya kesal karena mereka telah memberi nama Bubur kepada ibuku. Dan teman-temanku, diam-diam menjadikan nama ibuku sebagai bahan olokan walaupun mereka tidak berani terang-terangan karena takut dimarahi ayahku yang adalah seorang guru sekolah dasar.

Tetapi sebagai anak kecil saya dapat merasakan bahwa mereka suka tertawa bila menyebut nama mamaku. Mendengar curahan hatiku itu, ema tua lando pun memulai pengajarannya. “Nana Frans, kamu tahu apa artinya bubur dalam bahasa Manggarai?” Tentu saya menggeleng. Lalu ia mengatakan: “Bubur itu mempunyai akar kata bur. Dan bur itu artinya matahari terbit, bur leso.” Saya mengatakan bahwa yang saya ketahui ialah par leso. Ema tua Lando mengatakan, bahwa par leso dan bur leso itu sama. Tetapi saya membantah lagi: “Itukan bur, bukan bubur.” Lalu ema tua lando mengatakan bahwa bu-bur itu adalah tahap yang sedikit lebih awal dari bur atau par itu. Kalau par dan bur itu artinya kita sudah melihat berkas-berkas sinar mentari pagi, maka bu-bur itu barulah percikan-percikan awal.

Saya kagum mendengar hal itu. Ia melanjutkan dengan penjelasan yang membuat saya semakin kagum. Mungkin saja kakek dan nenekmu dulu sangat mengharapkan kelahiran anak. Begitu anak itu lahir, ia bagaikan matahari yang terbit, bur, bu-bur, di tengah keluarga. Dengan yakin ema tu’a Lando mengatakan: “Saya sangat yakin bahwa ia adalah anak yang sangat dinantikan. Maka tidak mengherankan bahwa saat anak itu lahir, mereka tidak segan menyamakannya dengan matahari terbit, bur leso, bahkan tahap lebih dini dari bur leso itu, bu-bur leso.” Saya kagum mendengar penjelasan itu. Saya mendapat pengetahuan baru.

Sejak saat itu, saya tidak lagi merasa malu memiliki nama ibu Bubur. Sebab walaupun nama itu dalam bahasa Indonesia ia mempunyai arti yang lain sama sekali, tetapi dalam bahasa Manggarai, ia mempunyai arti yang sangat istimewa karena dikaitkan dengan proses terbitnya cahaya mentari pagi yang membawa sinar terang untuk segala makhluk hidup di bumi. Setelah mendengar penjelasan itu, saya lalu membayangkan betapa bahagianya kakek dan nenek dulu saat anak wanita mereka (ya anak mereka satu-satunya) terlahir ke dunia ini. Saya bisa memahami mengapa mereka menamainya dengan merujuk ke peristiwa agung-kosmis, terbitnya mentari pagi.

Jauh di kemudian hari, setelah saya semakin banyak belajar dan membaca di seminari, saya akhirnya tahu bahwa fase-fase awal sebelum matahari terbit dalam bahasa Latin disebut aurora. Maka terkadang saya menyebut nama mamaku, Katharina Aurora (Latin) alis Bubur (dalam bahasa Manggarai). Betapa cantiknya nama Bubur itu, sebab Bubur itu adalah Aurora, saat detik-detik awal sang mentari dibayangkan terbang ke atas dari balik bumi dan sebelum ia benar-benar tampak terbit di timur percik-percik cahayanya (aurora) sudah tiba duluan. Percik-percik cahaya yang tiba duluan itulah yang disebut aurora atau bubur dalam bahasa Manggarai. Jadi, mama Katharina adalah sang cahaya mentari dalam hidup keluarga kakek dan nenekku dan tentu saja dalam hidup kami anak-anak semuanya. Sebab dari sang Aurora, sang Bubur itu terlahirlah kami anak bersebelas, dengan komposisi enam perempuan dan lima laki-laki. Sungguh mengagumkan dan menyenangkan membayangkan semuanya itu. Saya bayangkan mama Buet tersenyum membaca ungkapan hati anaknya ini. Terima kasih mama. Engkaulah cahaya matahari dalam hidup kami semua.

Thursday, January 24, 2019

MAKAN JAGUNG MUDA MAMAKU

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA.


Setiap bulan Januari datang, entah mengapa, saya selalu teringat akan mamaku tercinta, mama Katharina. Mungkin karena bulan Januari adalah bulan yang penuh hujan. Dan hujan selalu memunculkan rasa melankoli dalam hati sanubari. Khususnya saya tiba-tiba teringat akan masa kecilku di SDK Lamba-Ketang. Pada tahun 1974 saya duduk di kelas VI SDK Lamba-Ketang itu.

Pada awal tahun itu, guru kelas kami di kelas VI, bapak Pit Darut (almarhum), sudah memberi pengumuman kepada kami tentang siapa yang berminat untuk ikut testing masuk Seminari Kisol. Begitu mendengar nama Seminari Kisol, hati saya pun mulai berbunga-bunga. Sudah cukup lama saya ingin sekali masuk Seminari itu. Rasa tertarik itu lebih disebabkan oleh sebuah daya pesona, entah apa, dari beberapa siswa seminaris yang berasal dari sekolah kami itu. Setiap kali mereka pulang libur, mereka tampak lain, entah apa. Saya juga tidak tahu. Saya sebut saja nama-nama seperti, almarhum Pius Wans Mahdi. Ada juga Yohanes Bong. Ada juga almarhum Markus Hambut. Kemudian ada juga Norbertus Nempung, dan Dr.Philipus Ngorang. Itulah beberapa kakak kelas saya yang sudah lulus masuk ke Seminari Kisol. Entah mengapa, saya selalu merasa sangat tertarik dengan penampilan dan kepribadian mereka. Ada suatu aura lain yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Oleh karena itu, saat ada pengumuman itu, saya langsung menyatakan ingin ikut dalam testing seminari itu. Dari kelas kami ada empat orang yang mendaftar: Saya sendiri, Barnabas Selasa, Romanus Pas, dan Stanislaus Peluru (almarhum). Semuanya laki-laki. Maklum sekolah itu hanya untuk laki-laki. Dalam hati kecil saat itu saya sudah bertanya: mengapa tidak ada seminari untuk perempuan? Sudahlah. Itu persoalan lain. Dari empat nama tadi, kemudian ada dua orang yang tidak jadi ikut yaitu Barnabas Selasa dan Stanislaus Peluru.

Testing itu sendiri dijalankan di kota Ruteng dengan mengambil tempat di Sekolah Dasar Ruteng V. Singkat cerita, pada bulan November sudah ada kepastian bahwa saya lulus testing dan diterima masuk ke Seminari Kisol. Temanku Romanus Pas tidak lulus. Saya menjadi sedih karenanya, sebab dengan itu berarti saya sendirian dari SDK Lamba-Ketang. Tidak apa-apa. Ayah dan ibu saya sangat mendukung rencana saya untuk masuk ke seminari. Kakak sulung saya juga, kakak Sin Saina, yang saat itu sudah duduk di kelas 1 SKKP Ruteng juga ikut mendukung. Begitu juga dengan adik Maksimus yang langsung di bawah saya. Ia juga ikut mendukung dan ikut senang. Adik-adik yang lain masih kecil. Saya sangat senang dan bangga karena hal itu.

Lalu liburan Desember sudah tiba. Jagung-jagung di kebun kami sudah lumayan tua. Tetapi ayah kami mempunyai kebiasaan yang ketat yaitu tidak boleh memetik jagung sebelum masa panen tiba. Masa panen itu artinya, semua jagung dalam kebun sudah tua semuanya dan sudah cukup untuk dipetik dan disimpan dalam jangka panjang sebagai persiapan menghadapi musim kering pada tahun berikutnya. Dan tidak ada seorang anak pun yang berani melanggar ketetapan dan peraturan itu. Sebab juga tidak mungkin untuk melanggar. Sebab kalau jagung itu dipetik, lalu akan dibakar di mana?

Tetapi beberapa kali selama masa liburan Natal mama biasanya mengambil beberapa jagung yang sudah cukup matang usianya untuk dimakan bersama-sama. Kalau mama yang mengambil maka papa biasanya tidak marah. Biasanya jagung itu baru bisa ditanam di akhir bulan Oktober. Jarang sekali terjadi jagung itu bisa ditanam pada bulan September. Umumnya pada akhir bulan Oktober. Dan usia jagung itu kira-kira tiga bulan lebih. Artinya, panen raya baru bisa dilakukan pada akhir bulan Januari. Itulah masa giok latung. Seluruh jagung di kebun ditebang dan buah jagungnya diambil dan dikumpulkan di rumah. Pada malam hari, para sanak saudara dan kenalan akan datang untuk putu latung dan dibuat dalam satuan deleng. Masing-masing deleng terdiri atas 12 tongkol jagung. Enam sebelah, enam sebelah. Setelah di-deleng, lalu jagung itu ditumpuk dalam satuan limbu. Satu tumpukan limbu terdiri atas duapuluh empat deleng ataupun gampo.

Itu adalah masa-masa yang paling indah di masa kecil kami. Kami makan jagung muda. Baik yang dibakar, maupun yang direbus, dan di-tunu (dibakar dengan kulitnya sekalian). Semuanya terasa manis dan nikmat.

Pada akhir tahun 1974 itu saya sudah menghitung bahwa saya tidak akan mendapat kesempatan untuk menikmati jagung muda itu. Sebab pada bulan Januari tanggal 15 kami sudah harus berada di Kisol untuk masuk asrama seminari. Itu artinya, saya tidak akan mendapat kesempatan menikmati jagung muda itu. Sebab panen raya baru bisa dilakukan di atas tanggal 20 atau 25 Januari. Saya merasa sedih sekali membayangkan hal itu. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya tidak mendapat kesempatan langka untuk menikmati jagung muda itu. Sedih sekali rasanya. Rasanya seperti mau menangis. Tetapi tidak boleh menangis, sebab itu sudah menjadi pilihan sendiri. Harus berani melangkah terus.

Ternyata ibu saya sudah mempunyai perhitungan sendiri. Di sebuah sudut kebun kami di Ketang ibu sudah menanam satu petak jagung khusus yang usianya tidak sampai tiga bulan lebih. Pokoknya, dua setengah bulan lebih sudah bisa dipanen. Benih jagung itu tidak mudah didapat. Tetapi mama berusaha mendapatkannya pada musim tanam tahun 1974 itu. Bapa tidak tahu akan hal itu.

Kira-kira satu minggu sebelum tiba giliran saya untuk berangkat ke seminari, kami bisa makan jagung dengan puas. Mama sudah memanen jagung yang sudah dipersiapkannya sendiri agar saya bisa memakan jagung itu walau panen raya belum tiba. Saya sangat terkejut. Tetapi sekaligus juga merasa senang karenanya. Malam menjelang besoknya saya berangkat ke Ruteng untuk menuju Kisol, mama menceritakan kepada saya rahasia yang ia lakukan.

Pada pertengahan bulan Oktober ia sudah meminta benih jagung dari seorang ende tua di Lando. Jenis jagung yang usianya tidak lama. Mama memperlakukan benih jagung itu secara khusus dalam semacam ritual wuat wini. Ketika musim tanam tiba, ia mengatakan kepada benih-benih itu agar mereka bisa bertumbuh cepat dan juga cepat berbuah dan menjadi matang karena anakku yang laki-laki akan segera pergi ke tempat yang jauh dan mungkin tidak akan sempat menikmati ritual makan jagung bersama-sama pada saat panen raya. Dengan doa ritual wuat wini seperti itu, mama Kathie pun menanam jagungnya. Itu sebabnya, sebelum akhir Januari (saat masa panen raya tiba), kami sudah bisa memakan jagung yang sudah matang duluan karena sudah diantisipasi oleh mama dengan cara yang khusus seperti itu.

