Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA.
Dosen Teologi Biblika pada FF-UNPAR Bandung, dan anggota LBI.
Beberapa tahun yang lalu sebelum saya melanjutkan studi saya ke jenjang S3 pada ICRS Yogya, saya menemukan sebuah buku yang sangat menarik di perpustakaan kami. Sebuah buku yang pada saat itu masih relatif baru sebenarnya walaupun rada telat juga masuk ke perpustakaan kami. Buku itu adalah sebuah buku tua dari seorang pengarang Russia yang bernama Vladimir Solovyov. Judul buku itu juga bagi saya sangat menarik: The Justification of the Good. Judul kecilnya juga sangat menarik, yaitu An Essay on Moral Philosophy (2005. Wm.B.Eerdmans Publishing Co., Grand Rapids, Michigan).
Di atas tadi saya sudah mengatakan bahwa buku itu sangat menarik. Daya tarik buku ini pertama-tama terkait dengan fakta bahwa sesungguhnya buku ini usianya sudah termasuk sangat tua. Pengarang Vladimir Solovyov (Copleston menulis Solovyev, tetapi kedua nama itu adalah orang yang satu dan sama) sendiri adalah seorang pemikir filsafat sosial keagamaan Russia yang hidup pada tahun 1853-1900 (informasi dari cover belakang buku ini, juga informasi yang saya ambil dari Frederick Copleston, Philosophy in Russia, From Herzen to Lenin and Berdyaev, Search Press, Notre Dame: 1986). Buku dari Solovyev ini terbit pertama kali pada tahun 1897 (berarti saat sang pengarang masih berusia 44 tahunan). Judul aslinya dalam bahasa Russia ialah Opravdanie dobra: Nravstvennaya filosofiia. Terjemahan Inggris yang pertama muncul pada tahun 1918 (berdasarkan informasi dalam cover depan bagian dalam dari buku itu).
Semakin terasa menarik lagi ialah fakta bahwa buku “kuno” (dari akhir abad kesembilanbelas) ini, mengalami terbit ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 2005 setelah jauh-jauh hari sebelumnya sudah pernah diterbitkan oleh penerbit yang berbeda dengan penerbit pada tahun 1918.
Setelah saya selesai studi S3 saya, saya pun mulai dengan serius membaca beberapa bagian yang erat terkait dengan pemikiran politis dari buku tokoh ini. Oleh karena saya tidak mengajar filsafat politik di fakultas saya, maka saya belum sempat membaca secara serius dan berkesinambungan buku ini sampai tamat. Namun saya tetap membacanya sedikit demi sedikit. Hal ini saya lakukan mengingat fakta bahwa seluruh pendidikan filsafat saya sesungguhnya hanya dibatasi pada sejarah filsafat Barat saja. Itupun banyak difokuskan pada filsafat Perancis, Jerman, Inggris, sedikit Belanda, dan sedikit negara-negara Skandinavia (Soeren Kierkegaard).
*****
Dalam peta kurikulum studi filsafat itu, saya hampir tidak pernah mempelajari secara serius para pemikir dari kawasan Eropa Selatan seperti dari Spanyol (baru jauh di kemudian hari saya mengenal nama besar seperti Miguel Unamuno), Italia (tentu saja saya tahu nama-nama seperti Benedeto Croce, Nicholo Machiavelli, Antonio Rosmini yang pernah dikutuk tetapi namanya dipulihkan kembali dalam ensiklik Fides et Ratio dari tahun 1998 itu, dll), dan Portugal, ataupun Eropa Timur seperti Yunani, kawasan Balkan dan negara-negara lain di sekitarnya. Bahkan lebih sedikit lagi pengajaran yang saya dapatkan tentang para filsuf dari Eropa Timur seperti dari Polandia, Yugoslavia, Cheko, dan terutama Russia.
Beruntunglah bahwa beberapa buku dari Paus Yohanes Paulus II juga sudah saya baca terutama karya-karyanya yang erat terkait dengan filsafat personalisme (semisal The Acting Person, sebuah filsafat fenomenologi personalisme, Love and Responsibility). Melalui jendela karya-karya Carol Woytilla itu, maka saya sedikit mendapat gambaran ke dalam pemikiran filosofis dan teologis dari Polandia. Perlu diingat bahwa Carol Woytilla sendiri adalah seorang filsuf yang mendalami secara khusus tentang etika dari Max Scheller, sehingga beliau layak disebut tokoh Schellerian juga.
