Sunday, December 2, 2018

TIME-SQUARE DAN DANAU HENING DI BEKAS MENARA KEMBAR NEW YORK

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA.
Dosen Filsafat dan Teologi FF-UNPAR Bandung, Anggota LBI
.



Tanggal 29 November 2014, empat tahun lalu, saya ke New York, bersama keluarga Pa Rachmat Putranto, staf yang bekerja pada divisi perdagangan di Kedubes RI di Washington DC. Saat itu, selama kurang-lebih empat bulan saya tinggal di Amerika untuk menjalankan program sandwich pada Georgetown University di Washington DC. Untuk menghemat ongkos, maka saya tidak tinggal di DC, melainkan memilih tinggal di Maryland, menumpang di rumah pa Rachmat tadi. Ongkos hidup dan indekost di DC hampir dua kali lipat lebih dari biaya yang sama di Maryland. Akhir bulan November 2014, mereka mempunyai kebiasaan untuk melewatkan liburan Thanksgiving Day di New York. Saya pun diajak juga ke sana. Sebuah perjalanan yang mengasyikkan bagi saya karena sebuah perjalanan yang baru sama sekali, juga untuk pertama kalinya. Di New York kami menginap di sebuah hotel di kawasan Time Square yang terkenal itu. Kami menginap di sebuah Hotel besar di sana, dan kami menempati kamar di lantai yang bagi saya sangat tinggi, yaitu lantai 43, itupun belum merupakan lantai tertinggi di hotel itu. Setelah check-in di hotel tersebut, kami meletakkan tas-tas kami. Kemudian kami berkeliling ke daerah sekitar sambil menikmati makanan yang ditawarkan di pinggir jalan dan menikmati pawai pelbagai kelompok yang meramaikan thanksgiving day. Setelah letih, lagipula hari mulai malam, kami kembali ke hotel untuk menginap.

Keesokan harinya, saya diberi kebebasan untuk menjelajahi New York sendirian asal sore hari sudah harus kembali lagi ke hotel. Semula saya ketakutan. Saya takut tersesat di tengah hutan belantara pencakar langit New York yang terasa sangat asing itu. Tetapi saya harus mengambil risiko itu. Setelah mencari informasi yang perlu akhirnya saya pun memutuskan untuk berjalan sendirian menjelajahi New York. Waktu saya sangat terbatas. Hanya setengah hari. Saya memutuskan untuk mengambil jalur bis kota wisata yang bisa dengan bebas turun di beberapa spot yang menurut saya penting dan layak dikunjungi. Nanti dengan tiket yang sama bisa dilanjutkan lagi perjalanan ke titik tujuan akhir Bis itu. Dan terjadilah demikian. Saya mengambil Bis dari Time Square yang mengarah ke tepi sungai di mana terdapat patung Liberty yang terkenal itu. Tetapi saya turun dua kali. Pertama, saya turun di sebuah taman kota yang direkomendasikan pemandu wisata dalam bis itu. Saya turun dan mencoba menikmati taman itu, tetapi jujur saja saya tidak begitu tertarik dengan taman itu. Maka saya kembali lagi ke halte bis tadi menunggu bis berikutnya.

Setelah bis dengan nomor yang sama tiba, saya pun naik lagi. Spot wisata kedua yang ingin saya kunjungi adalah titik nol, yaitu kawasan bekas gedung kembar menara WTC yang terkenal itu, yang tahun 2001 hancur karena diserang teroris. Begitu saya turun di situ sudah tampak banyak petunjuk tentang sisa-sisa peristiwa ngeri tersebut. Ada gedung yang ditandai sebagai “survivor” serangan teroris itu. Ada gereja, ada rumah biasa, ada juga gedung tinggi. Bagi saya gedung-gedung itu sudah sangat tinggi. Tetapi dari gambar yang saya peroleh, gedung-gedung tinggi itu hanya setengah tingginya dari almarhum menara kembar itu. Saya membayangkan betapa menara kembar itu dulu sangat tinggi.