Dalam kilas balik, saya juga ingat bahwa setahun sebelumnya, yaitu pada awal tahun 1974 kami juga sudah makan jagung pada pertengahan Januari. Ternyata mama juga sudah melakukan ritual itu pada akhir Oktober 1973 karena pada awal Januari 1974 anak putrinya yang sulung, untuk pertama kalinya pergi jauh meninggalkan kami semua. Saya masih ingat, betapa mama kuat dan tegar mengantar kakak Sin sampai wa mbarud dise Pius yang terletak di dekat Wae Teku Ketang. Setelah itu kakak Sin berangkat terus ke Ruteng bersama bapa. Mama sama sekali tidak menangis. Saya kagum. Tetapi pada sore hari itu, saya lihat dia menangis karena kepergian putri sulungnya yang selama ini selalu setia dan rajin membantu dia.

Jauh di kemudian hari saat saya sudah membaca banyak pelbagai buku psikologi, akhirnya saya tahu bahwa itulah yang disebut kekosongan. Para psikolog menyebutnya fenomena sindrom sarang kosong, empty nest syndrome. Sebuah sindrom yang menyedihkan dan menyakitkan. Tadinya di rumah (sarang) selalu ada dia (puterinya), selalu terdengar suara bicara dan tawanya, tiba-tiba sekarang ia sudah pergi jauh untuk sekolah. Kekosongan itulah yang membawa kepedihan dan rasa sakit yang melanda hampir setiap orang tua.

Ya Januari, seperti sekarang ini, saya selalu aku teringat akan itu semua. Tidak akan terlupakan. Juga setelah mama pergi dari sini. Tetapi justru dengan itu, ia secara ajaib selalu jauh lebih dekat di hati kami masing-masing. Ia tetap hidup di sini. Itu sudah pasti.


Bandung, pertengahan Januari 2019.

Monday, December 24, 2018

GULUNGAN TEKS-TEKS LAGU

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA
Dosen FF-UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI


Guru Inggris saya dulu di SMP Seminari Pius XII Kisol, Bapa Willem Beribe, berkenan mampir memberi komentar di postinganku di grup Wela Runus Sanpio XII tentang lagu Transeamus Usque Bethlehem. Dalam komentarnya beliau mengingatkan kita akan kehebatan dan kreatifitas para Guru SR/SD dulu di Flores (khususnya di Manggarai Raya) yang mampu melatih murid-murid sekolah mereka yang kelas 5-6 (terkadang mulai kelas 4 bahkan 3) untuk menyanyikan lagu-lagu Latin dalam perayaan liturgi gerejani. Dalam komentar itu ia juga mengatakan bahwa media latihan itu bukan lembar jilidan hasil cetakan komputer atau fotocopy melainkan tulisan tangan pada kertas manila berukuran besar. Saat membaca komentar itu imajinasi saya terangsang untuk menulis tentang hal itu. Memang tahun 60an dan 70an media latihan koor ialah kertas karton manila (buffalo) berukuran besar. Itulah yang saya sebut dengan Gulungan teks-teks lagu.

Untuk menghasilkan teks-teks besar seperti itu dibutuhkan orang khusus. Orang seperti itu adalah seniman grafis. Sebab ia harus mempunyai tulisan tangan bagus. Ia juga harus bekerja rapih dan hati-hati. Mengapa? Ini yang amat menarik. Si penulis itu biasanya harus menulis sambil berdiri dan kertas tadi harus ditempelkan pada papan tulis atau dinding rumah. Alat tulisnya juga bukan spidol, apalagi spidol besar. Waktu itu belum ada spidol seperti itu di Flores. Karena itu, si penulis tadi memakai lidi atau belahan bambu yang ujungnya dihaluskan agar bisa menjadi seperti sapuan kuas. Saat ia mulai menulis, terlebih dahulu ia harus mencelupkan ujung lidi atau bambu yang sudah dihaluskan tersebut ke dalam botol tinta (merek ink-well, belum ada merek parker, kalaupun ada, mahal harganya). Kalau itu belum ada maka dipakai tinta tradisional yang dibuat dari campuran jelaga pantat priuk dan getah pohon tertentu yang dulu biasa dipakai orang Manggarai (terutama ibu-ibu) untuk mewarnai anyaman yang terbuat dari bambu (talok atau gurung).

Si seniman tulisan tangan harus mencelupnya sedemikian rupa agar tinta itu tidak menetes ke mana-mana dan sia-sia. Ia harus bekerja sangat rapih. Setelah bekerja beberapa lamanya, biasanya ia bisa menghasilkan beberapa lembar untuk satu lagu saja. Apalagi jika lagu itu cukup panjang. Dia harus menulis lengkap empat suara (sopran, alto, tenor, bass). Akan lebih merepotkan lagi, jika lagu itu terdiri atas messo-sopran, contra-alto dan bariton. Setelah selesai maka teks itu dijemur agar kering. Setelah kering akan digulung rapi. Teks itu disimpan dengan cara digulung.

Kalau jemaat Kristen purba (sebenarnya dimulai dengan jemaat Perjanjian Lama) memiliki gulungan kitab, maka jemaat Katolik awal dulu di Manggarai juga memiliki gulungan teks lagu liturgi gerejani. Biasanya gulungan-gulungan teks lagu seperti itu bisa ditemukan di rumah-rumah si dirigen pelatih koor, ataupun di rumah guru-guru khususnya guru katekis, atau juga bisa ditemukan di rumah-rumah para guru agama di kampung-kampung. Boleh dikatakan itulah harta karun perpustakaan rohani mereka (pelatih, guru, guru agama).

Saat saya menulis karangan ini saya membayangkan apakah teks-teks lama dari tahun 60an dan 70an itu masih ada? Masih adakah yang menyimpannya? Kalau masih ada, itu sungguh luar biasa. Sebuah tonggak historis yang mengagumkan. Terkadang saya merindukannya lagi sekarang ini saat saya juga sibuk menjadi dirigen dan pelatih koor di lingkungan dan paroki saya sendiri di Bandung.

Tetapi ini bukan sekadar nostalgia. Saya melihat ada keuntungan tertentu dengan memakai metode seperti itu. Dengan memakai satu teks besar seperti itu posisi dirigen benar-benar menjadi sentrum/pusat karena yang dilihat anggota koor ialah dirigen dan teks. Dengan demikian anggota koor berada di bawah komando tunggal. Selain itu, anggota koor mau tidak mau harus angkat muka untuk memandang teks lagu yang diangkat tinggi dengan bantuan tongkat oleh seorang yang memang tugasnya hanya itu. Dan ditaruh di belakang dirigen. Dengan demikian, para penyanyi tidak lagi terpaku pada teks masing-masing seperti sekarang ini di mana anggota koor memiliki fotocopyan sendiri. Akibatnya mereka merunduk dan menekuni teks sendiri. Dirigen tidak diperhatikan. Itulah keuntungan sistem itu dahulu. Semua berada di bawah satu komando. Dan anggota koor, karena teks yang terbatas itu, terdorong untuk menghafal teks lagu dan nada-nada yang menjadi tanggung-jawabnya. Penghafalan ini mempunyai fungsi ganda: pertama, untuk mengurangi ketergantungan pada teks. Kedua, agar teks itu bisa menjadi sebuah teks yang hidup, sebuah hafalan yang bisa dipakai di mana pun saja.

Kembali ke teknik penyimanan tadi. Begitu selesai dipakai untuk satu sesi latihan, biasanya gulungan teks-teks itu disimpan dengan cara digulung di dalam sebuah bambu berukuran besar. Agar tidak dimakan tikus dan tidak menjadi mainan anak-anak atau sekadar tercecer di mana-mana. Ada juga yang menempel teks lagu itu sebagai tempelan tetap pada dinding rumah si pelatih koor sehingga latihan harus selalu di rumah beliau. Tetapi ini tidak banyak. Yang paling banyak ialah teknik penyimpanan seperti sudah disebutkan di atas tadi. Begitu suatu masa liturgis gerejani sudah lewat maka teks-teks itu disimpan lagi dengan baik untuk dapat dipakai lagi nanti pada perayaan berikut.

Saya masih ingat dengan baik di paroki Ketang dulu (semula di Rejeng), teks-teks yang tersimpan cukup lama ialah teks-teks lagu lamentasi dalam bahasa Manggarai. Waktu itu saya masih kecil. Tetapi karena para guru sering melatihnya pada masa pantang dan puasa maka saya pun hafal juga: Wangkan tilir di Yeremias profeta. Yerusalem, Yerusalem, kole one agu Mori Kraeng de hau. Alef... dst.dst... Atau yang terkait masa natal ada lagu seperti Wie Nggeluk Bail, Gloria in Excelsis Deo, Ata Sambe Poli Loas, Mai Ata Serani, dll.

Ini adalah sebuah ingatan dan nostalgia yang indah dan menarik. Warisan kreatifias para guru-guru tua dulu di Manggarai dalam rangka membuat gereja berurat dan berakar dalam hati sanubari orang Manggarai. Suatu usaha mulia.

Sunday, December 2, 2018

TIME-SQUARE DAN DANAU HENING DI BEKAS MENARA KEMBAR NEW YORK

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA.
Dosen Filsafat dan Teologi FF-UNPAR Bandung, Anggota LBI
.



Tanggal 29 November 2014, empat tahun lalu, saya ke New York, bersama keluarga Pa Rachmat Putranto, staf yang bekerja pada divisi perdagangan di Kedubes RI di Washington DC. Saat itu, selama kurang-lebih empat bulan saya tinggal di Amerika untuk menjalankan program sandwich pada Georgetown University di Washington DC. Untuk menghemat ongkos, maka saya tidak tinggal di DC, melainkan memilih tinggal di Maryland, menumpang di rumah pa Rachmat tadi. Ongkos hidup dan indekost di DC hampir dua kali lipat lebih dari biaya yang sama di Maryland. Akhir bulan November 2014, mereka mempunyai kebiasaan untuk melewatkan liburan Thanksgiving Day di New York. Saya pun diajak juga ke sana. Sebuah perjalanan yang mengasyikkan bagi saya karena sebuah perjalanan yang baru sama sekali, juga untuk pertama kalinya. Di New York kami menginap di sebuah hotel di kawasan Time Square yang terkenal itu. Kami menginap di sebuah Hotel besar di sana, dan kami menempati kamar di lantai yang bagi saya sangat tinggi, yaitu lantai 43, itupun belum merupakan lantai tertinggi di hotel itu. Setelah check-in di hotel tersebut, kami meletakkan tas-tas kami. Kemudian kami berkeliling ke daerah sekitar sambil menikmati makanan yang ditawarkan di pinggir jalan dan menikmati pawai pelbagai kelompok yang meramaikan thanksgiving day. Setelah letih, lagipula hari mulai malam, kami kembali ke hotel untuk menginap.