Mengenai pemikiran filosofis Russia, saya sedikit banyak terbantu oleh buku sejarah Filsafat Russia yang ditulis oleh seorang pater Yesuit, Frederick Copleston, yang sangat terkenal dengan karya-nya yang berjilid-jilid tentang Sejarah Filsafat. Kalau tidak, maka persepsi saya tentang Russia hanya sebatas nama-nama besar mereka di bidang sastra. Misalnya nama-nama seperti Leo Tolstoy, Boris Pasternak, Dostoyevski, Solniyetzin, dll., dengan pelbagai mahakarya mereka yang sangat dahsyat: Kamarazov Bersaudara, Perang dan Damai, Anna Karenina, dll., Dengan bantuan Copleston akhirnya saya mendapat banyak pengetahuan tentang para filsuf Russia dan pemikiran filosofis yang berkembang atau dikembangkan di Russia itu.
*****
Beberapa hari yang lalu, saya mendapat telpon dari seorang mantan mahasiswa saya (di FF-UNPAR Bandung) yang kini sedang belajar filsafat politik (filsafat sosial) pada jenjang S3 di Russia. Ia mendiskusikan bersama saya mengenai rencana penelitian dia yang akan ia ajukan kepada para promotornya di sana. Tentu saja saya mengaku berterus terang bahwa saya tidak tahu banyak tentang pemikiran filosofis dan teologis Russia, sebagaimana yang sudah saya ungkapkan di atas tadi. Tetapi mahasiswa Filsafat Politik di Moskow tadi tetap mendesak saya untuk memberikan sumbangan pemikiran dari perspektif saya yang sangat terbatas itu.
Karena didesak seperti itu, maka teringatlah saya akan Vladimir Solovyev ini. Maka saya pun menyebut nama ini, karena nama ini adalah seorang pemikir Filsafat Moral Russia yang kiranya relevan dengan rencana topik penelitian mahasiswa yang bersangkutan. Eduardus Lemanto pun langsung merasa tertarik dengan tokoh ini. Hanya sayangnya, nama tokoh Solovyev ini tidak terdapat dalam daftar isi dari Bab-bab utama dalam buku Copleston mengenai filsafat Russia itu.
Tetapi mengingat fakta bahwa bukunya yang mengalami terbit ulang dalam dunia modern dewasa ini (2005), maka saya menduga bahwa pemikiran filosofis-etis-moral tokoh ini sangat penting. Hal itu tampak sangat kentara dalam pelbagai topik yang ia bahas dalam bab-bab yang terkandung dalam buku tersebut. Sebagai gambaran umum misalnya saya akan memberi gambaran singkat mengenai apa yang ia bentangkan dalam Bab 1 dari bukunya itu. Bab 1 itu ia beri judul The Primary Data of Morality (Data Primer Moralitas). Ada beberapa hal yang ia tunjuk sebagai Data Primer Moralitas. Misalnya, ia mulai dengan hal paling bawah yaitu rasa malu (feeling of shame), sesudah itu ada pity or the sympathetic feeling, lalu ada rasa hormat atau kesalehan.
Lalu dikatakan, dan saya mengutip dari ringkasan beliau sendiri: “Perasaan-perasaan malu, sedih, dan hormat mencakup seluruh rentang relasi-relasi moral yang mungkin bagi manusia, yakni, relasi-relasi dengan apa yang berada di bawah dia, pada satu tataran dengan dia, dan yang melampaui dia. Relasi-relasi normal ini ditentukan sebagai penguasaan (mastery) atas sensualitas material, sebagai solidaritas (solidarity) dengan makhluk-makhluk hidup yang lain, dan sebagai sikap-tunduk-pasrah (submission) terhadap prinsip superhuman. Penetapan-penetapan lain mengenai hidup moral, yakni semua kebajikan (virtues), bisa ditunjukkan sebagai modifikasi-modifikasi dari tiga fakta fundamental ini, atau sebagai satu hasil dari interaksi antara mereka dan hakekat intelektual dari manusia (contoh atau teladan).”