Begitu saya mendekati titik nol tersebut, saya mendengar keterangan dari orang-orang di sekitar saya bahwa gedung menara kembar itu sekarang sudah diganti dengan satu gedung tunggal yang juga menjulang sangat tinggi. Saat saya berdiri di dekat kakinya, walau tidak mungkin sangat mendekat, karena pengawasan security sangat ketat, saya hampir tidak bisa melihat ujung paling tinggi gedung itu. Pokoknya sangat tinggi. Di bagian belakang gedung itu, ada sebuah kolam besar (hampir seperti danau buatan kecil) dan gedung museum survivor pengeboman itu. Saya tidak sempat masuk ke dalam museum bawah tanah tersebut karena harus membayar ekstra lagi. Saya hanya melihat danau buatan kecil itu. Airnya sebagian biru karena memantulkan warna langit biru. Sebagian berwarna hitam karena memantulkan warna dinding marmer hitam. Airnya tenang dan hening. Di beberapa bagian dinding tampak air merembes. Sunyi sekali. Orang yang datang mendekati tempat itu juga pada diam dan hening.

Setelah saya mendekat barulah saya tahu bahwa orang-orang yang datang mendekat ke batas danau kecil itu boleh jadi adalah keluarga dekat korban bom bunuh diri tersebut. Karena ternyata pada marmer hitam dinding kolam tersebut ada lobang-lobang kecil dan di masing-masing lobang itu tertulis nama-nama orang yang sudah meninggal karena bencana kemanusiaan itu. Ada ribuan nama orang. Saya melihat bahwa ada yang menancapkan kembang di lubang itu, ada yang menyalakan lilin di tempat yang sudah disediakan. Ada yang meletakkan rosario. Para pengunjung itu berdiri di sana. Ada yang berdoa. Ada yang hanya berdiri dalam diam dan hening. Ada juga yang menangis sambil mengusap-usap nama yang tertulis pada pualam tersebut. Saya juga terhanyut dalam keheningan itu. Persis pada saat itu ada angin sepoi-sepoi yang sangat dingin berhembus di permukaan air kolam itu. Air kolam itu seperti bergerak dalam riak-riak kecil seakan-akan mengatakan bahwa arwah-arwah orang yang mati di sana sedang bergerak menari di atas permukaan air menyambut kedatangan pengunjung, terutama menyambut kedatangan sanak saudara yang dilanda duka nestapa karena kematian itu datang begitu tiba-tiba, seperti kata sebuah syair lagu mungkin dari Celine Dion, bahwa ia datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, bagai tamu yang tidak diundang. Suka atau tidak suka, ia pasti datang begitu saja, pada saat yang telah ditetapkannya bagi masing-masing orang. Dan tidak ada orang yang bisa menolak atau menghindar daripadanya.

Wajah-wajah para pengunjung itu, tampak sedang berjuang dalam sebuah permenungan mengenang, meraih dan menghadirkan kembali sekarang dan di sini, dia ataupun mereka yang sosoknya sekarang hanya tinggal sebuah ukiran nama pada permukaan pualam hitam. Mudah-mudahan kenangan itu juga akan abadi. Mungkin itu yang mereka harapkan. Yang jelas, bagi mereka tersedia sebuah tanda (penanda) di mana harus datang menumpahkan cinta dan rindu. Ada juga banyak korban keganasan sesama manusia yang hilang tiada ketahuan rimbanya. Sebuah kehilangan yang mengerikan sebab tidak bertanda, tidak memiliki penanda. Hanya sebuah kekosongan abadi. Saya segera tinggalkan tempat itu sebelum kekosongan abadi itu menghanyutkan saya berlama-lama dalam permenungan yang sedih dan mendalam. Selamat tinggal pualam hitam. Semoga suatu saat saya masih bisa datang kembali mengusap lembut dan dinginmu. Semoga. Suatu saat di masa yang akan datang.


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...