Keesokan harinya, saya diberi kebebasan untuk menjelajahi New York sendirian asal sore hari sudah harus kembali lagi ke hotel. Semula saya ketakutan. Saya takut tersesat di tengah hutan belantara pencakar langit New York yang terasa sangat asing itu. Tetapi saya harus mengambil risiko itu. Setelah mencari informasi yang perlu akhirnya saya pun memutuskan untuk berjalan sendirian menjelajahi New York. Waktu saya sangat terbatas. Hanya setengah hari. Saya memutuskan untuk mengambil jalur bis kota wisata yang bisa dengan bebas turun di beberapa spot yang menurut saya penting dan layak dikunjungi. Nanti dengan tiket yang sama bisa dilanjutkan lagi perjalanan ke titik tujuan akhir Bis itu. Dan terjadilah demikian. Saya mengambil Bis dari Time Square yang mengarah ke tepi sungai di mana terdapat patung Liberty yang terkenal itu. Tetapi saya turun dua kali. Pertama, saya turun di sebuah taman kota yang direkomendasikan pemandu wisata dalam bis itu. Saya turun dan mencoba menikmati taman itu, tetapi jujur saja saya tidak begitu tertarik dengan taman itu. Maka saya kembali lagi ke halte bis tadi menunggu bis berikutnya.

Setelah bis dengan nomor yang sama tiba, saya pun naik lagi. Spot wisata kedua yang ingin saya kunjungi adalah titik nol, yaitu kawasan bekas gedung kembar menara WTC yang terkenal itu, yang tahun 2001 hancur karena diserang teroris. Begitu saya turun di situ sudah tampak banyak petunjuk tentang sisa-sisa peristiwa ngeri tersebut. Ada gedung yang ditandai sebagai “survivor” serangan teroris itu. Ada gereja, ada rumah biasa, ada juga gedung tinggi. Bagi saya gedung-gedung itu sudah sangat tinggi. Tetapi dari gambar yang saya peroleh, gedung-gedung tinggi itu hanya setengah tingginya dari almarhum menara kembar itu. Saya membayangkan betapa menara kembar itu dulu sangat tinggi.

Begitu saya mendekati titik nol tersebut, saya mendengar keterangan dari orang-orang di sekitar saya bahwa gedung menara kembar itu sekarang sudah diganti dengan satu gedung tunggal yang juga menjulang sangat tinggi. Saat saya berdiri di dekat kakinya, walau tidak mungkin sangat mendekat, karena pengawasan security sangat ketat, saya hampir tidak bisa melihat ujung paling tinggi gedung itu. Pokoknya sangat tinggi. Di bagian belakang gedung itu, ada sebuah kolam besar (hampir seperti danau buatan kecil) dan gedung museum survivor pengeboman itu. Saya tidak sempat masuk ke dalam museum bawah tanah tersebut karena harus membayar ekstra lagi. Saya hanya melihat danau buatan kecil itu. Airnya sebagian biru karena memantulkan warna langit biru. Sebagian berwarna hitam karena memantulkan warna dinding marmer hitam. Airnya tenang dan hening. Di beberapa bagian dinding tampak air merembes. Sunyi sekali. Orang yang datang mendekati tempat itu juga pada diam dan hening.

Setelah saya mendekat barulah saya tahu bahwa orang-orang yang datang mendekat ke batas danau kecil itu boleh jadi adalah keluarga dekat korban bom bunuh diri tersebut. Karena ternyata pada marmer hitam dinding kolam tersebut ada lobang-lobang kecil dan di masing-masing lobang itu tertulis nama-nama orang yang sudah meninggal karena bencana kemanusiaan itu. Ada ribuan nama orang. Saya melihat bahwa ada yang menancapkan kembang di lubang itu, ada yang menyalakan lilin di tempat yang sudah disediakan. Ada yang meletakkan rosario. Para pengunjung itu berdiri di sana. Ada yang berdoa. Ada yang hanya berdiri dalam diam dan hening. Ada juga yang menangis sambil mengusap-usap nama yang tertulis pada pualam tersebut. Saya juga terhanyut dalam keheningan itu. Persis pada saat itu ada angin sepoi-sepoi yang sangat dingin berhembus di permukaan air kolam itu. Air kolam itu seperti bergerak dalam riak-riak kecil seakan-akan mengatakan bahwa arwah-arwah orang yang mati di sana sedang bergerak menari di atas permukaan air menyambut kedatangan pengunjung, terutama menyambut kedatangan sanak saudara yang dilanda duka nestapa karena kematian itu datang begitu tiba-tiba, seperti kata sebuah syair lagu mungkin dari Celine Dion, bahwa ia datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, bagai tamu yang tidak diundang. Suka atau tidak suka, ia pasti datang begitu saja, pada saat yang telah ditetapkannya bagi masing-masing orang. Dan tidak ada orang yang bisa menolak atau menghindar daripadanya.

Wajah-wajah para pengunjung itu, tampak sedang berjuang dalam sebuah permenungan mengenang, meraih dan menghadirkan kembali sekarang dan di sini, dia ataupun mereka yang sosoknya sekarang hanya tinggal sebuah ukiran nama pada permukaan pualam hitam. Mudah-mudahan kenangan itu juga akan abadi. Mungkin itu yang mereka harapkan. Yang jelas, bagi mereka tersedia sebuah tanda (penanda) di mana harus datang menumpahkan cinta dan rindu. Ada juga banyak korban keganasan sesama manusia yang hilang tiada ketahuan rimbanya. Sebuah kehilangan yang mengerikan sebab tidak bertanda, tidak memiliki penanda. Hanya sebuah kekosongan abadi. Saya segera tinggalkan tempat itu sebelum kekosongan abadi itu menghanyutkan saya berlama-lama dalam permenungan yang sedih dan mendalam. Selamat tinggal pualam hitam. Semoga suatu saat saya masih bisa datang kembali mengusap lembut dan dinginmu. Semoga. Suatu saat di masa yang akan datang.


Wednesday, November 14, 2018

BUNDA DARI LA VANG

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika pada FF-UNPAR Bandung, dan Anggota LBI.



Dari bulan September hingga bulan Desember 2014 saya tinggal di Maryland Amerika Serikat karena pada saat itu saya sedang melaksanakan Sandwich-programme pada Georgetown University (universitas milik Yesuit yang terkenal itu) yang terletak di dalam kawasan Washington DC. Selama tinggal empat bulan di sana, saya mengunjungi tempat-tempat wisata yang terkenal. Salah satunya ialah Basilika Santa Perawan Maria yang berukuran raksasa yang terletak di dalam kawasan Catholic University of America. Lebih dari lima kali saya datang ke sana untuk berdoa dan juga untuk berwisata. Sebab ada banyak sekali aspek dari gereja itu yang bisa diceritakan. Kali ini saya mau menceritakan salah satu aspek dari gereja tersebut. Yang jelas dalam Gereja itu ada banyak sekali Kapel devosional yang dibaktikan kepada pelbagai tempat ziarah Maria yang terkenal di seluruh dunia. Salah satunya ialah kapel Bunda dari La Vang.

Kapel Bunda dari La Vang ini berasal dari Vietnam. Kapel La Vang sendiri di Vietnam berasal dari pengalaman historis Umat Katolik di sana. Hampir sepanjang abad ke-18, Vietnam mengalami situasi kacau-balau karena terjadi beberapa drama perebutan kekuasaan. Ada banyak pihak yang ingin berkuasa. Selain itu ada juga beberapa pemberontakan para petani. Maka tidaklah mengherankan kalau ada banyak pasukan pemberontakan yang muncul dan berkeliaran di seluruh negeri itu. Semuanya mengganggu keamanan dan stabilitas negeri itu.

Perlu diketahui bahwa agama Katolik mulai masuk ke sana sejak abad ke-16 antara lain dengan tokoh pewarta yang terkenal di sana, seorang Yesuit yang bernama Alexander de Rhodes itu (kurang lebih sejaman dengan Fransiskus Xaverius yang terkenal di Indonesia, Formosa, Jepang). Sebagaimana de Rhodes menghasilkan sebuah katekismus untuk orang-orang Vietnam, begitulah juga Fransiskus Xaverius pun menghasilkan katekismus bagi orang-orang di Ambon, Ternate (mungkin juga pernah di Flores Timur dan Timor Leste). Tetapi pada abad ke-18 tadi, Kaisar yang bernama Canh Thinh, sangat membatasi ruang gereka gereja; bahkan lebih dari itu ia juga menghambat perkembangan gereja. Tindakan itu ia lakukan karena ia takut bahwa Gereja itu nanti akan menjadi sangat kuat dan menguasai negeri itu. Oleh karena itu, ia pun mulai melakukan tindakan pengejaran dan penyiksaan (persekusi) terhadap Gereja dan jemaat Kristiani yang ada di sana.

Tatkala tindakan persekusi dari sang kaisar itu sudah sangat menjadi-jadi, orang-orang Kristen dari desa-desa setempat dan paroki-paroki setempat melarikan diri ke hutan rimba di daerah La Vang. Menurut kata legenda historis, istilah atau nama La Vang itu sendiri berasal dari kata bahasa Vietnam yang artinya ialah “berseru” ataupun “menangis”. Makna ini biasanya mengacu kepada dua hal berikut ini. Pertama, ia mengacu kepada suara-suara para pelarian itu yang mencoba mengusir binatang-binatang buas yang mengancam mereka. Kedua nama itu juga mengacu kepada teriakan minta tolong dari orang-orang Kristen yang dikejar-kejar dan dianiaya tadi. Tetapi, sekali lagi, itu kata cerita legenda. Kata para ahli bahasa modern lain lagi. Menurut mereka kata La Vang itu berasal dari sebuah kebiasaan kuno orang-orang Vietnam (kiranya juga kebiasaan itu ada di tempat lain) yaitu kebiasaan untuk memberi nama kepada satu tempat berdasarkan jenis pohon atau tetumbuhan yang ada di tempat itu, yaitu La (Daun) Vang (bebijian herbal). Jika ini benar, tentu saja ini adalah sejenis toponim, nama tempat berdasarkan pohon yang ada di sana.

Konon saat mereka mengungsi dan bersembunyi di hutan itu, jemaat gereja tadi berkumpul setiap malam di bawah sebuah pohon besar untuk berdoa rosario. Dan terjadilah sebuah keajaiban, sebuah mukjizat. Pada suatu malam seorang perempuan cantik yang mengenakan jubah yang berwarna agung-cemerlang, sambil menggendong seorang bayi, menampakkan diri kepada mereka. Ia memperkenalkan diri kepada mereka sebagai Bunda Tuhan. Dikatakan bahwa pada saat itu ia juga menghibur dan menguatkan hati mereka. Ia memberi kepada mereka sebuah tanda khusus dari perhatiannya yang penuh kasih. Tanda itu berupa daun pakis (fern) untuk mengobati sakit dan luka-luka tubuh mereka. Sang Bunda juga berjanji untuk menerima doa-doa mereka dengan kelemah-lembutan seorang ibu. Sang Bunda menampakkan diri banyak kali di tempat yang sama ini selama hampir 100 tahun masa penindasan dan pengejaran agama tersebut.

Kapel Bunda Kita La Vang terletak di dusun yang dewasa ini dikenal sebagai Hiu Phu, di daerah Mai Link, Propinsi Quang Tei, di Vietnam Tengah. La Vang menjadi Pusat Maria Nasional Vietnam pada tanggal 13 April 1961. Paus Yohanes xXIII mengangkat Gereja Bunda Kita La Vang ke tingkat Basilika minor pada tanggal 22 Agustus 1961.