Pelbagai macam tema besar dan mendasar dan menarik dibeberkan kepada para pembaca dalam bab-bab yang mencakup buku yang tebalnya melebihi empatratus halaman ini. Sungguh luar biasa. Walaupun Solovyev tidak mendapat bab khusus dalam buku Copleston yang sudah disebutkan di atas tadi, namun dalam kata pengantarnya Copleston juga memberikan sebuah peranan yang dimainkan Solovyov dalam seluruh peta pemikiran filosofis Russia. Bahkan Copleston menyebut Solovyev, Russia’s greatest religious philosopher (p.2). Berikut ini adalah beberapa informasi penting yang saya petik dari buku Copleston terkait dengan Solovyev ini. Menurut Peter Chaadaev (1794-1856), Russia yang coba dimodernisasi oleh Petrus yang Agung (1672-1725) merupakan “selembar kertas kosong”, tanpa suatu tata nilai ataupun tradisi-tradisi kepunyaannya sendiri. Tetapi para pemikir Slavophile menganggap pernyataan itu terlalu berlebih-lebihan. Sebaliknya menurut mereka, Russia mempunyai tradisi agung kulturalnya sendiri. Russia bisa membangun upaya modernisasi di atas tradisi agung itu. Dan dalam kenyataannya mereka juga menuntut suatu upaya pengembangan sebuah filsafat yang sejalan dengan tradisi asli Russia ini, khususnya dengan tradisi keagamaan Ortodoks. Diyakini bahwa filsafat ini adalah filsafat murni Russia yang kiranya bebas dari cacat-cela keangkuhan “rasionalisme” Barat.
****
Dan sekarang tibalah kita pada peranan yang menurut Copleston dapat dimainkan oleh Solovyev tadi. Menurut Copleston, Solovyev dapat memainkan peranan penting dalam membangun tradisi filsafat agung Russia yang khas dan unik itu di atas kertas putih yang kosong itu (semacam tabula rasa, papan putih kosong yang siap untuk ditulisi ataupun digambar). Tetapi, akhirnya Copleston juga sedikit banyak merelativir peranan Solovyev untuk bisa membangun filsafat “murni” Russia, karena menurut Copleston, pada akhirnya Solovyev pun sangat banyak dipengaruhi oleh tradisi filsafat Barat. Kata Copleston, pemikiran filsafat Solovyev sama sekali bukannya tanpa pengaruh dari pemikiran filosofis barat.
Atas dasar itulah Copleston berkata, bahwa walaupun Solovyev itu mempunyai para pengganti atau pengikut pada abad keduapuluh, dan karena itu mereka diharapkan bisa meneruskan program pembangunan filsafat Russia yang khas, namun tidak dapat disangkal bahwa justru pada abad keduapuluh ini, filsafat yang mempunyai asal-usul baratlah, yaitu Marxisme, yang menjadi ideologi yang didukung secara resmi di Russia sesudah Revolusi itu. Dengan kata lain, proyek pembangunan filsafat Russia “yang murni” tanpa pengaruh dari Barat, boleh dikatakan gagal. Tidak lama sesudah kematian Solovyev pada tahun 1900, Marxisme dalam bentuk yang sudah dimodifikasi ala Russia, justru yang menguasai Russia sejak Revolusi Bosyevicki pada tahun 1917 yang mahaterkenal itu. Ya, itulah dan begitulah nasib akhir sebuah pergerakan filsafat tentu saja. Namun demikian ia tetap tinggal dikenang sebagai sebuah master-mind dan blue-print. Mungkin karena itu, buku Solovyev dari akhir abad ke-19 diterbitkan kembali pada awal abad ke-21 (2005). Sebuah prestasi dan pencapaian yang luar biasa tentu saja.
canticum solis adalah blogspot saya untuk pendalaman dan diskusi soal-soal filosofis, teologis, spiritualitas dan yang terkait. Kalau berkenan mohon menulis kesan atau komentar anda di bagian akhir dari artikel yang anda baca. Terima kasih... canticum solis is my blog in which I write the topics on philosophy, theology, spiritual life. If you don't mind, please give your comment or opinion at the end of any article you read. thanks a lot.....
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
PEDENG JEREK WAE SUSU
Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari Puncak perayaan penti adala...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm) Mazmur ini termasuk cukup panjang, yaitu terdiri atas 22 ayat, mengikuti 22 abjad Ib...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Judul Mazmur ini dalam Alkitab ialah Doa mohon Israel dipulihkan. Judul itu mengandaikan bahwa keadaan Israe...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Sebagai manusia yang beriman (percaya), kiranya kita semua sungguh-sungguh yakin dan percaya bahwa Tuhan itu...
No comments:
Post a Comment