Sebagai akibat perang saudara antara Vietnam Utara dan Selatan pada tahun 70an, maka banyak orang Vietnam mengungsi ke luar ke berbagai negara meminta suaka. Misalnya ada yang berlari ke Indonesia (dan cukup lama menempati pulau Galang, di Bangka Belitung Selatan). Ada juga yang ke Australia. Waktu di Belanda saya juga mengenal komunitas orang Vietnam yang meminta suaka di sana. Tentu ada juga yang meminta suaka ke Amerika Serikat. Maka terbentuklah komunitas Vietnam yang kuat di Amerika Serikat. Ada dari kalangan orang-orang ini yang menjadi orang sukses, baik sebagai pedagang, maupun sebagai ilmuwan, teolog, dan pelbagai macam profesi lainnya. Waktu di Georgetown University saya bekerja sama dengan seorang profesor Teologi yang merupakan kelompok pengungsi akibat perang Vietnam itu. Dia adalah Prof.Dr.Peter C.Phan.

Komunitas orang-orang Vietnam di Amerika Serikat ini kemudian berjuang agar kapel La Vang itu juga dimasukkan sebagai salah satu kapel devosional di Basilika St.Maria tersebut. Tentu saja untuk tujuan itu mereka harus mengumpulkan dana yang tidak sedikit. Dan mereka mampu melakukannya. Maka kapel Bunda Maria dari La Vang itu pun sekarang bisa dinikmati sebagai bagian utuh dari Basilika Santa Maria tersebut. Saat saya mengunjungi kapel itu pada awal Oktober 2014, saya menyaksikan bahwa ada cukup banyak juga pengunjung yang kiranya sebagian besar orang Katolik itu, berdoa di dalam Kapel tersebut.

Saat kita memasuki kapel itu, maka kita akan melihat bahwa di sebelah kiri ada sebuah mosaik indah, yang melukiskan ke-114 martir Vietnam (nama-nama mereka tertera pada plakat perunggu; termasuk dalam nama-nama itu ialah dua nama yang sudah tidak asing lagi bagi kita karena sudah masuk ke dalam kalender liturgi kita, Andreas Dung Lac dan kawan-kawan). Mereka dikanonisasi oleh Paus Paulus VI. Di sebelah kanan juga ada sebuah mosaik yang indah. Mosaik ini melukiskan angkatan-angkatan kaum beriman di Vietnam. Mereka dilukiskan dalam pakaian mereka pada jaman itu.

Friday, November 9, 2018

JIKA AKU MENJADI II

Oleh: Fransiskus Borgias M.



Pengalaman kerja liburan saya yang kedua terjadi pada tahun 1985. Saat itu saya bekerja di Panti Rehabilitasi Sosial di Cibadak Sukabumi. Yang disuruh bertugas di sana saat itu adalah saya sendiri dan Peter Aman (sekarang sudah menjadi Imam OFM). Panti itu adalah sebuah panti rehabilitasi sosial bagi orang yang sudah dinyatakan sembuh secara medis dari Rumah Sakit Jiwa di Bogor, dan tinggalproses sosialisasi ke tengah masyarakat dan keluarga. Dalam rangka persiapan proses rehabilitasi itu, di sana mereka diberi pelbagai latihan ketrampilan kerja seperti menyulam bagi kaum perempuan, membuat keset, mengelas, merenda, ataupun berkebun, dll. Ada banyak hal yang ingin saya catat di sini sebenarnya. Tetapi saya akan membatasi diri pada beberapa hal yang penting dan menarik saja.


Saat itu saya dan Peter diterima di sana oleh Pak Samuel dan Bang Barus. Yang terdahulu berasal dari tanah Toraja, dan yang lain berasal dari Sumatera Utara (orang Batak). Ketika baru tiba pada hari pertama, kami diantar berkeliling untuk melihat-lihat kompleks itu dan berkenalan dengan para pegawai yang bekerja di sana. Pada saat itu terus terang saja saya hampir tidak bisa membedakan dengan baik mana pegawai, mana para pasien penghuni Panti rehabilitasi tersebut. Sebab pada saat itu di sana ada banyak orang yang berpakaian rapih dan necis seperti para pegawai saja. Saya baru bisa mengenal dan membedakan mereka setelah tinggal dan menginap dalam panti selama satu hari. Saya membayangkan hal itu tidak mudah. Pada hari minggu berikutnya kebetulan ada jadwal kunjungan keluarga dari para pasien yang ada di sana. Saat itu saya bayangkan betapa para anggota keluarga yang datang berkunjung juga mengalami kesulitan yang sama seperti yang kami alami beberapa hari sebelumnya: sulit membedakan mana pegawai, mana pasien. Saya membiarkan diri dianggap “gila” saja oleh mereka. Tidak apa-apa.


Kedua, di sana juga ada peristiwa jatuh cinta dan ada rasa cemburu. Ada pasien yang jatuh cinta satu sama lain; tapi rupanya rupanya ada juga yang senang pada Peter, sehingga setiap pagi dan sore ia datang ke rumah tempat kami menginap dan berdiri di pintu lalu mulai memanggil: Piterrrrr.... itu menjadi kekhasannya dia, menyebut huruf r dengan panjang. Piter itu adalah teman saya, seorang frater yang datang ke sana bekerja bersama dengan saya. Ada juga kisah mengenai seorang pasien perempuan yang jatuh cinta kepada seorang pegawai pria yang kebetulan sudah beristeri dan isterinya itu juga pegawai di sana. Sang suami adalah orang Bali. Sedangkan sang isteri adalah orang Sunda. Sang isteri saat itu sedang hamil tua. Si pasien tahu, istri itu menjadi penghalang cintanya pada pria Bali itu. Maka sang isteri itu harus disingkirkan. Di suatu pagi perempuan itu menikam perut isteri orang itu ketika pegawai itu berdiri di pintu untuk mengawasi para pasien makan pagi. Ternyata ia bersembunyi di balik pintu kamar makan. Kejadian itu tentu saja sangat menghebohkan. Nyawa bayi dalam kandungan itu tidak dapat diselamatkan. Hanya nyawa sang ibu saja yang bisa diselamatkan. Memang harus memilih. Tragis sekali. Ibu itu harus istirahat hamil selama kurang lebih dua tahun sebelum ia boleh hamil lagi.


Selain itu ada juga pasien yang megalomaniak; namanya Sukarno. Suatu pagi, ia diam-diam menyelinap masuk ke rumah kami dan mencuri baju kami dan membuang air besar sembarangan di rumah kami, sehingga rumah kami saat itu bau sekali. Untung rumah bisa segera dibersihkan oleh pegawai dengan karbol, sehingga bersih dan segar lagi. Selain itu, ada juga pasien yang sangat terobsesi pada seni khususnya seni puisi. Maka ia selalu menulis puisi dan mendeklamasikan puisinya sambil mengisap sisa-sisa puntung rokok yang ia kumpulkan dari terminal bis Cibadak sepanjang malam. Ia tidak tidur malam. Tetapi ia kuat sekali badannya karena walau tidak tidur ia masih bisa bekerja di siang harinya. Akhirnya, ada juga yang mantan anggota partai terlarang (komunis), yang kekiri-kirian, yang tidak percaya kepada Tuhan. Ia hanya percaya kepada daya kekuatan alam semesta ini saja. Mungkin karena berideologi kiri, maka ia selalu memiringkan kepalanya ke kiri. Aneh juga.


Keempat, setiap kali mengamati mereka pada saat libur atau istirahat kerja, mereka tampak seru berdialog satu sama lain. Seperti terjadi sebuah pembicaraan yang sangat lancar, tukar pikiran antara dua orang teman. Tetapi ternyata jika diperhatikan baikbaik dari dekat, pokok pembicaraanmereka sangat berbeda satusama lain. Mereka hanya berbicara sama-sama saja di suatu tempat dan tidak sedang membahas satu persoalan yang satu dan sama. Yang satu bicara ke utara, yang lain bicara ke arah selatan. Yang satu bicara ke arah timur, yang lain bicara ke arah barat. Ada seorang ibu tua yang mempunyai kebiasaan memelihara kucing yang berkeliaran di kompleks panti itu. Ia mengenal satu per satu perilaku kucing-kucing itu, dan kucing-kucing itu juga mengenal dia. Relasi yang sangat akrab.


Akhirnya kelima, ada penilaian dari para pegawa bahwa sebenarnya ada banyak dari mereka yang sudah layak untuk pulang lagi ke tengah keluarga, ke tengah masyarakat karena mereka dinyatakan sudah sehat, sudah normal. Tetapi setelah beberapa hari tinggal di rumah atau di kampung mereka, ternyata mereka pulang lagi karena mereka tidak tahan tinggal di sana. Sebab di kampung, ternyata orang kampung dan bahkan anggota keluarga mereka sendiri tidak siap menerima mereka dan tetap menganggap mereka masih gila. Maka para pegawai itu pun bertanya secara kritis: siapakah yang gila sesungguhnya? Mereka itukah? Atau justru masyarakat? Mungkin yang kedua itulah yang benar, seperti dikatakan oleh Erik Fromm, the insane society.


Lempong Lor, 11 Maret 2013


Thursday, November 8, 2018

JIKA AKU MENJADI I

Oleh: Fransiskus Borgias M.



Ada sebuah acara Televisi swasta yang cukup menarik perhatian saya beberapa tahun yang lalu. Judulnya "Jika Aku Menjadi". Acara itu ditayangkan pada sebuah TV swasta nasional. Setiap kali saya menonton acara itu saya selalu teringat akan pengalamanku sendiri dulu ketika masih kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Bagi saya, praktek seperti yang dibentangkan dalam acara JAM itu sama sekali tidak serba baru. Dulu ketika masih mahasiswa filsafat di STF Driyarkara Jakarta, saya paling tidak beberapa kali menjalani dan mengalami hal serupa itu. Hanya bedanya saya dulu tanpa iklan, tanpa sponsor, tanpa tayangan di televisi. Paling tidak pada saat itu saya mempunyai tiga pengalaman. Pengalaman pertama, pengalaman bekerja sebagai buruh di pabrik perakitan mobil di Gaya Motor di bilangan Sunter Jakarta Utara. Pengalaman kedua, pengalaman bekerja sebagai pekerja sukarelawan (voluntir) di sebuah panti rehabilitasi sosial di Cibadak Sukabumi. Pengalaman ketiga, yaitu pengalaman bekerja sebagai pekerja sukarelawan di sebuah Rumah Sakit Kusta di kota Pati (panti rehabilitasi orang Kusta). Dalam tulisan yang pertama ini, saya hanya mau membuat catatan yang lebih lanjut tentang pengalaman yang pertama, pengalaman bekerja di pabrik perakitan mobil Gaya Motor.


Pada saat itu saya masih duduk sebagai mahasiswa Filsafat tingkat pertama di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkata Jakarta. Saat itu kami baru saja selesai ujian dan melewatkan tingkat pertama itu untuk masuk ke tingkat kedua. Tetapi sebelum tingkat kedua dimulai, yaitu sekitar Agustus 1984, kami mempunyai waktu dua bulan lamanya untuk berlibur. Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan. Tetapi di sini saya menyebut saja kegiatan-kegiatan besar yang paling utama. Yaitu pertama, kerja liburan dan kedua ret-ret tahunan di Pacet Sindanglaya, atau di tempat yang lain yang sudah ditentukan sebelumnya. Sebelum ret-ret tahunan kesempatan liburan besar itu kami isi dengan kegiatan kerja liburan, yaitu kerja untuk mengisi masa liburan kuliah. Saat itu saya mendapat tempat kerja di sebuah pabrik perakitan mobil di Gaya Motor, di Sunter. Beberapa teman lain yang seangkatan, mendapat kesempatan kerja di Astra, juga di bilangan Sunter. Kerja itu berlangsung kurang lebih selama tiga minggu.


Pada saat itu saya masih ingat dengan sangat baik bahwa kami benar-benar menjadi buruh; kami harus masuk ke kawasan pabrik perakitan itu dengan memakai moda angkutan yang biasa bagi para buruh yang lain yaitu dengan menumpang naik ojek sepeda. Saat itu saya bersama dengan dua orang teman. Kebetulan saat itu saya ditempatkan di bagian pembuatan pintu kanan mobil pick-up bak terbuka.


Hari pertama saya lewatkan dengan penuh perjuangan yang tidak ringan sama sekali. Tangan saya sangat capek dan sangat lemas semuanya. Begitu juga kaki, betis, karena saya harus berdiri hampir seharian. Bayangkan saja, dari pagi hingga petang saya memegang dan mengayunkan palu (saat itu masih serba manual semuanya). Hasilnya, tanganku menjadi kekar sekali. Begitu juga dadaku. Hari kedua dan seterusnya, saya menjadi terbiasa dengan rutinitas kerja itu. Tangan menjadi seperti sudah mati rasa saja (abal), dan ia seperti bekerja secara otomatis dan mekanis saja. Letih dan pegal otot di tangan menjadi tidak lagi begitu terasa. Setelah pengalaman itu, barulah saya sadar dan mengerti mengapa tangan para buruh itu kuat, tegar dan kekar, dan tampak seperti bekerja secara mekanis saja dan tampak tidak letih sama sekali. Rupanya hal itu terjadi karena tangan (lengan) mereka sudah terbiasa dan mereka sudah melakukan pekerjaan itu secara berulang-ulang dan terus menerus, setiap hari.


Pada saat itulah saya berkenalan dengan seorang buruh. Sesungguhnya saya bergaul cukup akrab dengan beberapa orang buruh di tempat itu. Pada saat istirahat untuk makan siang, kammi sering membicarakan gaya tentang hidup mereka, jalan hidup mereka, irama hidup mereka, cita-cita dan pandangan hidup mereka. Tetapi saya lebih mau menyoroti tokoh yang satu ini. Saat itu ia sudah berusia separuh baya. Namanya bapak Nawawi (seorang Betawi Asli dari daerah Kemayoran). Sekarang ini (saat saya menulis dan mempublish teks ini) ia pasti sudah pensiun, atau bahkan mungkin juga sudah meninggal. Saya tidak tahu lagi. Sejak saat itu kami tidak pernah saling berkontak lagi.


Saat itu saya melihat dia sebagai seorang sosok pekerja keras dan sangat tekun melewati rutinitas ayunan tangan itu. Tidak ada keluhan yang terdengar keluar dari mulutnya. Ia tabah sekali. Setelah bekerja beberapa hari lamanya, saya baru menjadi sadar dan mengerti bahwa ketekunan itu diperoleh dari kesabaran menjalani dan mengatasi irama rutinitas. Hal itu pula yang membuat tangan mereka (para buruh) seperti bergerak secara mekanis dan otomatis saja. Kerja sistem ban berkeliling memang bagus untuk efisiensi kerja, tetapi memiskinkan daya kreatif dan ekspresif dari dalam diri anak manusia itu sendiri. Tetapi buruh seperti bapak Nawawi tidak mempunyai banyak pilihan lain juga. Itulah salah satu bentuk keterasingan buruh dari kerjanya sendiri, seperti dikatakan oleh Karl Marx dalam opus magnum-nya Das Kapital. Tentu masih ada banyak Nawawi yang lain, di tempat lain, di pabrik yang lain, yang berjuang untuk bekerja demi mengadu nasib, demi sesuap nasi, agar dapur tetap ngebul, agar anak dan istri tidak kelaparan, tidak kedinginan.


Nglempong Lor, 11 Maret 2013

Tuesday, November 6, 2018

BIAS GENDER DAN IBU GEREJA

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias M.



Sekitar bulan April tahun 1997 saya pernah mengikuti kegiatan kursus penyadaran gender yang diadakan (kalau tidak salah) oleh Komisi Keadilan dan Perdamaian KWI. Yang diundang untuk hadir sebagai peserta waktu itu adalah para dosen, para pastor, biarawan-biarawati, praktisi pelayanan pastoral. Kursus itu diadakan di rumah ret-ret Santa Maria Guadalupe di Jakarta. Kami menjalani proses retret penyadaran itu selama hampir satu minggu. Sejauh yang saya ingat, yang menjadi pembicara atau narasumber pada waktu itu sebagian besar adalah perempuan (bahkan mungkin semuanya perempuan).


Ada banyak hal yang menarik dalam untaian kursus penyadaran itu. Salah satunya ialah pembeberan fakta oleh seorang narasumber tentang bias-gender yang terjadi dalam pengembangan teknologi alat birth-control (pengendalian kelahiran). Bagaimana persisnya bias-gender itu terjadi? Narasumber itu (lupa namanya) mengatakan bahwa hingga saat ini nama-nama yang paling dominan dalam menelorkan teori-teori ilmu pengetahuan ialah kaum pria. Tidak hanya itu saja. Teknologi, sebagai upaya penerapan praktis dari teori-teori ilmu tersebut, juga banyak dimonopoli kaum pria.


Fakta inilah yang rawan terjangkit oleh fenomena bias-gender tadi. Mengapa dan bagaimana? Saya ingat si narasumber saat itu memberi contoh alat birth-control. Oleh karena teknologi itu dikembangkan kaum pria, maka alat tersebut lebih banyak diciptakan untuk mengontrol alat reproduksi perempuan, sedangkan alat untuk mengontrol reproduksi pria hanya sedikit. Padahal menurut si pembicara, seharusnya kaum pria-lah yang harus dikontrol. Mengapa? Karena kasarnya, kaum pria itu subur sepanjang waktu. Kalau dia “semprot” di mana saja pada perempuan yang subur maka kemungkinan besar akan hamil. Sedangkan wanita yang masa suburnya hanya terjadi sekali sebulan saja, justru merekalah yang lebih banyak dikontrol. Nah, bagi si pembicara itu, fakta seperti itulah yang dia sebut bias-gender. Bias itu terjadi karena memang lebih banyak kaum pria yang menjadi ilmuwan dan menerapkan ilmu itu secara praktis ke dalam teknologi. Sangat sedikit wanita yang terlibat dalam pengembangan ilmu dan upaya penerapan praktis ilmu itu pada teknologi. Masih menurut si pembicara tadi, itulah sebabnya terjadi bias-gender.


Kaum pria yang mengembangkan ilmu dan teknologi, lebih suka dan mungkin juga lebih mudah mengembangkan alat kontrol KB untuk dipakaikan pada perempuan. Saya masih ingat bahwa si pembicara pada waktu itu memberi sedikit data tentang jumlah alat kb untuk pria dan untuk kaum perempuan. Ternyata untuk perempuan lebih banyak (iud, susuk kb, pil kb, spiral kb eh tapi saya lupa apakah ini sama dengan iud) daripada untuk pria (kondom). Pokoknya secara dramatis si pembicara itu mengatakan bahwa untuk pria hanya satu dan untuk wanita ada empat. Padahal kesuburan pria itu sepanjang waktu sedangkan masa kesuburan perempuan hanya terjadi satu kali satu bulan saja. Tetapi justru kaum perempuan-lah yang lebih banyak dikontrol. Nah, menurut si pembicara, hal itu terjadi karena dampak dari bias-gender tadi. Tentu saja ada juga vasektomi dan tubektome untuk kaum pria.


Saya juga ingat bahwa ada seorang pembicara (juga perempuan) yang menyelingi ceramahnya dengan sebuah guyon yang menarik yaitu berupa sebuah dialog tanya jawab antara pria dan wanita: siapa yang paling kuat, apakah wanita ataukah pria? Secara otomatis dan stereotipikal, kebanyakan orang akan secara spontan menjawab bahwa yang paling kuat ialah pria atau bapa-bapa. Berbeda dengan hal itu, si pembicara tadi mengatakan bahwa yang paling kuat ialah kaum perempuan atau ibu-ibu. Mau bukti? Coba lihat jam kerja antara bapa dan ibu. Bapa mulai bekerja dari matahari terbit hingga matahari terbenam. Hebat. Tetapi coba lihat ibu: ibu-ibu itu bekerja mulai dari matahari terbit, hingga mata bapa terbenam. Hehehehe....


Tentu saja joke ini sangat karikatural dan menyederhanakan persoalan dalam hidup rumah tangga. Tetapi sedikit-sedikit kiranya juga mengandung kebenaran. Suka ataupun tidak suka. Diakui ataupun tidak diakui.


Setelah waktu seminggu berlalu, akhirnya rangkaian acara kursus penyadaran gender pun selesai. Dan sebagaimana biasa selalu ada acara evaluasi baik lisan (langsung) maupun secara tertulis. Dalam evaluasi lisan saya sempat memberi sebuah kesan dan pandangan pribadi. Dalam kesan itu saya mengatakan bahwa kalau saya dicekoki dengan ceramah model penyadaran jender seperti ini selama satu bulan, pulang-pulang saya bisa impotent. Semua peserta pada tertawa. Tetapi seorang teman mengatakan bahwa kesan itu tentu saja menandakan bahwa selruh rangkaian pelatihan itu kiranya cukup berhasil menggoyang kemapanan pandangan gender saya yang selama ini mungkin banyak biasnya. Kesan itu menandakan keterkejutan. Dan keterkejutan itu menandakan bahwa selama ini memang kita atau saya menganut pandangan-pandangan ataupun anggapan-anggapan yang bias gender.


Tentu secara pribadi saya berharap bahwa semoga acara ini mendatangkan pertobatan personal. Dan saya merasa bahwa pertobatan itu kiranya mulai tampak dalam diri saya dua tahun kemudian. Saya mulai mengajar di Fakultas Filsafat Unpar sejak awal tahun 1993. Salah satu mata kuliah yang saya asuh ialah patrologi yang mempelajari tentang para Bapa Gereja. Praktis sejak 1993 sampai 1997 saya tidak pernah mempersoalkan judul mata kuliah tersebut. Tetapi setelah kursus penyadaran gender tersebut, saya mulai melihat sesuatu yang aneh: kok gereja hanya berbicara tentang para Bapa. Di manakah para ibu? Mengapa tidak ada para ibu? Mengapa tidak ada ilmu tentang para ibu? Apakah dalam sejarah Gereja tidak ada para ibu yang berperan? Setelah pertanyaan itu muncul saya pun mulai gelisah.


Akhirnya pada tahun 1999 saya mengajukan topik proposal penelitian dengan judul “Mencari Ibu Gereja di antara Para Bapa Gereja.” Ilmu tentang para bapa Gereja secara tradisional disebut Patrologi. Ada sebuah godaan yang sangat besar dalam hati saya untuk menyebut upaya pencarian saya itu dengan Matrologi yaitu ilmu tentang para Ibu Gereja. Tetapi terus terang saja, pada tahun 1999 itu saya belum berani mengangkat dan mempublikasikan istilah itu. tetapi setelah saya pulang dari Nijmegen untuk menyelesaikan studi S2 teologi saya di sana saya berani mengangkatnya. Apalagi selama di Nijmegen studi teologi femnisme juga sangat kuat dan kencang diberikan kepada kami terutama oleh dua profesor saya, Prof.Lieve Troch dan Prof.Hedwig Meyers. Jujur saja bahwa kedua profesor teologi feminis di Nijmegen ini telah memberi banyak masukan dan bekal keberanian dalam diri saya untuk mengangkat disiplin Matrologi. Sayangnya setelah saya pulang studi S2 dari Nijmegen saya tidak lagi diberi kesempatan oleh fakultas untuk mengajarkan mata kuliah Patrologi tersebut. Tetapi saya tetap menekuni bidang itu sampai sekarang. Sejak dua tahun lalu, setelah saya selesai S3 teologi kontekstual di ICRS, saya dipercayai lagi untuk mengajarkan matakuliah patrologi tersebut.

Monday, November 5, 2018

TERINGAT KURSUS PERSIAPAN PERKAWINANKU

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias M.




Hari ini, entah mengapa, saya tiba-tiba teringat akan rangkaian kursus persiapan perkawinanku yang kujalani beberapa waktu lamanya, sebelum pemberkatan perkawinan. Pada waktu itu, kursus persiapan itu dilakukan di Sekolah para Suster Gembala Baik di Jatinegara, Jakarta Timur. Kepada kami ditampilkan beberapa nara sumber (pembicara) untuk masing-masing bidang terkait dengan kursus persiapan tersebut. Saya tidak ingat lagi semua pembicara itu. Tetapi saya masih ingat akan salah satu pembicara. Sayangnya juga saya sudah lupa namanya. Itu bukan hal terpenting. Hal terpenting bagi saya ialah apa yang ia sampaikan. Saya masih ingat hingga hari ini. Bapa itu berasal dari salah satu komisi KWI. Sesungguhnya ia tidak mempersiapkan bahan khusus, misalnya dengan memberikan paper atau makalah. Ia tidak membawa hal seperti itu. Ia tampil sederhana, apa adanya, dengan bercerita saja. Cara berceritanya juga sederhana tetapi bagi saya hidup sehingga saya tetap mengingatnya. Beginilah ceritanya:


“Dulu, waktu saya diberkati di gereja kami melewatkan malam pengantin kami di rumah. Kami tidak ke mana-mana karena terikat waktu kerja dan saat itu belum banyak orang yang menikmati honey-moon dengan pergi ke tempat khusus. Setelah melewati malam pertama, kami berdua bangun. Dalam pembicaraan pagi hari, isteri saya memulai pembicaraan sbb: “Mas.” Aku jawab: “Opo dik?” Isteriku: “Mas.... nganu mas”. Saya: “Iya dek, nganu apa toh dik?” Isteri: “Nganu mas....” Hari pertama itu, suami tidak berhasil membujuk isterinya untuk mengungkapkan apa yang ia katakan dengan kata “nganu” itu. Pada hari kedua, masih juga seperti hari kedua. Sang isteri mengulang lagi seperti kemarin: “Mas...” Suami: “Iya dek, ada apa?” Isteri: “Nganu mas.... “ Suami: “Iya dek, nganu apa?” Hari kedua pun berlalu dan si suami tidak berhasil mendapat jawaban. “Nganu” itu tetapi menjadi misteri sampai pada hari kedua. Pada hari ketiga, mereka bangun tidur. Pagi-pagi sekali. Seperti dua hari sebelumnya, si isteri juga membuka pembicaraan: “Mas nganu mas.” “Nganu apa dek? Kalau kamu hanya bilang nganu-nganu saja, saya tidak nangkap?” Kata isterinya: “Nganu mas, mulutmu itu lho.” “Mulutku kenapa dek?” Tanya suaminya. Dengan sedikit takut dan malu-malu si isteri menjawab: “Mulutmu itu mas, bau rokok.”


Setelah mendapat jawaban itu, saya ingat reaksi spontan sang pembicara yang membuat kami para peserta kursus tertawa lebar. Si pembicara saat itu berkata: “Ya ampun, kasihan banget isteriku, sudah tiga malam ngemut asbak.” Ungkapan “ngemut asbak” inilah yang membuat kami terbahak-bahak. Si pembicara kemudian bersaksi kepada kami, bahwa sejak saat itu ia berusaha keras berhenti rokok. Tujuanya hanya satu: agar isterinya tidak “ngemut asbak” lagi. Maka sejak itu, si pembicara tadi, berusaha dan berjuang keras untuk berhenti merokok. Si pembicara mengaku bahwa itu bukanlah perjuangan yang mudah. Ada banyak godaan dan rintangan. Ada banyak tantangan. Ada banyak kesulitan yang tidak mudah diatasi. Ia sungguh sadar akan hal itu, tetapi ia tahu bahwa ia harus berjuang keras dan lebih kuat lagi agar bisa mengalahkan dirinya sendiri agar bisa mengendalikan diri, dan tidak dikendalikan rokok. Ia berniat keras agar jangan sampai rokok itu menjadi penentu hidupnya. Betapa rendahnya hidupnya kalau hanya dibaktikan pada merokok saja.


Setelah berjuang lama akhirnya si nara sumber tadi berhasil mengatasi pelbagai tantangan dan kesulitan. Ia sadar bahwa ia harus berjuang melawan dirinya sendiri. Dan perjuangan itu bukan sesuatu yang mudah. Lebih mudah rasanya kalau kita melawan orang lain di luar sana. Melawan diri sendiri itulah yang paling berat di dalam perjuangan itu. Bapa itu memberi kesaksian bahwa perjuangan itu berlangsung selama lebih dari 10 tahun. Tentu saja setelah dilewati jangka waktu yang cukup panjang itu, perjuangan itu pun akhirnya menjadi sebuah kebiasaan baru, yaitu kebiasaan tanpa rokok, kebiasaan tanpa merokok.


Kemudian anak mereka (laki-laki) yang pertama terlahir setelah mereka menikah beberapa waktu lamanya. Mereka berjuang bersama untuk membesarkan dan mendidik anak tersebut. Setelah lewat 10 sampai 12 tahun, si nara sumber tadi mengaku bahwa dia baru sadar akan arti penting dari perjuangan dan pengorbanan dia selama 10 tahun belakangan ini, setelah mendengar nasihat sang isteri kepada anak sulungnya. Salah satu hal yang diajarkan sang ibu kepada anak itu ialah soal tidak merokok. Si ayah mendengar sendiri nasibat sang ibu kepada anak sulungnya yang memasuki usia remaja yang penuh keberanian melawan dan mencoba-coba hal baru: “Nak, kamu jangan merokok yah. Lihat bapamu.” Hanya itu yang disampaikan sang ibu kepada anaknya itu. Sang ibu itu meminta anak sulung laki-lakinya untuk tidak merokok, seperti yang diteladankan ayahnya.

Kata nara sumber itu selanjutnya: “Saat saya mendengar nasihat isteri saya kepada anak kami, baru saat itulah saya mengerti dan memahami makna perjuangan dan pengorbanan saya selama lebih dari sepuluh tahun. Sebuah kurun waktu yang tidak singkat. Perjuangan dan pengorbanan itu akhirnya pantas dijadikan model untuk pendidikan dan pembentukan mental dan moral anak. Ia membayangkan, apa yang terjadi, kalau 10 tahun yang lalu, ia tidak berhenti merokok? Apa yang bakal terjadi? Tentu si ibu akan kesulitan menemukan role-model bagi anaknya yang ia inginkan agar tidak merokok. Butuh waktu sepuluh tahun lamanya, untuk bisa memahami makna perjuangan dan pengorbanan itu.


Tentu role-model itu tidak hanya dalam soal merokok saja. Bisa ditarik juga role-model di beberapa aspek hidup yang lain. Kalau si ayah sudah tampil dengan tenang dan tidak mengucapkan kata-kata kasar dalam hidupnya, mungkin si ibu akan mengatakan: “Nak, kamu jangan mengucapkan kata-kata kasar ataupun makian dalam hidupmu. Lihatlah contoh ayahmu.” Sebab semua yang kita perbuat, semua yang kita katakan akan terpantul kembali, akan kembali terulang dalam perilaku anak-anak, yang memang dalam proses belajarnya telah menimba segala sesuatu dari role-model yang ia lihat dan temukan dalam diri orang-orang yang paling dekat dengan dia, kedua orang tuanya. Kalau ia melihat dan mendengarkan apa yang baik, maka pasti ia akan memantulkan kembali apa baik. Tentu saja tidak semudah itu juga. Sebab selain konteks pergaulan dalam rumah, anak-anak juga dipengaruhi oleh situasi di luara rumah. Tetapi dalam soal daya pengaruh, kiranya pergaulan di dalam rumah mempunyai peranan yang besar dan kuat di dalam membentuk watak, karakter, mentalitas dan perilaku si anak. Memang keluarga adalah sekolah paling dini bagi anak-anak.

Thursday, November 1, 2018

AMANG “HAMID BUSU” DARI PERI

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias M.



Entah kenapa, saya tidak tahu penyebabnya, akhir Januari tahun 2010, saya tiba-tiba teringat akan paman (amang) saya ini. Namanya Hamid Busu. Ia berasal dari Peri, kampung kecil antara Dempol dan Daleng. Kampung Peri yang asli, yang sampai tahun 70an masih ada, sekarang sudah tidak berbekas lagi. Orang Peri sekarang tinggal di pinggir jalan raya, Ruteng ke Labuan Bajo. Kampung Peri yang asli terletak agak jauh dari jalan raya yang terletak di sebelah kiri jalan dari Ruteng ke Labuan Bajo. Amang Hamid Busu adalah anak dari Empo Mahur (salah satu tokoh masyarakat tahun 60an), kakak Kandung Kakek saya dari pihak mama, Kakek Bartolomeus Bahor yang tahun 60an dan 70an dikenal dengan sebutan Kepala Dempol (karena ia pernah bertugas sebagai Kepala Desa Dempol). Dengan cara ini saya secara singkat mencoba melukiskan hubungan kekeluargaan di antara saya dan amang Hamid Busu.

Sesungguhnya Amang Busu adalah orang baik, walau ia dilecehkan orang sekampungnya, maupun oleh orang lain dari kampung sekitar (Dempol, Daleng, Wol, Roga, Rangga, dll). Orang lebih mengenal nama belakangnya, Busu. Kiranya orang tidak tahu nama depannya, Hamid. Mungkin juga orang tidak kenal nama dirinya, Hamid Busu, karena ia sering disapa dengan ngasang ame-nya (teknonim), emad Ngantur (emad Domi). Dominikus Ngantur adalah anak sulungnya. Menurut cerita yang saya dengar dari mama saya (Katharina), amang Busu ini dulunya orang yang rajin bekerja. Sawahnya menghasilkan padi melimpah. Tetapi semangat kerja itu hilang sejak ia ditinggal mati oleh isterinya yang pertama (ibu dari Dominikus Ngantur). Menurut mama Katharina sejak saat itu, amang Busu tidak pernah bisa bangkit lagi semangat hidupnya. Sempat ia coba bangun lagi semangat dan gairah hidupnya dengan menikahi wanita Kempo. Tetapi perkawinan itu tidak berlangsung lama, karena inang kedua ini meninggal (tidak punya anak). Sejak itu hidup Amang Busu benar-benar “rusak”, tidak teratur. Ia menjadi seperti linglung dan akhirnya dikenal sebagai orang malas.

Di mata saya, amang Busu adalah orang baik. Walau agak sedikit mengesalkan, toh saya percaya pada cerita mama bahwa sejatinya amang Busu ini orang baik dan rajin (petani sawah di Lembor). Waktu kami dulu masih di Ketang (Lelak), beberapa kali ia datang menginap di rumah kami di Ketang. Selama tinggal di rumah kami, ia tidak banyak bicara. Hanya diam. Merokok. Minum kopi, makan. Tidur. Sesekali ia bicara kalau ada tamu ke rumah. Saat papa dan mama pindah ke Dempol, rupanya ia sering berkunjung ke rumah kami di Dempol. Saya bisa memahami hal itu, sebab saat kami masih di Ketang saja ia sering datang, apalagi setelah papa-mama tinggal di Dempol yang letaknya dekat dengan Peri.

Ia adalah model orang yang tercerabut dari akar kultural dan religiusnya yang asli. Ia tidak Katolik. Nama Hamid bukan nama Baptis. Nama itu adalah nama muslim. Tetapi ia bukan Islam, walau ia pernah nikah dengan inang dari Kempo, yang konon muslimah. Anak-anak dan cucu-cucunya Katolik. Saya tidak tahu apakah ia pernah dibaptis Katolik. Saya masih harus meminta informasi dari Domi apakah di akhir hidupnya ia dibaptis? Atau apakah ia dimakamkan secara Katolik. Yang jelas, selama hidupnya, karena ia tidak Katolik, ia tidak pernah ke gereja Minggu. Dalam hal ini tidak begitu mencolok sebab banyak orang Manggarai yang mengaku Katolik tetapi tidak pernah ke gereja hari Minggu. Ia tidak makan babi. Kebiasaan ini dalam bahasa Manggarai disebut woni. Orang yang tidak makan babi disebut ata woni. Woni dan ireng itu berbeda. Ireng adalah pemali, halangan karena adat, keyakinan suku. Woni, halangan karena pengaruh agama Islam. Pasti kebiasaan tidak makan babi itu karena pengaruh Islam. Ia tercerabut dan terasing dari kebudayaannya karena satu alasan yang baru sekarang aku sadari.

Begini ceritanya. Juni tahun 1987 saya TOP di Pendidikan Postulan OFM di Pagal selama satu tahun. Pada waktu itulah saya sempat ikut perayaan penti di Wol. Saya sudah lupa tanggal persisnya pesta itu. Yang jelas penti itu dilaksanakan tahun 1988. Saat itu saya melihat amang Busu seperti menjadi sangat hidup, seperti menemukan konteks ekspresi kultural-emosional-spiritualnya yang lama terpendam. Saya perhatikan bahwa ia ikut menari dan menyanyi sanda dengan penuh semangat, penuh gairah, penuh penghayatan. Tenaganya seperti tidak habis malam itu. Entah dari mana ia mendapat tenaga lebihnya. Sempat saya bertanya waktu itu, mengapa amang Busu menjadi seperti itu malam itu? Malam itu saya mendengar amang Busu berkata: Hooy agama dite ye. Mai ga. Mai pande rame.

Baru saat inilah saya seperti mendapat jawaban. Itu karena ia seperti merasa menemukan lagi lubang penyaluran ekspresi emosional dan kultural bahkan religius mitis-magis yang lama terpendam karena tergeser gereja. Dalam gereja ia merasa tidak in. Juga dalam Islam ia merasa tidak in. Ia hanya merasa in dalam dan dengan agama asli Manggarai yang berpuncak pada penti. Penti adalah pesta tahun baru, saat pembaharuan dan pembersihan segala komponen hidup kampung yang vital: Mbaru gendang, natas, compang, wae teku, uma bate duat, lima unsur ontologis kampung Manggarai, dibersihkan (barong). Doro dongkas, pui weang. Penti weki peso beo. Maka sanda-lima menjadi sangat penting dalam pesta ini. Sayang saya sendiri tidak tahu lagi cara menyanyikan sanda-lima itu. Saya berniat mencari orang yang bisa menyanyikan lagu itu, agar direkam dan dilestarikan.

Hamid Busu, model orang yang terasing dan tercerabut dari akar kulturalnya, dari agama asli Manggarai. Catatan ini sudah ada dalam buku harian saya sejak awal tahun 2010. Tetapi sekarang saya terdorong untuk mengangkatnya ke Blog karena Hari Raya Kamis Kenaikan tahun 2018, anak sulung Amang Busu (Dominikus Ngantur), diantar anaknya yang merantau di Jakarta, lejong ke rumah kami Bandung. Tidak ada maksud apa-apa, selain hanya untuk mengabadikan kenangan akan amang Busu. Cerita lama diangkat lagi ke permukaan karena pengaruh ilham perjumpaan aktual yang dialami dan dirasakan sekarang dan di sini.

Kopo, Mei 2018.
(asli ditulis awal 2010).

Friday, December 23, 2016

NATAL MINIMALIS DAN EKSISTENSIALIS

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Natal minimalis. Apa itu? Saya belum segera menjawabnya sekarang. Nanti dalam proses akan menjadi jelas apa arti dari ungkapan ini. Saat itu, untuk kedua kalinya secara berturut-turut saya tidak dapat ikut serta bersama keluarga kecilku merayakan hari Natal di gereja dan di rumah kami. Sedih juga rasanya.

Yang pertama, terjadi pada Natal tahun yang lalu (2014), karena saya sedang dalam perjalanan pulang dari Washington DC ke Jakarta. Saya terbang dari Bandara Dulles (Philadelphia) pada malam hari tanggal 23 Desember dan tiba di kota Doha, Qatar kira-kira jam 4 sore hari berikut tanggal 24. Saya harus menunggu penerbangan berikut ke Jakarta, selama kira-kira 8 jam lebih. Saya menunggu di dalam ruang tunggu Bandara Doha karena jadwal penerbangan berikut kira-kira pukul 1 dinihari. Lagipula saya juga tidak bisa menanggalkan bandara karena saya tidak mempunyai visa untuk masuk Qatar. Selama menunggu di bandara Doha itulah saya merayakan natal minimalis saya.

Apa itu? Kira-kira sbb: Saya mencoba menciptakan suasana dan ruang hening dalam hatiku sendiri, dengan cara memejamkan mataku. Setelah saya merasa sudah bisa mendapatkan suasana hening itu dalam hati saya, lalu saya mulai menyanyikan lagu klasik ekumenis natal, Malam Kudus dalam dua bahasa, Indonesia dan Manggarai (bahasa Ibuku). Saya menyanyi kecil dengan suara menggumam dan saya merasa aman karena orang-orang cukup jauh dari kursi tempat saya duduk di ruang tunggu bandara Doha (Qatar). Apalagi suasana ruang tunggu sangat ramai, ada banyak suara walaupun tidak sampai terasa sangat bising. Di beberapa tempat juga tampak beberapa hiasan (ornamen) Natal. Butuhkan waktu kira-kira empat sampai lima menit untuk menyanyikan lagu itu, masing-masing satu ayat saja. Saya menyanyikannya sambil merem, dalam suasana ruang doa minimalis, hening-bening. Saya terhanyut dalam doa dan suasana natal dalam hatiku sendiri.

Begitu saya selesai menyanyi, saya membuka mata, dan tepat di samping kiriku ada seorang perempuan cantik, masih muda. Ia berbaju panjang dan berkerudung indah: “Are you a Christian?” Begitu tanyanya sambil tersenyum manis, bahkan teramat manis? Saya mulai rada takut dan curiga: “Jangan-jangan ini polisi sari’ah yang menyamar seperti calon penumpang.” Begitu gumamku dalam hati. Tetapi karena ia bertanya dengan sangat ramah dan tersenyum manis, maka saya pun dengan terus terang dan berani mengatakan, “Yes I am. How do you know it?” begitu kataku balik bertanya kepadanya: “Hmmm...from the song you sang (humming). Is it a “Silent Night” right? What a simple but a very beautiful song composed by an Austrian Priest.” Saya tersenyum mengagumi pengetahuannya tentang lagu tersebut. Memang itu benar: lagu itu diciptakan seorang pastor katolik tetapi kini menjadi lagu Natal ekumenis, yang pasti dinyanyikan di hampir semua gereja dari pelbagai denominasi yang ada. Luar biasa. Tiba tiba dia ulurkan tangan: “Then merry christmas for you sirrr...” “Ipran” (I said, introducing myself to her)...., “sir Ipran.” “I am Anissa. I am from Yamman, precisely South Yamman. I am on my flight-journey to Malaysia. To celebrate new year eve in my friend's house. Malaysia is more liberal compared to Yamman, in terms of the rules on woman's dress. For example, in Malaysia I can put off this jilbab and can walk on the street without being afraid of being watched by others.”

Saya terkejut sekali dengan pernyataan itu. Bukankah anda muslim? Lalu dia bilang, “Actually I am not. But I will not tell you. Let me give you a clue. I am from a mixed marriage family. My mother from Russia and my father from Yamman. My mother is a stubborn pious Christian lady. And I am a daughter of such lady.” Dan tentu saja saya cukup terkejut juga dengan pengakuan dan perkenalan diri dia yang serba sekilas itu. Saya pun bertanya lagi kepadanya: “Apa kata bapamu tentang hal itu?” Dia tersenyum saja dan berkata: “Bapaku tidak banyak menyoalkan hal ini; bagi dia yang penting hidup kami sebagai sebuah keluarga rukun-rukun dan damai saja. Itu sudah cukup.” Cerita ini saya hentikan di sini karena sesungguhnya percakapan kami panjang tetapi saya harus pindah ke topik lain yang menjadi focus dari tulisan ini.

Pengalaman yang kedua, ya terjadi malam 24 Desember 2015 silam. Saat itu saya merasa sejak balik dari Yogya minggu yang sebelumnya, saya merasa kurang fit. Badan saya terasa lemah. Terkadang suhu badan bisa berubah tiba-tiba naik. Maka saya pun memutuskan untuk tidak ikut ke gereja. Akhirnya, Atin, Yoan, Agung ke gereja bertiga. Saya menunggu di rumah. Sekitar jam tujuh malam saya laksanakan lagi ritual saya, ritual natal minimalis, persis sama dengan apa yang saya lakukan di atas tadi. Sedih sekali rasanya karena tidak bisa pergi bersama-sama keluarga ke gereja. Padahal ini adalah sebuah kesempatan yang sangat langka. Biasanya kedua anak kami tinggal jauh dari kami, yang satu di sebuah sekolah berasrama van Lith di Muntilan, yang lain kost di Babarsari Yogyakarta dekat kampusnya di UAJY. Saat mereka libur sebenarnya merupakan kesempatan emas bagi kami untuk bisa tampil lengkap dan utuh sebagai keluarga di tengah jemaat gereja di paroki kami. Sayangnya hal itu tidak bisa terjadi. Itulah yang membuat saya menjadi sangat sedih.

Pengalaman natal-minimalis ini tiba-tiba mengingatkan saya akan dua hal. Pertama, sebutan itu mengingatkan saya akan natal tahun 2003. Saat itu saya sedang dalam perjalanan dengan Bis pulang ke Flores untuk menghadiri pernikahan seorang saudari saya di sana. Saya menempuh perjalanan darat dengan bis dari Jakarta ke Bima bersama dengan dua atau tiga saudariku. Tadinya kami berharap bahwa pada tanggal 24 Desember siang kami sudah bisa tiba di kampung halaman orang tuaku, Dempol. Ternyata ada banyak rintangan di jalan. Akhirnya malam natal saya lewatkan di penginapan pelabuhan penyeberangan Sape. Pada hari-hari itu, kami tidak bisa segera menyeberang pagi hari karena tidak ada ferry yang mengangkut kami. Kami baru bisa menyeberang pada keesokan harinya. Akhirnya malam natal itu kami lewatkan di sana, di penginapan di Sape. Itulah natalku yang pertama di dalam perjalanan. Tetapi pengalaman itu menjadi sebuah pengalaman yang istimewa karena hal itu serta-merta menyadarkan saya bahwa natal sesungguhnya (paling tidak menurut Injil Lukas) adalah sebuah peristiwa yang terjadi dalam rangka dan konteks sebuah perjalanan mudik (pulang kampung). Natal adalah sebuah peristiwa iman dalam perjalanan. Sejak saya menyadari hal itu untuk pertama kalinya, maka hal itu tidak pernah lagi hilang dari kesadaran rohani saya. Saya bahkan pernah menulis sebuah tulisan singkat dan sederhana tentang hal itu dalam majalah paroki kami di Bandung, Bergema.

Kedua, saya tiba-tiba teringat akan sebuah pengalaman masa kecilku. Ayah saya adalah seorang guru SD yang bekerja di SD yang menjadi pusat paroki. Memang sebagian besar karir ayah saya sebagai guru selalu mendapat tempat di pusat Paroki, kecuali di SDK Arus. Yang lainnya adalah pusat paroki semuanya; seperti misalnya di Wewo, kemudian di Ketang, dan akhirnya di Rangga. Ketiga SDK ini adalah pusat paroki. Oleh karena itu, setiap kali hari raya (natal, paskah, pentakosta), rumah kami selalu penuh dengan tamu yang datang menginap. Mereka adalah keluarga-keluarga guru ataupun bukan guru, yang datang dari sekolah-sekolah yang terletak di stasi-stasi yang jauh untuk merayakan hari raya terkait. Misalnya di sini hari raya natal. Dalam situasi seperti ini ibu saya menjadi orang paling sibuk sedunia. Sejauh saya ingat, saat itu ibu hampir tidak pernah bisa ikut ke gereja. Saya ingat hal itu terjadi pada tahun 70 ataupun 71. Pada saat itu, Pastor memang sudah tinggal di dekat sekolah kami tetapi gereja belum dibangun. Gereja masih harus ke kampung tetangga, yaitu Rejeng; sebab memang pusat paroki sebelumnya terletak di Rejeng ini, sebelum akhirnya dipindahkan ke Ketang. Pada malam natal itu saya ingat juga bahwa saya tidak bisa menemani papa ke gereja karena hujan, sungai banjir, dan saya sendiri juga sedang sakit. Maka kami tinggal di rumah. Kami berlima. Kakak sulung ke gereja karena tugas koor anak sekolah dasar. Saya dan ketiga adik saya yang masih kecil tinggal di rumah bersama mama kami. Saat itu saya duduk di kelas dua atau tiga SD.

Seperti biasa, pada saat-saat seperti itu, mama selalu sibuk di dapur. Saat ketiga adik saya (simus, rius, kanis) sudah pada makan malam dan tidur, saya melihat mama sesekali keluar rumah di malam yang gelap gulita itu. Tidak lama. Hanya sebentar saja. Lalu dia masuk lagi ke dalam rumah. Pada saat itu dia selalu bilang begini kepada saya: “Belum nana. Belum selesai misa natal-nya.” Kira-kira hampir setengah sepuluh malam, saya diajak mama keluar rumah. Malam terasa dingin. Gelap sekali di luar. Sebagai seorang anak kecil saya biasanya rada takut berada di luar rumah di malam hari. Tetapi malam ini tidak. Sebab begitu kami berada di luar rumah, kami menyaksikan sebuah pemandangan yang indah. Ya, betapa pemandangan malam itu sangat indah. Dari daerah sekitar gereja di Rejeng gerombolan orang-orang tampak bergerak secara perlahan-lahan menjauh dari gereja yang semula tampak terang karena lampu gas (sebutan lokal untuk lampu petromax), tetapi lama kelamaan gereja itu mulai tampak redup dan akhirnya gelap sama sekali. Satu persatu lampu petromax dibawa pulang oleh para pemiliknya untuk menerangi perjalanan mereka pulang ke rumah masing-masing. Nah perjalanan cahaya lampu di tengah malam gelap itulah yang sangat indah dalam ingatan dan kenangan saya. Ada juga yang berupa obor-obor yang bernyala.

Hal yang menarik ialah bahwa di tengah kegelapan malam dan di kejauhan nyala-nyala api itu tampak seperti berjalan sendiri, melayang-layang di dalam kegelapan malam, sebab orang-orang yang membawanya tidak tampak sama sekali; mereka seakan-akan tenggelam dan tertelan dalam kegelapan malam. Karena merasa pasti bahwa itu adalah lampu-lampu natal umat serani yang baru bubar misa, maka saya tidak takut sama sekali. Tentu saja itu bukan api ja, api yang dalam kepercayaan orang Manggarai adalah api setan. Oh, pasti itu bukan api ja. Itu adalah nyala api natal yang bernyala-nyala dalam kegelapan malam dan di atas kepala-kepala manusia yang baru pulang dari gereja. Pasti nyala api natal itu juga sudah bernyala di dalam hati mereka masing-masing. Malam natal telah tiba. Gloria in excelsis Deo, Christus natus est in Betlehem.
Mama biasanya berdiri dengan tenang memandang itu semua, sambil ia memberi keterangan cukup rinci mengenai arah tujuan perjalanan lampu-lampu di malam gelap itu: “Nana Ransis, cahaya yang dibawa orang-orang itu akan menuju ke kampung ini (sambil menyebut nama kampung tersebut), dan cahaya orang-orang itu pasti akan menuju ke kampung ini (sambil menyebut namanya).” Ya, mama hafal semua nama-nama kampung yang terletak di sekitar paroki kami. Lalu ia tiba-tiba berkata lagi: “Nak Ransis, dengan perjalanan cahaya-cahaya itulah saya bisa membayangkan natal para gembala di padang di luar kota Betlehem dulu.” Hanya itu yang ia katakan kepada saya. Tetapi kalimat singkat itu sangat kuat berkesan dalam hati saya, hingga sekarang ini.

Jauh di kemudian hari, ketika saya sudah dewasa dan sudah berjalan begitu jauh dalam studi teologi dan kitab suci, saya akhirnya mengistilahkan natal ibu saya itu, natal minimalis, tetapi walau minimalis sangat efektif membawa dekat hati kita ke rasa natal dalam devosi saleh hati kita masing masing. Ya, itu natal minimalis tetapi sekaligus juga sangat eksistensialis. Saya ingat malam itu ibu sama sekali tidak takut berada di luar di dalam kegelapan malam. Sebab ada banyak juga cerita tentang perjalanan api malam yang serem. Api ja, api data tako (api yang dibawa para pencuri yang berkeliling kampung untuk melakukan aksinya mencuri ternak orang kampung). Malam natal tidak ada api yang serem. Cahaya malam natal adalah cahaya obor atau petromax dalam perjalanan pulang dari gereja ke kampung masing masing.

Bandung, 24 Desember 2016.
artikel sudah ditulis desember 2015

Saturday, March 3, 2012

PUISI-PUISI FEBRUARI 2012 II

LUKADUKASUKA I
By: Fransiskus Borgias M


LukadukasukaLukasukaduka
DukalukasukaDukasukaluka
SukadukalukaSukalukaduka
Sukasukadukadukalukaluka
Lukalukadukadukasukasuka
Dukadukasukasukalukaluka
Terlukaterbukamengangalukadukasuka
Lukamengucurdarah Dukamembawamerah Sukamembawacerah
Darahmerahcerahlukadukasuka
Larasaraziarahkitapenuhlukadukasuka
Penuhsukadukalukapenuhdukalukasuka
Bagaimanapunkitaharuspernahtibajuga
Kendatilukadukasukakendatidukasukalukakendatisukadukaluka

Yogya, 27 Februari 2012



LUKADUKASUKA II
By: Fransiskus Borgias M.

Luka itu sekolah tempat kau mengolah raga agar mudah taat pada suara sukma membawamu ke dapur dukalara hanya itu yang bisa membuatmu rela dan bisa menghargai suka biarpun ia tiada pernah berlama-lama karena kodrat jiwa ialah selalu kembara dari hulu ke kuala mencari dan menggali makna memperkaya jiwa dan sukma.
Luka duka suka ialah sekolah jiwa mematangkanmu dari muda hingga tua renta, dan mereka masih tetap di sini setia. Mereka dapur jiwa menuju gerbang tahta hikmat.


Yogya, 27 Februari 2012

PUISI-PUISI FEBRUARI 2012 I

HADIRMU DI SINI
Oleh: Fransiskus Borgias M.


Hadirmu di sini
terasa seperti sebuah bayang-bayang
yang tipis dan temaram
yang seperti baru saja dilukis
dengan tangan-tangan geram dan gemetar
seakan takut akan sesuatu
yang kasat mata
entah apa,
entah siapa,
entah di mana,
entah mengapa
tapi terasa mencengkam,
dan akupun menjadi seram
berjarak dan curiga.

Hadirmu di sini
tidak selalu membahagiakan
teriakmu terlalu kencang
dalam sunyi aku bertanya
tanpa ada yang jawab.

Tidak bisakah kau berwawan rasa
dalam diam tanpa kata atau suara?
Hadirmu di sini
terasa seperti sebuah bayang-bayang
yang tipis dan temaram
yang seperti baru saja dilukis
dengan tangan-tangan geram dan gemetar
seakan takut akan sesuatu
yang kasat mata
entah apa,
entah siapa,
entah di mana,
entah mengapa
tapi terasa mencengkam,
dan akupun menjadi seram
berjarak curiga.

Yogya, 26 Februari 2012
Ketika terkenang sebuah huru-hara di masa silam yg terasa mencengkam.




ADA BURUNG SUNYI
Oleh: Fransiskus Borgias M.


Ada burung sunyi
dibingkai kiri atas lensa kameraku
di pantai itu
tatkala kuabadikan beberapa pasang kekasih
sedang berpadu kasih dalam tatap dan rasa pesona
menikmati pergi sang mentari
di balik tirai malam
di Kuta Bali.

Ternyata aku juga sendiri
digalau rindu
pada mereka yang selalu menantiku
membuka pintu dari dalam bagiku
yang senantiasa pergi dan akan kembali.

Betapa bahagia rasanya
bila anda tahu bakal ada yang buka pintu
bagimu
dari dalam ketika kita baru tiba
dari sebuah perjalanan jauh
melanglang buana.

Ada burung sunyi
dibingkai kiri atas kameraku
mengingatkan aku akan kesendirianku
sebab aku masih belum sampai
pada kekasih hati.

Burung itu seakan menatap bisu
sebuah titik tuju
yang tiada pernah bisa dijangkau
karena ia menggantung di langit biru
menjelang merah tua disaput rembang petang
menjelang malam datang.
Ada pekat sunyi yang harus ditelan.
Hidup memang kadang-kadang harus begitu.


Kuta Bali. (Kilas balik ketika duduk di Kuta 26 Agustus 2006 dalam perjalanan pulang dari Seoul, Denpasar, Jakarta, Bandung).

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...